Renungan pagi ini:
“AKTUALISASI HUKUM ADAT”
Ketika ada pertanyaan mahasiswa menanyakan posisi hukum adat dalam pembentukan hukum nasional Indonesia, degan komentar bahwa hukum adat tidak mempunyai nilai-nilai strategis dalam pembentukan hukum nasional hanya terjebak pada persolan ritual dan pernik-pernik budaya bahkan kontra dengan nilai-nilai hukum yang lain, serta bercampur dengan clinic diluar nalar. Wah kalau begini saya tertantang untuk menjelaskannya, saya sangat respek tentang itu dan saya waktu kuliah S2 hukum sangat tertarik dengan kajian-kajian berkaitan dengan hukum adat walaupun konstrasi wajib saya adalah HTN (maklum waktu itu hanya ada satu program saja).
Pertanyaan ini sangat menyentuh emosi entelektual saya sebagai dosen yang pernah belajar hukum adat, pernah meneliti kearipan lokal yang identik dengan cultur masyarakat yang sangat agung sebagai warisan nenek moyang bangsa ini yang sengaja dicabik-cabik oleh bangsa penjajah yang memaksakan hukum positif yang jauh dari nilai-nilai komunal yang telah ada di nusantara.
Pertanyaan mahasiswa adalah wajar dan sangat saya hargai dan dapat dikatagorikan “berbobot”. menurut saya, hal ini didasari dari dua kemungkinan, pertama memang mahasiswa belum memahami secara mendalam tentang sifat dan asas hukum adat dalam bentuk kearifan lokal, dan kedua, bisa saja mahasiswa sama dengan keinginan saya agar kearifan lokal yang strategis untuk kemajuan bangsa harus dikembangkan dan dijaga kelestariannya.
Oleh karena itu, dengan sabar saya jelaskan kepadanya bahwa hukum adat itu yang pernah saya baca dari Soepomo, Surojo Wignjodipoero maupun dari Hilman, dan tentunya sebagai orang Bengkulu mengenal Prof. Hazairin walaupun ia lahir di Bukit Tinggi Sumabr tapi bapaknya orang Bengkulu bernama Zakaria Bahri dan Hazairin pada tahun 1946 pernah menjadi Residen Bengkulu, menurut literature yang say abaca, Hazairin termasuk intelektual yang unik biasanya kalau menguji skripsi mahasiswa beliau meminta kepada mahasiswa untuk menceritakan tentang masyarakat adat, jadi beliau sangat mencintai hukum adat sekaligus menguasai hukum Islam yang banyak ditulisnya, saya sering mengulang-ngulang tulisannya Negara Tanpa Penjara dalam bukunya Tujuh Serangkai tentang Hukum… ataupun dari literature Belanda sekalipun yang diajarkan oleh guru saya almarhum Bachtiar Hosen, SH (yang mana saat ini keluarganya sedang berduka karena salah satu anaknya dibunuh secara sadis, saya sebagai murid beliau sangat berduka dan turut berbelasungkawa atas peristiwa tersebut, semoga almarhumah husnul khatimah Amiin). Kembali kepada hukum adat, intinya hukum adat mempunyai sifat antara lain Relegius Magis, komunal, Demokratis, kontan dan kongkrit.
Hukum yang relegius merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia, bangsa yang mengakui adanya Tuhan, maka hukumnyapun tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama, hukum barat jelas menurut saya mengabaikan nilai-nilai itu, walaupun para pakar mengatakan hukum baratpun tidak lepas dari pengaruh agamanya, tapi jika menguntungkan manusia kadang-kadang diabaikan contohnya masih ada Pasal dalam hukum pidana yang melecehkan agama seperti delik perzinahan ini jelas keluar dari koridor relegius. Sifat demokratis hukum adat diwujudkan dalam bentuk nyata dalam masyarakat seperti Pemilihan Kepala Desa, Pemilihan Kepala Marga di Sumatera bagian Selatan, menurut Jimly dalam bukunya Hukum Tata Negara Indonesia yang mengutip pendapat Bagir Manan bahwa pemilihan Kepala Marga sudah berlangsung lama jauh sebelum bangsa barat datang sebagai penjajah sudah ada itu. Bahkan dalam penelitian saya untuk skripsi tahun 1989 saya terbaca dan saya tulis dalam karya pertama saya itu, yang namanya Desa sudah lama ada dan tertulis dalam prastatai Walandit “Deca” yang maknanya desa jadi desa bukan imfor dari barat. Jadi kalau ada para pakar sekalipun yang mengatakan pemilihan secara langsung terutama untuk Pemilukada adalah demokrasi modern, itu tidak bijak dan analisisnya sangat dangkal dan hanya untuk kepentingan sesaat saja demi status dan memanfaatkan peluang kekinian yang serba pragmatis. Saya dari dulu sejak reformasi tidak setuju untuk pemilihan kepala Darah dilakukan secara langsung yang berakibat kebablasan dan merugikan rakyat sendiri, karena ongkosnya sangat mahal.
Sifat hukum adat yang kontan, ini luar biasa manfaatnya jika terjadi peraliahan sesuatu kedudukan di dalam masyarakat maka akan dilaksanakan secara langsung, kontan dan tidak ada emebel-embel yang tersisa. Begitu juga penerapan sanksinya tidak akan berlarut-larut membuat kita gergetan meliahtnya seperti yang saya tulis minggu yang lalu “hukum gergetan” yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Siapa saja yang terkena sanksi adat langsung dirapatkan secara adat dan diberikan hukumuan yang adil berlaku bagi warga komunya. Pembelaan tetap ada tapi tidak memaksakan kehendak yang berlebihan. Misalnya ada masyarakat yang berbuat salah, masyarakat bereaksi dan penghulu adat segera bertindak persoalan diselesaikan dengan segera waktu itu juga, jadi penerapan hukum adat jarang terjadi polemic yang berkepanjangan, jadi keseimbangan ditengah masyarakat tetap terjaga.
Sifat Kongkrit, intinya pelambangan dalam hukum adat itu jelas tidak hanya sekedar symbol-simbol. Jika logo keadilan dalam hukum sekarang ini dibuat dalam bentuk mizan (timbangan) maka penerapannya seharusnya pasti adil tidak berat sebelah demikian juga ada Thymes berupa lambang seorang ratu tertutup mata dan memegang timbangan disebelah kiri dan pedang disebelah kanan jelas bahwa penegakan hukum tidak memandang siapa-siapa dan ditegakkan dengan keberanian yang sesungguhnya. Tapi lihatlah paraktik penegakan hukum sekarang ini membuat orang terperangah, kuyu dan lemas jika berhadapan dengan persoalan hukum antara percaya dan ketar-ketir.
Kalau sifat komunal tidak perlu dijelaskan lagi karena hukum adat melekat dengan masyarakatnya, ini sudah kodrati Adam saja tidak bisa tenang kalau tidak didampingi oleh Hawa, dan hukum apa saja akan bermakna jika ada interaksi positif diantara individu-individu.
Uraian panjang seperti ini tidak mungkin saya jelaskan dengan mahasiswa didepan kelas, waktunya sangat terbatas oleh karena itu melalui tulisan ini mungkin bisa menambah pencerahan bagi mahasiswa saya dan bagi kita semua yang peduli dengan kekayaan peradapan bangsa besar Indonesia. Tapi sebenarnya bukan ini yang saya mau jelaskan, berkaitan dengan pertanyaan mahasiswa saya di kelas, ada kearifan lokal yang dimiliki oleh hukum adat dan sudah diabaikan oleh orang-orang yang mengaku dirinya modern dan mungkin sudah mendapat gelar fakar hukum dan selalu mengatakan bahwa hukum tertulis itulah hukum modern, saya tidak menyalahkan mungkin literaturnya buku-buku Hans Kelsen dan Hans Nawiasky dan pengikutnya yang didasari pada paradigma hukum tertulis “yang tidak tertulis bukan hukum”.
Hukum Adat memang tidak tertulis, tapi melekat dalam hati sanubari masyarakat, dengan penuh kesadaran mereka melaksanakan hal tersebut dengan tulus tidak ada paksaan dan saling memaklumi apa adanya.
Hukum adat dan kearipan lokal sebenarnya multi demensi menyentuh relung-relung kehidupan manusia dalam hidup bermasyarakat, dekat dengan alam tunduk dengan perintah yang dilangit sehingga masyarakatnya menjadi tenang teduh dan syahdu dalam kehidupan komunal. Masyarakat adat dalam memanfaatkan alam untuk kebutuhan hidupnya selalu menjaga prinsip-prinsip keseimbangan olh karena itu terjadinya kerusakan alam jelas bukan ulah dari masyarakat adat, misalnya terjadinya penggundulan hutan yang diklaim sebagian orang akibat dari perambah hutan dan peladang berpindah-pindah perlu diluruskan ulang, bukankah lebih dahsyat apa yang dikerjakan oleh pemegang-pemegang HPH yang dengan rakusnya mengeksploitasi hutan dengan konsep tebang pilih artinya menebang pohon yang dipilih untuk dijadikan bahan komoditi dan bernilai ekspor tanpa mememperhatikan keseimbangan dan kelestarian yang sesungguhnya.
Perkebunan besar telah menjarah seluruh hutan-hutan dengan luar biasa ganasnya, tanpa sisa membabat hutan-hutan danmenggantinya dngan tanaman komuditi ekspor seperti sawit yang rakus menghisap air tanah. Namanya perkebenunan besar maka luas hutan yang diambil tidak tanggung-tanggung ribuan hektar dicaplok untuk satu badan hukum perkebunan besar, bagaimana kalau sepuluh, seratus, seribu perkebunan besar di satu pulau nusantara dipastikan bahwa seluruh lahan yang seharusnya disisahkan untuk masyarakat adat yang berprofesi sebagai petani tidak akan mendapat bagian lagi. Ironis dari dampak perkebunan-perkebunan besar di Sumatera khususnya Bengkulu, rakyat justru menonton para konglomerat panen sawit di dipelataran rumahnya, mungkin hanya bisa menjadi buruh harian di tanah pekarangannya sendiri, sebagai buruh dodos tandan sawit atau ibu-ibu muda hanya sebagai buruh harian lepas dengan gaji jauh dari nilai standar kehidupan kelas orang miskin. Pristiw seperti ini bukan hanya saja di Bengkulu, di Lampung, di Sumatera Selatan juga demikian.
Peristiwa dilampung pada pertengahan tahun 80an seperti diklaim sebagai pengacau keamanan Negara yang diplopori oleh “Warman” dan sebagainya dianggap sebai suatu gerakan anti NKRI dan pengacau keamanan, tetapi berbagai penelitian mengatakan bahwa terjadinye peristiwa tersebut disebabkan oleh tindakan sewenang-wenang dari rezim pada waktu itu dengan gagahnya mengusir para petani kopi di daerah Lampung yang suda bertahun-tahun menggarap kebun kopinya yang satu-satunya sumber kehidupan, mereka diusir dengan dalih merusak hutan, dan tindakan aparat sangat berlebihan dan mungkin sudah diluar batas-batas Negara yang beradap.
Terjadinya problem sosial ekonomi masyarakat seperti itu, bukan semata-mata karena tuntutan zaman dan perputaran globalisasi dunia, tetapi lebih disebabkan kebijakan pertanahan tidak memihak kepada masyarakat adat setempat yang dianggap tidak ada dan jika ada hanya dipandang sebagai suatu yang lumrah dalam dunia persaingan ekonomi bebas, yang lemah tertindas yang kuat Berjaya dan keluar sebagai pemenang. Kalau ini dibiarkan maka jelas bertentangan dengan hak-hak konstitusi dan prinsip dasar kebersamaan, kesejahteraan bersama dan usaha-usaha ekonomi kerakyatan yang diamanatkan dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Bersambung….!
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Komentar
Murjani Zuhrie
Murjani Zuhrie Luar biasa ulasanya kanda...sepakat... Hukum kita mmg hrs bersumber dr kearifan2, siatem nilai yg hidup di negri sendiri... Living law...
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas ·
1
· 26 November pukul 4:51
Hapus
Abu Nawas
Abu Nawas Panjang lebar penjelasan nya. Aku sangat tertarik membaca nya. Rasanya membahas ttg hukum adat ini bila di gali cukup baik. Mengingat hal ini rasanya pengen berdiskusi panjang dg mamang yg menggeluti hal ini. Lanjutkan mang aku rindu tulisan mu...sayang ndak betemu bada jauh
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas ·
1
· 26 November pukul 6:34
Hapus
Yulian Ansori
Yulian Ansori Mantap pak...👍👍
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas ·
1
· 26 November pukul 6:57
Hapus
Milyan Sufni
Milyan Sufni Mantap hidangan sarapan pagi ini pak dosen apa lagi sambil ngopi......
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas ·
1
· 26 November pukul 7:21
Hapus
Nikie Ràhmà Putri
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas ·
1
· 26 November pukul 9:20
Hapus
Feri Sapran Edi
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas ·
1
· 26 November pukul 10:36
Hapus
Anwar Hamid
Anwar Hamid Saya se7 diskusikan peran hk adat saat ini.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas ·
1
· 26 November pukul 13:16
Hapus
Rishnaldi 'badu'
Rishnaldi 'badu' Tengkyu....ga ada yg motong kalu nulis....jd melebar...
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas ·
1
· 26 November pukul 17:19
Hapus
Edi Riyanto
Edi Riyanto Hukum adat sangat ampuh di Indonesia Hanya saja tingkat kesadaran untuk mengimplementasikanny

Komentar

  1. Trima kasih pak atas bela sungkawanya saya afifi bachtiar anak bpk. Bachtiar hosen ulasan hukum adatnya cukup bagus. Tapi sayang sy bersebelahan ilmu dgn bpk. Sisiplin ilmu sy ekonomi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU