PESAN RAKYAT KEPADA PENGGEDE ”Optimalisasikan Perencanaan Pembangunan Daerah yang Partisipatif

PESAN RAKYAT KEPADA PENGGEDE
”Optimalisasikan Perencanaan Pembangunan Daerah yang Partisipatif”

Besok, Jumat, 3 Juni 2016 menurut informasi yang saya lihat di FB kebetulan sempat saya baca ada undangan Gub. Bengkulu di Grage (Horizon) Hotel Bengkulu, agendanya menurut posting salah satu temanan FB saya, urun rembug tentang RPJMD Provinsi Bengkulu 2016-2021, bahkan acaranya akan mengundang Menteri terkait saya nggak tahu Menteri mana yang diundang mungkin Menteri Perencanaan Pembangunan/Ketua BAPPENAS dan Mendagri karena dua Menteri inilah yang paling tepat untuk diundang jika mengenai RPJMD, ya saya nggak tahu karena tidak diundang kalau salah maaf, tapi sebagai warga Bengkulu, saya ingin sumbang saran saja melalui tulisan ini. saya hanya mengingatkan bahwa mungkin dengan pemabangunan terencana rakyat akan menikmati kesejahteraan melalui pembangunannya, kira-kira initi tulisan ini sesuai judul berupa: ”Mengutamakan Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan”. , Saya mulai saja tulisannya:
Perjuangan partisipatif masayarakat erat kaitannya dengan kedaulatan rakyat /masyarakat dalam proses bernegara dan berbangsa. Jauh sebelum Indonesia merdeka telah diperjuangkan dengan gigih oleh tokoh bangsa sekaligus proklamator kemerdekaan Republik Indonesia Mohammad Hatta. Hatta dalam pembelaannya di Pengadilan Belanda di Den Haag pada tahun 1928 mengungkapkan kata-kata bijak dan sangat erat kaitannya dengan kedaulatan rakyat, sebagai berikut: “….Bersama rakyat, kami akan dihukum, atau kami akan di bebaskan. Karena bersama dengan rakyat itu kami mendapat kehormatan, dan bersama rakyat kami akan tenggelam. Pemuda Indonesia merupakan suatu bagianyang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia, yang menderita dan penuh harapan. Pemuda Indonesia adalah hati nurani bangsa yang masa depan….cahaya masa depan mulai bersinar dewasa ini. Kami menyambutnya sebagai fajar yang timbul. Pemuda Indonesia harus ikut mengemudi menuju arah yang tepat. Tugasnya adalah mempercepat datangnya hari yang baru. Ia harus mengajarkan kepada rakyat untuk menikmati keindahan kehidupan, jangan hanya kesengsaraan saja yang harus menjadi nasib rakyat, moga-moga bangsa Indonesia dapat menikmati kemerdekaan di bawah langit yang biru dan merasa dirinya mempunyai negeri, karunia rahmat Tuhan…..Hata memang hebat, tapi kita penerusnya banyak lupa ”Cita-cita Hatta untuk merdeka terwujud pada tanggal 17 Agustus 1945, tujuan kemerdekaan jelas dalam konsep pembelaan tersebut adalah upaya mempercepat datangnya hari baru mengajarkan kepada rakyat menikmati indahnya kemerdekaan, yang penuh dengan kebebasan dan kesejahteraan. Kesejahteraan adalah tujuan akhir dari rencana pembangunan. Ya kesejahteraan, kesejahteraan buat rakyat, bukan bukan aparat apalgi buat segelintir orang yang menikmatinya.
Seiring dengan langkah-langkah Hatta dalam berjuang kemerdekaan terwujud, terus diupayakan cita-cita mulia Bung Hatta, yakni negara yang berdaulat dengan meninggalkan kesengsaraan, orde lama dengan problemnya sendiri belum berhasil mensejahterakan rakyat, bahkan sejarah pahit di petik bangsa ini dengan inplasi sampai 650%, orde baru juga gagal, tahapan-tahapan telah di letakkan melaui Repelita dan akhirnya bangsa Indonesi memetik krisis multi dimensi dan puncaknya jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Orde reformasi muncul, sekaligus mengoreksi kegagalan demi kegagalan, yang paling orgen problem bangsa adalah pemberdayaan masyarakat, yang pada era sebelumnya diabaikan. Konsep desentralisasi hanya pada tataran retorika dan regulasi semu dan pada prinsipnya tidak demokratis dan tetap sentralisme.Konsep pembangunan topdown, disalah artikan, dan daerah hanya dijadikan objek dari keseluruhan kebijakan perencanaan pembangunan, dengan model sentralistik jelas jauh dari makna kemerdekaan yang disebutkan oleh Mohammad Hatta. Demokrasi dalam konsep Hatta adalah demokrasi sosial, yang mencakup demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik hanya menjamin hak. Dalam politik, hak seseorang sama dengan yang lain, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk memilih dan dipilih, sama hak dalam mengeluarkan pendapat, berkedudukan sama dalam hukum dan seterusnya, tetapi lebih dari itu tidak ada persamaan. Dalam perekonimian tetap berlaku dasar tidak sama. Malahan dengan berkobarnya semangat individualisme (yang dihidupkan oleh revolusi Perancis misalnya) kapitalisme subur tumbuhnya. Pertentangan kelas bertambah hebat, sehingga trilogi “Kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan” yang menajdi semboyantidak terlaksan dalam praktik, tetap menjadi retorika dan slogan-slogan. Itulah sebabnya demokrasi bagi Indonesia, di samping demokrasi politik, meliputi demokrasi ekonomi yang menjaga kesamaan ekonomi, keadilan sosial menjadi utama. Keadulatan rakyat Indonesia tidak terlepas dari tujuan internalnya, yaitu keadilan bagi seluruh rakyat, keadilan sosial.Demokrasi memang tidak melahirkan keseluruhan konsep yang ideal dalam segala hal, problematika demokrasi sering di maknai sebagai kepentingan politik dan kurang signifikan dalam hal ekonomi, akan tetapi paling tidak demokrasi telah memberikan ruang kepada rakyat untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan dasarnya secara transparan, tanpa sekat-sekat kebijakan publik yang tidak partisipatif, sebagaimana ditontonkan sekarang ini, oleh penikmat keserakahan padahal mereka telah diamanati oleh rakyat.
Memang demokrasi tidak secara langsung mengurangi kemiskinan, apalagi membuat kenyang perut rakyat miskin seketika, apalagi jika di era orde lama obat lapar perut rakyat disuguhi pidato-pidato memikat Bung Karno. Dan bukan pula rasanya seperti Orde Baru penanggulangan kemiskinan atau pengurangan kemiskinan seperti memberi santunan atau sedekah secara langsung kepada rakyat miskin, tetapi harus dengan kebijakan yang lebih rumit, yang memungkinkan orang miskin mempunyai ruang dan akses secara memadai. Demokrasi (partisipasi, akuntabilitas, transparansi dan responsivitas) tentu saja akan membuka ruang bagi proses belajar, menciptakan hubungan antara pejabat dengan rakyat miskin secara lebih manusiawi, membangkitkan kesadaran dan potensi rakyat miskin, membuka kesempatan akses politik bagi kaum miskin, membuat pejabat publik lebih bertanggungjawab, mengurangi praktik-praktik kebocoran dalam alokasi dana yang memungkinkan program lebih tepat sasaran untuk kaum miskin, dan seterusnya. Proses kebijakan yang lebih partisipatif dan responsif tentu memungkinkan lahirnya kebijakan yang relevan dengan kebutuhan kaum miskin, bukan sekadar kebijakan yang bias preferensi elite.
Konsep partisipatif yang muncul di abad ke-20 ini bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, faktor yang paling dominan membentuknya adalah keberpihakan dari pemerintah sendiri (Politacal will) berupa sikap positif dari pihak eksekutif dan legislatif, karena merekalah yang menentukan ada tidaknya pengakuan terhadap masyarakat ketika elit-elit tersebut membuat kebijaksanaan. Jika tidak maka akan menjadikan absurditas, dan banyak pakar menyangsikan political will tersebut, sebagaimana di ungkapkan oleh Samuel Huntington: Kebanyakan elit politik tak disangsikan lagi menjanjikan manfaat partisipasi yang luas, beberapa dukungan bagi mereka sendiri dan bagi kebijaksanaan mereka, akan tetapi mereka tidak mau membayar harga partisipasi itu, beberapa pembatasan atas kekuasaan mereka dan ancaman terhadap quo politik, dimana mereka merupakan pihak utama yang menikmati manfaatnya.
Senada dengan pendapat di atas, Hary W. Blaier juga berpendapat bahwa di dalam praktik pemerintah tidak begitu bersedia atau enggan memberikan kesempatan atau kebebasan kepada masyarakat untuk memilih dan meutuskan apa yang dikehendakinya.
Untuk meminimalisir kecenderungan negatif tersebut, maka pembangunan daerah perlu ditekankan adanya: prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, dalam pelaksanaannya. Jangan sampai pembangunan di daerah meninggalkan peran serta masyarakat, apalagi mengorbankan mereka. Sejarah masa lalu membuktikan bahwa krisis multisegi bangsa Indonesia saat ini sebenarnya bukan terletak pada melemahnya nasionalisme, tetapi karena terjadinya proses ketidakadilan struktural dalam sistem masyarakat Indonesia. Musuh utama nasionalisme dalam pembangunan yang berkembang saat ini adalah banditisme modern struktural; ideologi pemaksaan dan manipulasi kekuasaan yang kolutif oleh beberapa elite terhadap massa rakyat.Oleh karena itu dalam pembangunan daerah semangat nasionalisme perlu dilembagakan dengan cara melakukan: 1) peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat; 2) pengembangan kehidupan demokrasi; 3) keadilan; 4)pemerataan; dan 5) pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.
Peningkatan pelayanan harus diartikan bahwa pemerintah berperan memberikan bimbingan, bantuan teknis dan akhirnya masyarakat mampu melakukan sendiri, misalnya dalam hal perencanaan, pada awal pemerintah melakukan perencanaan untuk masyarakat (planning for community), kemudian perencanaan bersama masyarakat (planning with the community) dan akhirnya perencanaan oleh masyarakat (planning by the community) dengan bimbingan pemerintah dimana perlu.
Kaitan peningkatan pelayanan dengan kesejahteraan, hal berupa penekanan kepada pemenuhan kebutuhan dasar/pokok yaitu: kesejahteraan ekonomi (welfare), kebebasan berusaha (freedom of working), kebebasan berekspresi sesuai dengan jatidirinya dalam mengembangkan potensi kreatifitas sekaligus membebaskan diri dari belenggu kekerasan, yaitu kemiskinan (proverty) kerusakan (destruction), tekanan (repression) dan alienasi (alienation).
Semangat nasionalisme yang terkandung dalam prinsip pembangunan daerah berupa keadilan, dalam tataran teoritis keadilan pembangunan di artikan sebagi suatu usaha memutus rantai sentralistik menuju desantralistik. Kata kuncinya adalah keseimbangan antara pusat dan daerah baik dalam pemerintahan secara politik maupun secara ekonomi.
Memasuki era reformasi, regulasi yang pertama adalah menjaga keseimbangan antara pusat dan daerah agar terwujud suatu keadilan, keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 bersamaan dengan UU No. 25 Tahun 1999 menunjukkan adanya pengakuan bahwa sebelumnya persoalan keadilan dan pemerataan antara pembangunan pusat dan daerah terjadi kesenjangan. Kemudian terus dikaji sehingga kedua undang-undang tersebut diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU. No. 33 Tahun 2004. Dalam perubahan tersebut jelas terlihat bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia menghendaki penyelenggaraan pemerintahan yang adil antara pusat dan daerah dengan berbasis kepada partisipasi masyarakat.
Partisipasi masyarakat dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembanguna Nasional, dimulai dari penyusunan dokumen perencanaan sampai pada pengalokasian perencanaan tersebut yang dirinci sampai pada sektor-sektor pengelolaan keuangan publik, artinya masyarakat diberikan hak untuk berpartisipasi secara langsung dalam penyelenggaraan pemritahan baik di tingkat pusat maupun di daerah.
Perencanaan di daerah sebagaimana menjadi tema sentral tulisan ini khusus mengkaji perencanaan lima tahunan Kepala Daerah dan implementasinya dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka secara sistematis ruang-ruang partisipasi masyarakat dalam wujud pengoptimalan pembangunan partisipatif juga menjadi roh dan ide dasar tulisan ini.
Berdasar ketentuan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan pembangunan Nasional, sebagaimana ketentuan teknisnya diatur dalam Peraturan pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, menyebutkan:
Pasal 11.
(1) Bappeda menyusun rancangan awal RPJMD.
(2) RPJMD memuat visi, misi dan program Kepala Daerah.
(3) Rancangan awal RPJMD berpedoman pada RPJPD dan memperhatikan RPJM Nasional, kondisi lingkungan strategis di daerah, serta hasil evaluasi terhadap pelaksanaan RPJMD periode sebelumnya.
Pasal 12
(1) Kepala SKPD menyusun Rancangan Renstra-SKPD sesuai dengan rancangan awal RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(2) Rancangan Renstra-SKPD disampaikan oleh Kepala SKPD kepada Bapppeda.
(3) Bappeda menyempurnakan rancangan awal RPJMD menjadi rancangan RPJMD dengan menggunakan rancangan Renstra-SKPD sebagai masukan.
Pasal 13
(1) Musrenbang dilaksanakan untuk membahas rancangan RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).
(2) Musrenbang dilaksanakan oleh Bappeda dengan mengikutsertakan pemangku kepentingan.
(3) Musrenbang dilaksanakan dengan rangkaian kegiatan penyampaian, pembahasan dan penyepakatan rancangan RPJMD.
(4) Pelaksanaan Musrenbang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
Pasal 14
(1) Rancangan akhir RPJMD dirumuskan oleh Bappeda berdasarkan hasil Musrenbang.
(2) Pembahasan rumusan rancangan akhir RPJMD dipimpin oleh Kepala Daerah.
Pasal 15
(1) RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Daerah setelah berkonsultasi dengan Menteri.
(2) Peraturan Daerah tentang RPJMD ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah Kepala Daerah dilantik.
(3) Peraturan Daerah tentang RPJMD Provinsi disampaikan kepada Menteri.
(4) Peraturan Daerah tentang RPJMD Kabupaten/Kota disampaikan kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri.
Pasal 16
(1) Gubernur menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJMD Provinsi kepada masyarakat.
(2) Bupati/walikota menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJMD Kabupaten/Kota kepada masyarakat.
Berdasarkan ketentuan di atas, bahwa partisipasi masayarakat sudah dimulai pada saat rancangan awal penyusunan RPJM Daerah yang dipadukan dengan rancangan Renstra-SKPD, hasil dari musrenbang tersebut dirumuskan kembali oleh Bappeda sehingga menjadi rancangan akhir RPJM Daerah. Musrenbang dalam ketentuan di atas melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), dengan tingkatan-tingkatan musrenbang diatur dengan Keputusan Kepala Daerah. Secara normatif ketentuan seperti ini sudah partsisipatif, berbagai tingkatan menghendaki adanya keterlibatan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud partisipatif dalam penyusunan perencanaan telah dijelaskan kembali dalam PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, pada penjelasan Umum PP tersebut menyebutkan: “Partisipatif” adalah merupakan hak masyarakat untuk terlibat dalam setiap proses tahapan perencanaan pembangunan daerah dan bersifat inklusif terhadap kelompok yang termarginalkan melalui jalur khusus komunikasi untuk mengakomodasi aspirasi kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses dalam pengambilan kebijakan.”
Partisipatif adalah hak, dalam konsep hukum hak adalah sesuatu kepentingan, bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum, tetapi juga karena adanya pengakuan terhadapnya…
Pesoalan yang perlu diharmonisasikan adalah, pada saat perumusan akhir, karena tidak melibatkan lagi masyarakat sebagai pemangku kepentingan, di dalam praktik biasanya Tim Bappeda yang menangani khusus RPJM Daerah di tambah dengan unsur-unsur dari SKPD dan keterlibatan pakar secara individu yang dibentuk berdasarkan kepanitiaan dengan Surat Keputusan Kepala Bappeda Provinsi.
Berbagai ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang penyusunan RPJM Daerah tidak ada satupun ketentuan yang mengharuskan pada saat rancangan akhir tersebut harus melibatkan masyarakat, dan tidak ada juga jaminan hukum bahwa apa yang telah di hasilkan dalam musrenbang tersebut akan dituangkan dalam rancangan akhir RPJM Daerah. Kondisi seperti ini memberikan cela yang seharusnya bisa diatasi dengan memberikan sanksi kepada Tim penyusun jika tidak mengadopsi dari hasil musrenbang yang telah disepakati bersama, sebagaimana telah dikemukakan di atas memang peraturan perundang-undangan tentang perencanaan pembangunan daerah tidak diiringi dengan pemberian sanksi, dan suatu penormaan yang tidak diberikan sanksi sama halnya dengan norma biasa seperti norma sosial, norma etika dan sebagainya.
Persoalan seperti ini sudah terus berlangsung dan nampaknya tidak ada suatu itikad untuk melakukan perubahan, beberapa kasus dalam penyusunan RPJM Daerah hampir dipastikan pada saat penyusunan akhir RPJM Daerah hanya sebagian kecil saja yang masuk dalam dokumen RPJM Daerah. Persoalan tersebut akibat dari pengalaman sejarah pembangunan di Indonesia yang terlalu lama menerapkan pola topdown sehingga dari pola tersebut menjadi suatu sistem yang sulit untuk diubah, termasuk para teknokrat birokrasi yang terlibat dalam proses perencanaan yang masih mewarisi watak-watak birokrasi ambtenar era Belanda dan birokrasi sebagai “kekuatan/alat” politik di era orde baru.Para pejabat pemerintah sering dianggap lebih tahu dalam segala hal, sehingga masyarakat tidak merasakan dan tidak punya keinginan untuk bersinergi dalam membangun negaranya.
Dampak yang paling besar terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan adalah korupsi. Istilah “korupsi” dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam praktiknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannnya dengan jabatan tanpa ada catatan admnistratif. Menurut MTI (Masyarakat Transparansi Internasional), “korupsi merupakan perilaku pejabat, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.”
Korupsi tumbuh subur terutama pada negara-negara yang menerapkan sistem politik yang cenderung tertutup, seperti absolut, diktatur, totaliter, dam otoriter. Hal ini sejalan dengan pandangan Lord Acton, bahwa “the power tends to corrupt…” (kekuasaan cenderung untuk menyimpang) dan “… absolute power corrupts absolutely” (semakin lama seseorang berkuasa, penyimpangan yang dilakukannya akan semakin menjadi-jadi).
Di Indonesia, rezim pemerintahan yang paling korup adalah masa Orde Baru. Berdasarkan laporan Wold Economic Forum dalam “the global competitivennennssn report 1999”, kondisi Indonesia termasuk yang terburuk diantara 59 negara yang diteliti. Bahkan pada tahun 2002, menurut laporan “political and risk consultancy (PERC) atau Lembaga Konsultasi Politik dan Risiko yang berkedudukan di Hongkong, Indonesia” berhasil mengukir prestasi sebagai negara yang paling korup di Asia.
Berdasarkan ketentuan Perundang-undangan bahwa dokumen RPJM Daerah adalah pedoman bagi daerah dalam menyusunan kebijakan selanjutnya dalam sistem pembangunan di daerah, jika tidak terdapat dalam RPJM Daerah mustahil apa yang telah dirumuskan dalam musrenbang tersebut akan diimplemnetasikan dalam bentuk kegiatan lain yang dilakukan oleh pemerintah, bahkan ada kecenderungan bahwa yang sudah tertuang dalam RPJM Daerah belum tentu juga akan dilaksanakan oleh Pemerintah. Oleh karena itu ketentuan Pasal2 ayat (4) UU No. 25 Tahun 2004 yang menyebutkan: “Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RPJM Daerah berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Menengah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).”
Kata “berdasarkan” seharusnya sudah menunjukkan bahwa RPJM Daerah tersebut berisikan materi-materi dari hasil musrenbang, supaya Pasal ini lebih kuat perlu disertai dengan ancaman berupa pembatalan dari menteri pada saat verifikasi jika tidak melampirkan hasil kesepakatan dalam musrenbang, dan jika ada indikasi unsur kesengajaan menghilangkan sebagian atau keseluruhan kesepakatan musrenbang, maka diancam dengan pidana sebagai suatu kejahatan.
Di samping itu materi musrenbang sebagai mana diatur dalam peraturan perundang-undangan bahwa rancangan awal RPJM Daerah dari Bappeda dan Renstra-SKPD sebagai bahan materi musrenbang, juga kurang tepat seharusnya bahan awal RPJM Daerah sebagai bahan materi musrenbang diambil dari berbagai dokumen yang berkaitan dengan RPJM Daerah, seperti RPJP Daerah, RPJM Nasional dan visi, misi, serta program Kepala Daerah pada saat kampanye.
Rumusan awal RPJM Daerah yang berasal dari Bappeda biasanya banyak diadopsi dari Renstra-SKPD dan kepentingan birokrat sendiri, padahal partisipasi yang diharapkan dalam RPJM Daerah berupa materi yang dapat dipandang sebagai proses pembangunan masyarakat yang berarti proses perubahan yang bertahap selama lima tahun menuju suatu masyarakat yang mandiri yang mampu menentukan nasibnya sendiri dan menempuh berbagai upaya bersama untuk mencapainya.
Kecenderungan yang timbul akibat arogansi birokrasi dan mengenyampingkan partisipasi masyarakat berdampak pada hal-hal sebagai berikut:
1. Tugas-tugas dari atas berbagai “target” dan control yang ketat, datang bertubi-tubi membebani masyarakat sehingga tiada kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan prakarsa dan swadayanya;
2. Masyarakat terbiasa untuk menunggu biaya dari atas filsafat “help-me”, lebih mengakar dari filsafat “self-help”.
3. Pembangunan desa (daerah, pen) berjalan terlalu cepat dalam arti semua segi kehidupan ingin dijangkau secepat-cepatnya tanpa memperhitungkan kondisi dan kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk memikul beban pembangunan, yang semakin besar dan berat.
4. Didorong oleh hasrat untuk mencapai keberhasilan secara cepat-cepatnya, pemerintah cenderung mengabaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dan yang sebenarnya bisa memberi peranan positif dalam pembangunan desa (daerah, pen).
5. Pemerintah cenderung mengabaikan efek sampingan pencepatan pembangunan yang dalam jangka panjang pada gilirannya dapat menghapus hasil yang telah dicapai dalam jangka pendek.
6. Pemerintah lebih cenderung memberikan tekanan pada pembangunan ekonomi yang dapat dilaksanakan secara cepat melalui tindakan-tindakan rasional, daripada pembangunan desa (Masyarakat) yang mempunyai sasaran jangka panjang dan tidak dapat dilaksanakan secara cepat dan semata-mata rasional.
7. Menurut PBB, metode pembangunan desa harus disesuaikan dengan kondisi psikologis, sosial dan ekonomi setiap masyarakat. Dibawah sistem yang bersifat sentralis, penyesuaian tersebut sukar dilakukan.
8. Dalam kondisi tertentu, masyarakat tidak segera menunjukkan tanggapan positif terhadap suatu hal yang baru. Hal ini mengundang ketidak sabaran pemerintah.
Kesimpulan yang diambil di atas, samapai saat ini masih relevan dengan melihat pakta-pakta pembangunan yang di lakukan oleh aparat pemerintah daerah, persoalan pada poin 1 (satu), misalnya masih ada royek-proyek pemerintah yang sifatnya dadakan dan ternyata dilembagakan tanpa seleksi yang ketat seperti program Raskin (pembagian beras untuk keluarga miskin), yang diberikan sampai ke desa-desa yang justru bisa dikembangkan sebagai daerah pertanian, jika diberikan modal dan subsidi pertanian yang transparan. Di samping itu kebijakan pemerintah masih banyak yang bersifat pencitraan, bukan sebagai solusi komprehensip untuk memecahkan persoalan bangsa sebagai ujud cita-cita moral pembangunan seutuhnya.
Demikian juga dengan poin-poin yang lain sepertinya daerah ingin berlomba-lomba mempercepat inprastruktur daerah melalui program multiyears (tahun jamak), dimana penganggarannya dialokasikan untuk beberapa tahun dalam APBD, padahal program tersebut tidak benar-benar menyentuh harkat peningkatan ekonomi masyarakat miskin seperti pembangungan hotel, mes pemda, tugu dan sebagainya.
Dampak lain dari hegomoni pemerintah tersebut akhir-akhir ini menampakkan reaksi yang keras dari masyarakat, beberapa peristiwa yang terjadi di akhir tahun 2011 dapat dijadikan acuan bahwa suatu perencanaan pembangunan tanpa partisipasi masyarakat justru berakibat patal. Sebagai contoh kasus Mesuji Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan serta Kasus Pelabuhan Sape Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat. Demikian juga kasus-kasus besar yang masih menorehkan catatan hitam sejarah bangsa seperti kasus Ambon, Sambas, Aceh, dan lain-lain. Terjadinya kasus-kasus seperti ini sebenarnya bukan bersifat insedental belaka, tetapi lebih dari itu disinyalir adanya ketidak adilan atau jelasnya akibat perasaan diperlakukan secara tidak adil dan masyarakat mendendam perasaan kecewa, cemburu, dan tidak senang, maka dengan realitas seperti itu bagaikan rumput kering yang mudah terbakar oleh isu-isu yang memecah belah kelompok masyarakat, dan ditingkat kekerasan masal.
Ketidakadilan hukum dan ekonomi bisa juga sebagai pemicu kekerasan masal, dan sampai saat ini, sebagai contoh masih ada ketidakharmonisan hukum bidang pertanahan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, sebagaimana disimpulkan oleh Febrian dkk, sebagai berikut: Sudah disepakati bahwa penguasaan sumber daya alam di Indonesia ditujukan kepada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu prinsif-prinsif konstitusional pengelolaan sumber daya alam harus dijabarkan secara normatif dalam aturan hukum sebagai dasar pelaksanaannya. Problematik yang terjadi pada tataran normatif yaitu terdapat persoalan sinkronisasi dan konsistensi berbagai aturan hukum di bidang pertanahan dalam kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hal ini telah berlangsung secara periodik dan memiliki variasi karakter hukumnya.
Persolan pertanahan sebagaimana disebutkan di atas seharusnya tidak perlu terjadi lagi, karena sejak amandemen UUD 1945 status menguasai dan memiliki tanah telah mengalami perubahan yang signifikan dari sentralistik menjadi desentralistik dan demokratis.
Sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Bakri, bahwa: Setelah amandemen UUD 1945, telah terjadi perubahan paradigm kekuasaan Negara yang semula bersifat sentralistis dan cenderung otoriter berubah menjadi bersifat desentralistis dan demokratis. Begitu pula dengan kekuasaan Negara yang bersumber pada hak menguasai tanah oleh negara, yang semula bersifat sentralistis bergeser ke desentralistis. Hal ini membawa konsekwensi perubahan penafsiran tentang hak menguasai tanah oleh Negara yang harus dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3), Pasal 18 ayat (5), Pasal 18 B ayat (2), dan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945.
Pasal 18 ayat (5) berbunyi: Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.
Pasal 18 B ayat (2) berbunyi: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 28 H ayat (4) berbunyi: Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Prinsip partisipasi masyarakat seharusnya secara sistematis selalu berkomitmen terhadap masyarakat miskin dan keadilan sosial, hak asasi manusia dan kewarganegaraan, pemberdayaan dan penentuan diri sendiri, tindakan kolektif dan keanekaragaman.
Pembangunan harus selalu memaksimalkan partisipasi, dengan maksud agar setiap individu melalui kelompok masyarakat bisa terlibat aktif dalam proses dan kegiatan masyarakat. Lebih banyak masyarakat yang berpartisipasi aktif, akan lebih banyak cita-cita yang dimilki masyarakat akan dapat direalisasikan, ini bukan asumsi tapi dalil hakiki.
Semoga, bermanfaat….!
Kamsia Apresiasi
Ceruk Kamar, 02 Juni 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU