KONSEP GENDER PADA MASYARAKAT ADAT SUKU SEMENDO KABUPATEN MUARA ENIM (Studi Kasus Pada Adat Tunggu Tubang)



KONSEP GENDER PADA MASYARAKAT ADAT SUKU SEMENDO
KABUPATEN MUARA ENIM
(Studi Kasus Pada Adat Tunggu Tubang)

Oleh
Imam Mahdi[1]
(imam.mahdi@iainbengkulu.ac.id)

Abstark
Persoalan Gender masih relevan untuk didiskusikan karena menyangkut beberapa aspek anatara lain aspek sosial, ekonomi, politi, budaya bahkan religi di kalangan masyarakat Indonesia. Gender adalah suatu kajian yang menarik terutama berkaitan dengan  perbedaan peran, hak, dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan yang ditentukan secara sosial dan buday bahkan sebagain orang memandang sebagaai kodrat manusia.Keberadaaan modernisasi membantu penyamarataan gender dikalangan masyarakat indonesia yang mana tidak selalu berdampak positif, melainkan melahirkan beberapa masalah baru. Suku semendo di kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan  salah satu masyarakat yang mempunyai kearifan lokal sangat unik yakni adanya lmbaga adat Tunggu Tubang yang bisa menjawab persoalan-persolan gender. Adat Tunggu Tubang mempunyai filosofi khusus dalam mengangkat derajat wanita sebagai pemegang hak tradisional yang sampai saat ini masih utuh. Ketinggian derajat wanita tunggu tubang diimplemntasikan dalam bentuk lembaga perkawinan dan harta warisa. Disamping itu masyarakat suku semendo mempunyai lambang-lambang yang khusus untuk memperkuat adat tunggu tubang.


Kata Kunci: Suku Semendo, Tunggu Tubang, Gender

I.     Latar Belakang
Pada masyarakat Suku Semendo kabupaten Muara Enim dalam kearifan lokalnya menganut garis keturunan ibu (materilinial), dimana wanita diletakkan pada posisi terhormat terutama dalam hal kepemilikan harta waris dan kekerabatan, walaupun akhir-akhir ini telah mengalami berbagai perubhan sesuai dengan perkembangan zaman,  sebagaimana telah ditulis diberbagai media dan bahkan ditetliti oleh para ilmuan, mengatakan bahwa: “…This study discusses the local wisdom of TungguTubang culture that is still embraced by the Semende ethnic community in Muara Enim district. This study uses a qualitative descriptive approach with more emphasis on TungguTubang study facing the challenges in the era of globalization and modernization…”[2]. Akan tetapi bahwa adat tunggu tubang tersebut merupakan kearifan lokal yang unik, bahkan jika anak laki-laki yang akan menikahi anak perempuan yang berstatus tunggu tubang harus menyiapkan dana yang sangat banyak, hal ini dikarenakan dalam masyarakat Adat Semendo wanita tunggu tubang diistimewakan. Dengan demikian anak tunggu tubang dalam segala aspek keluarga sangat dominan, melebihi kekuasaan laki-laki.
“Tunggu Tubang terdiri dari dua kata yang berlainan artinya : Tunggu dan Tubang. Tunggu dapat diartikan menanti atau menunggu, sedangkan tubang adalah sepotong bambu yang terletak di bawah tirai di dapur yang dipergunakan untuk menyimpan bahan-bahan makanan sehari-hari seperti terasi, ikan kering, serta yang lain-lainnya, yang dalam pepatah disebutkan tak lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan, begitulah kira-kira artinya sifat yang dimiliki oleh anak tunggu tubang[3].
Laki-laki yang menikah dengan perempuan yang berstatus tunggu tubang, seolah-olah tersandera dengan segala tatacara dan aturan yang berlaku pada adat tunggu tubang tersebut, dalam istilah adat semendo, anak laki-laki yang menikah dengan perempuan tunggu tubang disebut “Masuk Kerumah Jeme”[4]. Kata ini berkonotasi bahwa laki-laki harus beradaptasi sekaligus berfungsi sebagai penanggung jawab utama dalam urusan keluarga istrinya, bahkan anak laki-laki tersebut seoalah-olah seperti “pembantu” khusus karena harus menurutu semua perintah-perintah dari keluarga inti pihak perempuan, dengan demikian berarti persoalan “gender” khusus untuk masyarakat semende yang berstatus tunggu tubang tidak ada masalah.
Dilain pihak suatu keluarga yang mempunyai status adat tunggu tubang, sangat mengharapkan kelahiran anak perempuan untuk meneruskan adat yang sudah berlangsung dari nenek moyang mereka, anak perempuan pertama akan dirawat sedemikian rupa, sehingga ia menjadi wanita yang mampu meneruskan tradisi tersebut, mulai dari kakek, orang tuanya termasuk kerabat dekat calon tunggu tubang tersebut akan menjaga anak calon tunggu tubang dalam segala aspek yang akan mengurangi nilai-nilai dan kehormatan anak yang berstatus tunggu tubang dimaksud.
Berbeda dengan daerah lain, persoalan gender pada saat ini masih menjadi kajian yang menarik, karena peran-peran perempuan dalam berbagai sektor tetap saja terjadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan, hal ini diakaibatkan oleh cara pandang sosiologis bahkan religi terhadap perempuan memang ada perbedaan, hal ini disebabkan karena kodrati perempuan yang memang berbeda dengan laki-laki. Oleh karena itu ruang-ruang tertentu terhadap kajian gender selalu menarik untuk diketengahkan. Walaupun dalam tataran regulasi persoalan gender telah selesai dengan adanya pengakuan kebersamaan laki-laki dan perempuan sebgaimana diatur dalam UUD 1945 dan beberapa undang-undang khusus yang diperuntukan bagi perempuan, termasuk dalam istilah-istilah yang mengangkat derajat kewanitaan, seperti adanya organisasi khusus wanita dan sebagainya.

II.                METODOLOGI

Penelitianini menggunakan metode kualitatif. tujuandari penelitian untuk mengungkap atau menggambarkan keberadaan kearifan lokal yang berterkaitan dengan gender adat-istiadat suku Semendo di Kabupaten Muara Enim Sumatera Slatan, terutama dalam keberadaan adat tunggu tubang. kemudian dianalisis, dan dituangkan dalam sebuah tulisan yang menghasilkan kesimpulan yang dianggap baik. Artikel ini ditulis dengan teknik pengumpulan bahan secara kepustakaan melalui media cetak dan media digital (library research).  Hal  tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan data dalam menulis jurnal, dengan data yang factual, sistematis dan akurat.

III.   ASAL USUL SUKU SEMENDO DAN PENYEBARANNYA

Ada kesulitan untuk menentukan secara pasti asal usul suku semendo (dalam banyak tulisan disebut Semende), hasil penelitian ilmiah berupa disertasi, tesis dan skripsi seperti yang ditulis oleh Iskandar menyebutkan bahwa: “Kata semendo yangdilafalkan dengan “Semende” berasal dari kata “Same” dan “ende” yang diartiakn sesame atau kebersamaan bergotong royong. Etnis atau suku semendo berasal dari Besemah Lebar dan Besemah Besak, tepatnya disekitar Pagar Alam, Sumatera Selatan. Versi yang umum menyatakan bahwa suku semendo merupakan sisa-sisa lascar kesultanan Palembang yang mengungsi ke Pasemah”[5].
Dalam persi lain disebutkan bahwa suku semendo Menurut Kohafah (Ketua Lembaga Adat Marga Semende Darat Laut), bahwa Semende mulai dibuka pada tahun 1650M atau tahun 1072 H oleh puyang yang bernama Syech Nurqadim al-Baharuddin. Dia lebi h dikenal dengan sebutan Puyang Awak. Ditambahkan oleh Kohafah, bahwa Puyang
Awak merupakan keturunan Sunan Gunung Jati melalui silsilah Puteri Sulung Panembahan Ratu Cirebon yang menikah dengan Ratu Agung Mpu Hyang Dade Abang. Beliau mewarisi ilmu kewalian dan kemujahidan Sunan Gunung Jati. Nurqadim dan ketiga adiknya dibesarkan oleh ayah ibunya di Istana Pelang Kedadai, yang terletak di Tanjung Lematang. Pada waktu kecilnya, beliau dididik akhlak al-karimah aqidah dan Islamiyah. Pada masa remajanya, beliau mendapat gemblengan para ulama dari Aceh Darussalam yang sengaja didatangkan ayahnya.
Ketika tiba masanya untuk menikah, ia menyunting seorang gadis dari Muara Siban, sebuah desa di kaki Gunung Dempo. Setelah mufakat dengan mantap, beliau sekeluarga beserta adik-adiknya dan keluarga para sahabatnya membuka tanah di Talang Tumutan Tujuh sebagai wilayah yang direncanakan beliau untuk menjadi pusat daerah Semende.
Lama-kelamaan tersebarlah bahwa di daerah Batang Hari Sembilan telah ada seorang wali Allah yang bernama Syech Nurqadim al-Baharudin, banyaklah para penghulu atau pemuka agama dari berbagai daerah berdatangan memenuhi ajakan Nurqadim untuk bermukim di Talang Tumutan Tujuh. Setelah banyak orang yang berdiam disana, diresmikanlah talang itu oleh Ratu Agung Dade Abang menjadi dusun yannng dinamakan
Para Dipe yang artinya “Para Penghulu Agama”. Peresmian itu terjadi pada tahun 1650 M atau 1072 H. Pada akhirnya, nama Para Dipe ini lebih mudah disebut orang dengan pardipe. Di Pardipe inilah, Syekh Nurqadim al-Baharuddin Puyang Awak bersama para keluarga dan sahabatnya memulai penerapan ajaran Islam, sekaligus penerapan ajaran adat yang mereka namakan semende[6].
Berdasarkan arsip kuno berupa kaghas (tulisan dengan huruf ulu diatas kulit kayu) yang ditemukan di Dusun Penghapau, Semende Darat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang diterjemahkan pada tahun 1974 oleh Drs. Muhammad Nur (ahli purbakala Pusat Jakarta), ada beberapa catatan sejarah. Bahwa pada tahun 1072 Hijriyah atau 1650 Masehi telah ada seorang tokoh ’Ulama yang bernama Syech Nurqodim al-Baharudin yang bergelar Puyang Awak yang mendakwahkan Islam di daerah dataran Gunung Dempo Sumatera Selatan.
Menurut buku ”Jagad Basemah Libagh Semende Panjang”, Terbitan Pustaka Dzumirah, Karya TG.KH. Drs. Thoulun Abdurrauf, dinyatakan bahwa pada abad ke 14 – 17 Masehi, kaum Imperialis dan Kapitalis Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda) telah merompak di lautan dan merampok di daratan yang diistilahkan dalam bahasa melayu, yaitu mengayau. Mereka dengan taktik devide et impera berusaha memecah-belah penduduk di Rumpun Melayu yang berpusat di Pulau Jawa dan Semenanjung Malaka. Maka para waliullah di daerah tersebut dengan dipelopori oleh Syech Nurqodim al-Baharudin pada tahun 1650 M / 1072 H menggelar musyawarah yang berpusat di Perdipe (Sekarang masuk wilayah Kota Pagar Alam, Dataran Gunung Dempo, Sumatera Selatan). Tujuan musyawarah ini antara lain guna menyusun kekuatan bagi persiapan perang bulan sabit merah untuk menumpas ekspansi perang salib di Asia Tenggara[7].
Suku semendo menyebar keberbagai wilayah di Sumater Bagian Selatan (Sumatera selatan, Lampung dan Bengkulu). Suku Semendo atau Suku Semende adalah salah satu suku yang berasal dari Pulau Sumatera. Suku ini memiliki dua subsuku yaitu Semende Darat dan Semende Lembak. Semende Darat bertempat tinggal di Pulau Panggung, Kabupaten Muara Enim. Semende Lembak tinggal di Kecamatan Baturaja. Mereka juga tinggal di Kecamatan Semendo Darat Laut, Semendo Darat Tengah, Semendo Darat Ulu. Dan sebagian lainnya berada di Kota Palembang, Kota Prabumulih, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu[8].
Sedangkan suku semendo yang berada di Provinsi Bengkulu berada di Muara Saung yang tinggal di Semende Lembak dan marga Nasal yang merupakan suku Semende yang berasal dari Semende Darat yang tinggal di Lampung[9]. Suku Semendo pada awal kelahirannya merupakan keturunan dari Puyang Awak yang berasal dari Pardipo Pasemah. Pardipo adalah salah satu rumpun Semendo Darat yang perlahan-lahan menyebar ke daerah-daerah sekitarnya, seperti Semende Lembak (Pulau Beringin), Bayur, Ogan Komering Ulu (OKU) dan Bengkulu Selatan termasuk, Ulu Danau, Muara Sindang dan Marga Ulu Sungai Nasal yang mencakup beberapa Marga, seperti Marga Kinal, Marga Padang Guci, Marga Kedurang, dan Segimin[10].
Ada data lain yang menyebutkan penyebaran suku Semendo dapat dikemukakan sebagai berikut[11]:
1.      Semende Darat (asal mula) di Kabupaten Muara Enim
2.     Semende Lembak di Kabupaten Ogan Komring Ulu
3. Pulau Beringin Bayur
4. Ogan
5. Komering Ulu
6. Balik Bukit Barisan
7. Bengkulu Selatan Muara Sindang
8. Ulu Nasal
9. Marga Kinal
10. Padang Guci
11. Kedurang
12. Seginim
13. Semende Pesisir
14. Semende Abung
15. Marga Kasui (Rebang)
16. Kecamatan Bukit Kemuning
17. Sumber Jaya, Way Tenung
18. Marga Sekampung Talang Padang
19. Air Sepanas
20. Metro Tanjung Karang
21. Kaliandak dan Ketapang (Gunung Palas)
22. Meliputi Sebagian Pegunungan di Sumatera Selatan dan Jambi
23. Kota di Sumatera Selatan, dll
               
Khusus di Kota Palembang menurut Iskandar pada tahun 2002 sudah mencapai 3.149 jiwa dan penduduk kota Palembang pada waktu itu 1.339.315 jiwa.  Jumlah penduduk suku Semendo yang berada di tiga kecamatan menurut data statistik Kabupaten Muara Enim dalam Angka Tahun 2017 berjumlah 41.261 jiwa[12].
Suku Semendo tersebut memang banyak yang merantau keluar daerah,  terutama anak laki-laki, kalau tidak menikah dengan perempuan tunggu tubang, maka ia harus merantau untuk mencari kehidupan di tempat lain istilahnya mencar dan anak laki-laki disebut anak “ambur-amburan” atau istilah adatnya “Semendo Rajo-rajo”[13]

IV.   KONSEP, MAKNA, dan PENGATURAN GENDER
Konsep adalah suatu yang abstrak yang berhubungan dengan suatu peristiwa atau objek dalam suatu fenomena sebagaimana di dalam Kamus Besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa konsep adalah idea tau pengertian yang diabstrakan dalam pristiwa kongkrit. Bisa didefinisikan bahwa konsep adalah suatu objek serta produk subjektif yang berasal dari cara pandang seseorang untuk membuat pengertian terhadap objek-objek atau benda-benda melalui pengalamannya. Maka dalam hal ini gender merupakan suatu objek kajian yang dikaji hubungannya dengan kehidupan masyarakat tertentu.
Konsep berasal dari bahasa latin conceptum, yang artinya sesuatu yang dipahami. Aristoteles dalam bukunya "The classical theory of concepts" menyatakan bahwa konsep merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat pemikiran manusia.[14] Singarimbun dan Effendi, menyatakan bahwa pengertian konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan barbagai fenomena yang sama.” Konsep merupakan suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang dirumuskan. Dalam merumuskan kita harus dapat menjelaskannya sesuai dengan maksud kita memakainya.[15]
Kata “Gender” berasal dari bahasa Inggris, gender, berarti “jenis kelamin”[16]. Dalam Webster’s New World Dictionary, Gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak anatara laki-lakidan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”[17].
Sedangkan Istilah gender dikemukakan para ilmuwan untuk menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan yang bersifat kodrati ciptaan Tuhan dan yang di pengaruhi oleh budaya berlaku secara terus menerus. Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini sering bercampur-baur dengan menampilkan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat bukan kodrati. Dengan adanya istilah gender ini diharapkan adanya pandangan-pandangan khusus terhadap masing-masing peran yang akan diposisikan untuk laki-laki dan perempuan terutama  untuk membangun peradapan yang lebih manusiawi dan cocok untuk lingkungan masyarakat tertentu. Oleh karena itu harus hati memakni sifat-sifat kodrati sebagi manusia ciptaan Tuhan . Hal ini penting untuk memberikan peran, dalam mengelola hak dan tanggungjawab yang melekat pada setiap individu dari berbagai sudut pandang.
Ada beberapa pengertian gender yang dikemukakan oleh para ahli antara lain, sebagaimana dikutip oleh Heren Puspitawati:[18]
1.         Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat.Tanggung jawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurutwaktu serta kondisi setempat”
2.         Gender merujuk pada atribut ekonomi, sosial, politik dan budaya serta kesempatan yang dikaitkan dengan menjadi seorang perempuan dan laki-laki. Definisi sosial tentang bagaimana artinya menjadi perempuan dan laki-laki beragam menurut budaya dan berubah sepanjang jaman).
3.         Gender bukan merupakan property individual namun merupakan interaksi yang sedang berlangsung antar aktor dan struktur dengan variasi yang sangat besar antara kehidupan laki-laki dan perempuan „secara individual, sepanjang siklus hidupnya dan secara struktural dalam sejarah ras dan kelas).
4.         Teori gender merupakan suatu pandangan tentang konstruksi sosial yang sekaligus mengetahui ideologi dan tingkatan analisis material).

Konsep gender menjadi persoalan yang menimbulkan pro dan kontra baik di kalangan masyarakat, akademisi, maupun pemerintahan sejak dahulu dan bahkan sampai sekarang. Pada umumnya sebagian masyarakat merasa terancam dan terusik pada saat mendengar kata gender. Berdasarkan diskusi dengan berbagai kalangan, keengganan masyarakat untuk menerima konsep gender disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Konsep gender berasal dari negara-negara Barat, sehingga sebagian masyarakat menganggap bahhwa gender merupakan propaganda nilai-nilai Barat yang sengaja disebarkan untuk merubah tatanan masyarakat khususnya di Timur.
2.  Konsep gender merupakan gerakan yang membahayakan karena dapat memutarbalikkan ajaran agama dan budaya, karena konsep gender berlawanan dengan kodrati manusia.
3. Konsep gender berasal dari adanya kemarahan dan kefrustrasian kaum perempuan untuk menuntut haknya sehingga menyamai kedudukan laki-laki. Hal ini dikarenakan kaum perempuan merasa dirampas haknya oleh kaum laki-laki. Di Indonesia tidak ada masalah gender karena negara sudah menjamin seluruh warga negara untuk mempunyai hak yang sama sesuai dengan yang tercantum pada UUD 1945.
4. Adanya mind-set yang sangat kaku dan konservatif di sebagian masyarakat, yaitu mind set tentang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan adalahsudah ditakdirkan dan tidak perlu untuk dirubah (misalnya kodrati perempuan adalah mengasuh anak, kodrati laki-laki mencari nafkah). Namun mind-setini sepertinya masih terus berlaku meskipun mengabaikan fakta bahwa semakin banyak perempuan Indonesia menjadi Tenaga Kerja Wanita  (TKW) keluar negeri dan mengambil alih tugas suami sebagai pencari nafkah utama[19].

Dari berbagai definisi dan persolan di atas, jelas bahwa gender mempunyai ruang hak dan tanggungjawab yang sama bagi setiap individu,tidak ada perbedaan jenis kelamin. pandangan Islam terhadap gender memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat-ayat Al-Qur’an yang sekaligus menjadi tujuan umum syari’ah mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q.S an-Nahl [16]: 90) yang artinya: “ sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan dia member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
Disamping itu banyak sekali ayat-ayat al-Quran menjelaskan tentang persamaan laki-laki dan perempuan, dan perlu dipahami memang Islam mengakui juga adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan seperti dikemukakan oleh Nasaruddin Umar: Islam memang mengakui adanya perbedaan (distincion) antara laki-laki dan perempuan, tetapi bukan pembedaan (discrimination). Perbedaan tersebut didasarkan atas kondisi fisik-biologis perempuan yang ditakdirkan berbeda dengan laki-laki, namun perbedaan tersebut tidak dimaksudkan untuk memuliakan yang satu dan merendahkan yang lainnya”[20].
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain dinyatakan:  “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” Selanjutnya dinyatakan bahwa: “... susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” Selanjutnya dinyatakan bahwa: “... susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan pada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemudian Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa:  “Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 27 ayat (2) menentukan: “Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
Pasal 28H, ayat (2), menentukan bahwa: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mendapat persamaan dan keadilan”.
Pasal 28I, menentukan bahwa:
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan perubahan.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia, dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Sejak keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, memuat hak asasi yang harus dilindungi, dimajukan, ditegakkan dan dipenuhi, oleh seluruh masyarakat terutama oleh Pemerintah. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ditentukan bahwa: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Pasal 1 angka 2 menentukan bahwa: “Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia”. Pasal 2, Pasal 3, Pasal 45 menentukan bahwa “Hak wanita dalam undang-undang ini adalah hak asasi manusia”. Pasal 46 sampai dengan Pasal 51 menentukan hak-hak istimewa perempuan.
Di samping UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pemerintah juga telah membentuk beberapa peraturan perundang-undangan berbasis gender antara lain:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 100 tentang Pengupahan yang sama buruh Laki-laki dan Wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak Politik Perempuan (Convention on the Political Rights of Women).
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women).[Disebut Konvensi CEDAW atau CEDAW saja. Dunia mengakui CEDAW dan Rekomendasi Umum (General Recomemndation) Komite CEDAW sebagai The Bill of Rights for Women. Konvensi CEDAW sudah diratifikasi oleh 186 negara anggota PBB, lebih dari 90% penduduk dunia].
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Convenant on Economic, Social and Cultural Rights(Konvenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik)

Dengan demikian pemerintah Indonesia begitu peduli dengan persolan gender tersebut, namu perlu diingat bahwa dalam pemebentukan perundang-undangan berbasis gender, harus dimaknai betul bahwa tujuan pemebentukan perundang-undangan tidak bias atau ambigu, misalnya dalam hal memberikan makna sifat-sifat kodrati manusia, misalnya:
“Gender kadang-kadang dianggap sebagai sesuatu kodrati. Misalnya peran laki-laki sebagai kepala keluarga atau peran perempuan sebagai ibu rumahtangga, yang menempatkan perempuan dalam kerja domestik dan laki-laki dalam kerja publik. Dampak adanya pandangan seperti ini menimbulkan bahkan menumbuhkan asumsi yang bias gender dan/atau diskriminatif, misalnya, bahwa perempuan (terutama di pedesaan) tidak perlu mendapat pendidikan yang tinggi atau bahkan jika perempuan sudah memiliki pendidikan tinggi pun, tetap dinilai lebih baik kalau lebih berkonsentrasi pada kerja yang bersifat domestik, ketimbang memanfaatkan keahlian dari hasil pendidikan tingginya. Di sisi lain, ternyata dalam praktik kehidupan sehari-hari kita menjumpai banyak kepala keluarga yang disandang perempuan berperan dan harus bertanggung jawab atas kebutuhan dan kesejahteraan keluarganya. Misalnya, perempuan yang karena bercerai atau ditinggal mati suaminya, atau perempuan yang tidak menikah tetapi mempunyai banyak anak asuh, baik dari keluarga maupun karena mengasuh anak orang lain. Perempuan yang harus mengambil alih tanggung jawab ekonomi keluarga ketika suaminya, misalnya, terkena PHK atau mengalami musibah sakit atau cacad tetap. Peran dan tanggung jawab ekonomi keluarga bahkan dilakukan perempuan hanya dengan menggunakan kepandaian yang dimilikinya secara alamiah dan dilekatkan sejak kecil sebagai peran perempuan, yaitu kerja-kerja domestik sebagai pekerja rumah tangga. Demikian halnya dengan asumsi bahwa sifat laki-laki lebih rasional sedangkan perempuan lebih emosional, semua itu seringkali pula dianggap sebagai sesuatu yang kodrati. Padahal, kenyataan juga menunjukkan bahwa terdapat banyak laki-laki yang bersifat emosional, sebaliknya ada pula perempuan yang bersifat lebih rasional rasional. Hal ini membuktikan bahwa gender adalah: 1) bukan sesuatu yang kodrati; 2) dapat berubah dan diubah; 3) bersifat tidak permanen; dan 4) bisa dipertukarkan, dan 5) bersifat umum”[21].

V.                ASAS DAN FUNGSI ADAT TUNGGU TUBANG
Orang yang menjadi Tunggu Tubang harus mengamalkan dasar-dasar atau fungsi Tunggu Tubang. Dasar atau fungsi Tunggu Tubang itu adalah sebagai berikut:[22]
1.    Memegang  pusat jale (jala), yang artinya bila dikipaskan batu jale itu bertaburan dan apabila ditarik kembali bersatu. Dengan kata lain, menghimpun semua sanak keluarga, baik yang jauh maupun yang dekat.
2. Memegang kapak, artinya segala pengurusan tidak boleh berbeda-beda antara kedua belah pihak, tidak boleh memihak kepada siapapun baik dari keluarga dari suami ataupun keluarga dari pihak isteri. Yang keduanya itu harus adil, tidak boleh berat sebelah.
3. Harus bersifat balau (tombak), yang artinya kalau dipanggil atau diperintahkan harus segera melaksanakan, yang menurut kebiasaannya, perintah itu datang dari Entue Meraje
.4. Harus bersifat guci yang artinya orang yang menjadi Tunggu Tubang harus tabah dalam menghadapi segala macam persoalan yang menimpa diri mereka.
5.    Memelihara tebat (kolam) yang artinya menggambarkan ketenangan dan ketentraman dalam rumah tangga, tidak membocorkan rahasia rumah tangga. Walaupun ada masalah dalam rumah tangga, harus dijaga jangan sampai bocor, terutama kepada Entue Meraje
Fungsi tunggu Tubang yang utama adalah penerima sekaligus pewaris. Pada sistem kewarisan, Suku Semende dipandang menganut sistem kewarisan mayorat perempuan yang dikenal dengan Adat Tunggu Tubang[23] Meskipun tampak berbeda dengan sistem kewarisan Islam, namun sampai saat ini masyarakat Suku Semende dalam sistem kewarisannya masih menerapkan sistem pembagian Adat Tunggu Tubang yang mana anak perempuan pertama mendapatkan semua harta warisan dari orang tuanya.
Tunggu Tubang juga berarti menunggu barang yang dijadikan keluarga sebagai tempat untuk menyimpan bahan keperluan sehari-hari ini merupakan makna kiasan dari menunggu harta orang tua. Dinisbahkan kepada anak perempuan tertua pada masyarakat Suku Semende yang garis keturunannya dari ibu. Dengan demikian, seorang yang menjadi Tunggu Tubang harus sanggup memikul berbagai masalah dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya, baik yang berat maupun yang ringan.[24]
Tunggu Tubang, terdiri dari dua kata yang sangat berlainan artinya: “Tunggu” dan “Tubang”, Tunggu dapat diartikan dengan menanti atau menunggu. Tubang adalah dari bahasa Semende yang arti aslinya sepotong bambu, yang tutupnya terbuat dari bambu. Kegunaannya adalah untuk menyimpan alat-alat atau bahan-bahan dapur. Jadi Tunggu Tubang, berarti menunggu Tubang, ini dinisbahkan dengan seorang yang harus sanggup memikul segala tanggung jawab yang dibebankan kepadanya[25].
Adat Tunggu Tubang Adat atau tradisi Tunggu Tubang lebih merupakan perwujudan dari suatu kebudayaan daerah, yang menjadi aturan atau dinormakan secara turun-temurun dari nenek moyang masyarakat Semendo. Tunggu Tubang adalah tradisi yang menjadi hak sekaligus kewajiban yang diberikan pada pihak pada anak perempuan dalam sebuah keluarga secara turun temurun. Beberapa pengertian tunggu tubang sepeti dikemukakan oleh M. Rendy Praditama, yang mengutip beberapa pendapat penulis lain menyebutkan:[26]
Menurut Wati Rahmi Ria, “Pengertian Tunggu Tubang berasal dari kata tunggu yang berarti menunggu, sedangkan tubang berarti tempat penyimpanan yang menjadi simbol tempat berkumpul, ada juga yang mengartikan dengan pengertian parak (dekat)”[27]
Sedangkan menurut  Mulkan “tunggu tubang  adalah anak tertua wanita yang menerima harta warisan dari nenek moyangnya secara turun-temurun dan ia mampu bersikap adil terhadap kedua belah pihak”[28]. Kemudian menurut Hilman Hadikusuma “tunggu tubang adalah anak tertua perempuan sebagai penunggu harta orang tua[29]
Masalah berat yang dipikul oleh tunggu tubang, jika mempunyai saudara (adik-adik) yang cukup banyak apapalagi kalau orang tua anak perempuan tunggu tubang sudah uzur atau meninggal dunia, karena semua biaya hidup  akan menjadi tanggungjawabnya, dari memberi makan sampai pada saatnya nanti adik-adiknya mau bekeluarga. Akan tetapi seperti dijelaskan diatas bahwa tunggu tubang mempunyai harta warisan pokok yakni rumah dan sawah yang biasanya pada masyarakat semendo yang diwarisi tersebut sangat luas dan menghasilkan padi cukup banyak, dan cukup untuk memberi makan satu keluarga besar. 
Menurut  Mulkan tunggu tubang mempunyai larangan-arangan yang harus di jauhi, larangan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Menolak keluarga yang datang kerumahnya.
2. Berperilaku kasar terhadap keluarga.
3. Menjual harta keluarga/harta tubang
4. Menggadaikan harta  keluarga/harta tubang tanpa meminta izin dan pertimbangan   dari jenang jurai (musyawarah keluarga).
5. Menelantarkan  saudara-saudaranya  sekandung yang belum berkeluarga yang berada dibawah asuhannya sebagai pengganti orang tua.
6. Membuka rahasia keluarga[30].

VI.   GENDER PADA MASAYARAKAT SEMENDO TUNGGU TUBANG
Sebelum penulis mengkaji lebih dalam konsep gender pada masyarakat Semendo,
Saya nukilkan salah satu postingan yang ditulis oleh salah seorang blogger, sebagai berikut[31]:
“Semalam penulis pernah ngobrol dengan salah seorang dosen penulis, yang kebenaran jeme Semende pule, singkat cerite die ngomong makini:
Ngapelah jeme Semende itu rasenye lebih dekat nga keluarge pihak endung, dibandingkah nga pihak bapang. Padahal  dari segi agame saje perwalian itu dari pihak bapang? Jadi seolah-olah sebelah bapang itu ade bedanya dengan pihak endung. Ade beda ‘rase’ kedekatan. (anye bukan rase negatif).
Misalnye kalu dari pihak endung asenye lebih mudah untuk cerite-cerite tentang ape saje, sedangkan dengan pihak bapang luk ade sekat (mungkin kewibawaan sebelah bapang) yang njadikah rasenye bebeda. Penulis juge lum kruan ngape sangkan jadi luk itu.
Soalnye penulis juge sebagai jeme Semende ngasekah yang luk itu, padahal dikbedie yang nunjuk’i  apelagi nyarankah. Anye peghasean itu ngalir saje luk ayik alun.
Dengan catatan peghasean itu bukan negatif, cuma ade perbedaan dalam hal kedekatan atau kalu dikiaskah same nga “kemanjaan” jadi kire2 kite tu lebih manja dengan keluarge sebelah endung dibanding dengan sebelah bapang.
Aku aneh juge, ini karena adat tesighat atau cuman kebiasaan saje…?
Sedikdenye lah ade due ughang yang ngasekah luk penulis tu, ntah ame pembace lainnye, mungkin same saje luk aku nga dosen tu. Asekalah sughang”

(Tadi malam penulis ngobrol dengan seorang dosen, kebetulan dia berasal dari suku semendo, ceritanya begini: Mengapa orang semende lebih dekat dengan keluarga pihak ibu (perempuan) dari pada pihak bapak (bapak), padahal menurut agama (Islam) pihak keluarga bapak yang lebih mewakili. Jadi seolah-olah ayah ada bedanya dengan ibu, ada beda perasaan. Dengan pihak ibu lebih terbuka untuk mengungkapkan segala perasaan, seolah-olah ada sekat dengan pihak bapak, mungkin karena kewibawaan bapak. Penulis merasakan perbedaan itu, padahal tidak ada yang memberi pelajaran seperti itu, penulis merasa manja dengan ibu, mungkin karena adat tersirat atau perasaan saja. Banyak orang semendo merasakan hal itu).
Dari nukilan postingan tersebut menujukan bahwa pada masyarakat Semendo kedudukan ibu lebih diutamakan dalam hal membina dan mengatur keluarga, khususnya dalam kehidupan rumah tangga. Sering sekali hubungan ini dianggap diskriminasi terbalik karena lebih mengutamakan garis keturunan ibu. Dalam masyarakat semende biasanya merasa tidak utuh dalam suatu keluarga jika tidak mempunyai anak perempuan, apalagi jika kedudukan kelurga tersebut mewarisi tunggu tubang. Jika salah satu keluarga tersebut masih mampu untuk melahirkan anak, sebagai contoh dalam suatu keluarga, walaupun anaknya sudah sepuluh atau lebih tetapi belum mempunyai anak perempuan, mereka tetap akan berusaha untuk mendapatkan anak perempuan.
Peran gender pada masyarakat semendo di lambangkan dengan seorang ibu rumah tangga selain menjalankan perannya dalam mengurus keluarganya sehari-hari, juga berperan nyata dalam pengambilan keputusan dan kegiatan produktif terutama di sektor pertanian. Ini dikarenakan adanya suatu tatanan atau sistem yang memungkinkan hal itu terjadi dan berlangsung hingga saat ini. Tunggu Tubang merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang turun temurun. Selain merupakan pewaris dari harta turun temurun seperti lahan, rumah, juga diberikan hak dan wewenang kepada kaum perempuan di wilayah Semendo untuk menjalankan perannya dalam bidang pertanian.[32]
Oleh karena itu seseorang yang memegang peran tunggu tubang mempunyai berbagai fungsi dalam kehidupan masyarakat, bahkan dalam ekonomi keluarga  Peran ganda perempuan yang selalu disandingkan dengan tugas rumahtangga akan mempengaruhi produktifitas kerja perempuan, kendala tersebut hampir tidak pernah dijumpai oleh laki-laki yang mencari nafkah.
Hal ini penting untuk mewariskan adat tunggu tubang tersebut, karena yang dinamakan tunggu tubang adalah anak perempuan yang tertua, jika tidak ada anak perempuan maka anak laki-laki akan menjadi tunggu tubang dinamakan “Tunggu Tubang Ngangkit”. Tunggu tubang seperti ini secara adat bisa dilakukan, akan tetapi dalam persoalan-persolan tertentu mengurangi makna hakiki dari tunggu tubang tersebut. Karena banyak hal yang yang secara adat yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki tunggu tubang akan berbeda dengan tunggu tubang ngangkit.
Misalnya, jika kakak atau adik laki-laki ada acara jamuan (Baguan)[33], maka urusan yang berkaitan dengan pekerjaan yang berat-berat akan dilakukan oleh laki-laki yang menjadi tunggu tubang tersebut, seperti pekerjaan menyiapkan sarana dapur khusus (Bangsal), mengatur persediaan makan-minum untuk acara tersebut diatur oleh laki-laki tunggu tubang, jika tunggu tubang “Ngangkit: tidak mungkin iya melakukan hal tersebut, karena yang berada di bangsal adalah kelompok yang berstatus tunggu tubang murni, dan secara adat tidak mungkin mereka berkumpul beberapa hari di bangsal, karena staus tunggu tubang ngangkit adalah lautan[34], bagi tunggu tubang yang asli, hal ini sangat tabu dan disebut singkuh[35].
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa laki-laki tunggu tubang berarti masuk pada klen pihak keluarga ibu, oleh karena itu secara otomatis pihak keluarga ibu kedudukannya lebih tinggi. Bahkan dalam perkawinan pemberian mahar untuk wanita tunggu tubang tergolng tinggi biasanya berupa emas 5 suku (1 suku = 5, 7 Gram), ditambah dengan permintaan khusus perempuan tunggu tubang berupa uang atau berupa emas dan biasanya lebih besar nilainya dari mahar.
Biasanya setelah perkawinan akan diadakan pesta besar (Ngudimi Agu’an), pihak perempuan tunggu tubang meminta kerbau untuk dipotong pada acara pesta tersersebut (perbiye), ditambah dengan perabot rumah yang lengakap seperti: Lemari, Kursi, Tempat tidur, barang pecah belah dan sebagainya. 


VII.          KESIMPULAN

1.      Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas.
2.      Adat Tunggu Tubang sebagai suatu kearifan lokal yang masih utuh, dapat dijadikan model sebagai bentuk untuk mengatasi ekses-ekses dan isu negative terhadap gender.
3.      Peran gender pada masyarakat semendo di lambangkan dengan seorang ibu rumah tangga selain menjalankan perannya dalam mengurus keluarganya sehari-hari, juga berperan nyata dalam pengambilan keputusan dan kegiatan produktif terutama di sektor.

















DAFTAR PUSTAKA

A.      Buku dan Karya Ilmiah

 

Arwin Rio Saputra, dkk,  2019, Persepsi Masyarakat Semende Terhadap Harta Warisan Dengan Sistem Tunggu Tubang. Jurnal sosiologi Mahasiswa Universitas Lampung.

Chopa CH Mulkan, 1987, Sejarah Asal Usul dan Silsilah Keturunan Puyang Jurai Pangeran Rene . Sumatera Selatan : Depdikbud,

Eni Murdiati, Sriati, 2018,  Alfitri, Muhammad and Ridhah Taqwa, The Local Wisdom of Tunggu Tubang Culture in the Challenges of the Times (Study on Ethnical Semende District Muara Enim South Sumatera), sciencess Journal, eISSN: 2267-1242, 2018.

 

Habidin, 2019, Pelaksanaan Kewarisan Tunggu Tubang Masyarakat Adat Semende dalam Persfektif Hukum Islam.

Haris Fakhri, 2001, Kedudukan Ahli Waris Terhadap Harta Tunggu Tubang Ditinjau Dari Hukum Adat dan Hukum Islam Pada Masyarakat Semendo di Kabupaten Muara Enim.Tesis.

Herien Puspitawati, 2013, Konsep , Teori Dan Analisis Gender, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia-Institut Pertanian Bogor, PT IPB Press.

Hilman Hadikusuma, 1992,  Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia: Bandung : Mandar Maju.

 Iskandar,2013,  Kedudukan anak Tunggu Tubang dalam Kewarisan Masyarakat Adat Suku Semendo di Kota Palembang, Tesis Program Kenotaritan Universitas Diponegoro. Semarang.

Jhon M. Echols dan Hasan Shadily,1983,  Kamus Inggris Indonesia, cet.XII, (Jakarta: Gramedia,

Tresno  Ninggu, 2015, Jaminan Sosial Tunggu Tubang (Studi Kasus di Desa Ulak Lebar Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu).

M. Rendy Praditama, 2013, Sikap Masyarakat Terhadap Adat Tunggu Tubang Di Desa Pulau Panggung Kecamatan Semende Darat Laut Kabupaten Muara Enim, Jurnal Kultur Demokrasi, Vol. 1 No. 5 Tahun 2013

Nasaruddin Umar, 1999, Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta: LKAJ,1999).

Ria Wati Rahmi Ria, 1987,  Kedudukan tunggu tubang dalam hukum waris adat semende. Bandar Lampung: Gunung Pesagi.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1981, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 2008,
Soejono Soekanto, 1981, Hukum Adat Indonesia,  (Jakara: cv. Rajawali, 1981), cet. 1.
Tholhon Abd Ra’uf, 1997, Jagat Bersemah Lebar Semende Panjang, (Palembang:Pustaka Dzumirroh,1997).

Victoria Neufealdt (ed), 1984,  Webster’s New World Dictionary, (New York: Webster’s New World Clevenland, 1984).

Yanter Hutapea dan Tumarlan Thamrin, 2003, Tunggu Tubang Sebagai Upaya Mempertahankan Sumber Daya Lahan Berkelanjutan Tunggu Tubang (As The Effort Of Supporting Sustainable Land Resource)

Yuni Sartika, 2015, Kadar Mahar Perkawinan Terhadap Anak Tunggu Tubang Di Kecamatan Semende Darat Kabupaten Muara Enim Ditinjau Dari Mazhab Syafi’i Dan Mazhab Hanafi, Skrpsi Fakultas Syari’ah, UIN Raden Fatah Palembang, Tahun 2015,


B.       Media on Line

http://eprints.walisongo.ac.id
http:// publikasi.fisip.unila.ac.id.


















[1] Dosen Fakultas Syariah dan Hukum IAIN Bengkulu

[2] Eni Murdiati, Sriati, Alfitri, Muhammad and Ridhah Taqwa, The Local Wisdom of Tunggu Tubang Culture in the Challenges of the Times (Study on Ethnical Semende District Muara Enim South Sumatera), sciencess Journal, eISSN: 2267-1242, 2018.

[3] Haris Fakhri, Kedudukan Ahli Waris Terhadap Harta Tunggu Tubang Ditinjau Dari Hukum Adat dan Hukum Islam Pada Masyarakat Semendo di Kabupaten Muara Enim.Tesis. 2001, h, 21.
[4] . Masuk Kerumah Jeme,  artinya laki-laki yang menikah dengan perempuan status tunggu tubang menjadi klen keluarga perempuan.
[5]. Iskandar, Kedudukan anak Tunggu Tubang dalam Kewarisan Masyarakat Adat Suku Semendo di Kota Palembang, Tesis Program Kenotaritan Universitas Diponegoro. Semarang, 2003, h. 31
[6] Yuni Sartika, Kadar Mahar Perkawinan Terhadap Anak Tunggu Tubang Di Kecamatan Semende Darat Kabupaten Muara Enim Ditinjau Dari Mazhab Syafi’i Dan Mazhab Hanafi, Skrpsi Fakultas Syari’ah, UIN Raden Fatah Palembang, Tahun 2015,

[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Semendo, diakses, 13 April 2019. Lihat juga: Iskandar, Kedudukan Anak…Op. Cit
[9] Tresno  Ninggu, Jaminan Sosial Tunggu Tubang (Studi Kasus di Desa Ulak Lebar Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu). https://www.academia.edu/37224177/Jaminan_Sosial_Tunggu_Tubang, diakses, 13 April 2019.
[10] Arwin Rio Saputra, dkk,  Persepsi Masyarakat Semende Terhadap Harta Warisan Dengan Sistem Tunggu Tubang. Jurnal sosiologi Mahasiswa Universitas Lampung. (http:// publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/sosiologi/article/view/167.2014 ). Diakses pada 13 April 2019.
[13] Iskandar, Kedudukan Anak…Op cit,
[14] http://www.kuliah.info/2015/05/konsep-adalah-apa-itu-konsep-ini.html
[15] Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 2008, h. 31.
[16] Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet.XII, (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 265
[17] Victoria Neufealdt (ed) Webster’s New World Dictionary, (New York: Webster’s New World Clevenland, 1984), h. 561
[18] Herien Puspitawati, Konsep , Teori Dan Analisis Gender, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia-Institut Pertanian Bogor, PT IPB Press, 2013, h.1
[19] . Ibid
[20] Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta: LKAJ,1999), h. 23.
[21] Parameter Kestaraan Gender dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan: Kerjasama Kementerian Hukum dan Hak Azazi Manusi, Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, tahun 2012, https://www.kemenpppa.go.id, diakses 13 April 2019
[22]  Tholhon Abd Ra’uf, Jagat Bersemah Lebar Semende Panjang, ( Palembang:Pustaka Dzumirroh,1997), h. 138. Lihat Juga: Lambang Adat Semende atau Lambang Tunggu Tubang terdiri dari lime unsur yaitu Guci, Kujur, Tubang, Kapak dan Jale (lime bemakne Rukun Islam). Namun ade pule ye menambahkan unsur Sawah/Tebat/Pauh (menjadi enam unsur/simbol rukun iman). Tebat/Pauh ini sebagai simbol mata pencaharian utama suku Semende dan pengelolaan harta warisan orangtua yang membutuhkan keuletan dan kesabaran Tunggu Tubang. 1. Tubang retinye badah balik (cube kinak badah tubang, biasenye di dapuw!) bukan retinye penyimpanan segale 2. Guci retinye penyimpanan segale rahasie 3. Kujur retinye kejujuran (luk hurud Alif), nak luhus ati; amanah 4. Kapak retinye keadilan; berlaku adil, memisahkan yang haq dan yang bathil, 5. Jale retinya penghimpunan, nunggalkah apit jurai,dsb. http://semende.wikifoundry.com, diakses: 13 April 2019.
[23] Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia,  (Jakara: cv. Rajawali, 1981), cet. 1, h. 286.

[24] Habidin, Pelaksanaan Kewarisan Tunggu Tubang Masyarakat Adat Semende dalam Persfektif Hukum Islam. Tesis, (http://eprints.walisongo.ac.id/521/2012). Diakses pada 10 April 2019.
[25] Yuni Sartika, Kadar Mahar ……Op. Cit.
[26] M. Rendy Praditama, Sikap Masyarakat Terhadap Adat Tunggu Tubang Di Desa Pulau Panggung Kecamatan Semende Darat Laut Kabupaten Muara Enim, Jurnal Kultur Demokrasi, Vol. 1 No. 5 Tahun 2013
[27] Ria Wati Rahmi Ria,  Kedudukan tunggu tubang dalam hukum waris adat semende. Bandar Lampung: Gunung Pesagi. 1987
[28] Chopa CH Mulkan.. Sejarah Asal Usul …Op. Cit.
[29] Hilman Hadikusuma,. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia: Bandung : Mandar Maju. 1992, h. 1.
[30] Chopa CH Mulkan.. Sejarah Asal Usul dan Silsilah Keturunan Puyang Jurai Pangeran Rene . Sumatera Selatan : Depdikbud, 1987. H. 23.
[31] https://semende.wordpress.com/penulis/
[32] Yanter Hutapea dan Tumarlan Thamrin,  Tunggu Tubang Sebagai Upaya Mempertahankan Sumber Daya Lahan Berkelanjutan Tunggu Tubang (As The Effort Of Supporting Sustainable Land Resource). https://pse.litbang.pertanian.go.id, diakses 13 April 2019.
[33] Baguaan, adalah Pesta,  atau jamuan.
[34] lauatan, adalah kakak dan/atau adik laki dari isteri.
[35] Singkuh, perasaan malu apabila dilakkan atau diucapkan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU