MENGAKTUALISASIKAN KEARIFAN LOKAL SUKU REJANG BENGKULU DALAM PERATURAN DAERAH (PERDA)



MENGAKTUALISASIKAN KEARIFAN LOKAL SUKU REJANG
BENGKULU DALAM PERATURAN DAERAH (PERDA)

Oleh[1]:
3. Etry Mike (etry.mike@iainbengkulu.ac.id)

Abstrak

Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter kuat bersumber dari nilai-nilai yang digali dari budaya masyarakatnya. Kearifan lokal merupakan modal pembentukan karakter luhur. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar. Melaui Kearifan Loal kita dapat kembali pada basis nilai budaya daerah sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa dan sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya lain. Aktualisasi Kearifan Lokal dalam Peraturan Daerah (Perda) merupakan bentuk penyerapan nilai-nilai kebijakan yang ada di masyarakat yang diserap sebagai bagian dari materi muatan Perda. Kearifan Lokal dalam konteks penulisan ini merupakan kebijakan atau kecerdasan atau kepandaian yang dimiliki oleh masyarakat Suku Rejang Bengkulu  dalam upaya bertindak mengatasi kesutiltan atau permasalahan diwilahnya sehingga nilai-nilai adat dapat diaktualisasikan dalam bentuk Peraturan Daerah.Sepanjang tidak bertentangan dengan Perundang-undangan yang berlaku.

Keyword : Kearifan Lokal, Aktualisasi, Peraturan Daerah, Suku Rejang

A.     Pendahuluan
Sejak berlakunya uniformalitas sistem pemerintahan didaerah dan desa, berangsur-angsur terkikisnya kearifan lokal diseluruh Indonesia, hal ini ditandai dengan keluarnya beberapa peraturan perundang-undangan yang bersifat sentralistis, seperti UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Kondisi ini berlangsung cukup lama, sepanjang pemerintahan Orde Baru. Namun di berbagai daerah kearifan lokal tersebut masih bertahan dan berlaku serta ditaati oleh masyarakat sekitar, walaupun ruang lingkupnya hanya bersifat kemasyarakatan. Hampir semua wilayah di Provinsi Bengkulu kearifan lokal tersebut tetap dipertahankan, khususnya pada Suku Rejang yang baru menetpakan Perda No. No 5 Tahun 2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang di Kabupaten Rejang Lebong, Perda ini terdiri dari XI Bab dan 25 Pasal yang disyahkan pada tanggal 15 September 2018.
Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatra selain suku Bangsa Melayu, argumen ini dikuatkan bahwa Suku Rejang ini telah memiliki tulisan dan bahasa sendiri, ada perdebatan-perdebatan panjang mengenai asal-usul Suku Rejang, selain sejarah turun temurun beberapa tulisan tentang rejang ini adalah tulisan John Marsden (Residen Inggris di Lais, tahun 1775-1779), dalam laporannya dia meceritakan tentang adanya empat petulai Rejang yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (Selupu) dan Toobye (Tubai) (W. Marsden, MDCCLXXXIII: 178). System Petulai dalam sejarah Suku Bangsa Rejang dan warga komunitasnya merupakan himpunan manusia (indigenous community) yang tunduk pada kesatuan Hukum yang dijalankan oleh penguasa yang timbul sendiri dari Masyarakat Hukum Adat, kelembagaan petulai adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari system unilateral (kebiasaanya disusurgulurkan kepada satu pihak saja) dengan system garis keturunannya yang partrinial (dari pihak laki-laki) dan cara perkawinannya yang eksogami, sekalipun mereka berada di mana-mana (Abdullah Sidik, 1980: 40).  Dari 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu sampai saat ini sudah ada 6 Perda Adat.
Beberapa kearifan lokal di Bengkulu yang mempunyai nilai-nulai strategis dalam menjaga ketertiban, keamanan ditengah masyarakat tetap dipelihara dan dijaga oleh ketua-ketua adat masing-masing, dan masyarakat secara sukarela mentaati ketentuan tersebut, tidak pernah terjadi adanya penolakan-penolakan terhadap keputusan adat yang telah ditetapkan.
Memang sejauh ini para penelitian terhadap kearifan lokal cenderung menganggap kearifan lokal tersebut hanyalah sebagai budaya nenek moyang dan selalu dikaitkan dengan religi, biasanya penelitian kearifan lokal dikemukan dalam tiga asfek yakni: (1) Kearifan lokal sebagai budaya atau hasil akal budi manusia (Ridwan 2007),
(2) seperangkat pengetahuan yang diparaktikan dalam kehidupan sehari-hari yang telah diwariskan dari nenek moyang dahulu (Ahimsa-Putra, 2008:12), (3) Kearifan lokal dianggap sebagi pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Koentjaraningrat: 1985).
Tujuan tulisan ini diperuntukan sebagai upaya masyarakat lokal mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat bahkan sampai pada tataran kehidupan berbangsa dan bernegara serta diakui secara pormal oleh pemerintah. Oleh karena itu dalam tulisan ini dapat diajukan beberapa pertanyaan: (1) bagaimana bentuk kearifan lokal yang masih berlaku ditengah masyarakat suku Rejang Bengkulu (2) Bagaimana efektifitas keberlakuaan karifan lokal diformalkan dalam bentuk produk hukum.
Tulisan ini juga berangkat dari asumsi bahwa kearifan lokal dapat dibentuk dalam produk hukum berupa Peraturan Daerah, sepanjang tidak bertentantangan dengan asas-asas hukum yang berlaku di Indonesia, serta diasumsikan juga bahwa bangsa Indonesia membutuhkan asas-asas hukum yang bersumber dari kearifan lokal masyarakat dan dapat diberlakukan saat ini. Khusus untuk wilayah Bengkulu penulis berasumsi bahwa kearifan lokal yang tersebar dari berbagai daerah dari Kabupaten Kaur sampai dengan Kabupaten Mukomuko mempunyai kearifan lokalnya sangat dibutuhkan untuk membangun Bengkulu lebih maju, setara dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.

B.     Pembahasan
B.1. Bentuk-bentuk Kearifan lokal Suku Rejang di Provinsi Bengkulu          
            Di Bengkulu secara garis besar dapat dibagi pada beberapa wilayah yang mempunyai kearifan lokal berdasarkan suku atau kelompok masyarakat yang mendiami wilayah provinsi Bengkulu, Di Propinsi Bengkulu terdapat cukup banyak suku bangsa yang memiliki ciri-ciri budaya sendiri. Setiap suku bangsa tersebut memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Suku-suku bangsa yang telah hidup secara turun temurun di Propinsi Bengkulu antara lain adalah : suku bangsa Rejang; suku bangsa Serawai, suku bangsa Melayu Bengkulu, suku bangsa Pasemah, suku bangsa Lembak, suku bangsa Muko-Muko, Suku bangsa Enggano, suku bangsa Kaur dan sebagainya (Musyar Danis: 1996, Dihamri: 2016). Oleh karena itu pada tulisan ini hanya akan membahas kearifan lokal pada suku Rejang di Provinsi Bengkulu.

1)      Suku Rejang, Asal usul suku Rejang hingga saat ini masih belum diketahui secara jelas. Kisah-kisah mengenai suku Rejang sampai saat ini hanya didasarkan pada keterangan-keterangan ahli Tembo dan Adat Rejang, suku Rejang. Suku Rejang menempati kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Kepahiang, kabupaten Bengkulu Utara, kabupaten Bengkulu Tengah, dan kabupaten Lebong. Ada beberap kearifan lokal suku rejang yakni: (https://akarfoundation.wordpress.com/2011/11/09/melirik-kearifan-lokal-suku-rejang-jurukalang-dalam-tata-kelola-hutan/)
a.       Undang-Undang Simbur Cahayo, meskipun undang-undang ini dibuat oleh Belanda (van Bossche) dan kemudian dilakukan beberapa perubahan di dalamnya adalah salah satu sumber undang-undang adat yang tertulis yang selalu dijadikan sebagai referency dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di Masyarakat Jurukalang
b.      Taneak Tanai, adalah sebutan untuk hamparan tanah dalam lingkup komunitas adat yang dimiliki secara komunal dan biasanya adalah bagian wilayah kelola warga, ada konsekwensi atas kepemilikan individu di wilayah taneak tanai dimana setiap pihak yang mengelola di kawasan tertentu di dalam taneak tanai wajib untuk menanam tanaman-tamanan keras yang bernilai konservasi dan ekonomi seperti petai, durian dll sebagai tanda wilayah tersebut telah dimiliki oleh seseorang dan keluarga tertentu.
c.       Utan atau Imbo Piadan, ini penyebutan untuk hutan yang dipercayai ada penunggu gaib sehingga ada beberapa prasyarat untuk membuka kawasan ini jarang ada warga yang berani membuka hutan larangan ini, di Jurukang kawasan Bukit Serdang adalah kawasan yang dipercayai mempunyai kekuatan gaib yang memelihara kawasan tersebut
d.      Adat Rian Cao adalah adat tata cara atau istilah local untuk menyebutkan kearifan local, adat tata cara ini berkembangan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan warga komunitasnya
e.      Keduruai adalah salah satu tradisi yang dipercayai sebagai wadah komunikasi antara manusia dengan kekuatan gaib.
f.        Mengeges adalah kebiasaan masyarakat di Jurukalang membersihkan lahan garapannya dengan dibakar, mengeges ini sebenarnya untuk mencegah jangan sampai api tersebut melalap kemana-mana, dalam proses pembakaran lahan biasanya dilakukan secara gotong royong
g.       Ali bilai adalah penyebutan gotong royong dalam menyelesaikan salah satu pekerjaan warga secara bergiliran
h.      Bo atau Silo adalah sejenis tanda larangan atau tanda hendak memiliki hasil hutan yang masih belum menghasilkan, yaitu sebatang bamboo yang ditusukkan ke tanah yang bagian atasnya dipecah dua dan di antara pecahanitu disempitkan sebatang bamboo lain
i.         Sakea tanah garapan yang telah membentuk hutan kembali, biasanya masyarakat di Jurukalang kembali ke Sakea ketika tanah garapannya tidak subur, ini sering disebut dengan gilir balik dan pihak luar yang mengstigmanisasi masyarakat adat sering menyebut ini dengan peladang berpindah
j.        Jamai keadaan tanah yang ditingalkan sesudah menuai atau keadaan tanah yang telah diusahakan dan disengaja ditinggalkan supaya menjadi hutan kembali
k.       Meniken adalah kegiatan ritual atau kenduri untuk pembukaan lahan yang akan dibuka untuk dijadikan lading atau lahan garapan.
l.         Sorongan, adalah penyewaan tanah yang tidak digarap kepada orang lain, dengan sewa hasil dari tanah pertanian tersebut (Mahdi, 2007)

B.2. Problematika Pemberlakuan Karifan Lokal pada Suku Rejang dalam bentuk Peraturan Daerah.
                 Di lingkup masyarakat Rejang telah ada yang membuat Perda yang bersumber pada kearifan lokal, seperti di Kabupaten rejang Lebong, dan dulunya memang Kabupaten Rejang Lebong identik dengan suku rejang namun sekarang setelah adanya pemekaran, Kabupaten Rejang Lebong terbagi menjadi 3 kabupaten yakni Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Kepahyang dan Kabupaten Lebong.
       Kabupaten Rejang Lebong telah membentuk Perda No 5 Tahun 2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang di Kabupaten Rejang Lebong. Perda ini memang baru dibentuk yakni disahkan pada tanggal 14 Agustus 2018, meskipun baru telah gencar disosialisasikan kepada masyarakat bahkan telah dibentuk Tim khusus oleh Bupati Rejang lebong untuk mensosialisasikan perda tersebut sampai kedesa-desa.
Landasan hukum pembentukan Perda adat memang diatur dalam perundang-undangan. Oleh karena itu peluang memberlakukan kembali aturan hukum adat yang materi muatannya adalah kearifan lokal (local wisdom), landasan konstitusionalnya secara implisit disebutkan dalam  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni Pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat diperkuat pula dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah bebeberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 2 ayat (9), ditentukan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disamping itu banyak peraturan perundang-undangan yang terkait tentang pengakuan terhadap pemberlakuan hukum adat antara lain:
1.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun   1960  tentang   Peraturan  Dasar Pokok-Pokok  Agraria  (Lembaran  Negara    Repubik   Indonesia Tahun    1960  Nomor 78,  Tambahan  Lembaran Negara  Republik Indonesia Nomor 2043).
2.    Undang-undang      Nomor   5   Tahun      1990    tentang      Konservasi Sumber   Daya    Alam   Hayati    dan   Ekosistem    (Lembaran   Negara Republik     Indonesia     Tahun       1990      Nomor    49,     Tambahan Lembaran  Negara   Republik  Indonesia  Nomor 3419).
3.    Undang-Undang       Nomor  39   Tahun      1999    tentang      Hak    AsasiManusia    (Lembaran   Negara    Republik   Indonesia   Tahun    1999Nomor    165,   Tambahan    Lembaran   Negara    Republik  IndonesiaNomor 3886).
4.    Undang-Undang    Nomor  41    Tahun      1999    tentang   Kehutanan (lembaran    Negara    Republik     Indonesia    Nomor  167,   Tambahan Lembaran       Negara        Republik       Indonesia       Nomor        3888), sebagaimana    telah    diubah     dengan     Undang-Undang    Nomor    19Tahun    2004   tentang  Penetapan   Peraturan   Pemerintah   PenggantiUndang-Undang    Nomor   1   Tahun    2004   tentang  Perubahan   Atas Undang-Undang    Nomor    41   Tahun      1999    tentang   Kehutanan Menjadi  Undang-Undang   (Lembaran   Negara   Republik  Indonesia Tahun    2004   Nomor 86,  Tambahan   Lembaran  Negara    Republik Indonesia    Nomor 4412)
5.    Undang-Undang    Nomor   32   Tahun    2009    tentang   Perlindungan dan   Pengelolaan   Lingkungan   Hidup   (Lembaran   Negara   Republik Indonesia   Tahun    2009   Nomor 140,   Tambahan   Lembaran  Negara Republik  Indonesia  Nomor 5059).
6.    Undang-Undang    Nomor    12  Tahun    2011   tentang     Pembentukan Peraturan     Perundang-undangan       (Lembaran     Negara   Republik Indonesia  Tahun    2011    Nomor   82,   Tambahan   Lembaran    Negara Republik    Indonesia  Nomor 5234).
7.    Undang-Undang     Nomor  18   Tahun     2013    tentang     Pencegahan dan      Pemberantasan      Perusakan      Hutan       (Lembaran     Negara Republik    Indonesia     Tahun       2013      Nomor      130,     Tambahan Lernbaran  Negara   Republik  Indonesia   Nomor  5432).
8.    Undang-Undang    Nomor 6 Tahun    2014   tentang  Desa   (LembaranNegara    Republik   Indonesia   Tahuri     2014    Nomor  7,   TambahanLembaran  Negara   Repu blik  Indonesia  Nomor   549 5).
9.    Putusan    Mahkamah   Konstitusi   Nomor 35/PUU-X/2012  mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun     1999    tentang     Kehutanan,   dalam    rangka     menjamin adanya     kepastian     hukum       yang      berkeadilan     terhadap masyarakat   hukum    adat   dapat    ditetapkan   melalui   Peraturan Daerah;
10.          Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52  Tahun   2014   tentang    Pedoman  Pengakuan  dan Perlindungan  Masyarakat  Hukum   Adat  menyatakan  bahwa, Bupati  melakukan pengakuan  dan  perlindungan   masyarakat hukum  adat.

Hukum  yang berlaku di suatu negara merupakan  suatu  sistem artinya bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan  yang utuh yang  terdiri dari bagian-bagian  atau  unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya (Mertokusumo, l986:100). Dengan  kata lain bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan   yang terdiri  dari  unsur-unsur  yang mempunyai  interaksi satu  sama lainnya dan bekerja bersama untuk mencapai tujuan.  Keseluruhan   tata hukum nasional yang berlaku di  Indonesia dapat disebut sebagai sistem hukum nasional. Sistem hukum berkembang  sesuai dengan perkembangan hukum. Selain itu  sistem  hukum  mempunyai sifat yang berkesinambungan, kontinyuitas dan  lengkap.
Ketetapan MPRS Nomor II/ MPRS/ l960 dalam lampiran A paragraf 402 disebutkan bahwa: “Asas-pembinaan  hukum  nasional supaya  sesuai  dengan  haluan    negara  dan  berlandasakan hukum adat  yang  tidak  menghambat    perkembangan masyarakat adil dan makmur”.
                 Sebagaimana dijelaskan oleh Hijazi Bupati Rejang Lebong bahwa: nantinya Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong bersama stake holder lainnya akan melakukan inventarisasi aset-aset milik adat untuk dikelola kembali oleh masyarakat adat, dengan begitu hak-hak masyarakat adat dapat dipenuhi”. (http://www.rmolbengkulu.com)
       Jika disimak dari penjelasan Bupati Rejang Lebong tersebut bahwa akan menginventarisasi milik-milik adat sekaligus pengelolaannya akan diserahkan kepada masyarakat adat.
                 Hal-hal yang peril dicermati pada Perda tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 8 yakni:
Masyarakat hukum adat memiliki hak:
a.       Hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam;
b.      Hak atas pembangunan;
c.       Hak atas spiritual dan kebudayaan;
d.      Hak atas lingkungan hidup, dan
e.       Hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat.
Menarik untuk dikaji dalam rangka menakar efektifitas pemeberlakuan Perda tersebut seperti:  Pasal 10 yaitu:
(1)     Hak atas tanah bisa bersifat komunal dan/atau bersifat perseorangan sesuai dengan hukum adat;
(2)     Hak atas tanah yang bersifat komunal tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain;
(3)     Hak atas tanah yang dimiliki secara perseorangan hanya dapat dipindahtangankan sesuai dengan persyaratan dan proses yang ditentukan hukum adat, kecuali terhadap hak perseorangan yang telah dikonversi menjadi salah satu hak atas tanah yang diatur dalam perundang-undangan;
(4)     Pemanfaatan tanah yang bersifat komunal dan tanah perseorangan didalam wilayah adat oleh pihak lain hanya dapat dilakukan melalui mekanisme pengambilan keputusan bersama berdasarkan hukum adat.
Persoalan dalam menerapkan perda ini terletak pada objek tanah yang ada di Kabupaten Rejang Lebong tersebut, sebagaimana diketahui bahwa masyarakat hukum adat yang berlaku di Rejang lebong berdasarkan Pemerintahan Marga.Sebagaimana telah dijelaskan diawal tulisan ini, sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa pemerintahan Marga telah dihapus, padahal yang tersirat dalam Perda yang dimaksud dengan hak-hak komunal adalah hak-hak masyarakat adat berdasarkan sistem pemerintahan marga yang bersumber pada kitab Simbur Cahaya.Seiring dengan kebijakan penghapusan marga, maka kebijakan kehutanan dan perkebunan juga menyelaraskan dengan peraturan yang ada dengan mengesampingkan eksistensi hutan (tanah, Pen) marga (Yamani: 2011).
Munculnya pengaturan sebagaimana terdapat pada Pasal 10 Perda tersebut akan menimbulkan masalah besar dikemudian hari, karena faktanya hak-hak komunal dalam masyarakat hukum adat tersebut tidak ada lagi, tanah-tanah masyarakat hukum adat telah dikuasi oleh pemegang HGU dalam bentuk perkebunan besar yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar atau pihak-pihak perorang yang datang dari wilayah lain sebagai perambah hutan lindung (Mahdi: 2007). Pada dasarnya, malapetaka kerusakan hebat pada kawasan hutan lindung seProvinsi Bengkulu, bermula dari kebijakan penghapusan lembaga pemerintahanmarga, karena sejalan dengan penghapusan marga, mengakibatkan warga komunitasadat daerah Bengkulu yang selama ini merasa memiliki kawasan hutan wilayahnya,berubah sikap menjadi tidak peduli berlangsungnya aktivitas para pendatang dariluar yang melakukan perambahan atas kawasan hutan, meskipun mereka menyasikannya (Yamani, 2011)
Kemudian Pasal 12 yang menyebutkan:
“hak atas spiritual dan kebudayaan sebagaiman dimaksud pada Pasal 8 hurup c meliputi:
a.      Hak menganut dan mempraktekan kepercayaan dan upacara-upacara ritual yang diwarisi oleh leluhurnya;
b.      Hak untuk mengembangakan tradisi, adat istiadat yang meliputi hak untuk mempertahankan, melindungi dan mengemabngkan wujud kebudayaannya dimasa lalu, sekarang dan yang akan datang;
c.       Hak untuk menjaga, mengendalikan, melindungi, mengambangkan dan mengaflikasikan pengetahuan tradisional dan kekayaan intelektual.
Pada Pasal 12 khususnya hurup a yakni: Hak menganut dan mempraktekan kepercayaan dan upacara-upacara ritual yang diwarisi oleh leluhurnya. Ketentuan ini perlu dianalisis lebih lanjut, mengingat masyarakat Rejang Lebong mayoritas beragama Islam, dikhawatirkan akan terjadi gesekan antara sebagain masyarakat yang masih mempraktekan kebiasaan-kebiasaan ritual yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam dengan “masyarakat Islam tertentu” Islam yang adaptif dengan kebudayaan adat istiadat, tradisi sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam (http://www.nu.or.id). Di Kabupaten Rejang Lebong terutama daerah pedalaman memang masih ada kepercayaan-kepercayaan warisan nenek moyang seperti Keduruai yakni salah satu tradisi yang dipercayai sebagai wadah komunikasi antara manusia dengan kekuatan gaib. Kedurai merupakan acara mistis yang dipraktikan pada masyarakat Rejang lebong sebagaiberikut:
Kedurai Agung merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan masyarakat Adat Rejang untuk berkomunikasi dengan para leluhur. Dalam berkomunikasi tersebut, masyarakat akan meminta agar leluhurnya melindungi mereka dari berbagai bencana. Baik bencana alam, penyakit maupun serangan hama dan penyakit terhadap ternak dan tanaman.“dilaksanakan pada hari ke-16 bulan Apit. Bulan Apit, merupakan bulan datangnya berbagai hama dan penyakit yang menyerang manusia dan mahluk lain.Cukup banyak bahan dan alat yang diperlukan. Seperti benang 3 warna, yakni hitam, merah dan putih sepanjang 3 jengkal tangan ditambah 9 kali 3 jari orang tua dan digulung. Jeruk nipis 99 buah, rokok kretek 99 batang. Bunga 3 warna, meliputi cempaka, ros dan melati. Daun sirih masak dan mentah, masing-masing 9 lembar. Beras kunyit 198 butir untuk ditaburkan dan 19 butir untuk sesajen. 3 ruas batang bambu, satu diantaranya diisi air kelapa dan duanya diisi santan. Darah dan hati serta jantung ayam yang berumur 2 bulan. Sebagian dari hati dan jantung itu dimasak. 1 Punjung nasi kunyit serta kue sabai besar 9 buah dan kue sabai kecil 99 buah.Peralatannya adalah 1 buah acak (tempat sesajen diletakkan) yang terbuat dari 1 ruas batang bambu yang dibelah menjadi dua bagian dan setiap bagian dibelah lagi menjadi 9 bagian dan disusun membentuk bujur sangkar. 1 buah sungea (tempat acak) yang terbuat 1 ruas bambu yang dibelah menjadi 4, tetapi tidak sampai lepas, dan masing-masing ujung belahan dilengkungkan ke tanah. Selain itu, 2 buah takia (tempat darah) yang terbuat dari bambu, tutup punjung dan sejumlah alas lainnya yang terbuat dari daun pisang. “Walaupun untuk mempersiapkannya dilakukan secara bersama-sama. Namun, untuk bahan yang dimasak, pemasaknya tidak boleh sembarangan. Pilihannya, pemuda yang belum menikah atau ibu yang sudah tidak mengalami masa haid lagi,” acara dipmpin oleh keturuan juru kuncen, Di samping kirinya duduk 2 orang gadis dan 2 orang bujang serta di hadapannya terletak bahan-bahan yang diperlukan...”  (https://aktaku.wordpress.com).
Selanjutnya dalam Pasal 14 yaitu:
(1) Hak  untuk    menjalankan   hukum    dan   peradilan  adat   sebagaimana  dimaksud dalam  Pasal  8 huruf  e adalah  hak  untuk   menjalankan  hukum   adatnya.
(2) Dalam  hal  terjadi  pelanggaran atas  hukum   adat  dalam  wilayah adat,  baik  yang dilakukan  oleh  masyarakat   hukum    adat   maupun   bukan   masyarakat  hukumadat, diselesaikan melalui  sistem  peradilan adat.
(3)Terhadap   pelanggaran   yang    terjadi    jika    tidak    dapat    diselesaikan   melalui peradilan  adat  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2), dapat   diselesaikan  sesuai dengan  peraturan  perundang-undangan.
Di dalam perda ini tidak diatur kedudukan, fungsi dan tata cara persidangan dalam peradilan adat, berbeda halnya dengan Perda Adat kota Bengkulu No. 29 tahun 2003 tentang Pemberlakuan Adat Kota Bengkulu yang mengatur secara rinci kedudukan, bentuk, susunan dan fungsi Peradilan Adat. Disebutkan dalam Perda bahwa Peradilan Adat berkedudukan pada masing-masing kelurahan dan putusannya bersifat final, hakim-hakimnya adalah para penghulu syara’ sebagai kelengkapan dari lembaga adat tingkat kelurahan.
Peradilan Adat Rejang lebong memang sudah ada sejak sebelum Islam masuk ke Bengkulu, kemudian ada SK Bupati No. 58 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Hukum Adat Rejang dan SK Bupati No. 93 Tahun 2005 tentang Kumpulan Hukum Adat Bagi Masyarakat Adat Dalam Wilayah Kabupaten Rejang Lebong. Muatan substansi dari 2 buah SK ini lebih banyak membahas tentang tata cara peradilan adat di tingkat kampung terkesan unifikasi dan sangat elitis serta sarat dengan muatan politis yang hanya lebih rinci membahas penyelesaian seremonial dan tidak membahas secara holistik dan integralistik tentang penyelesaian sengketa dan persoalan-persoalan yang ada di tingkat kampung (https://amarta.wordpress.com).
Di dalam UU No. 6 tahun 2016 tentang Desa Pasal 103 hurup d dan e menyebutkan:
d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
e.    penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Keputusan Adat dalam peradilan Indonesia telah diakui keberlakuannya dengan yurispudensi Mahkamah Agung sebagiman Putusan MA No. 1644 K/Pid/1988, yang mengesahkan putusan Adat Desa Parauna Kecamatan Unaaha, Kodya Kendari yang ditangani oleh Kepala Adat Tolake. Putusan Mahkamah Agung tersebut telah mebatalkan Putusan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding (https://www.hukumonline.com)
Kemudian perlu juga dicermati ketentuan Bab  VIII tentang Tanggungjawab pemerintah daerah, pada Pasal 22 menyebutkan,  Pemerintah   Daerah    berkewajiban:
a. melakukan  inventarisasi,    identifikasi,   dan   verifikasi  dalam    rangka    pengakuan dan   perlindungan  terhadap  masyarakat  hukum    adat;
b. melakukan     sosialisasi     dan     memberikan     informasi    program    pembangunan kepada    masyarakat   hukum    adat;
c. melakukan   pembinaan    kepada  masyarakat   hukum    adat;
d.menjamin    dan    memastikan     wilayah   adat    dan    hutan     adat    termasuk dalam bagian   Rencana  Tata  Ruang   Wilayah   (RTRW);dan
e. mendorong   semua    pihak    yang    terlibat    dalam    penyelenggaraan     pemerintahan dan   pembangunan    di  daerah,   untuk    memenuhi   dan   menghormati   keberadaan dan   hak-hak   masyarakat   hukum    adat.

Pemberlakuan Perda ini menurut hemat penulis masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa dilaksanakan, sebagaimana ketentuan Pasal 22 hurup a bahwa pemerintah harus melakukan inventarisasi, indentifikasi, dan verifikasi terhadap keberadaan kearifan lokal di Kabupaten Rejang lebong. Bisa saja dalam waktu relative singkat ketiga hal tersebut dapat diselsaikan, namun tetap akan menjadi krusial ketika dihadapkan pada fakta hukum yang berlaku saat ini, misalnya dalam hal pemilihan Kepala Desa, berdasarkan Ketentuan Hukum Adat Rejang Pemilihan Kepala desa (Gende), dilakukan dengan musyawarah akan tetapi setelah memasuki era reformasi dengan keluarnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahah Daerah ditambah dengan UU No. 6 Tahun 2015 tentang Desa, praktik musyawarah tidak dilaksanakan lagi (Kayan, 2015).
Inventarisasi sudah dianggap selesai, karena telah dimuat dalam SK Bupati No. 93 Tahun 2005 tentang Kumpulan Hukum Adat Bagi Masyarakat Adat Dalam Wilayah Kabupaten Rejang Lebong. Kemudian diidentifikasi yakni adalah    proses    penentuan   keberadaan masyarakat  hukum   adat  yang  dilakukan  oleh  Camat  dengan  melibatkan Kepala Desa/Lurah,  masyarakat  hukum   adat  setempat  dan  dapat   dibantu   oleh  pihak lain. Setelah itu baru dilakukan verifikasi yakni proses   penilaian terhadap  hasil  identifikasi keberadaan masyarakat hukum   adat  dengan   mencermati  sejarah   masyarakat  hukum   adat, wilayah   adat,  hukum   adat,   harta   kekayaan  dan/atau    benda-benda  adat,  dan kelembagaan/ sistem  pemerintahan  adat.
Sebagai gambaran dalam proses verikasi inilah yang paling sulit dilaksanakan, karena akan berbenturan dengan kondisi hukum saat ini terutama berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat tentang tanah, dengan penduduk pendatang, karena dalam perda ini jelas disebutkan bahwa masyarakat adat ditentukan juga berdasarkan geonologis atau keturunan asli masyarakat rejang. Misalnya pada wilayah-wilayah yang sekarang ini sudah dimiliki oleh masyarakat suku tertentu melalui program transmigrasi dan lain sebagainya. Oleh karena itu dalam melakukan verifikasi harus benar-benar mengetahui akar sejarah yang ada di Kabupaten Rejang Lebong. Disamping itu seharusnya Perda ini memuat lampiran tntang bebrapa kearifan lokal yang masih berlaku dan ditaati oleh masyarakat sekarang ini.
C.     Kesimpulan
1.         Bentuk-bentuk kearifan lokal Suku Rejang di Provinsi Bengkulu
Suku Rejang menempati kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Kepahiang, kabupaten Bengkulu Utara, kabupaten Bengkulu Tengah, dan kabupaten Lebong.  Ada beberap kearifan lokal suku Rejang yakni: Undang-Undang Simbur Cahayo, Taneak Tanai,Utan atau Imbo Piadan, Adat Rian Cao, Mengeges, Ali bilai, Bo atau Silo, Sakea, Jamai, Meniken, dan Sorongan. Sebagaian besar kearifan lokal tersebut masih ditaati oleh masayarakat Rejang.
2.      Efktifitas Pemberlakuan  Karifan Lokal pada Suku Rejang dalam bentuk Peraturan Daerah.
Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong merupakan bagian terbesar dari suku rejang, telah membentuk  Perda yang bersumber pada kearifan lokal, Kabupaten Rejang Lebong telah membentuk Perda No 5 Tahun 2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang di Kabupaten Rejang Lebong. Kemudian aktualisasi Perda ini yang perlu dicermati terdapat pada beberapa pasal antara lain: Pasal 10 tentang dengan hak-hak komunal adalah hak-hak masyarakat adat berdasarkan sistem pemerintahan marga yang bersumber pada kitab Simbur Cahaya, Pasal 12 tentang Hak menganut dan mempraktekan kepercayaan dan upacara-upacara ritual yang diwarisi oleh leluhurnya dan Pasal 14 tentang fungsi dan tata cara persidangan dalam peradilan adat dan lain-lain.

Daftar Pustaka


Abdullah Sidik, Hukuma Adat Rejang, (Jakarta: Balai Pustaka, 1980).

Sudikno Mertokusumo,  Mengenal hukum (suatu pengantar), Yogyakarta : Liberty 1986.

W. Marsden, The History of Sumatera, London MDCCLXXXIII

Teguh Kayen, Hukum adat di hadapan politik hukum nergara: Studi Sosiologis Hukum Masyarakat Adat Rejang, Jurnal: Jurisprudence , Vol. 5 No. 2 September 2015

Ahimsa Putra, 2008. “Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Keraifan Lokal Tantangan Teoritis danMetodologis”. Makalah disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke-62Fakultas Ilmu Budaya UGM. Yogyakarta.

Ridwan, N. A. (2007) ‘Landasan Keilmuan Kearifan Lokal’, IBDA, Vol. 5, No. 1, Jan-Juni 2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.

Koentjaraningrat. 1985.  Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia

Imam Mahdi, 2007, Pengadaan Tanah Bagi Pengusaha Perkebunan Besar di Bengkulu: Jurnal Ilmiah “Varia” Vol 2 Tahun 2007.

M. Yamani, JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 18 APRIL 2011: 175 – 192



Bovo Wahono dan Slamet Riyadi, 




http://www.nu.or.id/post/read/102507/budaya-dan-tradisi-dalam-islam-nusantara-jadi-infrastruktur-agama



[1] Penulis adalah Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Bengkulu : Makalah disampaikan pada acara international Seminar on Islamic Studies  (ISOIS) dan 10th AIUA Meeting, Grage Hotel Bengkulu, 28 Maret 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU