KONSEP HUKUM DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN



KONSEP HUKUM DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Imam Mahdi
(i.mahdi15@yahoo.co.id)

Abstak

            Pembangunan merupakan suatu pembeda antara kondisi sekarang dengan masa lalu dan masa yang akan datang, salah satu dari  hal ini bisa dilihat dari taraf kehidupan masyarakat, untuk mencapai ini dan tertib dalam pelaksanaan perlu adanya koridor yang mengatur tentang itu sehingga tujuan tercapai sesuai dengan apa yang diingini. Adapun aturan yang dimaksud dalam pembuatannya sangat tergantung dengan politik penguasa dan dalam pelaksanaanya tersebut hukum itu mempunyai alat pemaksa sehingga ia dapat dilaksanakan.

Kata Kunci : Pembangunan, Hukum.

Pendahuluan
Pengertian tentang pembangunan berkembang sesuai dengan perkembangan pemahaman orang tentang tujuan pembangunan. Secara umum pembangunan dimaksudkan untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik di mas depan dari pada kondisi yang ada pada waktu sekarang ( walal akhirotu khairul laka minal ula, QS , 93 : 4).[1] Ini mengandung pengertian bahwa masyarakat selalu berada dalam kondisi yang dinamis. Disadari sepenuhnya agar kondisi itu berjalan dengan baik haruslah disiapkan dengan sutu perencanan, serta didukung dengan perangkat-perangkat aturan yang dapat dijadikan pedoman, yaitu seperangkat aturan hukum yang dibuat sedemikian rupa untuk kemaslahatan umat.
Pembahasan
            Hukum berperan sebagai “ as a tool of social engineering “ untuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam masyarakat dan sebagai pembaharuan masyarakat, hukum bertugas sebagai penyalur kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan.[2] Roscoe Pound[3] mengatakan bahwa hukum dapat mempengaruhi masyarakat serta hukum dapat sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engeneering). Mochtar Kusumaatmakja[4] juga mengatakan hukum sebgai sarana untuk melaksanakan pembangunan. Menurut Soerjono Soekanto,[5] hukum memiliki 3 (tiga) fungsi yakni sebagai : sarana pengendali sosial, sarana untuk memperlancar interaksi sosial, hukum bekerja menjadi sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat  dari ancaman maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri serta harta bendanya. Juga hukum bersifat memelihara dan mempertahankannya yang telah tercapai.[6]
            Pembangunan sebagai suatu perubahan sosial yang berencana, sedangkan “proses pembangunan yang sedang berlangsung membawa konsekuensi terjadinya proses perubahan dan pembaharuan seluruh pranata  sosial yang ada, termasuk pranata hukum, yaitu engan mempertanyakan kembali peran dan fungsi hukum dalam pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan.”[7]
            Adapun peran kongkrit hukum dalam pembangunan telah dikatakan oleh Abdul Gani:
Kalau hukum benar-benar berkesempatan berperan dalam proses penyelenggaraan pembangunan, tak ayal lagi pembangunan akan terlaksana secara lebih manusiawi. Pembangunan sebagai proses politik pada hakekatnya merupakan mekanisme/perencanaan dan perencanaan masa depan, dan kalau hukum benar-benar berperan secara nyata, maka masa depan kitapun akan lebih manusiawi wujud dan coraknya.[8]sedangkan Satjipto Raharjdo, mengatakan hukum dapat  berperan secara positif untuk:
1.      Mengamankan hasil-hasil yang didapat oleh kerja dan usaha dalam pembangunan.
2.      Penciptaan lembaga-lembaga hukum baru yang melancarkan dan mendorong pembangunan.
3.      Pengembangan apa yang disebut dengan keadilan untuk pembangunan;
4.      Pemberian legitimasi terhadap perubahan-perubahan yang bertujuan untuk itu oleh orang-orang yangmelakukan pilihan-pilihan yang akan memberikan efek yang mendorong perubahan dalam pembangunan;
5.      Pengggunan hukum untuk melakukan perombakan-perombakan;
6.      Peranan dalam menyelesaikan perselisihan;
7.      Pengaturan kekuasaan pemerintahan.
Pada buku Rahardjo[9] mengemukakan bahwa hukum harus mampu menjadi sarana agar tujuan-tujuan kebijaksanaan publik dapat terujud dalam masyarakat. Hal ini mengingat ci-ciri yang melekat pada hukum, yatu:
a.       Kehadiran hukum menghadirkan suatu kemantapan dan keteraturan dalam usaha manusia.
b.      Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Di dalam ruang lingkup kerangka yang telah diberikan dan dibuat oleh masyarakat itu, anggota-anggota masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
c.       Sebagai kerangka sosial untuk kebutuhan manusia itu, maka hukum menampilkan wujudnya sebagai sarana untuk menjamin, agar anggota-anggota masyarakat dapat dipenuhi secara terorganisasi.
d.      Di dalam masyarakat ditemui berbagai sub sistem yang jalin menjalin satu sama lain, dimana perubahan pada suatu sub sistem akan memberikan dampaknya pada sub sistem lannya.
Sehubungan dengan itu Lili Rasyidi berpendapat “Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.”[10] Oleh karena itu dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam merencanakan hukum dan pembangunan, ada beberapa alasan mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting dalam perencanaan pembangunan. Pertama, sebagai alat untuk memperoleh informasi, kedua, masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaan, karena akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut,[11] ketiga, sebagai ujudu dari demokrasi bahwa rakyat mempunyai hak untuk dilibatkan dalam pembangunan. Jadi partisipasi masyarakat akan mengefektifkan tindakan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, termasuk penerapan aturan-aturan hukum yang telah ada.
Campur tangan hukum yang semakin meluas kedalam bidang-bidang kehidupan masyarakat menyebabkan bahwa keterkaitan dengan masalah-masalah sosial semakin intensif.[12] Termasuk didalamnya sistem perencanaan pembangunan daerah, akrna salah satu kajian dari ilmu-ilmu sosial dan administrasi hukum yang berkaitan dengan kebijakan dan social engineering.
Disamping itu untuk mencapai tujuan-tujuan yang berat dan kompleks itu, suatu proses pembangunan membutuhkan perencanaan yang cermat, perencanaan ini antara lain juga  mencakup jaminan dan perlindungan terhadap keteraturan, kelancaran, dan keseluruhan proses dan hasil-hasil dari pembangunan itu, dan karenanya dibutuhkan suatu instrumen yang mampu memberikan jaminan, perlindungan, kepastian, dan arah bagi pembangunan itu. Instrumen itu adalah hukum.[13]
Hukum yang bisa memberikan jaminan perlindungan dan kepastian dan arah bagi pembangunan sangat terhantung kepada karakter hukum suatu bangsa/negara hal tersebut sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi bangsa/negara ditempat hukum itu berlaku, baik law making dalam arti produk-produk hukum yang dihasilkan maupun law enforcemen.[14] Di dalam teori dan praktek diketahui bahwa perencanaan pembangunan mutlak memiliki tiga sifat yaitu: a. Alokatif, b. Inovatif, c. Multi fungsi dan inter disipliner.[15] Alokatif, inovatif, dan multi fungsi telah di bahas terdahulu, pada bagian ini akan dikaji dari sudut pandang perencanaan pembangunan daerah yang bersifat inter disipliner terutama dalam pandangan hukum administrasi negara.
Perencanaan dalam hukum administrasi negara adalah “suatu” (keseluruhan peraturan yang bersangkut paut yang mengusahakan sepenuhnya, mewujudkan suatu keadaan tertentu yang teratur), “tindakan-tindakan” (tindakan yang berhubungan secara menyeluruh) yang memperjuangkan dapat terselenggaranya suatu keadaan tertentu secara tertentu. Keseluruhan itu disusun dalam bentuk tindakan hukum administratif; sebagai tindakan hukum yang menimbulkan administratif, sedangkan dalam pembangunan, perencanaan mulai dari suatu proses administratif.[16]Alokasi, inovatif dan multi fungsi telah di bahas terdahulu pada bagian ini akan dikaji dari sudut pandang perencanaan pembangunan daerah yang bersifat inter disipliner terutana dalam pandangn hukum administrasi negara.
Perencanaan dalam hukum administrasi negara adalah “suatu” (keseluruhan peraturan yang bersangkut paud yang mengusahakan sepenuhnya, mewujudkan suatu keadaan tertentu yang teratur), “tindakan-tindakan” (tindakan yang berhubungan secara menyeluruh) yang tertentu. Keseluruhan itu disusun dalam bentuk tindakan hukum administratif, sedangkan dalam pembangunan,perencanaan mulai dari suatu proses administrasi.[17]
Perencanaan merupakan bentuk keputusan administrasi negara,keptusan ini merupakan suatu perbuatan yang tidak saja bersifat yuridis tetapi juga bersifat politis dan ekonomis (bestuure handelung).[18] Bersifat politis dan ekonomis karena perencanaan pembangunan lebih dititk beratkan kepada penguasa atau pemerintah untuk menata dan mengatur suatu rencana pembangunan yang telah disepakati bersama baik melalui perundang-undangan maupun kebijakan. Campur tangan pemerintah ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:[19]
1)      Fungsi mengatur
a)      Penentuan kebikaksanaan
2)      Pemberian pengarahan dan bimbingan
3)      Pengaturan melalui perizinan
4)      Pengawasan, produk dari fungsi ini adalah berbagai peraturan-peraturan.
5)      Pemilikan sendiri dari pada usaha-usaha ekonomi atau sosial yang penyelengaraan dapat dilakukan sendiri atau swasta.
6)      Penyelengaraan sendiri dari berbagai kegiatan-kegiatan ekonomi atau sosial.

Berkenaan dengan itu Muchsan dan Fadillah berpendapat:
Keluarnya kebijakan pemerintah, karena ketika pada kasus tertentu unsur hukum ini tidak dapat diterapkan sama persis dengan harapan yang ada, maka kebijakan publik diharapkandengan kondisi riil yang ada, maka kebijakan publik diharapkan mampu memberikan tindakan-tindakan yang lebih kontekstual dengan kondisi riil yang ada dilapangan, dan ketika kebijakan publik melakukan hal itu maka sesungguhnya ia pun berangkat dari unsur hukum yang dimaksud.[20]

Selanutnya Muchsan dan Fadillah berpendapat:
Agar suatu kebijakan publik yang telah diwujudkan dalam bentuk hukum dengan berbagai bentuk peraturan perundang-undangan yang ada, dapat dijalankan secara efektif, maka diperlukan penguasaan keterampilan baru oleh para perencana dan penentu kebijaksanaan, para pejabat pemerintah( dalam hal ini birokrat)”[21] sedangkan birokrasi yang didalamnya adalah birokrat merupakan aparat pemerintah yang mempunyai peran dalam menerapkan keputusan politik.[22]
            Dengan adanya fungsi mengatur, pemerintah mengadakan regulasi terhadap perencanaan pembangunan, namun perlu diingat keputusan  administrasi negara yang bersifat perencanaan tidak dapat dijadikan sebagai pangkal sengketa tata usaha negara, sepanjang belum final, konkrit dan individual, tetapi perencaan yang baik dan sikap tindak administrasi yang sesuai dengan perencanaan dapat mencegah terjajdinya  sengketa tata usaha. Dalam sistem pemerintahan fungsi hukum menurut Rahardjo:
Dapat disederhanakan dalam 2 (dua) bagian, yakni,sebagai kontrol sosial (social control) dan sarana rekayasa sosial ( social engeneering). Aspek pekerjaan hukum sebagai sarana kontrol sosial, tempatnya bersifat statis, yaitu sekedar memecahkan masalah yang dihadapkan kepadanya secara kongkrit, yaitu mengatur hubungan-hubungan sosial yang ada, hal ini berbeda dengan hukum sebagai rekayasa sosial yang artinya tidak ditinjau kepada pemecahan masalah yang ada melainkan berkeinginan untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku  angota-angota masyarakat. Perubahan-perubahan itu terutama menyangkut maslah kelembagan, yaitu tentang faktor-faktor perubahan yang membebani pekerjaan lembaga-lembaga hukum ( seperti lembaga hukum pembentukan norma dan penyelesaian sengketa) sehingga diperlukan adanya penyesuaian-penyesuaian dipihak lembaga-lembaga tertentu.[23]
            Meskipun fungsi hukum sebagai sarana kontrol  bersifat statis, masih dapat diamati keterlibatan hukum pada perubahan sosial.[24]
Di samping itu hukum harus mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak yang terlibat atau diatur oleh hukum tersebut. Hukum tersebut harus sesuai kondisi masyarakat yang diaturnya. Hukum tersebut harus dibuat sesuai dengan prosedur yang ditentukan. Juga suatu hukum yang baik dapat dimengerti dan dipahami oleh para pihak yang diaturnya.[25]
            Senada dengan itu Sunggono mengatakan:
Hukum merupakan instrumen(alat) untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, menjadikan hukum sebagai sarana yang secara sadar dan aktif digunakan untukmengatur masyarakat, dengan menggunakan(melalui) peraturan-peraturan hukum yang dibuat dengan sengaja. Dalam konteks yang demikian ini sudah barang tentu harus diikuti dan diperhatikan perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,sebagai basis sosialnya.[26]
            Hukum perencanaan diatur dalam perundang-undangan dan pembuatan aturan harus dengan perencanaan yang teliti dan cermat , seperti dikatakan oleh Soejito. “membuat rancangan undang-undang (baca :peraturan perundang-undangan) adalah merupakan pekerjaan yang sulit, merancang  peraturan perundang-undangan bukan merupakan soalilmu pengetahuan tetapi ada pula soal seninya.[27]      
            Keterlibatan pemerintah dalam mengatur masyarakat merupakan suatu ciri dari prinsip negara welfare State (negara kesejahteraan)[28] yang merupakan tuntutan negara modern saat ini. Menurut Juanda,[29] “hampir semua negara modern saat ini mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (welfare state).”dalam suatu negara modern dimana negara ikut campur dalam segala kehidupan masyarakat, maka pada administrasi negara diberikan juga pekerjaan seperti yang dikatakan oleh donner yang dikutip sunindhia dan widiyanti,”sebagai pekerjaan menentukan tugas atau leakstelling atau tugas politik walaupun tugas ini haruslah dituangkan dalam undang-undang dan peraturan.[30]
            Tugas politik karena meliputi keseluruhan aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial budaya, hukum dan lain-lain, dalam politik hukum kita kenal sebuah teori kausalitas antara hukum politik, yaitu:[31]
1.      Hukum eterminan atas politik, dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur dan harus tunduk pada aturan hukum.
2.      Politik determinan atas hukum, karena merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan.
3.      Politik dan hukum sebagai sub kemasyarakatan berada padaposisi yang sederajat diterminasinya seimbang, karena meskipun hukum berlaku, maka semua kegiatan politik harus tunduk kepada hukum.
Di dalam hubungan kausalita tadi mahfud mempertanyakan,bagaimana pengaruh politik terhadap huku, mengapa politik banyak mengintervensi hukum, jenis politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum yang berkarakter tertentu dan sebagainnya.[32] Pada kesempatan lain Mahfud mengatakan: “ konfigurasi politik yang demokratis senantiasa  melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang berkarakter konserpatif.”[33]
            Masalah lain yang juga mendapat sorotan ialah adanya hubungan timbal balik antara garis tata kaedah(norm) dengan kenyataan-kenyataan (werkelijkheid), seperti juga adanya hubungan timbal balik antara hukum dan politik.[34]
            Demikian juga dengan pengaturan hukum sistem perencanaan pembangunan daerah tidak terlepas dari konfigurasi dan hubungan kausalitas antara politik dan hukum,khusus perencanaan pembangunan daerah, karena diteapkan dengan perda yang juga produk hukum yang isinya/materinya merupakan kebijakan-kebijakan hukum dan politik.
            Perda adalah ketetapan hukum, sedangkan materi dalam perda tersebut adalah prduk keijakan politik, dan penetapan hukum itu perlu agar masing-asing stagholders yang kemungkinan dikemudian hari melanggar kesepakatan tersebut dapat dikenakan sangsi, dan konsistensi dari stagholder dapat dijaga keutuhannya.[35]
            Untuk melaksanakan perda ini biasanya diiringi dengan surat keputusan, instruksi, surat edaran, bahkan ada hanya dengan himbauan gubernur. Hal semacam ini dalam hukum administrasi negara di benarkan yang disebut perbuatan hukum bersegi satu.[36]yang dilakukan oleh bdan administrasi negara yang diberi nama “ ketetapan” kalau bahasa hukumnya beschikking dan perbuatan membuat ketetapan ini disebut “penetapan” misalnya walikota menetapkan kepada tuan Kurdi di beri izin untuk membangun rumah di persil jalan cihampelas nomor tiga tujuh Bandung.[37]
            Dalam praktek penyelengaraan pemerintahan diindonesia bentuk keputusan  tata usaha negara sangat beraneka ragam, contoh : pengangkatan pegawai, izin usaha industri,surat keterangan kelakuan baik, akte kelahiran, surat izin mengemudi(SIM), setifikat hak atas tanah dll.[38]
            Ketetapan dan penetapan itu adalah perbuatan hukum administrasi negara (hukum pemerintahan) mempunyai hubungan hukum yang istimewa diadakan, akan memungkinkan para pejabat (ambtsdrager) administrasi negara melakukan tugas mereka yang khusus.[39] Pada umumnya penetapan pemerintah tidak bersifat mengatur melainkan sebagai keputusan atau penetapan, tapi ada juga yang bersifat mengatur, seperti : penetapan pemerintah tentang hari raya.[40] Ketetapan menurut W.F Prins dalam bukunya  inleiding in het adinistratief recht va indonesia mendefinisikan ketetapan ialah : tindakan hukum yang sepihak dalam bidang pemerintahan dilakukan oleh alat perlengkapan negara berdasarkan kewenangan yang khusus.[41] Berkenaan dengan pengertian menurut hukum administrasi di atas, secara filsafat hukum juga dapat didefinisikan, yaitu: “ hukum dilaksanakan sesuai dengan jenis kalimat pengaturnnya, yaitu memerintahkan,mengatur,mengizinkan, dan sebaginya.[42]

Penutup
Kebutuhan terhadap hukum dalam kegiatan perencanaan akan semakin bermakna untuk dapat memberikan arah kebijakan dalam proses pengmbilan keputusan oleh pemerintah dan masyarakat, pemerintah memiliki tugas dan fungsi yang semakin penting dalam kegiatan pemerintahandan penyediaan pelayanan publikmelalui proses pembangunan dengan aktifitas mengarahkan masyarakat, dan mendorong proses transformasi sosial. Serta dapat menghindari tindakan-tindakan yang mengarah kepada penyimpangan-penyimpangan perncanaan, termasuk juga pengawasan dan pelaksanaan serta evaluasi dari pembanguna itu sendiri.


[1] Said Zainal Abidin, Pembangunan: Globalisasi Dan Ketergantungan Makalah, Tahun 2003
[2] A. Moekti Fajar, Negara Hukum Dan Pembangunan, Artikel Pada Majalah Hukum No.4, Desember 1987
[3] Dikutip Lili Rasyidi, Filsafat Hukum –Apakah Hukum Itu? Penerbit PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, Hlm. 49-50
[4] Mochtar Kusumaatmaja (2), Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional, Pola Dan Mekanisme Pembaruan Diindonesia, Penerbit Lembaga Penelitian Hukum Dan Kriminologi Fakultas Hukum Unpad-Bandung Bekerjasama Dengan Penerbit Bina Cipta, 1976, Hlm 25,. Di Indonesia, Mochtar Kusumaatmaja Telah Mengintrodusir Sebuah Teori Hukum Pembngunan Yang Menurutnya Di Bangun Diatas Teori Kebudayaan Dari Nortrop, Teori Orientasi Kebijaksanaan(Polisy-Oriented) Dari M.C. Dougall Dan Laswell Dan Teori Hukum Pragmatis Dari Roscoc Pound. Menurut Moochtar,Hukum Merupakan Keseluruhan Asas –Asas Dan Kaidah-Kaidah Yang Mengatur Kehidupan Manusia Dalam Masyarakat, Juga Mencakup Lembaga-Lembaga (Instution) Dan Proses-Proses( Processes) Yang Mewujudkan Berlakunya Kaidah-Kaidah Itu Dalam Kenyataan.( Lili Rasyidi Dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, Hlm 126)
[5]  Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi Tentang Pribadi Dalam Masyarakat, Penerbit Gha Lia Indonesia, Jakarta, 1982, Hlm 79-80.
[6]Mochtar Kusumaatmaja ( 3 ), Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, R.Otje Salman Dan Eddy Damian, ( Ed ), Alumni, Bandung, 2002, Hlm 4.
[7] Sunggono,Op Cit., Hlm 101
[8] Abdul Ghani, Peran Hukum Dalam Pembangunan Indonesia, Makalah Pada Symposium Peranan Ilmu Hukum Dalam Pembangunan Indonesia Di Surabaya, 17 November 1984
[9] Satjipto Raharjo(1), Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1986,136-137
[10] Satjipto Rahardjo(2),  Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1987, hlm 149-151
[11] Lili Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Alumni,Bandung,1985,hlm 47
[12]  Seperti kasus-kasus pemberian HGU terhadap perkebunan besar di Bengkulu, di kemudian hari terjadi sengketa dengan  masyarakat setempat, berdasarkan analisa penulis yang dimuat dalam suatu makalah yang berjudul transaksi yang bersangkutan dengan tanah yang berlaku di tengah masyarakat sebagai alternatif penyediaan tanah untuk perkebunan besar di Bengkulu,disebabkan masyarakat tidak dilibatkan mencarai alternatif selain harus membebaskan tanah mayarakat yang diatasnya telah ada hak-ha lain secara adat. Transaksi seperti sorong-sorongan,sasih,maro/paroan dan lain lain tidak pernah di coba untuk digunakan sebagai dasar peyediaan tanah bgiproyek pemerintah, berdasarkan hasil penelitian Kusmito Gunawan, hampir seluruh HGU di Bengkulu Utara bermasalah terutama menyangkut tanah masyarakat. Hal ini juga karena pemberian HGU tidak selektif terbukti bannyaknya HGU perkebunan besar dicabut izin HGU nya. Terakhirr, harian Bengkulen post menulis pada edisi 26 september 2006 kasus PLTA Musi di kabupaten Kepahiyang, PLTA Musi ciptakan kemiskinan baru”.
[13] Sutadyo Wignyosoebroto,Ilmu Hukum  Dan Ilmu Sosial, Kertas Kerja Seminar Antropologi Hukum UI, Jakarta, 7-9 Januari 1991, Hlm 17-19
[14] Lili rasayidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung,Hlm, 118
[15]Herawan S, Implikasi Hukum Terhadap Pelaksanaan Program Landreform Di Indonesia ,Makalah, Tanpa Tahun,Hlm 5
[16] Tim penulis modul FISIP UT, Materi Pokok Perencanaan Pembangunan,Karunika Jakarta,198,Hlm 1-5
[17] SF.Marbun, dkk, Hukum Administrasi Negara, UII Press Yogyakarta, 1997, hlm 237
[18] Ibid,hlm 258
[19] Awaloeddin Jamin, Masalah Organisasi Dan Administrasi Pembangunan, Majalah Prisma No. 4 Agustus 1974,Hlm 14
[20] Muchsan, H dan Fadilla Putra, Hukum Dan Kebijakan Publik, Avierroes, Malang, 2002, hlm 86
[21] Emil Salim, Lingkungan Hidup  Dan Pembangunan, Mutiara, Jakarta, 1980, Hlm 160
[22]Setiap usaha untuk menegakan hukum selalu dikembangkan ketangan penguasa-penguasa politik, karena perumusan kebijaksanaan melalui badan-badan legislatif terletak pada kekuasaan politik, karena itu merupakan suatu keputusan politik. (terjemahan : Philipe Nonet and Philipe Selzink, Law And Sosiety In Transition :Toward Responsif Law, Happer And Row Publishe, New York,1978, Hlm 79).
[23] Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial: Suatu Tindakan Teoritis Serta Pengealaman Di Indonesia, Penerbit Alumni,Bandung, 1983 Hlm 128-129
[24] Soerjono Soekanto, Teori Sosiologis Tentang Ppribadi Dalam Masyarakat,Ghalia Indonesia, Jakarta, Hlm 80
[25] R.Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1989,Hlm 91
[26] Bambang sunggono,hukum dan kebijaksanaan publik, sinar grafika, jakarta, 1994,hlm 91
[27] Irwan Sejito, Tekhnik Membuat Undang-Undang, Pradnya Paraita,Jakarta,1969,Hlm 11
[28] Negara kesejahteraan(welfare state) sebagai antitese dan konsepsi yang individualistis dalam masa liberalismeaatau collektivialisme yang menghendaki negara ikut serta dalam penyelenggaraan kesejahteraan rakyat untuk menjamin keadilan sosial. Kalau dalam negara hukum liberal para warga masyarakat dilindugi hak-haknya secara formal menurut hukum. Maka dalam negara kesejahteraan perlindungan dan jaminan hak-hak warga lebih ditekankan pada perlindungan dan jaminan secara materil sosial ekonomis sebagian besar warga masyarakat tidak berdaya untuk memperbaiki nasibnya. Aminan dan perlindungan hak-hak bidang sosial ekonomi. Sebagai akibatnya maka negara harus ikut campur tangan dalam pengaturan kehidupan sosial ekonomi untuk menjamin keadilan sosial. (R. Soegijanto Tjakranegara,  Hukum Tata usaha Dan Birokrasi Negara,Rineka Cipta, Jakarta, 1992,hlm.64-65)
[29] Juda, Op Cit, hlm 36
[30] YW.Sunindhia dan Mimik Widiyanti, Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi, Rineka Cipta, Jakarta,190,hlm 157. Dalam kaitan pendapat di atas, secara teoriritis pada umumnya dibedakan adanya tiga macam hal berlakunya huum atau perundang-undanagan, yaitu 1. Berlaku secara yuridis, mengenai hal ini terdapat pandangan-pandangan sebagai berikut : a) han kelsen dalam teorinya, the pure theory of law menyatakan bahwa hukum mempunyai keberlakuan yuridis apabila penentuannya berdasarkan pada kaidah yang lebih tingi tingkatannya (hal ini berdasarkan teori fenbau de recstuht); b) zevenbergen dalam formale encyclopaidie der rectswetwnscap menyatakan bahwa suatu kaidah hukum mempunyai keberlakuan yuridis apabila kaidah tersebut menurut tata cara yang di tetapkan; c) logemann dalam over de theori ban een stelling staatrecht menyatakan bahwa suatu kaidah hukum mengikat apabila menunjukan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya. 2. Berlakunya  secara sosiologis yang berintikan  pada efektifitas hukum, dalam kaitan ini terdapat dua teori pokok yang  mengatakan: a) teori kekuasaan pada pokoknya  menyatakan bahwa hukum berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, dan hal ini adalah terlepas dari masyarakat apakah masyarakat menerimah atau bahkan menolak ; b) teori pengakuan yang berpokok pangkal pada pendirian bahwa berlakunya hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh masyarakat kepada siapa hukum tersebut berlaku. 3. berlakunya secara filosofi artinya bhwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. (soerjono soekanto, beberapa permasalahan hukum dalam rangka pembanguanan di Indonesia,  UI press, jakarta, 1983, hlm 43-35)

[31]  Satya Arinanto, Politik Hukum : Kumpulan Transformasi, UI Fakultas Hukum, Pascasarjana, Jakarta, 2003-2004 tanpa halaman.
[32] Moh. Mahfud Md (1), Politik Hukum di Indonesia,LP3ES,Jakarta,1998,Hlm295
[33] Moh. Mahfud Md (2),Pergulatan politik dan hukum di indonesia, Gama Media, Yogyakarta,1999 hlm 295
[34] Sri Soemantri Martosowignyo, Pembangunan Hukum Nasional Dalam Perspektif Kebijakan, dalam identitas hukum nasional. Artidjo Alkosar, (ed)
[35] H. Muchsan, dan Fadilla putra Op Cit hlm 37.
[36] Dalam praktek penyelenggaraan pemerintah daerah ketentuan-ketentuan semacam itu sering kita temui. Menurut hukum administrasi negara” himbauan” tidak termasuk dalam kategori keputusan tata usaha negara seperti diatur pada pasal1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986, dengan unsur-unsur sebagai berikut : - penetapan tertulis :-oleh badan atau pejabat tata  usaha negara ;- kongkrit, individual, final, akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Disamping perbuatan hukum bersegi satu ada sifat  norma hukum bersegi empat yaitu : 1. norma umum abstrak misalnya undang-undang 2. norma individual kongkrit misalnya keputusan tata usaha negara, 3. norma umum kongkrit misalnya rambu-rambu lalu lintas yang di pasang disuatu tempat umum (rambu ini berlaku bagi semua pemakai jalan namun hanya berlaku untuk lokasi itu,4. norma individual abstrak misalnya izin ganguan. (philipus M. Hadjon, dkk, Op Cit hlm 124-125)
[37] Sunundhia dan Mimik widiyanti, Op Cit, hlm 79
[38] Hadjon, dkk, Op Cit hlm 125
[39] E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1964, HLM 9
[40] Bangir Manan dan Kunta Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung, 1993 hlm 59
[41] R. Soegijanto Tjaknegara, Op Cit hlm 77
[42] Sumaryono, Etika Hukum, Penerbit Kasinus,Yogyakarta,2000,hlm 87

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU