PILIHAN SULIT PNS ANTARA INTEGRITAS dan/atau LOYALITAS DI ERA PILKADA LANGSUNG
“Pesan Rakyat Kepada Penggede”
“Pilkada dalam tataran hukum tidak berdampak langsung terhadap PNS (birokrasi), karena sudah diatur sedemikian rupa dalam perundang-undangan, pilkada ada pada rana politik tuntutan demokrasi, sedangkan PNS berada pada administrasi penyelenggraan negara, secara filosofis PNS dalam kajian Max Weber, merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi birokrasi berparadigma netral dan bebas nilai. Tidak ada unsur subyektivitas karena sifatnya impersonalitas, dan harus melepaskan baju individu dengan ragam kepentingan yang ada di dalamnya”. Tetapi kalau mengikuti ajaran Hegel dan Karl Mark tentang birokrasi beda lagi, atau pakai teori Soepomo, birokrasi asli Indonesia “kaulo-gusti” yang kental dengan jawa sentries, atau teori Birokrasi era orde baru PNS secara masip harus mendukung partai politik pemerintah…ternyata PNS (birokrasi) Indonesia mengalami berbagai pewajahan yang diatur oleh dalangnya.
Di Era reformasi, bagi PNS Pilkada seharusnya ditanggapi sama halnya dengan momen-momen lain dalam hajatan besar dalam suatu daerah, misalanya ada pertandingan bola kaki antar daerah, penylenggraan MTQ, termasuk juga lomba bayi sehat antar kabupaten, hasilnya pasti akan mendapatkan seorang juara satu, yaitu pemenang lomba, pilkada juga akan menghasilkan sang juara, ada yang menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota, Peran PNS dalam lomba2 itu hanya sebagai panitia penyelenggara, pemantau/pengamat, pelaporan jika danyanya ada dalam DIPA, tetapi dalam Pilkada, PNS dalam perundang-undangan hanya sebagai pencoblos sama halnya dengan warga Negara lainnya. Bahkan untuk PNS dilarang untuk ikut serta dalam panita, mempengaruhi orang lain, dan mengguakan fasilitas yang ada padanya untuk kepentingan Pemilikada…Mendagri Cahyo Kumulo sudah mewanti2 PNS, katanya: “Kami berpegang pada peraturan Undang-undang, pada ketentuan yang juga sudah diputuskan melalui peraturan Komisi Pemilihan Umum, serta juga pada keputusan Menteri PAN-RB yang pada intinya PNS tidak boleh terlibat langsung (masih tegas juga Bang Cahyo, ha..ha..ha, berani panggil Abang,... ya saya berani, pernah makan satu meja, pernah jemput di Bandara, itu dulu waktu saya di KNPI, beliau Ketua DPP KNPI, sy ...Wa.Sek. KNPI Daerah, kalau nggak percaya tanya sama Etek Nuwek, Bang Azkan ES, Bung Silustero Ulurra, Bung Wika GS, Donga Tajul dll)…ya kalu begitu nggak ada masalah dengan PNS.
Tetapi praktiknya tidak sesederhana itu, karena undang-undang juga membuat para PNS berada pada posisi sulit, ketika sang juara sudah muncul, cemas, ketar-ketir, was-was, beda kalau jagoannya kalah dalam pertandingan bola paling-paling merasa sedih, kesal, nggak mau makan atau yang paling ekstrim TV kesayanganya saja yang di banting, ngagak ada pengaruh signifak dengan kedudukan dan itu tidak diatur dalam undang-undang. lain dengan hasil Pilkada, karena yang terpilih mempunyai hak-hak tertentu mengatur PNS, dan samapai sekarang jabatan dalam struktur PNS sangat menentukan kesejahteraan, kehormatan dan harga diri, apalagi sudah menjadi kenyataan semakin tinggi jabatan sesorang dalam karier PNS semakin mudah untuk mendapatkan mengakses tambahan-tambahan pendapatan, baik yang halal, setengah halal ataupun mungkin tidak halal, ini terbukti, dalam banyak kasus, misalnya pengangkatan CPNS nya, diangkat pada golongan/pangkat yang sama, Prajabatan serempak, adum/Diklat PIM IV satu kelas, setelah 15-20 Tahun kemudian, sungguh menakjubkan bisa terjadi perbedaan yang luar biasa, yang satunya, karena bekerja dan bekerja, jujur, pintar tapi dia tidak pernah dekat dengan lingkaran kekuasaan dan sengaja menghindar dengan hal2 yang diluar nalar pekerjaannya, seperti harus ikut-ikutan mendukung salah satu calon Kepala Daerah, sampai sekarang yang berangkutan tetap di Eselon tersendah, dan pangkat nya sudah 10-15 tahun stagnasi karena terkendala di eselonnya, temannya yang banyak samanya tadi pernah enjoi di eselon II, karena ia memang berdarah-darah mendudkung pemenang Pilkada, dan punya keahlian khusus “meramal” siapa yang akan menjadi pemenang, ia berhasil di satu sisi, bahkan sudah beberapa kali mutasi pada jabatan yang sama. Terakhir menduduki jabtan karier PNS tertinggi di Tingkat Kabupate/Kota, kenapa terakhir…yak arena yang bersangkutan sekarang sudah di karyakan di hotel prodeo setahun, dua tahun, mungkin lebih, karena melakukan “rasuah” secara bersama-sama demi sebuah jabatan yang dipertahankan atau iming-iming jabatan lain. Sedangkan temannya yang stagnasi tadi masih injoy dengan motor tungangannya, seperti biasa pergi pagi pulang sore mengambdi seperti dilagukan oleh Iwan Fals “Oemar Bakri”.
Bisa begitu…ya bisa saja, dan ada yang lebih aneh lagi, seseorang PNS tidak pernah mengikuti pendidikan syarat jabatan…tahunya selama ini ngajar, sesuai dengan keahliannya seoarang pendidik, tapi pangkatnya sudah tinggi, bisa langsung eselon III, lalu eselon II dan bisa-bisa menduduki jabatan karier tertinggi di Kabupaten/Kota…ya biasa itu terjadi, karena atauran juga memungkinkan, didiklatkan setelah menduduki jabatan, itu atauran lama sekarang UU ASN tidak mengenal jabatan struktural eselon, yang ada jabatan Administrator, Fungsionla dan Pimpinan Tinggi. Di era orde baru dulu sudah ada program menpan yang disebut delapan pemacu PAN, salah satunya ANJAB, yang mirip UU ASN dalam pengisian jabatan. Wah, hebat…nah itulah PNS. Abdi Negara, abdi masyarakat dan harus loyal kepada pimpinan dan sering menjadi objek rekayasa pimpinan, tapi kalau berkaitan dengan hak dan kewajiban birokrasi ada lembaga indefenden yang menanganinya yaitu KASN yang bertugas untu: 1. menjaga netralitas Pegawai ASN, 2. melakukan pengawasan atas pembinaan profesi ASN 3. melaporkan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Manajemen ASN kepada Presiden.
Regulasi PNS, sudah lebih dari cukup, dalam pembinaan, peningkatan profesionalisme, jenjang karier, larangan berpolitik, larangan berbisnis, termasuk yang PNS laki-laki di larang beristri lebih dari satu, bahakn dalam UU yang terbaru UU ASN lebih rinci dan lebih memberikan kepastian hukum kepada PNS. Contoh jika ingin menduduki jabatan Pimpinan Tinggi (setara eselon II) harus melalui proses lelang jabatan, artinya setiap PNS berhak mengikuti kompetisi jabatan. promosi jabatan struktural berdasarkan sistem merit dan terbuka, dengan mempertimbangkan kesinambungan karier PNS yang bersangkutan. Lelang jabatannya sebenarnya bukan hal yang baru, termasuk Program Jokowi sewaktu menjabat Gubernur DKI, bukan pula yang pertma di Indonesia, Bupati Jembrana, Bali sudah lebih duluan melelang jabatan karier PNS, termasuk di Samarindah sudah melakukan lelang jabatan bekerja sama dengan LAN-RI. Tahun 2013, bahkan di tingkat Internasional sudah biasa dilakukan lelang jabatan terutama untuk jabatan-jabatan professional di perusahaan-perusahaan, persoalannya sebenarnya bukan di lelang atau tidak di lelang, lebih banyak faktor pengisian atau promosi jabatan di Indonesia terkendala oleh sistem birokrasi yang tidak seutuhnya melakukan reformasi, bahkan Megawati pernah mengatakan bahwa birokrasi adalah bak keranjang sampah, atau dengan kata lain pucuk pimpinan birokarsi tidak benar-benar amanah bahkan system apapun yang digunakan tetap saja hasilnya sampah. atau model birokrasi yang dgambarkan oleh Lediyina Carino “birokrasi yang sepenuhnya menjadi pelayan golongan berkuasa” Lelang jabatan bukan juga satu2nya untuk menyeleksi calon2 pejabat yang bebas dari intervensi, bisa juga dilakukan dengan assessment, atau melalui fit and proper test tetapi proses ini juga tidak efektif karena memakan waktu terlalu lama, pejabat struktural PNS terlalu banyak…dan Penguasa politik menganggap PNS sebagai “buget maximizier”. (bersambung)
Insya Allah, intensi lain aka berlanjut,
“kamsia apresiasi”
Ceruk Kamar, 08 Maret 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU