GENDER DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA



GENDER DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

(Analisis Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tanga berbasis gender dalam
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga)

Oleh:
Imam Mahdi[1]

Abstrak

          Kekerasan dalam rumah tangga, khususnya kekerasan terhadap perempuan (berbasis gender), adalah problematika social yang sudah lama ada, kekerasan rumah tanga kembali menjadi sosrotan setelah pemerintah mengeluarkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Larangan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Tulisan ini menganalisis berbagai bentuk kekerasan yang terjadi terhadap perempuan yang secara implisist di atur dalam UU tersebut. Oleh karena itu focus tulisan ini hanya menganalisis beberapa Pasal saja mengingat terbatasnya ruang dan waktu dalam penulisan ini. Hasil kajian menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap perempuan berupa: 1. Kekerasan fisik, 2. Kekersan psikis, 3. Kekersan seksual dan 4. Penelantaran rumah tangga. Di dalam UU tersebut jika terjadi delik maka akan dikenakan hukuman sesuai dengan pasal pidana yang dimuat dalam UU tersebut. Hanya saja delik kekerasan dalam rumah tangga tersebut dimasukan dalam delik aduan. Dalam tulisan ini disimpulkan bahwa sejak berlakunya UU ini masih terjadi kekerasan dalam rumah tangga, bahkan kecenderunganya masih meningkat, oleh karena itu penulis memberikan saran perlu meninjau beberapa pasal dalam UU ini untuk dirobah sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum.

Kata Kunci:  UU No. 23 Tahun 2004, larangan kekerasan dalam rumah tangga.

A.  Pendahuluan

Gender dalam kamus Besar bahasa Indonesia diartikan jenis kelamin[2], Gender adalah suatu konsep kultural yang merujuk pada karakteristik yang membedakan antara wanita dan pria baik secara biologis, perilaku, mentalitas, dan sosial budaya. [3] Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini sering sekali mencampur adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat bukan kodrati (gender)...[4]
      Memaknai konsep di atas, secara sadar ada pengakuan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, perbedaan ini berkaitan erat dengan persoalan biologis, mentalitas dan sosial budaya. Di Indonesia konsep gender berkaitan erat dengan persoalan budaya, kemanusiaan dan perlindungan hukum, serta berkaitan juga dengan ajaran agama (terutama Islam) yang dianut mayoritas penduduk[5].
Persoalan hukum yang mencuat dalam konsep gender dititik beratkan kepada perlunya perlindungan terhadap perempuan, karena secara kodrati ditakdirkan mempunyai titik-titik kerawanan terutama berkaitan dengan kekerasan, dan kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi di dalam rumah tangga.
Perlindungan terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga tersebut oleh Pemerintah diwujudkan dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya ditulis UU No. 23 Tahun 2004 atau UU). Yang ditetapkan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 22 September 2004.UU No. 23 Tahun 2004 terdiri dari 10 Bab dan 56 Pasal, oleh karena itu dalam tulisan ini hanya akan menganalisis beberapa pasal saja yakni, tentang Larangan Kekerasan dalam Rumah tangga khususnya bagi perempuan (berbasis gender) sebagaimana diatur dalam Bab III dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 9, hal ini mengingat keterbatasan ruang dan waktu penulisan, akan tetapi tetap juga akan disinggung beberapa pasal yang menurut penulis harus dianalisis karena berkaitan langsung dengan ketentuan Bab III tersebut.
Lahirnya UU No. 23 Tahun 2014 jelas diperuntukan bagi kaum yang lemah agar dapat dilindungi oleh negara sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan hukum serta menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, baik perlindungan terhadap perempuan maupun anak-anak, dari tindakan orang-orang yang bejat, kasar dan berhati binatang dan jauh dari norma-norma yang berlaku di tengah keluarga maupun masyarakat dan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan.
Persoalan yang timbul kemudian walaupun uu sudah dibuat, kekerasan dalam rumah tangga masih terus berlangsung, bahkan kuantitasnya terus meningkat, sebagaimana dilaporkan oleh Komnas Perempuan Republik Indonesia sebagai berikut:
“…sepanjang tahun 2009, kekerasan terhadap perempuan mencapai 143.586 kasus. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 263% dibanding tahun 2008 yang mencatat 4.425 kasus.Kenaikan yang signifikan ini karena sistem pendokumentasian layanan yang semakin membaik serta keberanian korban untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya.Termasuk juga pemberitaan di berbagai media sedikit banyak telah mendorong para perempuan untuk lebih ‘berani’ membuka kasus kekerasan yang dialaminya. Hasil penelitian WCC Rifka Annisa Jogjakarta terhadap implementasi UU Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT menemukan bahwa paska disahkannya undang-undang tersebut lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan semakin meningkat, tetapi peningkatan tersebut belum diikuti dengan peningkatan kualitas layanan yang signifikan.  Catatan Tahunan Komnas Perempuan juga menengarai sejak tahun 2001 sampai dengan 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan sebanyak lima kali lipat. Sebelum lahirnya UU PKDRT, yaitu dalam rentang 2001 – 2004 jumlah yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus, sedangkan sejak diberlakukannya UU PKDRT (2005 – 2007) terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan”.[6]

Data terbaru menunjukkan kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat sebagaimana di tulis Tempo.co berdasarkan laporan Komisis Nasional Perempuan sebagai berikut:
“Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan mencatat adanya peningkatan temuan korban kekerasan pada perempuan.Komnas merekam 279.760 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2013, lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 216.156 kasus.Jumlah itu merupakan laporan yang masuk ke Komnas”[7].

Di Bengkulu di laporkan oleh Yayasan Cahaya Perempuan Women’s Crisis Center (WCC) Bengkulu mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Bengkulu pada 2010 meningkat 100 persen dari tahun sebelumnya. Data yang terhimpun selama 2010 menunjukkan adanya peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan, dari 197 kasus yang tercatat pada 2009 menjadi 397 kasus pada 2010.
Data di atas menimbulkan pertanyaan “mengapa” terjadi peningkatan kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap perempuan, padahal UU telah dikeluarkan, dan UU ini tujuannya untuk melindungi perempuan dari kekerasan, seharusnya setelah lahirnya UU ini kekerasan terhadap perempuan logikanya menurun. Oleh karena itu menurut penulis ada yang kurang dalam UU tersebut, misalnya masalah hukuman (sanksi) bagi pelaku terlalu ringan, atau penegakan hukum belum maksimal dan bisa juga karena bergesernya nilai-nilai luhur budaya bangsa, atau karena masyarakat Indonesia sedang stress atau dan lain-lain.
Menurut pakar hukum pidana Harikristuti Harkrisnowo dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia kekerasan dalam rumah tangga adalah fenomena yang sudah mengglobal tetapi terbungkus dari faktor lain seperti budaya, struktur masyarakat dan lain-lain, pendapatnya sebagai berikut:
“Fenomena yang memprihatinkan adalah bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan yang sudah diangkat sebagai isu global, cukup lama tidak mendapat perhatian di Indonesia. Menguak kuasa dari tidak keperdulian masyarakat terhadap masalah ini memerlukan pembahasan tersendiri, akan tetapi cukuplah dikatakan bahwa struktur social, persepsi masyarakat tentang perempuan dan tindak kekerasan terhadap perempuan, serta nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis dan karenanya sulit untuk mengakui adanya masalah”.[8]

Dari sekian pesolan tersebut, sesuai dengan kapasitas penulis sedikit memahami tentang hukum, ingin menganalisisnya dari segi penegakan hukum UU No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasandalam Rumah Tangga khususnya kekerasan terhadap perempuan.

B.  Analisis Larangan Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Sebagaimana telah diketahwi bahwa, UU No. 23 Tahun 2004 yang lahir di era reformasi, menunjukkan keseriusan pemerintah untuk memberikan payung hukum dalam menanggulangi kekersan terutama kekerasan terhadap perempuan.
Pasal 1 angka 1 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadapseseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraanatau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaranrumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkuprumah tangga”
Penjabaran terhadap ketentuan umum tersebut dituangkan dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 yaitu:
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orangdalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.

Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat

Pasal 5 hurup a, mengatur tentang larangan kekerasan fisik,  faktanya kekerasan fisik memang menempati urutan tertinggi dalam kejahatan kekerasan terhadap perempuan, berdasarkan penelitian WHO kekerasan fisik berkisar antara 10 – 52 %[9]. Dari sekian banyak bentuk kekerasan, oleh karena itu Pasal 5 menempatkan kekersan fisik sebagai faktor dominan dalam setiap kejahatan kekerasan terutama dalam rumah tangga[10].
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan fisik yang dialami korban seperti: pemukulan menggunakan tangan maupun alat seperti (kayu, parang), membenturkan kepala ke tembok, menjambak rambut, menyundut dengan rokok atau dengan kayu yang bara apinya masih ada, menendang, mencekik leher dan lain-lain.[11]
Selanjutnya kriteri kekerasan fisik berat dalam hal ini menendang, memukul, melakukan percobaan pembunuhan dan semua perbuatan yang mengakibatkan cedera berat, tidak mampu menjalankan tugas sehari- hari, pingsan, luka berat pada tubuh korban, kehilangan salah satu pancaindera, cacat/ lumpuh, terganggu daya pikir selama 4 minggu, gugur kandungan, kematian korban. Sedangkan kekerasan fisik ringan berupa menampar, menjambak, perbuatan lain mengakibatkan cedera ringan, rasa sakit atau luka fisik yang tidak termasuk kategori berat[12].
Larangan kekerasan fisik juga diatur di dalam piagam PBB, Pasal 5 Piagam PPB menyebutkan: “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina”.
Di dalam UU No. 23 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal 51 ). Demikian juga kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan (Pasal 52).Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan (Pasal 53).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara tegas tidak ada memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan delik aduan. Pengertian dan defenisi dapat ditemui melalui argumentasi dari pakar-pakar dibidang ilmu hukum pidana. Pengertian delik aduan hanya di pahami berdasarkan pendapat para pakar hukum pidana, antara lain:
1. Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan mengadukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan.
2. Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan.[13]

Di dalam teori hukum pidana delik aduan di bagi 2 (dua): 1 Delik Aduan absolute (absolute klacht delict) 2. Delik aduan relative (relatieve klacht delict) , yaitu:
1. Delik Aduan absolute (absolute klacht delict)Merupakan suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Dan yang diadukan sifatnya hanyalah perbuatannya saja atau kejahatannya saja.Dalam hal ini bahwa perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan itu dianggap satu kesatuan yang tetap bermuara pada kejahatan yang dilakukan.Oleh karena itu delik aduan absolute ini mempunyai akibat hukum dalam masalah penuntutan tidak boleh dipisah-pisahkan/onsplitbaar.
2. Delik aduan relative (relatieve klacht delict)Yakni merupakan suatu delik yang awalnya adalah delik biasa, namun karena ada hubungan istimewa/keluarga yang dekat sekali antara si korban dan si pelaku atau si pembantu kejahatan itu, maka sifatnya berubah menjadi delik aduan atau hanya dapat dituntut jika diadukan oleh pihak korban.Dalam delik ini, yang diadukan hanya orangnya saja sehingga yang dilakukan penuntutan sebatas orang yang diadukan saja meskipun dalam perkara tersebut terlibat beberapa orang lain. Dan agar orang lain itu dapat dituntut maka harus ada pengaduan kembali. Dari sini, maka delik aduan relative dapat dipisah-pisahkan/splitsbaar.[14]
Sebagaimana di ketahui bahwa polisi sebagai aparat Negara yang tugas utamanya melindungi masyarakat dari segala ancaman yang dihadapi warga Negara dan diberikan hak untuk menilai atas tindakannya (asas Diskresi),  oleh karena itu seandainya ada kasus seperti: suami/kepala rumah tangga yang melakukan pemaksaan seksual terhadap pembantu rumah tangga, maka dari aspek logika hukum, dikategorikan  delik biasa. Artinya, walaupun tanpa pengaduan dari korban (pembantu rumah tangga) kepada aparat kepolisian  tetapi ketika polisi mengetahui adanya dugaan pemaksaan atau pelecehan seksual, maka polisi segera melakukan penyelidikan dan penyidikan.   
Tidak bisa Polisi berdalih berdasarkan UU harus ada pengaduan, tidak ada lagi alasan Polisi untuk mengelak dengan tidak melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan. Sebab berdasarkan Pasal 5 Undang- Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dijelaskan penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yaitu setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia karena kewajibannya mempunyai wewenang mencari keterangan dan barang bukti; menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. Dan, penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut di atas kepada penyidik.[15]
Di dalam UU No. 23 Tahun 2004 ancaman pidana diatur dalam BAB VIII, Pasal 44 , Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004; yaitu:
1.  Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan, fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15,000,000 ( lima belas juta rupiah).
2.  Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh ) tahun atau denda paling banyak Rp. 30,000,000 ( tiga puluh juta rupiah ).
3.  Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan  matinya korban , pidana dengan pidana penjara paling lama 15 ( lima belas tahun) atau denda paling banyak Rp. 45,000,000 ( empat puluh lima juta rupiah )
4.  Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari hari dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5,000,000 ( lima juta rupiah )

Adapun acaman pidana dalam UU No. 23 Tahun 2004 tersebut, bukan hanya sebagai upaya hukum jika terjadi tindak pidana tetapi lebih diperuntukan sebagi terapi agar orang tidak melakukan tindak pidana, khususnya terhadap orang-orang yang seharusnya dilindung, hal ini sesuai dengan prinsip hukum pidana itu sendidri.
Feurbach menyatakan, bahwa hukuman harus dapat mempertakutkan orang supaya jangan berbuat jahat lagi. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh berbagai kalangan ahli hukum  dikatakan bahwa perkembangan teori pemidanaan cenderung beranjak dari prinsip “menghukum” yang berorientasi ke belakang (backward-looking) ke arah gagasan/ide “membina” yang berorientasi ke depan (forward-looking). Menurut Roeslan Saleh, pergeseran orientasi pemidanaan disebabkan oleh karena hukum pidana berfungsi dalam masyarakat. Hukum pidana mencerminkan gambaran masanya dan bergantung pada pikiran-pikiran yang hidup dalam masyarakat[16].

Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalahperbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnyakemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikisberat pada seseorang.

Dalam Pasal 7 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU P-KDRT), kekerasan psikis dijelaskan dari dampaknya, sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Menurut Ratna Batara Munti, Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan yang turut menyusun draf UU PKDRT, definisi ini dibuat untuk mengantisipasi ketika tidak memungkinkan bagi korban untuk memroses kekerasan fisik dan atau seksual karena sudah tidak adanya bukti. Karena dengan definisi ini, semua jenis kekerasan dapat diproses sebagai kekerasan psikis asalkan korban menampilkan dampak-dampak yang dimaksud.[17]
Sayangnya terobosan hukum ini mengalami kendala dalam implementasinya.Aparat penegak hukum hampir tidak pernah bersentuhan dengan psikologi.Sementara itu, tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam UU PKDRT.[18]
Kekerasan psikologis berupa eksploitasi, kesewenangan, penghinaan yang mendatangkan penderitaan psikis berupa gangguan tidur, stres, depresi/gangguan jiwa. Kekerasan atau pelecehan seksual berupa pelecehan seksual dengan kontak fisik meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik serta terhina, pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban, pemaksaan hubungan seksual dengan cara- cara yang tidak disukai atau menyakitkan, pemaksaan hubungan seksual dengan tujuan pelacuran, terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi[19].
Kekerasan psikologis semacam ini memang bertujuan mengganggu dan menekan emosi, membuat istri tidak berani mengungkapkan pendapat, menjadi penurut, selalu bergantung pada suami dalam segala hal, termasukkeuangan.
Sepanjang tahun 2009, LBH Apik menerima 1.058 pengaduan kasus. Dari jumlah itu, 62 persen atau 657 aduan kasus KDRT dan 9,4 persen (99 aduan) kasus perselisihan pascaperceraian.
Di antara para korban KDRT, sebanyak 337 pengadu mengaku mengalami kekerasan psikis dari pasangannya.Jumlah korban yang mengadu dan mengaku mendapat kekerasan psikis 105 orang.Sisanya, selain mengalami kekerasan psikis, juga mengalami kekerasan fisik, ekonomi (penelantaran ekonomi), dan kekerasan seksual.[20]
Tindakan kekerasan psikologis dari suami pada istrinya tidak terlepas dari faktor budaya patriarki,Budaya itu secara turun temurun sudah ada sejak jaman dahulu kala yang menempatkan suami lebih tinggi kedudukannya dalam rumah tangga di banding istri.kondisi itu secara psikologis membuat suami merasa memiliki kekuasaan penuh dalam rumah tangganya ,segal keputusan,perkataan dan prilakunya tidak bileh di bantah oleh istri ,sungguh repot memiliki pasangan seperti ini tak ubahnya mereka hanya sebagai pelayan saja ,tidak ada kesempatan untuk usul atau mengembangkan diri.
Bagi suami yang berwawasan sempit budaya itu bisa membuat mereka semena-mena terhadap istrinya ,istrinya tidak boleh membantah apapun ucapan suaminya ,mereka harus melayani,mengabdi ,merawat suami dan anak-anak tanpa ada kesalahan ,sayangnya karena keterbatasan banyak istri yang harus menerima kenyataan itu.budaya itu terus berlangsung dan di tetapkan sebagai norma yang berlaku secara umum .
Lingkungan pun kerap menganggap wajar bila adaa suami mencaci-maki istrinya yang dituding tidak pandai memasak, pemalas,pengangguran,pemboros dan lainnya .budaya pengaruhnya sangat kuat terhadap prilaku seseorang dan sosial masyarakat.

Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yangmenetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkuprumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuantertentu.

Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, maupun pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual seperti memaksa isteri melakukan hubungan seksual walaupun isteri dalam kondisi lelah dan tidak siap termasuk saat haid, memaksa isteri melakukan hubungan seks dengan laki-laki lain.
Kekerasan seksual dimaksud pasal 8 diatas termasuk juga pelecehan seksual, Menurut Mboiek, (1992:1) dan Stanko (1996:56) pengertian pelecehan seksual adalah suatuperbuatan yang biasanya dilakukan lali-laki dan ditujukan kepada perempuan dalam bidang seksual, yang tidak disukai oleh perempuan sebab ia merasa terhina, tetapi kalau perbuatan itu  ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya. Pengertian lainnya dikemukakan oleh Sanistuti (dalam Daldjoeni,1994:4), pelecehan seksual adalah semua tindakan seksual atau  kecenderungan bertindak seksual yang bersifat intimidasi nonfisik (kata -kata, bahasa, gambar) atau fisik (gerakan kasat mata dengan memegang, menyentuh, meraba, mencium) yang dilakukan seorang laki-laki atau kelompoknya terhadap perempuan ataukelompoknya[21].
Kejahatan sekseual juga diatur dalam KUHP Pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana seksusla yang disebut delik kesusilaan dan pelanggaran kesusilaan.Pencabulan (Pasal 289-296; 2) penghubungan pencabulan (Pasal 286-288). Padahal dalam kenyataan, apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual mungkin belum masuk dalam kategori yang dimaksud dalam pasal -pasal tersebut. Dari definisi umum tersebut maka pelecehan seksual diartikan sebagai segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tid ak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran dan penolakan atau penerimaan korban atas perilaku tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan baik secara implisit maupun ekplisit dalam membuat keputusan menyangkut karir atau pekerjaanya, menganggu ketenan gan bekerja, mengitimidasi, dan menciptakan lingkungan kerja yang tidak aman dan tidak nyaman bagi si korban.

Pasal 9
 (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atauperjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaankepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiaporang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasidan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumahsehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.


Selama ini perkara kekerasan yang paling banyak dilaporkan ke Kepolisian adalah perkara dalam Pasal 49 (penelantaran).Biasanya pada kasus korban yang tidak memperoleh nafkah lahir-batin.Pada awal setelah UU P-KDRT disyahkan, kasus ini meningkat dalam kasus bapak (suami) yang dianggap tidak cukup memberi nafkah. Namun akhir-akhir ini  (dua tahun terakhir 2008-2009), laporan korban penelantaran menurun. Penyebabnya penentuan pemberian nominal nafkah lebih baik ditentukan oleh pengadilan agama setempat.Di samping itu kesulitan mengukur berapa standar pemberian nafkahyang layak oleh suami setiap bulan pada istrinya, masih menjadi perdebatan.Sedangkandi pengadilan agama biasanya ditentukan berdasarkan taklik talak, sedangkan di dalam UU Perkawinan berdasarkan ukuran sesuai dengan kemampuannya.Selainitu, kenyataannya, hampir semua perkara penelantaran yang dilaporkanoleh korban tidakdapat menghadirkan pelaku dalam pemeriksaan.Pelaku yang dilaporkan telah lama meninggalkan korban sehingga otomatis memangtidak memberikannafkah lahir-batin.Seringkali pemeriksaan di pengadilan pelaku tidak hadir.
Pada bulan November 2007, telah terselenggara  Pelatihan  bagi Hakim Peradilan Agama dengan materi KDRT. Pelatihan ini  dimasudkan untuk mengembangkan bangunan pengetahuan tentang KDRT, tidak hanya yang diatur dalam hukum nasional  (UU PKDRT), tetapi juga hukum Islam. Menangkap antusiasme permintaan dari para hakim PA dalam pelatihan tersebut diatas, agar ada buku Referensi bagi mereka tentang KDRT, maka Komnas Perempuan menyelenggarakan workshop untuk penyusunan materi buku.Buku Referensi ini telah dilaunching pada bulan Juli 2008 bersama Ketua Muda Urusan Lingkungan Agama MA-RI dan Dirjen Badan Peradilan Agama MA-RI.Keberadaan buku referensi ini nantinya diharapkan mampu memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang KDRT bagi hakim PA, sebagai tempat terakhir bagi kebanyakan perempuan korban menggapai keadilan dan mengungkap kebenaran. Kerja-kerja ini akan terus dilanjutkan dan dikembangkan dengan menggandeng kehakiman seperti pelatihan untuk para hakim pengadilan negeri tentang KDRT, SPPT bagi pendamping korban, pendataan kasus KDRT di kejaksaan, dan advokasi  revisi KUHAP.[22]
          Dalam UU PKDRT Pemerintah mempunyai kewajiban, yaitu: a).Merumuskan kebijakan penghapusan KDRT; b). Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang KDRT; c).Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang KDRT; dan d).Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender, dan isu KDRT serta menetapkan standard dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.
UU No.23 tahun 2004 juga mengatur kewajiban masyarakat dalam PKDRT, dimana bagi setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) wajib melakukan upaya: a) mencegah KDRT; b) Memberikan perlindungan kepada korban; c).Memberikan pertolongan darurat; dan d). Mengajukan proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan; (vide pasal 15 UU PKDRT). Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi di dalam relasi antar suami-isteri, maka yang berlaku adalah delik aduan.Maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan KDRT yang dialaminya kepada pihak kepolisian. (vide, pasal 26 ayat 1 UU 23 tahun 2004 tentang PKDRT).
Namun korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau Advokat/Pengacara untuk melaporkan KDRT ke kepolisian (vide, pasal 26 ayat 2). Jika yang menjadi korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan (vide, pasal 27). Adapun mengenai sanksi pidana dalam pelanggaran UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 s/d pasal 53. Khusus untuk kekerasan KDRT di bidang seksual, berlaku pidana minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara atau 20 tahun penjara atau denda antara 12 juta s/d 300 juta rupiah atau antara 25 juta s/d 500 juta rupiah. (vide pasal 47 dan 48 UU PKDRT).
Dan perlu diketahui juga, bahwa pada umumnya UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT, bukan hanya melulu ditujukan kepada seorang suami, tapi juga juga bisa ditujukan kepada seorang isteri yang melakukan kekerasan terhadap suaminya, anak-anaknya, keluarganya atau pembantunya yang menetap tinggal dalam satu rumah tangga tersebut, akan tetapi dalam kontek ini hanya dibahas kekerasan terhadap perempuan.
Di dalam agama Islam juga diatur tentang gender, Kalau dibaca di Surat An Nisaa[23] sekilas, inilah menjadi suatu alasan religius dari sekian alasan lainnya untuk berpoligami karena diketahui bahwa Awloh swt sudah berfirman seperti yang disebutkan diatas. Wanita hanya menjadi komoditas bagi pria untuk memilih lebih dari SATU.Pengertian ADIL pun pada umumnya menurut terjemahan dan sudut pandang masing-masing.Ada yang melihat dari sudut harta benda, ada pula yang melihat dari sudut pandang ADIL berarti berbagi rata-rata menurt perasaan masing-masing.Jadi disini Awloh swt sangat berpengaruh mengurus soal perkawinan, perceraian, harta benda, kerajaan dunia dan segala yang berhubungan dengan duniawi. 
Islam tidak pernah membenarkan seorang suami bertindak kejam terhadap istrinya baik secara lahir maupun secara batin.Karena Islam adalah agama yang mempunyai nilai-nilai prinsipil seperti nilai egalitarian, keadilan, dan kemanusiaan. Berikut ini ayat-ayat Alqur-an dan hadist nabi yang mengharuskan suami untuk berlaku sopan, penyayang dan lemah lembut kepada istrinya, sebagaimana diatur dalam Al-quran dan hadists, antara lain[24]:
a.     Dalam surat Ar-rum:21 yang pada intinya menyuruh kepada suami istri untuk hidup saling sayang menyayangi dan cinta mencintai.

b.     Aisyah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda "Yang paling baik dikalangan kamu adalah mereka paling sopan terhadap istrinya" (HR. Tarmizi)

c.     Dalam hadistnya Rasulullah SAW "…para suami yang memukul istrinya bukanlah termasuk orang-orang baik diantara kamu"(HR.Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah).

d.     Dalam hadistnya Rasulullah SAW "Janganlah kamu memukul hamba-hamba perempuan Allah swt"(HR. Abu Daud dengan isnad yang shahih )

Sedangkan pengaturan nafkah dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) kita dapat melihatnya dalamPasal 34 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.Dalam pengaturan UU Perkawinan, tidak ditetapkan besarnya nafkah yang harus diberikan, hanya dikatakan sesuai dengan kemampuan si suami.
Islam sangat menentang kekerasan dalam bentuk apapun termasuk dalam kehidupan rumah tangga.Prinsip yang diajarkan Islam dalam membangun rumah tangga adalah mawaddah, rahmah dan adalah (kasih, sayang dan adil). Dalam al-Qur'an disebutkan " Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir" (Ar-rum: 21). Daslam ayat lain disebutkan "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri [mu], walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung [kepada yang kamu cintai], sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri [dari kecurangan], maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (An-Nisa: 129).[25]
 Lebih lanjut, dalam UU Perkawinan dikatakan bahwa apabila suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan (Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan).Ini berarti apabila suami tidak memberikan nafkah untuk keperluan hidup rumah tangganya, isteri dapat menggugat ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama.
Perlindungan hukum merupakan Hak-Hak Korban dan dijamin dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004, BAB IV, Pasal 10 disebutkan
1.  perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pemerintah perlindungan dari pengadilan.
2.  pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis,
3.  penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban,
4.  pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, dan 
5.  pelayanan bimbingan rohan

C.  Kesimpulan dan saran
Dari hasil analisis dalam tulisan ini, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.    UU No. 23 Tahun 2004 tentang Kekersan dalam Rumah tangga adalah bentuk dari kepedulian bangsa dan Negara terhadap perlindungan kepada warga Negara yang lemah yaitu khusunya anak-anak dan perempuan.
2.    Pemerintah harus intensip mensosialisasikan UU ini, karena permasalahan hukum yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga belum menunjukkan penurunan yang signifikan.
3.    Aparat penegak hukum (polisi) belum pro aktif dalam menangani kasusu-kasus tindak pidana kekersan dalam rumah tangga, karena beralasan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah delik aduan.










DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Balai Pustaka: Jakarta),

Puspitawati, H. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. PT IPB Press. Bogor.

Satria L. Wahyu, Gender dalam Perspektif Sosial Budaya, http: //sosbud. kompasiana.com /gender – dalam - perspektif-sosial-dan-budaya-349630.html di akses 10 September 2014.

Harkristuti Harkrisnowo, 2001, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Perspektif Sosio-Yuridis, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia),

Marianus Gaharpung, Kasus KDRT Tidak Semuanya Delik Aduanhttp://suaraflores.com/kasus-kdrt-tidak-semuanya-delik-aduan/

 

Kekerasan Psikis Mendominasi KDRT,  Kekerasan.Psikis. Mendominasi.KDRTKamis,


Sri Endah Kinasih, Perlindungan dan Penegakan HAM terhadap Pelecehan Seksual,
http://ditjenpp. kemenkumham.go.id.undang-undang – no-23-tahun-2004-tentang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-uu-pkdrt.htm

http://www.kamusq.com, gender-pengertian-dan-definisi.html,

http://repository.usu.ac.id

http://www.tanyadok.com, kekerasan-terhadap-perempuan-senantiasa-mengintai,



2013, Kekerasan terhadap Perempuan 280 Ribu Kasus, Tempo.co, http: //www. tempo.co.Kekerasan-terhadap-Perempuan-280-Ribu-Kasus, diakses,


Muhammad Niam Sutaman  dan Kamilia Sutaman, Pandangan Islam terhadap Kekersan Rumah Tangga,  http://kamilia-milestones.blogspot.com




[1]Penulis adalah dosen Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu.
[2]Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Balai Pustaka: Jakarta), 2008, Hlm. 353
[3]http://www.kamusq.com/2012/11/gender-pengertian-dan-definisi.html, diakses 10 September 2014, pukul 00.8. 46.wib.
[4] Puspitawati, H. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. PT IPB Press. Bogor.
[5] Satria L. Wahyu, Gender dalam Perspektif Sosial Budaya, http: //sosbud. kompasiana.com /2011/03/23/gender – dalam - perspektif-sosial-dan-budaya-349630.html di akses 10 September 2014.
[6]Ibid

[7]2013, Kekerasan terhadap Perempuan 280 Ribu Kasus, Tempo.co, http://www.tempo.co/read/news/2014/03/08/063560496/2013-Kekerasan-terhadap-Perempuan-280-Ribu-Kasus, diakses, 14 September 2014.


[8] Harkristuti Harkrisnowo, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Perspektif Sosio-Yuridis, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia), 2001, hlm. 157.
[9] Kekerasan dalam rumah tangga di negara Amerika Serikat insidennya sebanyak 25% dari populasi perempuan, dan sekitar 35% perempuan yang mengalami kekerasan tersebut dibawa ke unit gawat darurat untuk mendapatkan perawatan.Kekerasan dalam rumah tangga di Negara industri dicatat bahwa di Negara Kanada sebanyak 29% perempuan telah melapor telah mengalami serangan fisik yang dilakukan oleh pasangannya, di Negara Jepang pada tahun 1993, 59% dari 796 wanita yang disurvei telah mengalami kekerasan fisik, di Selandia Baru 20% dari 314 wanita yang disurvei dilaporkan dipukuli atau mengalami kekerasan secara fisik
[11]Ibid, Dari sekitar 50 survei penduduk di seluruh dunia, 10-50% perempuan mengaku pernah dipukul atau disakiti secara fisik oleh pasangannya pada suatu saat dalam hidupnya. Artikel kesehatan di : http://www.tanyadok.com/kesehatan/kekerasan-terhadap-perempuan-senantiasa-mengintai
[12]Marianus Gaharpung, Kasus KDRT Tidak Semuanya Delik Aduan http://suaraflores.com/kasus-kdrt-tidak-semuanya-delik-aduan/

[15] Ibid
[16]Ibid
[17]  E. Lianawati, Dampak Psikis kekerasan dalam Rumah Tangga http: // esterlianawati. wordpress.com/2011/06/25/ dampak - psikis - kekerasan-dalam-rumah-tangga/, diakses 14 September 2014.
[18]Ibid

[19]Kekerasan Psikis Mendominasi KDRT, http: // megapolitan. kompas.com/read /2010/01/07/08155250/ Kekerasan.Psikis. Mendominasi.KDRTKamis, 7 Januari 2010, diakses 13 September 2014.,

[20]Kekerasan Psikis Mendominasi KDRT, http: // megapolitan. kompas.com/read /2010/01/07/08155250/ Kekerasan.Psikis. Mendominasi.KDRTKamis, 7 Januari 2010, diakses 13 September 2014.

[21] Sri Endah Kinasih,  Perlindungan dan Penegakan HAM terhadap Pelecehan Seksual, http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Perlindungan%20dan%20Penegakan%20HAM.pdf.
[22]http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/653-undang-undang-no-23-tahun-2004-tentang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-uu-pkdrt.htm
[23]Surat An-nisa:19 yang menyatakan "Wahai orang yang beriman, tiada dihalalkan bagimu mempusakai perempuan dengan paksaan dan janganlah bertindak kejam terhadap mereka….sebaliknya bergaullah dengan mereka secara baik-baik lagi adil. Hiduplah bersama mereka dalam kebajikan".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU