Reningan Pagi ini:
“Penghematan atau Pencitraan”
Penghematan pada prinsipnya bukan menuda pengeluaran anggaran apalagi harus membatalkannya, makna penghematan dalam tataran belanja Negara adalah berkaitan dengan skala prioritas dan manfaat yang akan didapat dari penghematan tersebut. Berarti penghematan tidak bisa dengan cara pukul rata mengurangi anggaran tanpa di hitung dengan dua ukuran di atas, ini pendapat saya kalau orang politik, orang ekonomi atau orang awak skalipun saya nggak tahu, saya hanya merenung saja pagi ini dan saya tulis, ini kan perintah tuhan “Baca dan tulislah” bukan Baca saja, ini juga pemahaman saya terhadap ayat pertama Allah Turunkan kepada sang Manusia Paripurna Muhammad SAW.
Jadi penghematan memang perlu dan harus terus dilaksanakan pepatah lama masih berlaku “Hemat pangkal kaya” dan orang kaya pasti dapat membantu saudaranya yang membutuhkan itupun kalau orang kaya baik hati, mau berbagi, mudah memberi dan tidak pelit. Disetiap lini kehidupan bisa saja diterapkan program penghematan, misalnya: ruangan kantor harus mempunyai sirkulasi udara yang bagus sehingga tidak perlu pakai AC, dan juga cukup penerangan alami maka tidak akan ada lampu yang dihidupkan siang hari, dan ini katanya juga sudah menjadi program pemerintah, termasuk kalau rapat-rapat tidak perlu di hotel mewah cukup di aula dan snacknya pun cukup rebus jagung, singkong dan gorengan..itu urusan kantornya, kalau penghematan pribadi, ya lebih banyak lagi, jika kita memanaskan kenderaan jangan terlalu lama, dan ibu-ibu di dapaur jangan menghidupkan kompor dulu sebelum siap apa yang akan dimasak. Kalau penghematan seperti ini dipastikan menggunakan renungan saya di atas tidak ada unsure-unsur pencitraan.
Lalu apa penghematan yang bisa dikatagorikan pencitraan, ini sulit untuk dianalisis karena pasti berkaitan dengan niat dan perbuatan seseorang, persoalan niat adalah persoalan suara hati dan mungkin bisa saja di lafazkan, seperti sholat ada yang berniat cukup dalam hati ada juga niat harus dilafazkan, ini saya hanya pinjam pendapat pak KH. Nasron HK, ketika berdiskusi di Rumah saya pada pengajian Malam Jumat kemaren, memang tema diskusi malam jumat tersebut seru walaupun hanya lesehan di ruang tamu rumah saya yang sempit tapi nara sumbernya para pakar ada Prof. Sirajuddin, Ustadz UJH, Dr. dr. Halim, Dr. Zulkarnain S (ini doctor anyar baru beberapa bulan ujian terbuka) termasuk pak H. Nasron dan Ustadz Rozian Karnedi, kalau yang jadi Moderatornya Dr. Zubaedi, pakar Pendidikan berwawasan Karakter, yang slalu saya kritisi.
Tema penghematan memang masuk dalam diskusi tersebut, terutama ketika pak UJH, mengatakan bahwa berkorban itu sebenarnya bukan diwajibkan kepada satu orang setiap anggota keluarga, cukup satu ekor korban untuk satu keluarga, dengan mengutip hadist: bahwa Rasulullah SAW berkorban dua ekor kibas, satunya diniatkan untuk keluarganya dan satunya lagi diniatkan untuk umatnya.
Permasalahan ini sebenarnya sudah saya tulis beberapa hari yang lalu dan sudah saya postingkan lewat media FB saya judulnya ““SISI LAIN BERKORBAN DAN REALITAS SOSIAL” dan sedikit petikan tulisan tersebut: “Pembagian daging korban ini sempat saya diskusikan dengan teman-teman sekerja, kebetulan kolega saya Alhamdulillah banyak pakar atau tepatnya ahli agama, intinya bagaimana kalau korban di suatu tempat samapi 17 ekor sapi padahal jumlah KK di Kelurahan tersebut hanya 350 KK dan rata-rata orang mampu, saya juga beberap kali jadi panitia korban dan bisa menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang perlu dianalisis dalam pembagian daging korban ini.
Di dalam diskusi singkat dan berisi tersebut, sahabat saya bilang, kalau saya setiap tahun Insya Allah berkorban di keluarga hanya satu saja, yang lain sudah ada kesepkatan bahwa uang yang disiapkan untuk korban akan dikirim ke keluarga dan jiran tetangga di dusun, ya maksudnya kampung nan jauh di Jaw asana, menurut beliau kalau saya kirim uang sekitar 2 juta ke keluarga di kampung, mereka luar biasa berterima kasih dan sangat membantu kondisi keuangan keluarganya, dan dengan bergurau dia bilang dengan kita sisihkan uang sedikit pada saat hari raya kita berikan kepada orang yang memang sangat berhak bukan main bahagianya mereka dan biasanya doanya sangat panjang untuk kita.”
Pendapat teman saya ini saya kira sejalan dengan pendapat UJH, ketika diskusi seru, hangat dan sangat bersahabat, maklum dilakukan lesehan diruang tamu relatif sempit rumah saya, serunya diskusi berlangsung sampai larut malam, dan tentunya diskusi ini mendapatkan kesimpulan dan dicatata oleh moderator merangkap notulen Dr. Zubaedi, M. Ag. M. Pd. Dan tentunya hasil diskusi kecil ini akan didiskusikan lagi pada lembaga formal di kemudian hari.
Itu penghematan dan kaitanya dengan penyelenggaran qurban, bisa ada bisa tidak unsure pencitraannya, tergantung dengan niat dan pengetahuan yang berkorban tapi ingat, sebagai orang muslim yang baik harus selalu menterjemahkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari, ibadah kepada Allah sebenarnya sangat tergantung dari pelaksanaan ibadah muamalahnya, Tuhan akan redho kepada hambanya, ketika orang tua redho terhadap anaknya”
Bagaimana dengan judul di atas “Penghematan dan Pencitraan”, sebenarnya judul itu saya tulis ketika saya mendengar Radio RRI, mengulas tentang penundaan pembelian oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memutuskan menunda pembelian armada tempur. Salah satunya adalah pembelian Helikopter Agusta Westland 101 yang rencana nilai pembeliannya mencapai 55 juta dolar AS dan sudah dianggarkan tahun 2016. Jokowi mengatakan, penundaan tersebut dilakukan sebagai bagian akibat dari pemangkasan anggaran tahun ini.
Nah ini, banyak komentar yang saya tangkap dalam ulasan RRI hari jumat, kemaren dan ini ada kaitannya juga dengan diskusi terbatas kami pada malamnya, berkaitan dengan tema penghematan dan niat berkorban. Kalau ulasan wartawan RRI, jelas bahwa penundaan tersebut merupakan niat tulus seorang Presiden untuk mengutamakan atau memprioritaskan anggaran yang sangat penting dan bermanfaat., komentar yang pro juga demikian bahkan dihubungkan dengan semangat nasionalisme dan kebanggaan atas produksi dalam negeri, karena pesawat sejenis sebenarnya bisa dibuat oleh PT. Dirgantara Indonesia dan sekarang sudah digunakan oleh Presiden sendiri dan beberapa Negara lain, kalau dari alasan ini jelas kena penghematannya.
Tetapi ada juga yang berkomentar lain, seperti Effendi Simbolon Anggota DPR-RI yang sering ngomong dan itu memang digaji untuk ngomong sebagai anggota “Parle” yang maknanya berbicara, jadi memang anggota DPR tersebut harus bicara, ini juga pesan Bang Iwan Fals…dalam petikan lagunya “…wakil rakyat, seharusnya merakyat, jangan tidur ketika mikir tentang rakyat…” maaf kalau liriknya salah, tapi initinya begitu. Menurut Pak Effendi Simbolon, persoalan pembelian pesawat Helikopter Agusta Westland 101, penundaan pembeliannya tidak serta merta dibatalkan demi penghematan, tapi juga harus dianalisis berdasarkan kebutuhan dan prinsip ketahanan bangsa, peswat tersebut menurut pak Effendi diperuntukan bagi Kepala Negara dan Keluarganya, dan itu diatur oleh konstitusi bahwa kepala Negara dan Keluarganya harus dilindungi dari segala macam bahaya, dan dengan pesawat tersebut merupakan implementasi dari ketentuan melindungi itu. Kalau masalah penghematan menurut pak Effendi banyak hal yang bisa dilakukan, apalagi kalau ada unsure pencitraan, kalau unsure pencitraan kenapa presiden tidak mengumumkan saja bahwa mulai ia dilantik dulu menginstruksikan semua pejabat setingkat menteri hanya boleh pakai kenderaan dinas seklas Avanza saja, sampai kebawah kenderaan dinasnya jelas lebih rendah lagi, kalau diurut-urut sebenarnya bisa juga, Menteri pakai Avanza, Gubernur pakai Ayla, Bupati/Walikota pakai Carry Futura, Camat Pakai Motor roda dua, Lurah pakai sepeda…rakyat ya jalan kaki…hahaha, ini renungan pagi saja, walahualam bissawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU