“AMBANG BATAS, ITU PERLU”


“AMBANG BATAS, ITU PERLU”
Renungan untuk RUU Pemilu 2019.
Ternyata makna “ambang batas” luas sekali semuanya ada ambang batsnya, dalam ilmu perkiraan cuaca (klimatologi) ada istilah ambang batas, misalnya ambang batas cuaca ekstrim, ini sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, lebih-lebih dalam dunia penerbangan, ambang batas jarak pandang untuk pilot 800 m, kalau kurang dari itu bisa bermasalah. Demikian juga dalam dunia kesehatan juga banyak istilah ambang batas salah satunya adalah ambang batas kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas fisik, jika berolah raga terlalu keras, bisa-bisa melampaui ambang batas kemampuan tubuh manusia. Pokoknya kalau ambang batas dilewati maka aka ada resiko, bisa berbahaya bisa hanya sekedar nyeri-nyeri saja. Kalau sekedar nyeri, kelelahan gampang lakukan pendinginan alias istirahat.
Ambang batas yang menarik untuk dikaji kali ini berkaitan dengan istilah dalam bahasa Inggris “threshold” dan dilekati dengan kata pendahulunya berupa “parliamentary threshold” artinya adalah adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, istilah ini, mulai dikenal di Indonesia pada tahun 2009, yakni setelah Berdasarkan Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD (selanjutnya kit abaca saja UU Pemilu). Ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional dan hanya diterapkan dalam penentuan perolehan kursi DPR dan tidak berlaku untuk DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota. Sesudah itu UU No. 10 tahun 2008 telah beberapa diantarany ada UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD, juga mengatur parliamentary threshold, sebesar 3, 50% jadi ada kenaikan 1 % dari UU Pemilu sebelumnya dan UU Pemilu ini diperlakukan pada pemilu 2014. Ada 10 Partai Politik yang mempunyai kursi di DPR memenuhi ambang batas tersebut seperti: Nasdem, PKB, PKS, PDI-P, Golkar, Gerendra, Demokrat, PAN, PPP dan Hanura sedangkan PBB dan PKPI tidak memenuhi syarat ambang batas, sebagaimana ditetapkan oleh KPU Pusat No. 412/Kpts/KPU/Tahun 2014 tanggal 9 Mei 2014, resikonya jika tidak memenuhi syarat tersebut, maka tidak bisa mencalokan seseorang untuk menjadi Presiden, tapi jangan berkecil hati dulu, ada rujukannya utamanya UUD 1945, Pasal 6 pada initinya memberikan kesempatan kepada semua Parpol untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, caranya kalau kurang bergabung dengan Parpol lain dan ini syah dan konstitusional, istilahnya “stembus accourd”.
Memang banyak pakar yang beragumentasi tidak setuju dengan ambang batas, dan berani mengatakan bahwa ambang batas adalah inkonstitusional seperti pendapat Margarito Kemis dan ia memang pakar Hukum Tatat Negara yang sering diundang diskusi, namanya sudah terkenal, ada juga Pakar Politik yang sekarang jadi Ketua Pansus RUU Pemilu 2019 Bapak Lukman Edi dan tokoh-tokoh Parpol lainnya, Jika pakar hukum yang bicara tentunya paham betul makna hakiki dari UUD 1945, renungannya sudah mendalam dan penuh makna, dan itu murni untuk kepentingan bangsa. Bahwa semua orang, badan ataupun kelompok dijamin hak-haknya sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang. Jadi tidak usah khawatir jika sebuah Parpol tidak memenuhi syarat ambang batas. Saya bukan nyeleneh dan berlawanan arus dengan para pakar ataupun masyarakat yang tidak setuju dengan ambang batas, termasuk para praktisi Parlemen saat ini banyak yang tidak setuju adanya ambang batas. Sekali lagi saya sangat mendukung adanya ambang batas tersebut, banyak positifnya dalam mengelola dan mengimplementasikan prinsip-prinsp NKRI yang telah memilih sistem Pemerintahan Prsidensial, apapun namanya termasuk ada yang mengatakan “quasi”.
Alasan yang dikemukakan oleh para pakar bahwa pasca keluarnya putusan MK tentang pelaksanaan Pemilu serentak, yang tidak perlu lagi ada ambang batas yak arena dilakukan Pemilu Presiden dan Parlemen tersebut dan tidak relevan hasil Pemilu 2014 dijadikan rujukan untuk Pemilu 2019. Bagi saya itu relevan Pemilu 2014 konstitusional dan sudah ada hasilnya, jadi bisa digunakan sebagai rujukan. Jika pada sat ini sedang digodok UU Pemilu untuk Tahun 2019 dan yang menjadi krusial masalah ambang batas, justru energy politik bangsa ini habis berkutat masalah “trial and Error”. Peroalan pembahasan UU Pemilu yang akan menjadi hukum pemilu 2019, dipastikan menjadi alot, karena berkaitan langsung dengan kepentingan yang membuatnya.
Sebagai orang hukum sudah diajarkan bahwa sebenarnya hukum itu produk politik, Pakar sosial dan Politik sekelas, Daniel S. Lev berargumentasi tentang itu, katanya: “yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya (Daniel S. Lev, 1990 : xii). Tokoh hukum Indonesia sekelas Bagir Manan juga begitu, yang paling fokus kajiannya Prof. Mahfud Md. Dalam disertasi beliau yang menjadi rujukan utama kalau kita belajar politik hukum, juga pakar hukum yang lain mengamininya, saya juga nurut. Bahkan Prsiden sudah meminta kagar pembahasan RUU Pemilu untuk tahun 2019 tidak berlarut-larut dan bisa selesai paling lambat April 2017. Jika terlamabt resikonya mahal, karena banyak regulasi yang harus dibuat sesuadah UU tersebut.
Semangat ambang batas bukan sekedar unjuk kekuatan dari Parpol, banyak hal yang dapat dipetik hikmahnya, dari Pembahasan UU Pemilu 2008, bisa saja dari segi ekonomi penghematan anggaran KPU dan penyelenggara Pemilu, walaupun banyak yang tidak setuju alasanya nilai “demokrasi” tidak boleh diukur dengan uang…hahahah…apa betul pak demikian, rakyat kenyang dengan demokrasi…? Itu pertanyaan bodohnya saja…!, bisa juga ongkos sosial yang terlalu banyak warna-warninya dan itu dipastikan banyak gesekanya atau yang lebih relevan adanya ambang batas bagi Parpol akan menentukan dan mengajukan bakal calon Presiden dan wakil Presiden orang yang benar-benar sudah ditokohkan di masyarakt Indonesia.
Sekali lagi dalam sistem pemerintahan yang presidensial dengan sistem multipartai bisa bermasalah, karena kombinasi sistem multipartai dengan presidensial adalah bentuk yang tidak sesuai, padahal dalam konstitusi jelas dianut sistem presidensial, dampak negatifnya itu terasa dalam pelaksanaan setiap regulasi dan/atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden tidak akan mulus perjalannya apabila partai-partai politik yang ada di dalam lembaga perwakalian berada dalam fragmentasi kepentingan yang terlalu bervariasi. Kebijakan pemerintah bisa diinterpelasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Hak angket dan ancaman penarikan dukungan, dan fakta di Republik ini justru setelah selesai Pemilu yang dulunya tidak mendukung akhirnya royo-royo bergabung dengan Partai yang presidenya menang dalam Pemilu, jadi menurut saya seharusnya bergabung dari awal saja biar jelas istikomahnya. Lagipula Parpol seharusnya tidak mikir masalah Pemilu dan Kekuasaan saja, walaupun tidak menjadi partai berkuasa seharusnya Parpol tetap menjadi kekuatan bangsa dalam mencapai cita-cita Negara termasuk bertanggungjawab dalam memberikan pendidikan politik kepada rakyat yang sekarang ini sebenarnya masyarakat Indonesia mayoritas belum paham benar hakekat dari Parpol itu sendiri. Saya setuju, jika Parpol tersebut harus mendapat dana yang pasti melalui APBN dalam melaksanakan programnya yang professional dan acuntable, wacana ini pernah dilontarkan oleh Mendagri Tjahyo Kumulo bahwa Parpol akan diberi dana Negara yang signifikan, kalau partainya banyak…bagaimana…?
Persoalanya sebenarnya bukan pada ambang batas, terjadinya hiruk pikuk politi di negeri ini menurut saya para elit politik lebih banyak menekankan pada kepentingan sesaat dan bukan pada kepentingan bangsa yang sesungguhnya. Kekhawatiran yang dilontarkan oleh Haidar Gumay tentang hiruk pikuk amabang batas saat ini akan terjadi proses tawar menawar, menurut saja biasa saja dalam dunia politik, hari ini lawan besok menjadi kawan dan sebaliknya dan itu lumrah, yang tidak wajar justru para politikus yang hanya berwatak politik belum sampai renungannya pada livel negarawan.
Walahualam bissawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU