Langsung ke konten utama
·
Renungan malam ini:
“Hukum Gergetan”
Saya dapat istilah ini dari Bang Karni Ilyas ketika acara ILC yang topiknya “Setya Novanto Bertahan”, bagi saya menarik itu dikaji bagi pemerhati hukum di negeri ini, dan tulisan ini hanya berkaitan dengan Istilah “hukum gergetan” saja, kalau urusan hukum pak Setya Novanto biarlah orang-orang yang pintar untuk menganalisisnya, maklum banyak sisi lain yang ikut terkait dan jelas bikin kita runyam juga, bahkan bikin kening berkerut-kerut. karena mungkin KPK sudah "Gergetan" atau DPR yang "gergetan" dengan KPK entahlah kita tunggu saja endingnya.
Hukum gergetan di dapat oleh “Datuk” (panggilan Bang Karni oleh Effendi Ghazali pakar komunikasi UI, maklum sama-sama orang awak, pen). Ketika Soedomo masih menjabat Pangkopkamtib melakukan sidak di Kota Medan, dan didapitinya ada aparat yang berlaku curang, pak Soedomo langsung menghukum orang tersebut Push Up, wartawan Tanya apa dasar hukuman push up, Soedomo bilang dengan santainya itu “hukum gergetan”.
Gergetan dalam istilah umum adalah geram; kesal dan jengkel (Artikata.com), wah istilah ini sangat aneh kalau ditambah dengan hukum, maka bisa bermakan: hukum geram, hukum kesal, hukum jengkel, nah gawat kalu ada hukum yang bisa diterapkan karena kesal, karena jengkel, karena geram, bisa juga ditambah karena benci, karena iri, karena takut dan lain-lain sebab gergetan adal sifat orang dan sifat orang tersebut tentu berbeda-beda, tergantung dari kecenderungan kepribadian seseorang. Menurut pakar physicologi (Enneagram), bisa dikelompokan pada 9 kepribadian manusia 1. Reformer / Perfeksionis, 2. Giver / Helper, 3. Achiever/ Motivator/ Performer, 4. Romantic / Artist/ Individualist, 5. Observer / Thinker / Investigator, 6. Loyalist / Pessimist, 7. Generalist / Optimist / Adventure, 8. Generalist / Optimist / Adventure, 9. Challenger/ Leader / Boss/ Protector/ Intimidator.
Penjelasannya panjang dari 9 kriteria tersebut, tapi dapat dieja dan dimaknai sendiri sesuai pengertian Inggrisnya, itulah yang menjadi persoalan kalau hukum bisa ditempel oleh sifat-sifat manusia, padahal dari pelajaran pertama ketika belajar hukum selalu disebutkan bahwa hukum harus terlepas dari keinginan dan sifat manusia yang memang aneh-aneh.
Sekarang ini kayaknya hukum sudah dilekati dengan sifat-sifat manusia itu, pengacara walaupun secara logika rasanya tidak wajarla membela klienya dengan mati-matian padahal sudah terang benderang bersalah menurut keadilan masyarakat, sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Andi Hamzah pengacara walaupun hanya bermodal bambu runcing tetap nekat ingin melawan tank, dan pembelaan hukum tidak boleh bergantung kepada seberapa ia dibayar, seharusnya pengacara tetap pada koredur untuk membela hukum acara supaya ditegakan dengan benar.
Demikian juga penegak hukum yang lain, polisi dan jaksa dalam menegakan hukum seharusnya tidak dilekati oleh sifat tebang pilih, kalau kata Razman Arief Nasution sang Pengacara yang berbadan tambun dan merangkap Ustadz (ini penilaian pribadi penulis) tersebut Pemerintah tebang pilih dalam penegakan hukum, juga menurut Kepala Bidang Penelitian dan Kajian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Muhammad Isnur mengatakan, penyelesaian berbagai kasus hukum di Indonesia masih jauh di bawah harapan. Banyak kasus hukum yang belum selesai terutama menyangkut warga yang tidak memiliki 'jabatan' atau bukan siapa-siapa.
Apalagi hakim sebagai benteng terakhir penegakan hukum, jelas tidak boleh menegakan hukum karena “gergetan”, tetapi didasarkan pada prisip keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa, waw…tuhan diikutkan oleh hakim dalam memutus suatu perkara hukum. Tetapi juga menjadi pertanyaan karena ada pernyataan bahwa mafia peradilan itu ada. Sebagaimana dikatakan oleh Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Sutrisno menekankan kepada semua anggotanya agar terus memerangi segala bentuk praktek mafia peradilan sehingga tercipta penegakan hukum yang transparan, bersih dan lugas. Ini sudah ditegaskan juga oleh Jimly bahwa mafia hukum itu memang ada silakan baca bukunya Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, beliau juga mengakui itu. Faktanya memang ada ada beberapa oknum hakim OTT seperti di Bengkulu pernah terjadi.
Jadi kalau begitu hukum tidak boleh ditegakan berdasarkan sifat dan kepribadian manusia seperti “Gergetan” itu. seharusnya hukum ditegakan berdasarkan prinsif-prinsif yang ada dalam hukum itu sendiri, dengan tolak ukur kinerja penegakannya, kalaulah itu pemerintah yang bertanggungjawab utama dalam penegakan hukum, maka prinsif good governance menjadi takarannya. Bersambung

Komentar
Din Malhani
Din Malhani Amu proses Hukum dibawe ke perpaduan Gergatan nggak Kekakhatan, makmane kire kire, ding.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas ·
1
· 16 November pukul 2:08
Hapus
Risvan Anwar
Risvan Anwar Betul sekali Prof... Sepakat..
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas ·
1
· 16 November pukul 4:22
Hapus
Agung Gatam II
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas ·
1
· 16 November pukul 5:11
Hapus
Agung Gatam II
Agung Gatam II Jadi gergetan jugo dibueknyo he he he
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas ·
1
· 16 November pukul 5:11
Hapus
Rius Riuslan
Rius Riuslan Bravo prof heheheh
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas ·
1
· 16 November pukul 5:14
Hapus
Ridwan Marigo
Ridwan Marigo Itulah hukum tidak pernah pasti ,karena banyak pasal hehehe.
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas ·
2
· 16 November pukul 6:30
Hapus
Rose Triana
Rose Triana Bahaya itu pak klw ada hukum "gergetan" karna hukum tersebut tidak ada dasar hukum nya hanya berdasarkan emosi sesaat yg memutuskan suatu perkara...!!!
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas ·
1
· 16 November pukul 8:08
Hapus
Wawa
Wawa Iko ado hukum baru...namonyo hukum gergaji...gergaji bae setnov..slesaiii urusan..
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
· Balas · 16 November pukul 16:46
Hapus

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU