Rentang Sejarah "NILAI-NILAI DEMOKRASI PANCASILA”


Rentang Sejarah "NILAI-NILAI DEMOKRASI PANCASILA”
I. Pancasila adalah dasar Negara dalam Bahasa Baratnya disebut Philosophische Grondslag, ini sudah diamalkan sejak Indonesia merdeka, Pelaksanaan Pemilu mulai dari era orde lama samapi orde reformasi sekarang ini, semuanya dilandasi asas dan nilai demokrasi Pancasila. Pancasila yang dimaksudkan adala dasar Negara yang ditetapkan dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sehari setelah Proklamasi diikrarkan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.
Demokrasi bukan barang baru, sudah lama sekali dipakai manusia dalam menentukan penguasa, kira kira tahun 508-507 SM, sudah diterapkan di Yunani dan waktu itu pemimpinya Cliesthenes dan dia disepakati oleh para ahli sebagai bapak demokrasi, dan demokrasi berpola-pola seiring dengan perkembangan mode ada yang benar-benar dikatakan demokratis dan ada juga yang dikatakan tidak demokratis atau semi demokratis, ini juga standarnya tidak baku tergantung kapan dinilai, siapa yang menilai dan Negara mana yang dinilai. Kalau merujuk pada suatu NGO yang bernama Democraty Index, laporanya pada tahun 2011 merengking Negara-negara yang benar-benar sempurna demokrasi dan ada yang tidak sempurna. Dan Indonesia masuk katagori Negara yang nilai demokrasinya tidak sempurna.
Seiring dengan jalannya proses demokrasi di Indonesia, implementasi asas dan nilai demokrasi mengalami perubahan makna atau hanya suatu pergeseran yang disesuaikan dengan masanya, sehingga pelaksanaan Pemilihan Umum juga mengalami perubahan-perubaan, tentunya mengarah kepada yang lebih baik lebih demokratis dan tentunya lebih Pancasilais. Terserah orang menilai dan itu tapsir bebas bagi setiap oaring yang melaksanakan pelaksanaan demokrasi yang bernilai Pancasila tersebut. Ini juga bukan dialami Indonesia karena Penerapan demokrasi diberbagai belahan dunia, memiliki ciri khas dan spesifikasi masing-masing, yang lazimnya sangat dipengaruhi oleh ciri khas masyarakat sebagai rakyat dalam suatu Negara, mungkin juga karena budaya mempengaruhi makna demokrasi.
Di era orde lama (mohon maaf bagi yang tidak suka dengan istilah ini, Orde lama sebenarnya penamaan yang dilabelkan oleh Pemerintahan Era Soeharto, kalau kita tanya dengan Soekarno...? jelas beliau tidak akan suka dan mungkin dia akan mengusulkan era pemerintahannya adalah "Orde Revolusi" ya kita serahkan kepada para pakar saja yang jelas istilah ini sudah melekat di anak bangsa, walaupun sebenarnya harus dikoreksi juga, saya masih menulis orde lama, orde baru dan era reformasi, mungkin nanti bisa juga dengan kesepakatan kita rubah). Pada Orde Lama, ada sebutan demokrasi terpimpin dan ada juga demokrasi parlementernya, itu juga penapsiran yang benar terhadap Pancasila, karena dapat dilaksanakan di Negara yang mempunyai dasar Pancasila, kata terpimpin bermakna dikomandoi, misalnya ada pemimpin upacara, pemimpin rumah tangga yang ini adalah pemimpin Negara yang disebut dalam UUD 1945 dengan sebutan Presiden, jadi pada saat itu demokrasi dikomandoi, dipimpin dan diarahkan oleh Presiden. Ciri khas waktu itu dalam implementasi demokrasi Pancasila membenarkan bahwa Presiden bisa tidak dipilih tetapi diangkat oleh MPRS dan bisa sekali angkat untuk jabatan seumur hidup, dan pada waktu itu sekali-lagi asas demokrasi yang bernilai Pancasila dijunjung tinggi.
Di Era orde baru, jelas asas demokrasi yang bernilai Pancasila dilaksanakan, ini sesuai dengan tekad masa itu untuk melaksanakan Pancasila secara “murni dan kunsekwen” maksudnya jelas ada konotasi bahwa demokrasi Pancasila yang dilaksanakan pada era sebelumnya (orde baru), dikoreksi dan ada indikasi tidak dilaksanakan secara tepat makna. Sehingga diera ini penapsiran terhadap Pancasila diberi pedoman agar warga bangsa dapat mengerti dan mengamalkan nilai tersebut dengan benar. Sehingga di era orde baru diprogramkan secara sistematis dan terarah, tentu saja penapsiran diluar pedoman yang telah digariskan tidak boleh dan itu salah jika coba-coba menapsirkan dalam bentuk lain dari pedoman yang sudah baku tersebut, bisa saja diangap sebagai penghianatan terhadap pancasila.
Sebagaimana sudah disebutkan diatas, bahwa perjalanan sejarah bangsa Indonesia selalu dinamis, bahkan ada yang menganalisis setiap dua puluh tahun sekali bangsa Indonesia mengalami perubahan-perubahan yang radikal, namun tetap terjaga dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, luar biasa.
Era reformasi, sebanrnya hampir sama tujuannya dengan orde baru, yakni ingin mengembalikan tapsir asas dan nilai Demokrasi Pancasila pada porsi apa adanya, dimana asas demokrasi pada hakekatnya rakyat yang berkuasa, dan kekuasaan itu harus didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Maksudnya asas-asas demokrasi dan nilai-nilai Pancasila sesuai dengan consensus pada awal Indonesia merdeka.
Asas Demokrasi yang berdasar nilai-nilai Pancasila itu adalah kekuasaan rakyat yang didasarkan pada musyawarah, nah ini yang penting dikaji sebenarnya, penekannya jelas pada “musyawarah” untuk itu kalau ingin melaksanakan asas demokrasi yang dilandasi nilai-nilai Pancasila seharusnya mengedepankan musyawaraha…(bersambung)
II. Rentang Sejarah "NILAI-NILAI DEMOKRASI PANCASILA”
(Implementasinya dalam Pemda)
Sebenarnya Implementasi nilai Demokrasi pancasila, tidah hanya pada pelaksanaan Pemilukada semua proses dan penjenjangan pemilihan pemimpin di Indonesia merupakan implementasi dari nilai-nilai demokrasi Pancasila. Secara umum pengertian Pemilihan Umum/Pemilukada adalah suatu proses, pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang di sini beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih uas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti pemilihan Ketua BEM/Senat bagi mahasiswa, ketua OSIS, ketua kelas, bisa juga ketua RT dan Pemilihan Kepala Desa walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan untuk jabatan Politik seperti Kepala Pemerintahan dan Badan Legislatif.
Alasan pragmatis tulisan ini dimuali dari pemilukada, karena banyak riuh-rendah bahkan sempat terjadi kegaduhan politik dimana-mana dan Pilkada DKI Jakarta merupakan barometer adanya problem tersebut. Tetapi tulisan ini juga tidak spesifik mengkaji Pilkada Jakarta, itu rananya orang Jakarta lagipula, kegaduhan tersebut bukan semata-mata pada Pilkada Unsich, banyak muatan dan kepentingan yang menyertainya oleh karena itu, tergantung dari sudut mana titik focus akan di kaji.
Pilkada sudah berlangsung lama, hampir sama dengan proses suksesi kepemimpinan nasional, dan semuanya diklaim berdasarkan nilai-nilai demokrasi Pancasila, untuk itu mari ditelisik satu persatu sesuai dengan kajian sejarah ketatanegaraan, yang dimulai pada era orde lama, orde baru dan era reformasi, sebagaimana yang telah ditulis pada bagian satu:
Di era Orba Pemilukada atau sebutan lain untuk menentukan penguasa tunggal di daerah, banyak variasi, hal ini wajar situasi yang masih blum stabil belum punya landasan hukum yang baku dan benar-benar terarah disamping itu transisi dari hukum colonial masih banyak yang diperlakukan terutama dalam sebutan untuk Kepala Daerah, literatur-literatur Hukum Tata Negara biasanya menyoroti kedudukan dan fungsi Kepala Daerah. Bahkan dalam sejarahnya Pemilihan umum di orde lama telah diadakan pada thun 1955, menurut penilaian para pakar HTN Pemilu saat itu sangat demokratis, ukuranya karena diikuti oleh banyak partai dan berlangsung sukses, namun Pemilu pada saat itu dilakukan dua tahap yakin untuk memilih anggota DPR dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 dan Pemilihan anggota Konstituante dilaksanakan pada tangal 15 Desember 1955.
Di dalam UU Ni. 1 Tahun 1945 Kepala Darah tidak dipilih tetapi diangkat oleh Presiden akan tetapi kepala daerah (Pangehparaja) tidak sendirian dalam melaksanakan tugas pemerintahan daerah dia dibantu oleh lima orang anggota Komite Nasional daerah (KND) dan , jadi pada saat itu ada dualisme kepemimpinan Kepala daerah, sama-sama mempunyai tugas melaksanakan pemerintahan akan tetapi ketuanya adalah Kepala Daerah. UU No. 1945 ini dadasarkan pada Konstitusi RIS, jadi wilayah Indonesia ini pada prinsipnya mempunyai kekuasaan sendiri-sendiri sesuai dengan corak dan ragam daerah, bahkan kesultanan dan raja-raja masih diakui keberadaannya sebagai penguasa daerah. (bersambung)
III. Rentang Sejarah "NILAI-NILAI DEMOKRASI PANCASILA”
(Implementasinya dalam Pemerintahan Daerah dan konsep Bernegara)
`Adanya dualisme pem pemerintahan daerah di era orde lama pasca keluarnya UU No. 1 Tahun 1945, harus disikapi dari berbagai sudut, pertama bahwa keterlibatan anggota KND dibidang pemerintahan daerah tidak serta-merta di dianggap sebagai penyimpangan dari nilai-nilai demokrasi Pancasila, apalagi kalau kacamatanya hanya didasarkan pada teori trias politica Montesquieu, dan itu tidak pas untuk bangsa Indonesia yang telah menetapkan Pancasila sebagai roh berbangsa dan bernegara.
Trias Politica cocok untuk bangsa yang menganut sistem liberal diaman masing-masing individu diakui secara berlebihan dalam semua aktivitasnya, memang ide dasarnya untuk menghindari kekuasaan absolute pada suatu institusi, Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Munculnya gagasan Trias Politica, sebagai reaksi sekaligus koreksi atas ketidakstabilan politik ini, karena adanya pertarungan raja-raja yang absolute dengan para pembaharus dan pro demokrasi, ini terjadi kira-kira pada abad ke15-16 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan. Konsep atau teori trias politica juga mendapat tantangan dari berbagai Negara yang menerapkan keyakinan masing-masing seperti konsep pemerintahan yang diterapkan di Arab Saudi (Islam) yang monokrasi diaman kekuasaan didasarkan pada kitab suci dan sunnah, demikian juga dengan Iran yang menggunakan konsep Imamah melalui kesepakatan para faqih, atau juga bagi Negara-negara sosialis seperti Cina, Korea Utara, Cuba yang bersifat proletariat.
Pancasila mengakui hak-hak individu tetapi kebersamaan harus diutamakan, Kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Legislatif memang punya kekuatan masing-masing tetapi jika untuk kepentingan bersama, maka kepentingan bangsa harus diutamakan. Campur tangan KND dalam dalam pemerintahan daerah diawal Indonesia merdeka suatu kewajaran, hanya saja dalam praktiknya waktu itu yang secara sepihak melakukan pemberhentian, pemutasian lembaga lain seperti pamongparaja dan kepolisian itu sudah berlebihan….. (Bersambung).
IV. Rentang Sejarah "NILAI-NILAI DEMOKRASI PANCASILA”
(Perubahan-perubahan sistem Pemerintahan di Era Orde Lama)
Sebagai nilai plus yang di torehkan orde lama dalam dinamika berdemokrasi dan bernegara adalah terbentuknya Negara kesatuan, dan ini sampai sekarang tetap utuh dan sudah final dan harga mati tidak bisa diubah-ubah lagi istilah kerenya “NKRI Harga Mati” walaupun UUD 1945 sudah empat kali diamandemen namun Negara kesatuan harus tetap dijaga dan dipertahankan. Namun tetap saj ada koreksi, karena di era orde lama juga sempat terjadi kekaburan identitas nasional seperti adanya Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis), Demokrasi terpimpin dan tragedi nasional seperti pemberontakan PKI, DI/TI, Permesta dan lain-lain.
Di era orde lama nilai-nilai demokrasi Pancasila juga pernah diwarnai dengan sistem parlementer yang justru membuat kondisi pemerintahan menjadi rapuh, cabinet-kabinet sering berganti sehingga program-program pemerintahan dan pembangunan tidak bisa berjalan maksimal, sebagaiman diketahui di era orde baru dapat dicatata beberapa kali terjadi pergantian kepemimpinan yakni: Kabinaet Hatta, Kabinet Natsir, Kabinet Soekiman-Suwirjo, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamijoyo I dan II, dan Kabinet Djuanda. Situasi semacam ini telah merongrong kestabilan politik dan terpuruknya ekonomi bangsa.
Masa ini sebenarnya pemahaman nilai-nilai demokrasi Pancasila, banyak dipengaruhi oleh situasi politik dunia, dimana kekuatan blok barat dan blok timur menjadi kiblat politik Negara-negara baru seperti Indonesia, tergantung dari pemahaman dan keinginan pemimpin nasional pada waktu itu. Di Indonesia pada waktu itu mengalami gesekan-gesekan yang luar biasa, oleh karena itu harus dipahami bahwa Soekarno sebagai pigur sentral pemimpin nasional tidak bisa dijustifikasi ada kecenderungan khusus ke blok timur, bahkan sangat keliru kalau ada yang mengatakan bahwa Soekarno adalah pencetus dan pembawa serta pemelihara ajaran sosial komunis di Indonesia, tetapi juga harus dianalisis bahwa faktor politik sangat berperan sehingga beliau lebih dekat dengan Negara-negara blok timur.
Analisis ini, bisa saja dijadikan sebagai kilas balik dari pemahaman yang beberapa decade dijadikan rujukan bahkan didoktrin seolah-olah, suburnya paham komunis karena dibiarkan keberadaanya oleh pemimpn nasional saat itu, bisa saja para tokoh-tokoh lain memang sengaja menjauhkan diri dari lingkaran kekuasaan dan membuat situasi bertamabah runyam. Mundurnya Hatta sebagai dwi tunggal juga harus dipahami bahwa, bukan satu-satunya penyebab merosotnya nilai-nilai demokrasi Pancasila. Bung Hatta adalah orang yang selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber dari ajaran agama yang ditaatinya, dimana manusia dilahirkan untuk selalu bertaaruf, dan selalu mencintai sesame manusia walaupun berbeda agama, berbeda paham politik dan sebagainya, yang jelas beliau membenci perpecahan, ketika ada perselisihan pandangan yang menurut beliau sduah tidak bisa lagi dikompromikan jalan terbaik adalah mengundurkan diri, bukan dengan cara menyusun kekuatan untuk melawan dengan kekerasan, inilah prinsif keteguhan hati seorang Hatta, berjuang untuk semua.
Memang banyak yang menganalisi terjadinya perpecahan dwi tunggal, namun semua itu harus dimaknai bahwa tujuan mereka hanya satu, bahwa Indonesia harus hebat, kuat dan sejahtera, pak Nasution menggambarkan perpecahan keduanya karena berbeda pandangan terhadap revolusi Indonesia saya kutipka:"Kedua tokoh ini mempunyai perbedaan pandangan satu sama lain, terutama strategi dan orientasi politik keduanya. Disatu sisi Bung Karno ingin melanggengkan dominasinya meneruskan perjuangan revolusi, pada sisi lainnya Bung Hatta telah berfikir maju untuk segera mengakhiri Revolusi menuju kearah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya ini" ....
Perbedaan pandangan Soekarno dan Hatta juga diungkapkan oleh Hatta sendiri dalam bukunya ""Bahwa Soekarno seorang patriot jang tjinta pada Tanah Airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya, itu tidak dapat disangkal...Tjuma, berhubung tabiatnya dan pembawaannya, dalam segala tjiptaannya ia memandang garis besarnja sadja. Hal-hal yang mengenai detail, jang mungkin menjangkut dan menentukan dalam pelaksanaannya, tidak dihiraukannja."
Walaupun di dalam hati Hatta, banyak berkecamuk tentang ketidak setujuannya dengan Soekarno, tetapi ketika ia bicara di luar negeri seperti di Amerika, Hatta tidak terpancing untuk menjelekan Soekarno, padahal bangsa barat waktu itu, hampir semuanya antipati dengan Soekarno, Hatta berpidato dengan penuh simpatik dan tetap menghargai dan menghormati Soekarno sebagai presiden yang sah. Hatta berkata "Dalam banyak hal saya tidak setuju dengan Bung Karno. Tetapi, ia Presiden Republik Indonesia, negeri yang kemerdekaannya saya perjuangkan selama bertahun-tahun...Benar atau salah, ia presiden saya."
(bersambung).
V. Rentang Sejarah "NILAI-NILAI DEMOKRASI PANCASILA”
(Tergelencirnya Orde Lama dari Rel Demokrasi Pancasila)
Setelah Pemilu Tahun 1955, dan sampai dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pergolakan politik semakin liar tidak terkendali dan nilai-nilai yang selama ini diperjuangkan bersama beralih kepada kepentingan kelompok berbaju Partai politik, kebersamaan selama perjuangan merebut kemerdekaan seolah-olah tidak lagi menjadi perekat pemersatu. Partai-partai politik secara terang-terangan melakukan konfrontasi secara terbuka, tentu saja energy bangsa terbuang hanya untuk kepentingan elit dan golongan-golongan yang haus kekuasaaan.
Melihat situasi semakin gawat Bung Karno yang masih memmpunyai harisma di akar rumput yang diakui keabsahannya, bertindak tegas, cermat dan brilian untuk menyelamatkan bangsa dengan mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Memang secara konstitusianal tindakan bung Karno perlu dikoreksi keabsahannya, namun disisi lain harus dimaknai sebagai langkah penyelamatan bangsa yang berdasarkan Pancasila.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan energy baru bagi Soekarno untuk menuju suatu hegemoni politik nasional maupun internasional yang ambisius dan mercusuar dan bahkan arogan, hal ini disebabkan, kekecewaan dirinya kepada tokoh-tokoh politik pada saat itu yang menurut Bung Kano tidak lebih dari cecunguk-cecunguk berpikran kerdil. Padahal meneurut Bungkarno, dirinya telah mengantarkan ke gerbang kemerdekaan dan juga menentukan garis politik internasional yang jelas yakni diselenggarakannya koferensi Asia Afrika, dengan bendera “Non Blok”.
Maksud tersirat dari forum politik tersebut, ingin menjadikan bangsa Indonesia sebagai pelopor dari sebuah kekuatan dunia pada waktu itu, dan Soekarno akan dijadikan sebagai peletak batu pertamanya. Akan tetapi usaha-usaha besar Soekarno tersebut diresfon negative oleh tokoh-tokoh politik lainnya, dan akhirnya Soekarno mengambil cara sendiri untuk melanggengkan kekuasaan dan kesohoranya dengan mengajak orang-orang tertentu yang bisa ia kendalikan dan memberikan masukan sesuai dengan keinginan Soekarno, maka munculah orang-orang dekat yang berwatak mbalele tetapi meyakinkan, karena kawan-kawanya selam ini yang selalu menjadi mitra diskusi, sudah mengambil jarak dan sebagian juga telah secara terang-terangan berkonfrontasi dengan Soekarno.
Ini juga sebenarnya tidak bisa disalahkan kepada tokoh-tokoh pejuang yang memposisikan diri membelakangi Soekarno, mereka itu adalah orang-orang yang dekat dengan rakyat, tahu persis apa yang diinginkan oleh anak bangsa sebenarnya, rakyat tidak bisa lagi hanya diajak berteriak, merdeka, revolusi, ganyang, rakyat sudah lapar, haus dan tahu bahwa saudara-saudaranya yang telah merdeka bebarangan dengan Indonesia sudah menikmati makna kemerdekaan yang sebenarnya, yakni keadilan, kesejahteraan dan harkat hidup sebagai manusia seutuhnya.
Sejarah mencatat, seharusnya setelah Dekrit tokoh-tokoh pejuang melakukan konsulidasi dan rujuk nasional, menata kemabli kehidupan Negara sesuai dengan cita-cita proklamasi, bukan saling salah menyalahkan dan saling mencurigai. Melihat situasi demikian arogansi Soekarno yang digambarkan sebagai putra fajar bangkit dengan caranya sendiri beliau memposisikn dirinya sebagai kekuatan individu yang tidak ada yang bisa menandinginya, apalagi situasi diperkeruh dengan kekuatan multinasional yang berusaha untuk mendongkel kekuasaan Soekarno, yang justru diplopori oleh bangsa lain seperti Amerika dan sekutu-sekutunya. Situasi demikian dimanfaatkan betul oleh tokoh-tokoh PKI yang memang sebenarnya tidak mengerti makna perjuangan bangsa yang hakiki (dalam sejarah perjuangan Bangsa PKI tidak pernah terlibat langsung). Akhirnya lengkaplah akumulasi pemikiran dan analisis Soekarno bahwa ia harus memposisikan diri sebagi orang “hero” dengan satu semboyan revolusi belum selesai, dan dia memproklamirkan dirinya sebagi Pemimpin Besar Revolusi, dengan legitimasi sebagai Presiden seumur hidup.
Strategi dan taktik PKI yang didasari oleh pemikiran filsafat Hegel, Karl Mark, Ferederich Engels dan Stalin, yang diaplikasikan oleh Lenin di Rusia dan Mao Zedong di Tingkok. Mao Zedong memang mempunyai filsafat perjuangan yang mengutamakan revolusi sebagai sesuatu kekuatan yang abadi dan tentunya tidak ada kompromi dengan lawan-lawanya, Soekarno mungkin terobsesi dengan semangat revolusi seperti itu, sehingga dikethui dalam sejarah bangsa Indonesia banyak tokoh-tokoh nasional yang berjuang bersama Soekarno atau yang dekat dengan Soekarno kemudian mengeritik bahkan memusuhinya, tidak segan-segan oleh Putra Sang Fajar dia penjarakan seperti Soetan Syarier, Tan Malaka bahkan seorang ulama seperti Hamka, Moh. Natsir juga dipenjarakan di Malang Pada tahun 1962 dan baru bebas setelah orde baru tanggal 26 Juli 1966, hampir semua yang mengeritik Soekarno tidak luput dari korban semangat revolusi Soekarno yang belum selesai. (bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU