DESA, DANA DESA, MENUJU SEJAHTERA “Pesan Rakyat untuk Penggede

DESA, DANA DESA, MENUJU SEJAHTERA
“Pesan Rakyat untuk Penggede

Desa adalah tempat tiinggal asli bangsa Indonesia, nama desa bukan bawaan atau import dari barat, sebelum bangsa penjajah datang ke nusantara desa sudah ada, tertulis di prasasti walandit yeng menyebut “De’ca” maksudnya desa yang tempat kelahiran 80% lebih rakyat Indonesia, ini kira-kira pada awal kemerdekaan dulu, tetapi sekarang hampir berimbang , data BPS Tahun 2015, orang tinggal di desa tinggal 128,5 dari penduduk Indonesia yang berjumlah 256, 9 Juta, kalau begitu sebentar lagi desa akan di tinggalkan orang, padahal wilayah Desa di Indonesia masih 80%
Tetapi ingat…! Orang-orang kota yang sudah sukses dilambangkan dengan berdasi setiap hari sekarang ini, kebanyakan lahir, besar, dan jadi pejabat di kota berasal dari desa, bahkan dari desa kecil di pinggir kali, lembah bukit nun jauh di sana, kok tau…, ya, karena Indonesia belum dua generasi kehidupan manusia. Kenapa Desa tidak menarik untuk dijadikan tempat tinggal anak bangsa, wah…kalu ini analisisnya panjang…pak Penggede, tulisan ini hanya tertuju pada judul di atas saja.
Desa dalam skala makro pembangunan, dari dulu pasti di jadikan objek, bukan subjek. Oleh karena itu tergantung kepada penentu kebijakan mau dijadikan apa desa tersebut, dalam istilah pembangunan di sebut “Top down”, sedangkan masyarakat desa, tidak tahu mau apa, kemana dan jadi apa, terserah dan pasrah menunggu kebijakan, program dan orientasi rejim yang berkuasa, sehingga bagi orang desa kalu mau jadi orang hebat, terhormat, berpangkat harus hijrah kemana saja asal tidak di desa, termasuk hijrah ke hutan blantara….pokoknya orang yang masih tinggal di desa karena factor nasib tidak beruntung sehingga kebanyakan urban ke kota. Tetapi perlu di ingat sampai sekarang desa tetap ada, oleh karena itu para Penggede harus sadar tanpa ada bantuan atau tidak ada bantuan pembangunan desa masyarakat desa tetap akan eksis, orang-orang desa sebenarnya punya kemandirian melibihi dari orang kota, stigma ini bukan mengada-ada, hanya saja proses perubahannya agak lambat, padahal amanat Negara bangsa Indonesia harus dipacu mempercepat ketertinggalannya, biar kita tidak menjadi kacung Negara lain, terutama kacung Negara tetangga.
Sebagai orang yang lahir di era orde baru, tahunya desa adalah sasaran program penguasa, banyak pernik-pernik program Penggede untuk masyarakat desa yang dikoordianir oleh institusi yang bernama Ditjen PMD dengan pendanaan Bangdes, tidak cukup dengan itu, bahkan setiap menteri punya program untu di antarkan ke desa, ada Koran masuk, desa, listrik masuk desa, perpustakaan desa, jalan desa, inpres desa, sarjana masuk desa, bidan desa, bahkan ada dokter PTT yang di desa, (kalau penyuluh pertanian memang harus di desa, jangan baru datang jika ada hama menyerang pertanian di desa…utu namanya penyuluh panggilan), tetapi program ini, menurut para pakar pembangunan bahkan pakar-pakar sosial desa yang lain, kurang berhasil, ada juga yang berani mengatakan “gagal” menciptakan desa menjadi sumber kekuatan utama bangsa. Penyebabnya sudah paham semua, program tersebut “Top Down” tidak memperhatikan Existing desa, seharusnya kata Pakar pembangunan desa, dari sudut hukum pembangunan, khusus regulasinya wah…memang parah, atuarnnya saja banyak yang nggak beres, ambigu, tumpang tindih, bahkan ada yang kontradiksi, (saya bukan pakar desa, memang pernah meneliti yang berkaitan dengan regulasi pembangunan desa dari Skripsi, Tesis, Alhamdulillah Disertasi Saya tentang sinkronisasi regulasi Pembangunan yang ada kaitanya dengan desa, saya akui termasuk orang yang disindir oleh pakar filsafat, yang dicontohkannya, seperti pakar unggas, spesifiknya ahli burung peliharaan, khususnya lagi burung perkutut, lebih spesifik lagi ahli burung perkutut betina, kalau ditanya burung perkutut jantan ya jelas tidak tahu, dan itu bukan keahlian saya, tanyakan pada ahlinya, begitu juga dengan saya…saya sekali lagi bukan ahli pembangunan desa..!
Tetapi maaf pak Penggede..saya lahir, besar, dewasa masih berada di desa, hanya saja “Nyangkulnya” terpaksa juga harus ke kota…karena belum ada sampai sekarang perguruan tinggi di desa saya, dan kalau saya tinggal di desa sekarang ini, bisa jadi perampok SDA desa, kan sudah banyak contoh, yang kebunya luas dan bagus, pertenakannya hebat dan canggih, ternyata punya orang yg domisilinya abu-abu, ada juga pejabat kota, dengan dalih membantu masyarakat desa).
Era Orde baru, kata pakar penyebab utama “kegagalan” pembangunan desa terlalu memaksakan agar desa-desa tersebut majunya serentak, sehingga dibuat program yang seragam, bahkan system pemerintahannya-pun harus seragam itu yang diamanatkan oleh UU No. 5 tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Desa.
Orde Baru sudah tamat, sekarang sudah 16 tahun era reformasi, UU pun berubah, awalnya digabungkan dengan UU Pemda, UU SPN dengan Permendagri No. 66 Tahun 2007 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan desa, lalu dikeluarkannya UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, jadi desa punya UU sendiri yang intinya ditujukan untuk mengoptimalkan pembangunan komunitas masyarakat pedesaan. Konsekwensi logisnya, ada dana khusus diperuntukan ke desa yang disebut Alokasi Dana Desa (ADD), yang diamanatkan oleh UU Desa tersebut, kemudian diatur dalam PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa, serta diiringi dengan beberapa Permendes dan PDTT, yang sekarang sudah ada lima Permen dan akan menyusul dua lagi Permen. Besarnya ADD dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis, oleh karena itu setiap desa akan berpariasi jumlah ADD nya maksimalnya, 1, 4 M. kalau Provinsi Bengkulu TA 2015, hanya terserap 77, 6 M, dari Rp 362,5 miliar, untuk 694 desa dari 1.341 desa. TA. 2016 setiap desa di provinsi Bengkulu akan mendapatkan ADD sebesar 565 M. dari total dana 814 M, naik dua kali lipat lebih.
ADD ini adalah anugrah luar biasa bagi desa, percepatan pembangunan desa bisa terwujud, masyarakat desa tidak lagi hanya berangan-angan, sekarang tinggal melaksanakan, 1,4 milyar untuk membangun sebuah desa dalam setahun memang tidak cukup, karena banyak yang harus di kerjakan, tetapi dengan perencanaan yang bagus, serta diiringi dengan pengawasan yang maksimal, sudah lebih untuk memulai geliat semangat membangun desa, hanya saja masih ada yang pesimis dengan berbagai pertimbangan dan itu wajar-wajar saja, anggap ini nasehat untuk berhati-hati dalam pengelolaan ADD, yang pasti logika pembangunan tetap berjalan, jika ada uang ada pembangunan, pembangunan akan menciptakan kesejahteraan yang merupakan tujuan hidup setiap manusia. (Kesejahteraan lahir batin, keselamatan dunia akhirat).
Dampak negatif sudah di antisifasi oleh mendesa dan PDTT, janjinya akan diangkat 16 ribu orang tenaga pendamping sebagai pihak independen yang akan ikut mengawasi mulai dari prencanaan, pelaksanaan sekaligus pelaporan jalannya program ADD, dikatagorikan indivenden, karena mereka akan di gaji besar diluar dana ADD, dan diambil dari tenaga-tenaga terdidik yang berkatagori penggiat anti korupsi. Biasanya terjadi penyimpangan atau korupsi, disebabkan oleh tidak jelasnya fungsi pengawasan dan pelaksanaan, karena dia ikut menganggarkan, dan melaksanakan serta juga mengawasi maka banyak terjadi penyimpangan. Dengan dana ADD insya Allah desa akan menjadi cantik, asri dan orang-orang desa tidak lagi akan meninggalkan desanya. Dan aparatur desa tidak perlu khawatir akan berurusan dengan aparat hukum, jika memang niat baik untuk membangun desa.
Warga tetap tinggal di desa, potensi desa bisa di gali dan dikembangkan, geliat ekonomi tumbuh dengan sendirinya, di tambah lagi para Pengede di daerah akan semangat untuk turne-turne melihat warganya di desa, dengan sering datang ke desa, yang udaranya sejuk, lingkungan yang asri, para Penggede, yang jenuh dengan hingar binger kota, akan terobati kepenatan fisik dan jiwanya dan tidak lagi para Penggede ini selalau keranjingan ingin pergi keluar Provinsi bahkan keluar negeri dengan dalih studi banding, cukup studi banding di desa yang satu dengan desa yang lainnya, sekalian di jamu oleh warga desa, sebagaimana kebiasaan masyarakat desa yang memang masih punya budaya memulikan para tetamu, bahkan kalau di desa saya kalau ada tamu terhormat, setiap rumah mengundang makan, jadi kalau diundang makan pertama jangan sampai kenyang, karena sudah ada warga lain yang menunggu di luar, ingin mengundang makan lagi…biasanya juga para Penggede yang datang membawa oleh-oleh untuk desa, kalu dulu lampu Patromaks untuk inventaris desa, ya….terserah yang penting oleh-oleh tersebut sudah dianggarkan dalam APBD sebagai implementasi dari sinkronisasi program pembangunan….semoga…!
Insya Allah, intensi lain aka berlanjut,
“kamsia apresiasi”
Ceruk Kamar, 03 Maret 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU