71 Tahun Indonesia Merdeka “Gagal Paham Demokrasi”

RENUNGAN MALAM INI
71 Tahun Indonesia Merdeka “Gagal Paham Demokrasi”
Secara Etimologi Demokrasi berasal dari kata demos dan cratein. Demos artinya rakyat (masyarakat), sedangkan cratein berarti kekuasaan atau bisa disebut demokrasi sebagai kekuasaan rakyat. Jadi dapat kita artikan bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan dimana rakyat memegang kekuasaan tertinggi, dan segala keputusan negara ditentukan oleh rakyat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBI) Demokrasi dimaknai: 1. pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat; 2 gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara;
Saya pribadi ikut beberapa kali P4, Alhamdulilah saya sempat ikut P4 tingkat nasional pola 144 jam dan langsung mendapat SK. Penatar P4 tingkat Provinsi, karena waktu itu saya dapat predikat 10 besar dari 100 peserta, bagi yang tidak setuju P4 yang “katanya” tidak lebih dari doktrinisasi rezim terhadap pemaksaan tapsir Pancasila, terserah…tetapi menurut saya, makna Demokrasi dalam Pancasila, tetap berisikan nilai-nilai yang utuh yaitu: 1. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan pada asas kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan demi kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, yang berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan. 2. Dalam demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat. 3. Dalam demokrasi Pancasila kebebasan individu tidaklah bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan atau disesuaikan dengan tanggung jawab sosial. 4. Dalam demokrasi Pancasila, keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan cita-cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan, sehingga tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas.
Tahun ini 2016, kembali Indonesia akan mempeingati hari kemerdekaan Indonesia, yang ke-71 usia senja kalau diibaratkan perjalanan hidup manusia bahkan di usia ini hampir seluruh profesi manusia telah purna bakti berarti usia kemerdekaan Indonesia sudah cukup tua, ibarat buah sudah mateng dan sebagai sebuah Negara besar telah banyak mencatat sejarah dan menjadi pengalaman berharga untuk dikaji ulang, dianalisis atau instorspeksi sekaligus telah mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa beradap dimuka bumi, disegani dan dihormati oleh bangsa lain, sekaligus warga negaranya telah mengalami pasang surut perjalanan hidup di alam kemerdekaan. Begitu juga seharusnya matang dalam berdemokrasi, bukan pada tataran makna saja tetapi lebih dari itu mememahami hakekat pilihan bulat memilih demokrasi khas Indonesia yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat, dan itu adalah pilihan ternaik bangsa ini, bukan memaknai demokrasi yang diartikan secara bahasa saja.
Semua Negara mengalami sejarahnya masing-masing ada yang berhasil dengan gemilang mengantar rakyatnya menajdi sejahtera, ada juga yang terus terpuruk, karena berbagai persoalan yang belum ada solusi keluarnya, salah satu contoh misalnya masih ada Negara yang tidak bisa memberi makan rakyatnya, ada juga Negara yang selalu memberikan rasa takut warganya, sehinga berusaha untuk lari dari tempat kelahirannya, alhamdulillah Indonesia tidak termasuk criteria terakhir tersebut, perlu diingat penyebab kehancuran sebagian besar dunia, karena gagal memakni demokrasi, sehingga melahirkan pemimpin yang dictator, sadis dan tidak toleran.
Oleh karena itu the founthing fathers bangsa ini, setelah ada kesempatan melepaskan belenggu dari yang menjerat leher, tangan dan kaki rakyat Indonesia sampai pada harga diri, menyusun konsep mengisi kemerdekaan itu dengan menggali nilai-nilai luhur bangsa, ya itu sekali lagi tentang musyawarah. Lalu kenapa setelah Indonesia memasuki kedewasaan berfikir, ingin berbuat lebih baik dan sungguh-sungguh untuk bangsa ini, nilai musyawarah justru dianggap tidak relepan, bertele-tele dan tidak praktis bahkan jauh dari nilai-nilai konomis…apa betul alasan itu…mari kita kaji melalui kilas balik perjalanan bangsa Indonesia khususnya setelah reformasi, dimuali dari momen itu…menurut saya semangat musyawarah mulai memudar, lalu demokrasi selalu ditonjolkan bahkan menurut beberapa pakar bahwa demokrasi Indonesia telah kebablasan, semua dilakukan melalui mekanisme demokrasi yang dimaknai bahwa setiap orang dihargai sama haknya termasuk hak dalam memilih.
Demokrasi secara harpiah memang bisa sama dengan musyawarah, tetapi secara filosofis bermakna sangat kontradiktif, demokrasi bukanlah cara terbaik yang perlu diterapkan dalam mengambil keputusan itu kata………., musyawarah bukan pula jalan yang paling efektif untuk mementukan seorang pemimpin, tapi setidaknya musyawarah adalah khas Indonesia walaupun asal kata musyawarah berasal dari kata "syawara" (bahasa Arab) yang berarti berunding, urun rembug, mengatakan atau menyampaikan sesuatu. Musyawarah berarti suatu proses membicarakan suatu persoalan, dengan maksud mencapai kesepakatan bersama. Kesepakatan yang telah disetujui semua peserta dalam musyawarah di sebut mufakat lawanya adalah voting yakni pengambilan keputusan bersama dengan cara menghitung suara terbanyak. Pendapat yang disetujui mayoritas peserta akan ditetapkan sebagai keputusan bersama. dan itu memang kadang-kadang disalhgunakan oleh rezim dengan menyumbat mulut-mulut peserta musyawarah, itu dulu…sekarang siapa yang berani, kebebasan berpendapat di Indonesia sudah luar biasa, bahkan dengan dalih kebebsan tersebut telah digunakan untuk mendiskriditkan orang lain, memfitnah bahkan bisa untuk menipu orang banyak.
Demokrasi Indonesia mengalami pasang-surut, artinya sekali diterapkan walaupun itu hasil perjuangan yang berdarah-darah pada akhirnya justru dikritisi bahkan di benci, sebenarnya bukan persoalan demokrasi, tetapi karena para penggiat demokrasi tersebut yang memberi label jauh dari makna musyawarah bahkan disamakan maknanya dengan vote suara.
Dampak yang dirasakan secara massif ketika musyawarah diartikan demokrasi bukan dengan penapsiran Pancasila, akibatnya terjadi keterkejutan, keanehan dan bahkan kerugian luarbiasa yang harus dipikul bangsa, contohnya ketika mengadakan seleksi pemimpin melalui ajang Pemilihan Umum yang katanya sangat demokratis, lebih demokratis dari Negara yang selalu mengintervensi Negara lain dengan dalih menyadarkan Negara lain dengan memberikan kebebasan kepada rakyat, seperti Amerika…
Demokrasi di Indonesia melebihi demokrasinya Amerika, dan anehnya perangkat demokrasi Indonesia tidak diiringi dengan kesadaran yang berdemokrasi yang sesungguhnya, demokrasi Indonesia hanya berlaku dibilik suara, selebihnya tidak pernah dilakukan melalui pendidikan demokrasi yang benar, orang yang menyuarakan demokrasi yang sesungguhnya akan tertipu oleh pelaku demokrasi yang mempunyai syhwat politik untuk kekuasaan.
Memasuki 71 Tahun Indonesia merdeka, seharusnya kita harus mawas diri, bercermin serta menganalisis, dengan akal dan hati…apa sebenarnya yang terjadi di Negara besar seperti Indonesia…?, kegagalan bangsa ini mewujudkan cita-cita nasional, menurut saya karena telah gagal memahami makna demokrasi, sehingga demokrasi harus dibayar mahal oleh rakyat, akibat ongkos demokrasi yang harus dikeluarkan oleh pemimpin negri ini terlalu mahal, dan itu harus dibayar.
Masing-masing orang punya analisi sendiri-sendiri, dan saya-pun sebagai warga Negara berhak untuk menganalisinya, walaupun bisa salah dan menurut saya itu benar, tapi tetap dari dampak demokrasi yang salah makna, untuk itu saya urutkan penyebab keterpurukan bangsa Indonesia yang kita cintai ini:
1. Salah memaknai demokrasi, akibatnya fatal stabilitas politik tidak terjadi walaupun di era orde baru, orang mengatakan bahwa stabilitas politik cukup terkendali, tetapi itu semu bahkan menjurus kepada pengingkaran terhadap demokrasi. Era reformasi, mengoreksi system sebelumnya dan menerapkan demokrasi yang sebenarnya juga asing bagi bangsa Indonesia, demokrasi di era ini sama halnya dengan dictator para elit politik dan elit kekuasaan untuk mengekploitasi nilai-nilai demokrasi itu sendiri dan hasilnya semuanya tahu bahwa demokrasi di era reformasi tidak lebih dari dagelan penggiat politik dengan system dagang sapai. Anehnya demokrasi yang salah tersebut sengaja dibiarkan dan bahkan tidak ada sesuatu kekuatan untuk merubahnya. System demokrasi yang diterapkan justru melahirkan apatisme rakyat untuk berusaha memperbaiki citra demokrasi itu sendir. Elit politik juga terjebak dengan kondisi yang diciptakannya sendiri dan itu harus dibayar mahal, karena sistem ini melahirkan para penjudi berkedok demokrasi, bukan pada tataran demokrasi yang mengutamakan simpati dan harga diri sebagai negarawan.
2. Pengelolaan sumber daya manusia tidak terencana. Tahun 60-an Indonesia dan Korsel dipotret yaitu minat peserta didik masuk ilmu sosial atau ketekhnikan. Hasilnya sama-sama 4:1. Tahun 90-an dipotret kembali Indonesia masih sama dengan 4:1 tetapi Korsel sudah terbalik 1:4. Fakta ini yang mengatakan Korea jauh lebih besar peningkatan industrialisasi dan tentunya menambah luas lapangan kerja.,
3. Negera gemar berutang. Untuk mencari dana segar pembangunan pemerintah melakukan jalan pintas, dengan mencari talangan dana, khususnya melalui pinjaman komersial dan itupun tidak dikelola dengan baik sehingga proposal pinjamannya telah dianalisis benar menurut donator tetapi diterapkan pada sector lain, bahkan juga menjadi sumber keuangan untuk dibag-bagi melalui kegiatan illegal bahkan dikorupsi. utang akan menyuburkan lahan korupsi bagi aparat birokrasi terkait di negara penerima. Beberapa studi membuktikan bahwa semakin besar utang suatu negara, semakin besar pula potensi korupsi dan penyalahgunaan dana utang tersebut. Bank Dunia dan IMF semestinya tahu dan melakukan tindakan pencegahan bahwa sebagian utang yang disalurkan ke Indonesia selama ini telah mengalami kebocoran. Namun, kedua lembaga keuangan internasional tersebut belum berbuat sesuatu dan terkesan membiarkan saja dana yang diutangkan itu bocor dalam penggunaannya. Sikap apatis Bank Dunia dan IMF ini memunculkan tuduhan dari kritikus kebijakan bahwa selama ini tujuan memberikan utang kepada Indonesia semata-mata untuk meraup pendapatan bunga sebesar-besarnya, tanpa ambil pusing dana yang diutangkan itu mengalami kebocoran. (https://marianaulfa11.wordpress.com). Jumlah utang Indonesia semakin meningkat karena adanya pertambahan bunga setiap tahun, belum termasuk naiknya harga dollar. Pada tahun 2009, setiap tahun diperkirakan Indonesia harus membayar utang pokok dan bunga utang hampir sebesar 100 triliun atau 25 % atau lebih dari APBN. Jumlah pembayaran utang merupakan porsi terbesar pengeluaran APBN.
4. Gemar berbohong dan memelihara manajemen kebohongan publik, jika diteselusuri dengan sungguh-sungguh ternyata, berita-berita besar di republic ini, khususnya pasca Reformasi (“era Demokrasi sesungguhnya”), mengandung atau terindikasi kebohongan public, misalnya: 1. Angka Penurunan Kemiskinan, ika menggunakan ukuran BPS, maka angka kemiskinan di Indonesia cukup rendah, berkisar 17,75 persen tahun 2009. Akan tetapi jika menggunakan ukuran Bank Dunia, maka angka kemiskinan di Indonesia masih berkisar 40 persen ke atas. 2. Kemudian kasus tentang mafia hukum, maka juga terjadi pertarungan yang luar biasa dari elit politik negeri ini. Kasus Gayus Tambunan, yang menyita perhatian banyak pihak yang disebabkan oleh mafia hukum yang sangat besar di Indonesia, maka yang sesungguhnya terjadi adalah pertarungan politik yang sangat nyata. Masing-masing memiliki kekuatan untuk saling melumpuhkan. Berdasarkan laporan media, bahwa di belakang Gayus terdapat kekuatan politik yang kuat, maka jika kasus tersebut dibuka, maka akan menyerang balik lewat kasus Bank Century. Maka bisa jadi kemudian dilakukan tindakan kompromi untuk menyelesaikan keduanya. Jadi, sesungguhnya adalah pertarungan antar elit politik untuk masing-masing ingin mengokohkan status dan kedudukannya di negeri ini. 3. Kemudian kasus ketahanan bahan pangan dan energy serta kasus korupsi yang masih tinggi, tentu saja terkait dengan kegagalan implementasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Bukankah bahwa negara ini telah memiliki seperangkat aturan yang mengatur semua persoalan bangsa, termasuk korupsi. Akan tetapi ternyata terdapat kegagalan implementasi kebijakan atau aturan tersebut di lapangan. Oleh karena itu, kiranya bisa dinyatakan bahwa pemerintah belum sepenuhnya mampu menyelesaikan persoalan korupsi ini. (http://nursyam.uinsby.ac.id) (Bersambung)
Ceruk kamar, 21 Agustus 2016.

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU