KONSEP GENDER PADA MASYARAKAT ADAT SUKU SEMENDO KABUPATEN MUARA ENIM (Studi Kasus Pada Adat Tunggu Tubang)
KONSEP GENDER PADA MASYARAKAT ADAT SUKU SEMENDO
KABUPATEN MUARA ENIM
(Studi Kasus Pada Adat Tunggu Tubang)
Oleh
Imam Mahdi[1]
(imam.mahdi@iainbengkulu.ac.id)
Abstark
Persoalan
Gender masih relevan untuk didiskusikan karena menyangkut beberapa aspek anatara
lain aspek sosial, ekonomi, politi, budaya bahkan religi di kalangan masyarakat
Indonesia. Gender adalah suatu kajian yang menarik terutama berkaitan dengan perbedaan peran, hak, dan kewajiban antara
laki-laki dan perempuan yang ditentukan secara sosial dan buday bahkan sebagain
orang memandang sebagaai kodrat manusia.Keberadaaan modernisasi membantu
penyamarataan gender dikalangan masyarakat indonesia yang mana tidak selalu
berdampak positif, melainkan melahirkan beberapa masalah baru. Suku semendo di
kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan salah satu masyarakat yang mempunyai kearifan
lokal sangat unik yakni adanya lmbaga adat Tunggu Tubang yang bisa menjawab
persoalan-persolan gender. Adat Tunggu Tubang mempunyai filosofi khusus dalam
mengangkat derajat wanita sebagai pemegang hak tradisional yang sampai saat ini
masih utuh. Ketinggian derajat wanita tunggu tubang diimplemntasikan dalam
bentuk lembaga perkawinan dan harta warisa. Disamping itu masyarakat suku
semendo mempunyai lambang-lambang yang khusus untuk memperkuat adat tunggu
tubang.
Kata
Kunci: Suku Semendo, Tunggu Tubang, Gender
I.
Latar
Belakang
Pada
masyarakat Suku Semendo kabupaten Muara Enim dalam kearifan lokalnya menganut
garis keturunan ibu (materilinial),
dimana wanita diletakkan pada posisi terhormat terutama dalam hal kepemilikan
harta waris dan kekerabatan, walaupun akhir-akhir ini telah mengalami berbagai
perubhan sesuai dengan perkembangan zaman, sebagaimana telah ditulis diberbagai media dan
bahkan ditetliti oleh para ilmuan, mengatakan bahwa: “…This study discusses the local wisdom of TungguTubang culture that is
still embraced by the Semende ethnic community in Muara Enim district. This
study uses a qualitative descriptive approach with more emphasis on
TungguTubang study facing the challenges in the era of globalization and
modernization…”[2].
Akan tetapi bahwa adat tunggu tubang tersebut merupakan kearifan lokal yang
unik, bahkan jika anak laki-laki yang akan menikahi anak perempuan yang
berstatus tunggu tubang harus menyiapkan dana yang sangat banyak, hal ini
dikarenakan dalam masyarakat Adat Semendo wanita tunggu tubang diistimewakan. Dengan
demikian anak tunggu tubang dalam segala aspek keluarga sangat dominan,
melebihi kekuasaan laki-laki.
“Tunggu Tubang terdiri dari dua kata yang berlainan artinya :
Tunggu dan Tubang. Tunggu dapat diartikan menanti atau menunggu, sedangkan
tubang adalah sepotong bambu yang terletak di bawah tirai di dapur yang
dipergunakan untuk menyimpan bahan-bahan makanan sehari-hari seperti terasi,
ikan kering, serta yang lain-lainnya, yang dalam pepatah disebutkan tak lekang
karena panas dan tak lapuk karena hujan, begitulah kira-kira artinya sifat yang
dimiliki oleh anak tunggu tubang[3].
Laki-laki
yang menikah dengan perempuan yang berstatus tunggu tubang, seolah-olah tersandera
dengan segala tatacara dan aturan yang berlaku pada adat tunggu tubang
tersebut, dalam istilah adat semendo, anak laki-laki yang menikah dengan
perempuan tunggu tubang disebut “Masuk Kerumah Jeme”[4].
Kata ini berkonotasi bahwa laki-laki harus beradaptasi sekaligus berfungsi
sebagai penanggung jawab utama dalam urusan keluarga istrinya, bahkan anak
laki-laki tersebut seoalah-olah seperti “pembantu” khusus karena harus menurutu
semua perintah-perintah dari keluarga inti pihak perempuan, dengan demikian
berarti persoalan “gender” khusus untuk masyarakat semende yang berstatus
tunggu tubang tidak ada masalah.
Dilain
pihak suatu keluarga yang mempunyai status adat tunggu tubang, sangat
mengharapkan kelahiran anak perempuan untuk meneruskan adat yang sudah
berlangsung dari nenek moyang mereka, anak perempuan pertama akan dirawat
sedemikian rupa, sehingga ia menjadi wanita yang mampu meneruskan tradisi
tersebut, mulai dari kakek, orang tuanya termasuk kerabat dekat calon tunggu
tubang tersebut akan menjaga anak calon tunggu tubang dalam segala aspek yang
akan mengurangi nilai-nilai dan kehormatan anak yang berstatus tunggu tubang
dimaksud.
Berbeda
dengan daerah lain, persoalan gender pada saat ini masih menjadi kajian yang
menarik, karena peran-peran perempuan dalam berbagai sektor tetap saja terjadi
perbedaan antara laki-laki dan perempuan, hal ini diakaibatkan oleh cara
pandang sosiologis bahkan religi terhadap perempuan memang ada perbedaan, hal
ini disebabkan karena kodrati perempuan yang memang berbeda dengan laki-laki.
Oleh karena itu ruang-ruang tertentu terhadap kajian gender selalu menarik
untuk diketengahkan. Walaupun dalam tataran regulasi persoalan gender telah
selesai dengan adanya pengakuan kebersamaan laki-laki dan perempuan sebgaimana
diatur dalam UUD 1945 dan beberapa undang-undang khusus yang diperuntukan bagi
perempuan, termasuk dalam istilah-istilah yang mengangkat derajat kewanitaan,
seperti adanya organisasi khusus wanita dan sebagainya.
II.
METODOLOGI
Penelitianini
menggunakan metode kualitatif. tujuandari penelitian untuk mengungkap atau menggambarkan
keberadaan kearifan lokal yang berterkaitan dengan gender adat-istiadat suku
Semendo di Kabupaten Muara Enim Sumatera Slatan, terutama dalam keberadaan adat
tunggu tubang. kemudian dianalisis, dan dituangkan dalam sebuah tulisan yang
menghasilkan kesimpulan yang dianggap baik. Artikel ini ditulis dengan teknik
pengumpulan bahan secara kepustakaan melalui media cetak dan media digital (library research). Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
data dalam menulis jurnal, dengan data yang factual, sistematis dan akurat.
III. ASAL
USUL SUKU SEMENDO DAN PENYEBARANNYA
Ada
kesulitan untuk menentukan secara pasti asal usul suku semendo (dalam banyak
tulisan disebut Semende), hasil penelitian ilmiah berupa disertasi, tesis dan
skripsi seperti yang ditulis oleh Iskandar menyebutkan bahwa: “Kata semendo
yangdilafalkan dengan “Semende” berasal dari kata “Same” dan “ende” yang
diartiakn sesame atau kebersamaan bergotong royong. Etnis atau suku semendo
berasal dari Besemah Lebar dan Besemah Besak, tepatnya disekitar Pagar Alam,
Sumatera Selatan. Versi yang umum menyatakan bahwa suku semendo merupakan
sisa-sisa lascar kesultanan Palembang yang mengungsi ke Pasemah”[5].
Dalam
persi lain disebutkan bahwa suku semendo Menurut Kohafah (Ketua Lembaga Adat
Marga Semende Darat Laut), bahwa Semende mulai dibuka pada tahun 1650M atau
tahun 1072 H oleh puyang yang bernama Syech Nurqadim al-Baharuddin. Dia lebi h
dikenal dengan sebutan Puyang Awak. Ditambahkan oleh Kohafah, bahwa Puyang
Awak
merupakan keturunan Sunan Gunung Jati melalui silsilah Puteri Sulung Panembahan
Ratu Cirebon yang menikah dengan Ratu Agung Mpu Hyang Dade Abang. Beliau
mewarisi ilmu kewalian dan kemujahidan Sunan Gunung Jati. Nurqadim dan ketiga
adiknya dibesarkan oleh ayah ibunya di Istana Pelang Kedadai, yang terletak di
Tanjung Lematang. Pada waktu kecilnya, beliau dididik akhlak al-karimah aqidah
dan Islamiyah. Pada masa remajanya, beliau mendapat gemblengan para ulama dari
Aceh Darussalam yang sengaja didatangkan ayahnya.
Ketika
tiba masanya untuk menikah, ia menyunting seorang gadis dari Muara Siban,
sebuah desa di kaki Gunung Dempo. Setelah mufakat dengan mantap, beliau
sekeluarga beserta adik-adiknya dan keluarga para sahabatnya membuka tanah di
Talang Tumutan Tujuh sebagai wilayah yang direncanakan beliau untuk menjadi
pusat daerah Semende.
Lama-kelamaan
tersebarlah bahwa di daerah Batang Hari Sembilan telah ada seorang wali Allah
yang bernama Syech Nurqadim al-Baharudin, banyaklah para penghulu atau pemuka
agama dari berbagai daerah berdatangan memenuhi ajakan Nurqadim untuk bermukim
di Talang Tumutan Tujuh. Setelah banyak orang yang berdiam disana,
diresmikanlah talang itu oleh Ratu Agung Dade Abang menjadi dusun yannng
dinamakan
Para
Dipe yang artinya “Para Penghulu Agama”. Peresmian itu terjadi pada tahun 1650
M atau 1072 H. Pada akhirnya, nama Para Dipe ini lebih mudah disebut orang
dengan pardipe. Di Pardipe inilah, Syekh Nurqadim al-Baharuddin Puyang Awak
bersama para keluarga dan sahabatnya memulai penerapan ajaran Islam, sekaligus
penerapan ajaran adat yang mereka namakan semende[6].
Berdasarkan
arsip kuno berupa kaghas (tulisan dengan huruf ulu diatas kulit kayu) yang
ditemukan di Dusun Penghapau, Semende Darat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera
Selatan yang diterjemahkan pada tahun 1974 oleh Drs. Muhammad Nur (ahli
purbakala Pusat Jakarta), ada beberapa catatan sejarah. Bahwa pada tahun 1072
Hijriyah atau 1650 Masehi telah ada seorang tokoh ’Ulama yang bernama Syech
Nurqodim al-Baharudin yang bergelar Puyang Awak yang mendakwahkan Islam di
daerah dataran Gunung Dempo Sumatera Selatan.
Menurut
buku ”Jagad Basemah Libagh Semende Panjang”, Terbitan Pustaka Dzumirah, Karya
TG.KH. Drs. Thoulun Abdurrauf, dinyatakan bahwa pada abad ke 14 – 17 Masehi,
kaum Imperialis dan Kapitalis Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda) telah
merompak di lautan dan merampok di daratan yang diistilahkan dalam bahasa
melayu, yaitu mengayau. Mereka dengan taktik devide et impera berusaha
memecah-belah penduduk di Rumpun Melayu yang berpusat di Pulau Jawa dan
Semenanjung Malaka. Maka para waliullah di daerah tersebut dengan dipelopori
oleh Syech Nurqodim al-Baharudin pada tahun 1650 M / 1072 H menggelar
musyawarah yang berpusat di Perdipe (Sekarang masuk wilayah Kota Pagar Alam,
Dataran Gunung Dempo, Sumatera Selatan). Tujuan musyawarah ini antara lain guna
menyusun kekuatan bagi persiapan perang bulan sabit merah untuk menumpas
ekspansi perang salib di Asia Tenggara[7].
Suku
semendo menyebar keberbagai wilayah di Sumater Bagian Selatan (Sumatera selatan,
Lampung dan Bengkulu). Suku Semendo atau Suku Semende adalah salah satu suku
yang berasal dari Pulau Sumatera.
Suku ini memiliki dua subsuku yaitu Semende Darat dan Semende Lembak. Semende
Darat bertempat tinggal di Pulau Panggung,
Kabupaten Muara Enim. Semende Lembak
tinggal di Kecamatan Baturaja. Mereka juga
tinggal di Kecamatan Semendo Darat Laut,
Semendo Darat Tengah,
Semendo Darat Ulu. Dan sebagian
lainnya berada di Kota Palembang, Kota Prabumulih,
Kabupaten Ogan Komering Ilir,
dan Kabupaten Ogan Komering Ulu[8].
Sedangkan
suku semendo yang berada di Provinsi Bengkulu berada di Muara Saung yang
tinggal di Semende Lembak dan marga Nasal yang merupakan suku Semende yang
berasal dari Semende Darat yang tinggal di Lampung[9]. Suku
Semendo pada awal kelahirannya merupakan keturunan dari Puyang Awak yang
berasal dari Pardipo Pasemah. Pardipo adalah salah satu rumpun Semendo Darat
yang perlahan-lahan menyebar ke daerah-daerah sekitarnya, seperti Semende
Lembak (Pulau Beringin), Bayur, Ogan Komering Ulu (OKU) dan Bengkulu Selatan
termasuk, Ulu Danau, Muara Sindang dan Marga Ulu Sungai Nasal yang mencakup
beberapa Marga, seperti Marga Kinal, Marga Padang Guci, Marga Kedurang, dan
Segimin[10].
Ada
data lain yang menyebutkan penyebaran suku Semendo dapat dikemukakan sebagai
berikut[11]:
1. Semende Darat (asal mula) di Kabupaten Muara Enim
2.
Semende Lembak di Kabupaten Ogan Komring Ulu
3. Pulau Beringin Bayur
4. Ogan
5. Komering Ulu
6. Balik Bukit Barisan
7. Bengkulu Selatan Muara Sindang
8. Ulu Nasal
9. Marga Kinal
10. Padang Guci
11. Kedurang
12. Seginim
13. Semende Pesisir
14. Semende Abung
15. Marga Kasui (Rebang)
16. Kecamatan Bukit Kemuning
17. Sumber Jaya, Way Tenung
18. Marga Sekampung Talang Padang
19. Air Sepanas
20. Metro Tanjung Karang
21. Kaliandak dan Ketapang (Gunung Palas)
22. Meliputi Sebagian Pegunungan di Sumatera Selatan dan Jambi
23. Kota di Sumatera Selatan, dll
Khusus
di Kota Palembang menurut Iskandar pada tahun 2002 sudah mencapai 3.149 jiwa
dan penduduk kota Palembang pada waktu itu 1.339.315 jiwa. Jumlah penduduk suku Semendo yang berada di
tiga kecamatan menurut data statistik Kabupaten Muara Enim dalam Angka Tahun
2017 berjumlah 41.261 jiwa[12].
Suku
Semendo tersebut memang banyak yang merantau keluar daerah, terutama anak laki-laki, kalau tidak menikah
dengan perempuan tunggu tubang, maka ia harus merantau untuk mencari kehidupan
di tempat lain istilahnya mencar dan anak laki-laki disebut anak
“ambur-amburan” atau istilah adatnya “Semendo Rajo-rajo”[13]
IV. KONSEP,
MAKNA, dan PENGATURAN GENDER
Konsep
adalah suatu yang abstrak yang berhubungan dengan suatu peristiwa atau objek
dalam suatu fenomena sebagaimana di dalam Kamus Besar bahasa Indonesia
disebutkan bahwa konsep adalah idea tau pengertian yang diabstrakan dalam
pristiwa kongkrit. Bisa didefinisikan bahwa konsep adalah suatu
objek serta produk subjektif yang berasal dari cara pandang seseorang untuk
membuat pengertian terhadap objek-objek atau benda-benda melalui
pengalamannya. Maka dalam hal ini gender merupakan suatu objek kajian yang
dikaji hubungannya dengan kehidupan masyarakat tertentu.
Konsep berasal dari bahasa
latin conceptum, yang artinya sesuatu
yang dipahami. Aristoteles dalam
bukunya "The classical theory of concepts" menyatakan bahwa
konsep merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan
filsafat pemikiran manusia.[14] Singarimbun dan Effendi, menyatakan
bahwa pengertian konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu,
sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan barbagai fenomena yang sama.” Konsep
merupakan suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang
dirumuskan. Dalam merumuskan kita harus dapat menjelaskannya sesuai dengan
maksud kita memakainya.[15]
Kata
“Gender” berasal dari bahasa Inggris, gender, berarti “jenis kelamin”[16]. Dalam Webster’s New World Dictionary, Gender diartikan sebagai
“perbedaan yang tampak anatara laki-lakidan perempuan dilihat dari segi nilai
dan tingkah laku”[17].
Sedangkan
Istilah gender dikemukakan para ilmuwan untuk menjelaskan perbedaan laki-laki dan
perempuan yang bersifat kodrati ciptaan Tuhan dan yang di pengaruhi oleh budaya
berlaku secara terus menerus. Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini
sering bercampur-baur dengan menampilkan ciri-ciri manusia yang bersifat
kodrati dan yang bersifat bukan kodrati. Dengan adanya istilah gender ini diharapkan
adanya pandangan-pandangan khusus terhadap masing-masing peran yang akan
diposisikan untuk laki-laki dan perempuan terutama untuk membangun peradapan yang lebih manusiawi
dan cocok untuk lingkungan masyarakat tertentu. Oleh karena itu harus hati
memakni sifat-sifat kodrati sebagi manusia ciptaan Tuhan . Hal ini penting
untuk memberikan peran, dalam mengelola hak dan tanggungjawab yang melekat pada
setiap individu dari berbagai sudut pandang.
Ada
beberapa pengertian gender yang dikemukakan oleh para ahli antara lain,
sebagaimana dikutip oleh Heren Puspitawati:[18]
1.
“Gender adalah perbedaan antara laki-laki
dan perempuan dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang
dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat
yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat.Tanggung jawab dan
perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari
kelompok masyarakat yang dapat berubah menurutwaktu serta kondisi setempat”
2.
Gender
merujuk pada atribut ekonomi, sosial, politik dan budaya serta kesempatan yang
dikaitkan dengan menjadi seorang perempuan dan laki-laki. Definisi sosial
tentang bagaimana artinya menjadi perempuan dan laki-laki beragam menurut
budaya dan berubah sepanjang jaman).
3.
Gender
bukan merupakan property individual namun merupakan interaksi yang sedang
berlangsung antar aktor dan struktur dengan variasi yang sangat besar antara
kehidupan laki-laki dan perempuan „secara individual, sepanjang siklus hidupnya
dan secara struktural dalam sejarah ras dan kelas).
4.
Teori
gender merupakan suatu pandangan tentang konstruksi sosial yang sekaligus
mengetahui ideologi dan tingkatan analisis material).
Konsep
gender menjadi persoalan yang menimbulkan pro dan kontra baik di kalangan
masyarakat, akademisi, maupun pemerintahan sejak dahulu dan bahkan sampai
sekarang. Pada umumnya sebagian masyarakat merasa terancam dan terusik pada
saat mendengar kata ‟gender‟.
Berdasarkan diskusi dengan berbagai kalangan, keengganan masyarakat untuk
menerima konsep gender disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1.
Konsep gender berasal dari negara-negara Barat, sehingga sebagian masyarakat
menganggap bahhwa gender merupakan propaganda nilai-nilai Barat yang sengaja
disebarkan untuk merubah tatanan masyarakat khususnya di Timur.
2.
Konsep gender merupakan gerakan yang
membahayakan karena dapat memutarbalikkan ajaran agama dan budaya, karena
konsep gender berlawanan dengan kodrati manusia.
3.
Konsep gender berasal dari adanya kemarahan dan kefrustrasian kaum perempuan
untuk menuntut haknya sehingga menyamai kedudukan laki-laki. Hal ini
dikarenakan kaum perempuan merasa dirampas haknya oleh kaum laki-laki. Di
Indonesia tidak ada masalah gender karena negara sudah menjamin seluruh warga negara
untuk mempunyai hak yang sama sesuai dengan yang tercantum pada UUD 1945.
4.
Adanya mind-set yang sangat kaku dan konservatif di sebagian masyarakat, yaitu
mind set tentang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan adalahsudah
ditakdirkan dan tidak perlu untuk dirubah (misalnya kodrati perempuan adalah
mengasuh anak, kodrati laki-laki mencari nafkah). Namun mind-setini sepertinya
masih terus berlaku meskipun mengabaikan fakta bahwa semakin banyak perempuan
Indonesia menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW)
keluar negeri dan mengambil alih tugas suami sebagai pencari nafkah utama[19].
Dari
berbagai definisi dan persolan di atas, jelas bahwa gender mempunyai ruang hak
dan tanggungjawab yang sama bagi setiap individu,tidak ada perbedaan jenis
kelamin. pandangan Islam terhadap gender memperkenalkan konsep relasi gender
yang mengacu kepada ayat-ayat Al-Qur’an yang sekaligus menjadi tujuan umum
syari’ah mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q.S an-Nahl [16]: 90) yang artinya:
“ sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan dia member pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
Disamping
itu banyak sekali ayat-ayat al-Quran menjelaskan tentang persamaan laki-laki
dan perempuan, dan perlu dipahami memang Islam mengakui juga adanya perbedaan
antara laki-laki dan perempuan seperti dikemukakan oleh Nasaruddin Umar: Islam
memang mengakui adanya perbedaan (distincion)
antara laki-laki dan perempuan, tetapi bukan pembedaan (discrimination). Perbedaan tersebut didasarkan atas kondisi
fisik-biologis perempuan yang ditakdirkan berbeda dengan laki-laki, namun
perbedaan tersebut tidak dimaksudkan untuk memuliakan yang satu dan merendahkan
yang lainnya”[20].
Dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain
dinyatakan: “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan” Selanjutnya dinyatakan bahwa: “... susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”
Selanjutnya dinyatakan bahwa: “... susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan pada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dengan mewujudkan Keadilan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemudian
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan bahwa: “Segala warganegara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 27 ayat (2)
menentukan: “Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”
Pasal
28H, ayat (2), menentukan bahwa: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mendapat persamaan dan keadilan”.
Pasal
28I, menentukan bahwa:
(1) Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dihadapan hukum, dan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut,
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
(2) Setiap orang
berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.
(3) Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan perubahan.
(4)
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk
menegakkan dan melindungi hak asasi manusia, dijamin, diatur dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan.
Sejak
keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, memuat hak asasi yang harus dilindungi, dimajukan, ditegakkan
dan dipenuhi, oleh seluruh masyarakat terutama oleh Pemerintah. Dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ditentukan bahwa: “Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Pasal 1 angka
2 menentukan bahwa: “Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang
apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak
asasi manusia”. Pasal 2, Pasal 3, Pasal 45 menentukan bahwa “Hak wanita dalam
undang-undang ini adalah hak asasi manusia”. Pasal 46 sampai dengan Pasal 51
menentukan hak-hak istimewa perempuan.
Di
samping UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pemerintah juga telah
membentuk beberapa peraturan perundang-undangan berbasis gender antara lain:
a. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan
Internasional Nomor 100 tentang Pengupahan yang sama buruh Laki-laki dan Wanita
untuk pekerjaan yang sama nilainya.
b. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak Politik Perempuan
(Convention on the Political Rights of Women).
c. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms
of Discrimination against Women).[Disebut Konvensi CEDAW atau CEDAW saja. Dunia
mengakui CEDAW dan Rekomendasi Umum (General Recomemndation) Komite CEDAW
sebagai The Bill of Rights for Women. Konvensi CEDAW sudah diratifikasi oleh
186 negara anggota PBB, lebih dari 90% penduduk dunia].
d. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Convenant on Economic, Social and
Cultural Rights(Konvenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya)
e. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and
Political Rights (Konvenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik)
Dengan
demikian pemerintah Indonesia begitu peduli dengan persolan gender tersebut,
namu perlu diingat bahwa dalam pemebentukan perundang-undangan berbasis gender,
harus dimaknai betul bahwa tujuan pemebentukan perundang-undangan tidak bias atau
ambigu, misalnya dalam hal memberikan makna sifat-sifat kodrati manusia,
misalnya:
“Gender
kadang-kadang dianggap sebagai sesuatu kodrati. Misalnya peran laki-laki
sebagai kepala keluarga atau peran perempuan sebagai ibu rumahtangga, yang
menempatkan perempuan dalam kerja domestik dan laki-laki dalam kerja publik.
Dampak adanya pandangan seperti ini menimbulkan bahkan menumbuhkan asumsi yang
bias gender dan/atau diskriminatif, misalnya, bahwa perempuan (terutama di
pedesaan) tidak perlu mendapat pendidikan yang tinggi atau bahkan jika
perempuan sudah memiliki pendidikan tinggi pun, tetap dinilai lebih baik kalau
lebih berkonsentrasi pada kerja yang bersifat domestik, ketimbang memanfaatkan
keahlian dari hasil pendidikan tingginya. Di sisi lain, ternyata dalam praktik
kehidupan sehari-hari kita menjumpai banyak kepala keluarga yang disandang
perempuan berperan dan harus bertanggung jawab atas kebutuhan dan kesejahteraan
keluarganya. Misalnya, perempuan yang karena bercerai atau ditinggal mati
suaminya, atau perempuan yang tidak menikah tetapi mempunyai banyak anak asuh,
baik dari keluarga maupun karena mengasuh anak orang lain. Perempuan yang harus
mengambil alih tanggung jawab ekonomi keluarga ketika suaminya, misalnya,
terkena PHK atau mengalami musibah sakit atau cacad tetap. Peran dan tanggung
jawab ekonomi keluarga bahkan dilakukan perempuan hanya dengan menggunakan
kepandaian yang dimilikinya secara alamiah dan dilekatkan sejak kecil sebagai
peran perempuan, yaitu kerja-kerja domestik sebagai pekerja rumah tangga.
Demikian halnya dengan asumsi bahwa sifat laki-laki lebih rasional sedangkan
perempuan lebih emosional, semua itu seringkali pula dianggap sebagai sesuatu
yang kodrati. Padahal, kenyataan juga menunjukkan bahwa terdapat banyak
laki-laki yang bersifat emosional, sebaliknya ada pula perempuan yang bersifat
lebih rasional rasional. Hal ini membuktikan bahwa gender adalah: 1) bukan
sesuatu yang kodrati; 2) dapat berubah dan diubah; 3) bersifat tidak permanen;
dan 4) bisa dipertukarkan, dan 5) bersifat umum”[21].
V.
ASAS DAN FUNGSI ADAT TUNGGU TUBANG
Orang
yang menjadi Tunggu Tubang harus mengamalkan dasar-dasar atau fungsi Tunggu
Tubang. Dasar atau fungsi Tunggu Tubang itu adalah sebagai berikut:[22]
1. Memegang pusat
jale (jala), yang artinya bila
dikipaskan batu jale itu bertaburan dan apabila ditarik kembali bersatu. Dengan
kata lain, menghimpun semua sanak keluarga, baik yang jauh maupun yang dekat.
2.
Memegang kapak, artinya segala
pengurusan tidak boleh berbeda-beda antara kedua belah pihak, tidak boleh
memihak kepada siapapun baik dari keluarga dari suami ataupun keluarga dari
pihak isteri. Yang keduanya itu harus adil, tidak boleh berat sebelah.
3.
Harus bersifat balau (tombak), yang
artinya kalau dipanggil atau diperintahkan harus segera melaksanakan, yang
menurut kebiasaannya, perintah itu datang dari Entue Meraje
.4.
Harus bersifat guci yang artinya
orang yang menjadi Tunggu Tubang harus tabah dalam menghadapi segala macam
persoalan yang menimpa diri mereka.
5. Memelihara
tebat (kolam) yang artinya
menggambarkan ketenangan dan ketentraman dalam rumah tangga, tidak membocorkan
rahasia rumah tangga. Walaupun ada masalah dalam rumah tangga, harus dijaga
jangan sampai bocor, terutama kepada Entue
Meraje
Fungsi
tunggu Tubang yang utama adalah penerima sekaligus pewaris. Pada sistem
kewarisan, Suku Semende dipandang menganut sistem kewarisan mayorat perempuan
yang dikenal dengan Adat Tunggu Tubang[23] Meskipun
tampak berbeda dengan sistem kewarisan Islam, namun sampai saat ini masyarakat
Suku Semende dalam sistem kewarisannya masih menerapkan sistem pembagian Adat
Tunggu Tubang yang mana anak perempuan pertama mendapatkan semua harta warisan
dari orang tuanya.
Tunggu
Tubang juga berarti menunggu barang yang dijadikan keluarga sebagai tempat
untuk menyimpan bahan keperluan sehari-hari ini merupakan makna kiasan dari
menunggu harta orang tua. Dinisbahkan kepada anak perempuan tertua pada
masyarakat Suku Semende yang garis keturunannya dari ibu. Dengan demikian,
seorang yang menjadi Tunggu Tubang harus sanggup memikul berbagai masalah dan
tanggung jawab yang dibebankan kepadanya, baik yang berat maupun yang ringan.[24]
Tunggu
Tubang, terdiri dari dua kata yang sangat berlainan artinya: “Tunggu” dan
“Tubang”, Tunggu dapat diartikan dengan menanti atau menunggu. Tubang adalah
dari bahasa Semende yang arti aslinya sepotong bambu, yang tutupnya terbuat
dari bambu. Kegunaannya adalah untuk menyimpan alat-alat atau bahan-bahan
dapur. Jadi Tunggu Tubang, berarti menunggu Tubang, ini dinisbahkan dengan
seorang yang harus sanggup memikul segala tanggung jawab yang dibebankan
kepadanya[25].
Adat
Tunggu Tubang Adat atau tradisi Tunggu Tubang lebih merupakan perwujudan dari
suatu kebudayaan daerah, yang menjadi aturan atau dinormakan secara turun-temurun
dari nenek moyang masyarakat Semendo. Tunggu Tubang adalah tradisi yang menjadi
hak sekaligus kewajiban yang diberikan pada pihak pada anak perempuan dalam
sebuah keluarga secara turun temurun. Beberapa pengertian tunggu tubang sepeti
dikemukakan oleh M. Rendy Praditama, yang mengutip beberapa pendapat penulis
lain menyebutkan:[26]
Menurut
Wati Rahmi Ria, “Pengertian Tunggu Tubang berasal dari kata tunggu yang berarti
menunggu, sedangkan tubang berarti tempat penyimpanan yang menjadi simbol tempat
berkumpul, ada juga yang mengartikan dengan pengertian parak (dekat)”[27]
Sedangkan
menurut Mulkan “tunggu tubang adalah anak tertua wanita yang menerima harta
warisan dari nenek moyangnya secara turun-temurun dan ia mampu bersikap adil
terhadap kedua belah pihak”[28].
Kemudian menurut Hilman Hadikusuma “tunggu tubang adalah anak tertua perempuan
sebagai penunggu harta orang tua”[29]
Masalah
berat yang dipikul oleh tunggu tubang, jika mempunyai saudara (adik-adik) yang
cukup banyak apapalagi kalau orang tua anak perempuan tunggu tubang sudah uzur
atau meninggal dunia, karena semua biaya hidup akan menjadi tanggungjawabnya, dari memberi
makan sampai pada saatnya nanti adik-adiknya mau bekeluarga. Akan tetapi
seperti dijelaskan diatas bahwa tunggu tubang mempunyai harta warisan pokok
yakni rumah dan sawah yang biasanya pada masyarakat semendo yang diwarisi
tersebut sangat luas dan menghasilkan padi cukup banyak, dan cukup untuk
memberi makan satu keluarga besar.
Menurut
Mulkan tunggu tubang mempunyai
larangan-arangan yang harus di jauhi, larangan tersebut antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Menolak keluarga yang datang
kerumahnya.
2. Berperilaku kasar terhadap keluarga.
3. Menjual harta keluarga/harta tubang
4. Menggadaikan harta keluarga/harta tubang tanpa meminta izin dan
pertimbangan dari jenang jurai
(musyawarah keluarga).
5. Menelantarkan saudara-saudaranya sekandung yang belum berkeluarga yang berada
dibawah asuhannya sebagai pengganti orang tua.
6. Membuka rahasia keluarga[30].
VI. GENDER
PADA MASAYARAKAT SEMENDO TUNGGU TUBANG
Sebelum
penulis mengkaji lebih dalam konsep gender pada masyarakat Semendo,
Saya
nukilkan salah satu postingan yang ditulis oleh salah seorang blogger, sebagai
berikut[31]:
“Semalam penulis pernah ngobrol dengan salah
seorang dosen penulis, yang kebenaran jeme Semende pule, singkat cerite die
ngomong makini:
Ngapelah jeme Semende itu rasenye lebih
dekat nga keluarge pihak endung, dibandingkah nga pihak bapang. Padahal
dari segi agame saje perwalian itu dari pihak bapang? Jadi seolah-olah sebelah
bapang itu ade bedanya dengan pihak endung. Ade beda ‘rase’ kedekatan. (anye
bukan rase negatif).
Misalnye kalu dari pihak endung asenye lebih
mudah untuk cerite-cerite tentang ape saje, sedangkan dengan pihak bapang luk ade
sekat (mungkin kewibawaan sebelah bapang) yang njadikah rasenye bebeda. Penulis
juge lum kruan ngape sangkan jadi luk itu.
Soalnye penulis juge sebagai jeme Semende
ngasekah yang luk itu, padahal dikbedie yang nunjuk’i apelagi nyarankah.
Anye peghasean itu ngalir saje luk ayik alun.
Dengan catatan peghasean itu bukan negatif,
cuma ade perbedaan dalam hal kedekatan atau kalu dikiaskah same nga “kemanjaan”
jadi kire2 kite tu lebih manja dengan keluarge sebelah endung dibanding dengan
sebelah bapang.
Aku aneh juge, ini karena adat tesighat atau
cuman kebiasaan saje…?
Sedikdenye lah ade due ughang yang ngasekah
luk penulis tu, ntah ame pembace lainnye, mungkin same saje luk aku nga dosen
tu. Asekalah sughang”
(Tadi
malam penulis ngobrol dengan seorang dosen, kebetulan dia berasal dari suku
semendo, ceritanya begini: Mengapa orang semende lebih dekat dengan keluarga
pihak ibu (perempuan) dari pada pihak bapak (bapak), padahal menurut agama
(Islam) pihak keluarga bapak yang lebih mewakili. Jadi seolah-olah ayah ada
bedanya dengan ibu, ada beda perasaan. Dengan pihak ibu lebih terbuka untuk
mengungkapkan segala perasaan, seolah-olah ada sekat dengan pihak bapak,
mungkin karena kewibawaan bapak. Penulis merasakan perbedaan itu, padahal tidak
ada yang memberi pelajaran seperti itu, penulis merasa manja dengan ibu,
mungkin karena adat tersirat atau perasaan saja. Banyak orang semendo merasakan
hal itu).
Dari
nukilan postingan tersebut menujukan bahwa pada masyarakat Semendo kedudukan
ibu lebih diutamakan dalam hal membina dan mengatur keluarga, khususnya dalam
kehidupan rumah tangga. Sering sekali hubungan ini dianggap diskriminasi
terbalik karena lebih mengutamakan garis keturunan ibu. Dalam masyarakat
semende biasanya merasa tidak utuh dalam suatu keluarga jika tidak mempunyai
anak perempuan, apalagi jika kedudukan kelurga tersebut mewarisi tunggu tubang.
Jika salah satu keluarga tersebut masih mampu untuk melahirkan anak, sebagai
contoh dalam suatu keluarga, walaupun anaknya sudah sepuluh atau lebih tetapi
belum mempunyai anak perempuan, mereka tetap akan berusaha untuk mendapatkan
anak perempuan.
Peran
gender pada masyarakat semendo di lambangkan dengan seorang ibu rumah tangga
selain menjalankan perannya dalam mengurus keluarganya sehari-hari, juga
berperan nyata dalam pengambilan keputusan dan kegiatan produktif terutama di
sektor pertanian. Ini dikarenakan adanya suatu tatanan atau sistem yang
memungkinkan hal itu terjadi dan berlangsung hingga saat ini. Tunggu Tubang
merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang turun temurun. Selain merupakan
pewaris dari harta turun temurun seperti lahan, rumah, juga diberikan hak dan
wewenang kepada kaum perempuan di wilayah Semendo untuk menjalankan perannya
dalam bidang pertanian.[32]
Oleh
karena itu seseorang yang memegang peran tunggu tubang mempunyai berbagai
fungsi dalam kehidupan masyarakat, bahkan dalam ekonomi keluarga Peran ganda perempuan yang selalu
disandingkan dengan tugas rumahtangga akan mempengaruhi produktifitas kerja perempuan,
kendala tersebut hampir tidak pernah dijumpai oleh laki-laki yang mencari
nafkah.
Hal
ini penting untuk mewariskan adat tunggu tubang tersebut, karena yang dinamakan
tunggu tubang adalah anak perempuan yang tertua, jika tidak ada anak perempuan maka
anak laki-laki akan menjadi tunggu tubang dinamakan “Tunggu Tubang Ngangkit”.
Tunggu tubang seperti ini secara adat bisa dilakukan, akan tetapi dalam
persoalan-persolan tertentu mengurangi makna hakiki dari tunggu tubang
tersebut. Karena banyak hal yang yang secara adat yang harus dilakukan oleh
seorang laki-laki tunggu tubang akan berbeda dengan tunggu tubang ngangkit.
Misalnya,
jika kakak atau adik laki-laki ada acara jamuan (Baguan)[33],
maka urusan yang berkaitan dengan pekerjaan yang berat-berat akan dilakukan
oleh laki-laki yang menjadi tunggu tubang tersebut, seperti pekerjaan menyiapkan
sarana dapur khusus (Bangsal), mengatur persediaan makan-minum untuk acara
tersebut diatur oleh laki-laki tunggu tubang, jika tunggu tubang “Ngangkit:
tidak mungkin iya melakukan hal tersebut, karena yang berada di bangsal adalah
kelompok yang berstatus tunggu tubang murni, dan secara adat tidak mungkin
mereka berkumpul beberapa hari di bangsal, karena staus tunggu tubang ngangkit
adalah lautan[34],
bagi tunggu tubang yang asli, hal ini sangat tabu dan disebut singkuh[35].
Sebagaimana
disebutkan diatas, bahwa laki-laki tunggu tubang berarti masuk pada klen pihak
keluarga ibu, oleh karena itu secara otomatis pihak keluarga ibu kedudukannya
lebih tinggi. Bahkan dalam perkawinan pemberian mahar untuk wanita tunggu
tubang tergolng tinggi biasanya berupa emas 5 suku (1 suku = 5, 7 Gram),
ditambah dengan permintaan khusus perempuan tunggu tubang berupa uang atau
berupa emas dan biasanya lebih besar nilainya dari mahar.
Biasanya
setelah perkawinan akan diadakan pesta besar (Ngudimi Agu’an), pihak perempuan
tunggu tubang meminta kerbau untuk dipotong pada acara pesta tersersebut
(perbiye), ditambah dengan perabot rumah yang lengakap seperti: Lemari, Kursi,
Tempat tidur, barang pecah belah dan sebagainya.
VII.
KESIMPULAN
1. Secara
umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan
bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas.
2. Adat
Tunggu Tubang sebagai suatu kearifan lokal yang masih utuh, dapat dijadikan model
sebagai bentuk untuk mengatasi ekses-ekses dan isu negative terhadap gender.
3. Peran
gender pada masyarakat semendo di lambangkan dengan seorang ibu rumah tangga
selain menjalankan perannya dalam mengurus keluarganya sehari-hari, juga
berperan nyata dalam pengambilan keputusan dan kegiatan produktif terutama di sektor.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Buku dan Karya
Ilmiah
Arwin Rio Saputra, dkk, 2019, Persepsi
Masyarakat Semende Terhadap Harta Warisan Dengan Sistem Tunggu Tubang.
Jurnal sosiologi Mahasiswa Universitas Lampung.
Chopa CH Mulkan, 1987, Sejarah Asal Usul dan Silsilah Keturunan
Puyang Jurai Pangeran Rene . Sumatera Selatan : Depdikbud,
, , and , The Local Wisdom of Tunggu Tubang Culture in the Challenges of the Times (Study on Ethnical Semende District Muara Enim South Sumatera), sciencess Journal, eISSN: 2267-1242, 2018. , 2018,
Habidin,
2019, Pelaksanaan Kewarisan Tunggu Tubang
Masyarakat Adat Semende dalam Persfektif Hukum Islam.
Haris Fakhri, 2001, Kedudukan Ahli Waris Terhadap Harta Tunggu Tubang Ditinjau Dari Hukum
Adat dan Hukum Islam Pada Masyarakat Semendo di Kabupaten Muara Enim.Tesis.
Herien
Puspitawati, 2013, Konsep , Teori Dan
Analisis Gender, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi
Manusia-Institut Pertanian Bogor, PT IPB Press.
Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar
Ilmu Hukum Adat Indonesia: Bandung : Mandar Maju.
Iskandar,2013,
Kedudukan anak Tunggu Tubang dalam Kewarisan Masyarakat Adat Suku
Semendo di Kota Palembang, Tesis Program Kenotaritan Universitas
Diponegoro. Semarang.
Jhon
M. Echols dan Hasan Shadily,1983, Kamus Inggris Indonesia, cet.XII,
(Jakarta: Gramedia,
Tresno Ninggu, 2015, Jaminan Sosial Tunggu Tubang (Studi Kasus di Desa Ulak Lebar Kabupaten
Kaur, Provinsi Bengkulu).
M. Rendy Praditama, 2013, Sikap Masyarakat Terhadap Adat Tunggu
Tubang Di Desa Pulau Panggung Kecamatan Semende Darat Laut Kabupaten Muara
Enim, Jurnal Kultur Demokrasi, Vol. 1 No.
5 Tahun 2013
Nasaruddin
Umar, 1999, Kodrat Perempuan dalam Islam
(Jakarta: LKAJ,1999).
Ria Wati Rahmi Ria, 1987, Kedudukan
tunggu tubang dalam hukum waris adat semende. Bandar Lampung: Gunung Pesagi.
Singarimbun,
Masri dan Sofian Effendi, 1981, Metode
Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 2008,
Soejono Soekanto, 1981, Hukum Adat Indonesia, (Jakara: cv. Rajawali, 1981), cet. 1.
Tholhon
Abd Ra’uf, 1997, Jagat Bersemah Lebar
Semende Panjang, (Palembang:Pustaka Dzumirroh,1997).
Victoria
Neufealdt (ed), 1984, Webster’s New World Dictionary, (New
York: Webster’s New World Clevenland, 1984).
Yanter Hutapea dan Tumarlan Thamrin,
2003,
Tunggu
Tubang Sebagai Upaya Mempertahankan Sumber Daya Lahan Berkelanjutan Tunggu
Tubang (As The Effort Of Supporting Sustainable Land Resource)
Yuni
Sartika, 2015, Kadar Mahar Perkawinan
Terhadap Anak Tunggu Tubang Di Kecamatan Semende Darat Kabupaten Muara Enim
Ditinjau Dari Mazhab Syafi’i Dan Mazhab Hanafi, Skrpsi Fakultas Syari’ah,
UIN Raden Fatah Palembang, Tahun 2015,
B.
Media on Line
http://eprints.walisongo.ac.id
http://
publikasi.fisip.unila.ac.id.
[1] Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
IAIN Bengkulu
[2] , , , and , The Local Wisdom of Tunggu Tubang Culture in the Challenges of the Times (Study on Ethnical Semende District Muara Enim South Sumatera), sciencess Journal, eISSN: 2267-1242, 2018.
[3] Haris Fakhri, Kedudukan Ahli Waris Terhadap Harta Tunggu
Tubang Ditinjau Dari Hukum Adat dan Hukum Islam Pada Masyarakat Semendo di
Kabupaten Muara Enim.Tesis. 2001, h, 21.
[4] . Masuk Kerumah Jeme, artinya laki-laki yang menikah dengan
perempuan status tunggu tubang menjadi klen keluarga perempuan.
[5]. Iskandar, Kedudukan anak Tunggu Tubang dalam Kewarisan Masyarakat Adat Suku
Semendo di Kota Palembang, Tesis Program Kenotaritan Universitas
Diponegoro. Semarang, 2003, h. 31
[6] Yuni Sartika, Kadar Mahar Perkawinan Terhadap Anak Tunggu
Tubang Di Kecamatan Semende Darat Kabupaten Muara Enim Ditinjau Dari Mazhab
Syafi’i Dan Mazhab Hanafi, Skrpsi Fakultas Syari’ah, UIN Raden Fatah
Palembang, Tahun 2015,
[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Semendo, diakses, 13 April 2019. Lihat
juga: Iskandar, Kedudukan Anak…Op. Cit
[9] Tresno Ninggu, Jaminan Sosial Tunggu Tubang (Studi
Kasus di Desa Ulak Lebar Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu). https://www.academia.edu/37224177/Jaminan_Sosial_Tunggu_Tubang, diakses, 13 April 2019.
[10] Arwin Rio Saputra, dkk, Persepsi
Masyarakat Semende Terhadap Harta Warisan Dengan Sistem Tunggu Tubang.
Jurnal sosiologi Mahasiswa Universitas Lampung. (http://
publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/sosiologi/article/view/167.2014 ).
Diakses pada 13 April 2019.
[13] Iskandar, Kedudukan Anak…Op cit,
[14] http://www.kuliah.info/2015/05/konsep-adalah-apa-itu-konsep-ini.html
[16] Jhon M.
Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris
Indonesia, cet.XII, (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 265
[17] Victoria Neufealdt (ed) Webster’s
New World Dictionary, (New York: Webster’s New World Clevenland, 1984), h.
561
[18] Herien Puspitawati, Konsep
, Teori Dan Analisis Gender, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas
Ekologi Manusia-Institut Pertanian Bogor, PT IPB Press, 2013, h.1
[19] . Ibid
[21] Parameter Kestaraan Gender dalam
pembentukan Peraturan Perundang-undangan: Kerjasama Kementerian Hukum dan Hak
Azazi Manusi, Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Dalam
Negeri Republik Indonesia, tahun 2012, https://www.kemenpppa.go.id, diakses 13 April 2019
[22] Tholhon
Abd Ra’uf, Jagat Bersemah Lebar Semende
Panjang, ( Palembang:Pustaka Dzumirroh,1997), h. 138. Lihat Juga: Lambang Adat
Semende atau Lambang Tunggu Tubang terdiri dari lime unsur yaitu Guci, Kujur,
Tubang, Kapak dan Jale (lime bemakne Rukun Islam). Namun ade pule ye
menambahkan unsur Sawah/Tebat/Pauh (menjadi enam unsur/simbol rukun iman).
Tebat/Pauh ini sebagai simbol mata pencaharian utama suku Semende dan
pengelolaan harta warisan orangtua yang membutuhkan keuletan dan kesabaran
Tunggu Tubang. 1. Tubang retinye
badah balik (cube kinak badah tubang, biasenye di dapuw!) bukan retinye
penyimpanan segale 2. Guci retinye
penyimpanan segale rahasie 3. Kujur retinye
kejujuran (luk hurud Alif), nak luhus ati; amanah 4. Kapak retinye keadilan; berlaku adil, memisahkan yang haq dan yang
bathil, 5. Jale retinya
penghimpunan, nunggalkah apit jurai,dsb. http://semende.wikifoundry.com, diakses: 13
April 2019.
[23] Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakara: cv. Rajawali, 1981), cet. 1, h. 286.
[24] Habidin, Pelaksanaan
Kewarisan Tunggu Tubang Masyarakat Adat Semende dalam Persfektif Hukum Islam.
Tesis, (http://eprints.walisongo.ac.id/521/2012). Diakses pada 10 April 2019.
[25] Yuni Sartika, Kadar Mahar ……Op. Cit.
[26] M. Rendy
Praditama, Sikap
Masyarakat Terhadap Adat Tunggu Tubang Di Desa Pulau Panggung Kecamatan Semende
Darat Laut Kabupaten Muara Enim, Jurnal
Kultur Demokrasi, Vol. 1 No. 5 Tahun 2013
[27] Ria Wati Rahmi Ria, Kedudukan
tunggu tubang dalam hukum waris adat semende. Bandar Lampung: Gunung Pesagi.
1987
[28] Chopa CH
Mulkan.. Sejarah Asal Usul …Op. Cit.
[29] Hilman Hadikusuma,. Pengantar
Ilmu Hukum Adat Indonesia: Bandung : Mandar Maju. 1992, h. 1.
[30] Chopa CH
Mulkan.. Sejarah Asal Usul dan Silsilah
Keturunan Puyang Jurai Pangeran Rene . Sumatera Selatan : Depdikbud, 1987.
H. 23.
[31]
https://semende.wordpress.com/penulis/
[32] Yanter Hutapea dan Tumarlan Thamrin, Tunggu Tubang Sebagai Upaya Mempertahankan Sumber Daya Lahan
Berkelanjutan Tunggu Tubang (As The Effort Of Supporting Sustainable Land
Resource). https://pse.litbang.pertanian.go.id, diakses 13 April 2019.
[33] Baguaan, adalah Pesta, atau
jamuan.
[34] lauatan, adalah kakak dan/atau adik laki
dari isteri.
[35] Singkuh, perasaan malu apabila dilakkan
atau diucapkan
Komentar
Posting Komentar