“PNS, Regulasi dan Kebijaknnya”

“PNS, Regulasi dan Kebijaknnya”
Hari ini Senin, tepat pukul 08. 41 wib, “zaujati” telpon katanya dia terima undangan untuk pelantikan jam 10.00 di sekretariat Pemkot Bengkulu, mau pulang sebentar kerumah ambil baju Korpri, berarti tetap dilantik eselon IV.a, (karena kalau eselon III, sudah pelantikan beberapa hari yang lalu, dan pakaian resminya pasti PSL), eselon IV.a tersebut sudah dia jabat sekitar tujuh belas tahunan, untuk di lingkungan Pemkot saja, sebenarnya waktu di Pemda Bengkulu Selatan dulu sudah menduduki jabatan eselon yang sama, berarti sudah hampir dua puluh tahun di eselon yang sama.
Kalau pakai baju Korpri dan artinya dia tetap menduduki jabatan tidak “non job” alias tidak punya jabatan struktural, kalau jabatan lain pasti ada mungkin namanya fungsional umum, seperti teman-teman saya yang saya baca di Koran beberapa yang saya kenal mendapat jabatan fungsional umum alias “non Job” kebalikan dari fungsional tertentu. Sebelumnya zaujati pernah cerita, bahwa kantornya akan digabung dengan kantor lain, ini yang membuatnya H2C (maksudnya harap-harap cemas), kemungkinan jabatan struktural tempat dia selama ini mengabdi bisa ditempat orang lain dan itu lumrah, namnya mungkin resiko jabatan, akibat perampingan/pengabungan organisasi. Zaujati tidak pernah neko-neko tentang suatu jabatan, dan itu sudah menjadi komitmen kami sama-sama PNS, walaupun dilingkungan yang berbeda, nggak pernah minta-minta jabatan, kalau diamanati tugas tertentu kita terima kalau tidak tetap saja bekerja dengan ikhlas, jujur dan jangan korupsi dan sejenisnya. Oleh karena itu dapat jabatan atau “non job” atau fungsional umum terima dengan Alhamdulillah.
“Non Job” Istilah Ini sebenarnya tidak perlu lagi didefinisakan atau dicarikan dalam kamus, karena hampir semua orang yang melek dan tentunya sebagai aparatur atau karyawan perusahaan sudah paham betul maknanya, tapi jangan diartikan berdasarkan terjemahan bahasa asing bisa-bisa maknanya justru tidak benar, non job kalau diambilkan dari bahasa Inggris mungkin artinya tidak ada jabatan atau mungkin yang lebih tepat tidak ada pekerjaan alias pengangguran, tapi bisa juga orang yang berstatus non job, tetap saja diberi gaji tetapi ditempatkan pada bagian yang tidak ada pekerjaannya,…wah apa betul demikian…?, masa suatu unit kerja tidaka ada pekerjaannya, ini tidak mungkin, rasanya tidak masuk akal, tempat kerja tidak ada pekerjaan, apalagi kalau ia sebagai aparatur sipil Negara (PNS), pasti seseorang itu diberikan jabatan tertentu, seperti jabatan fungsional umum, mungkin ini jabatan terendah untuk PNS pasca keluarnya UU ASN, dan jabatan tertingginya dinamakan Pimpinan Tinggi Utama, ini juga agak aneh sudah tinggi utama lagi, tinggi dimaksudkan karena harus melalui jenjang madya dan pratama, kalau ini baru betul, menunjukan bahwa PNS adalah jabatan karier yang harus dilalui secara berjenjang.
Memasuki tahun 2017 Pemda Prov. Maupun Kabupaten/Kota mengadakan mutasi besar-besaran, sebenarnya mutasi kali ini untuk memenuhi ketentuan PP No. 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah yang intinya merupakan Pembentukan dan Penyusunan Ulang Perangkat Daerah, pemerintah daerah harus membentuk dan menyusun ulang perangkat daerah yang ditetapkan dengan Perda dan mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri. PP No 18 Tahun 2016 tersebut, sebagai perubahan dari Kerangka regulasi sebelumnya seperti PP Nomor 41 Tahun 2007 sebagai perubahan terhadap Peraturan Pemerintah yang mendahuluinya. Lalu ada PP No. 41 Tahun 2007, penataan kelembagaan perangkat daerah menyangkut program penataan organisasi. Ini juga karena ada pengalihan Pegawai sebagaimana SE Mendagri Nomor: 120/253/SJ tanggal 16 Januari 2015, tentang Penyerahan Urusan Pemerintahan dan SE Mendagri Nomor: 120/5935/SJ tanggal 16 Oktober 2015, tentang Percepatan Pelaksanaan Pengalihan Urusan.
Lalu kenapa “non Job” di lingkungan PNS atau istilah baru Pegawai ASN-PNS, menjadi momok…? Ya memang jabatan memenentukan status sosial seseoarang di institusi pemerintah, bahkan biasanya disertai dengan beberapa fasilitas untuk menunjang jabatan tersebut, semakin tinggi jabatan seseorang, tambahan penghasilan juga meningkat, jadi naik jabatan juga naik rezeki, kewenangan juga bertambah, kalau hanya Lurah sebatas wilayah kelurahan itulah kekuasaan dan kewenangannya, dan termasuk anggarannya, juga pasti yidak sama dengan anggaran Camat, kenderannya Lurah cukup motor saja,
Pengisian jabatan struktural, ada aturan baku dan ini sudah lama ada, misalnya di era Menpanya Ir. Sarwono Kusumaatmaja (Orde Baru), diatur bahwa pengisian jabatan struktural harus sesuai dengan hasil analisis jabatan (Anjab), era pak Sarwono dulu dikenal dengan program delapan pemacu kantor Menpan, salah satunya adalah analisis jabatan, dan saat itulah dimuali adanya sekolah jabatan secara berjenjang, sesuai dengan eselon yang akan diduduki. Misal untuk menduduki eselon terendah harus lulus sekolah Administrasi Umum (Adum), kemudian Adumla dan seterusnya, disamping syarat lainya termasuk jenjang pendidikan dan kepangkatan. Seiring dengan perkembangan pengelolaan administrasi pemerintahan tentu juga syarat-syarat lain harus dipenuhi.
Syarat jabatan seharusnya merupakan pertimbangan seseorang untuk diangkat jabatan, karena jika persyaratan tersebut diabaikan, maka dimungkinkan akan terjadi hambatan dalam melaksanakan tugas dan fungsi aparatur itu sendiri, seperti pertimbangan psikologi juga penting, sesorang tidak pas menduduki jabatan di Kepegawaian jika punya temperamental dan emosi yang tidak bisa dikendalikan, karena pekerjaannya menyangkut pelayanan terhadap orang yakni pegawai itu sendiri, tentu saja di bidang lain juga punya syarat-syarat tambahan dan itu memang penting.
Lalu, apa yang menjadi persoalan dari tema pokok diatas, sudah menjadi rahasia umum bahwa jabatan-jabatan struktural tersebut tidak selamanya digunakan atau dijadikan persyaratan banyak hal yang menyebkan pengabaian syarat tersebut, dan inilah pemicu dari ketidak profesonalan PNS sebagai aparatur pemerintah yang melaksanakan sebagian tugas Negara untuk mencapai tujuan bersama Negara. Silih bergantinya era pemerintahan PNS tetap saja menjadi objek yang menarik bagi suatu kekuasaan, karena PNS masuk dalam katagori manusia pada pringkat golongan menengah, menengah dalam ekonomi, menegah dari kemampuan sumber daya manusia dan menengah dalam status kehormatan.
PNS dalam era apa saja sudah terlanjur menjadi barang elit dan rebutan dari semua elemen masyarakat, bahkan di era reformasi, dimana kekuasaan diserahkan oleh pusat ke daerah sangat besar, maka penguasa-penguasa daerah memanfaatkan betul potensi kelas menengah PNS tersebut, bahkan ada Kepala Daerah menjadikan PNS seabagi sumber masukan “baget” bagi kekuasaannya, mulai dari rekrutmen, mutasi termasuk pengisian jabatan, atau mutasi tempat kerja. Sehingga banyak istilah yang menjelaskan hal itu secara samar-samar, rekrutmen bisa dihargai sesuai dengan pangkat yang akan diterima bagi CPNS, mulai dari istilah tiga seratus, seratus bahkan mungkin menjadi tiga ratus. Kasus Bupati Klaten, beberapa waktu yang lalu adalah cerminan dari persoalan PNS, walaupun tidak bisa di genderalisis, namun samar tapi pasti ada pemain yang berperan dalam dalam pengelolaan sumber daya PNS. Persolan rekrutmen masih bermasalah seperti dikemukakan oleh Menpan yang baru Asman Abnur di Palembang beberapa waktu yang lalu, “Sekarang ini cukup banyak ditemukan PNS yang tidak memiliki kemampuan bekerja sesuai dengan bidangnya. Hal ini terjadi akibat proses tes penerimaannya terdapat celah permainan yang memungkinkan lolosnya calon pegawai yang tidak berkompeten,"
Kalau sudah begini sulit untuk berharap banyak kepada PNS yang tugas utamanya melayani, mengabdi dan bersama-sama kekuatan bangsa menciptakan keadilan, kebersamaan, menuju kesejahteraan bangsa, efek domino dari ketidak profesonalan PNS, berdampak kepada masyarakat luas yang justru jumlahnya lebih banyak, saya berani bicara di dalam suatu forum resmi, Indonesia akan hancur bukan karena terorisme, in-toleran, atau aneksasi dari bangsa lain, tetapi musuh nyata adalah pengelola negara, pengemban amanat yang tidak amanat. Kalau perampok head to head, pencuri ruang geraknya sangat terbatas menunggu orang lain dalam posisis lengah. Tapi pejabat yang tidak amanat, luar biasa akibatnya karena mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pertanggungjawaban semuanya dilekati kebohongan untuk mengimplementasikan watak kerakusan dan napsu kekuasaan.
Tapi ini semua adalah renungan, merenung karena berpikir, solusi harus ada, jangan sampai masuk lombang yang kedua kali, hati nurani manusia sebaik-baik ciftaan-Nya, dan itu melekat hanya saja sekarang tertutup oleh sebuah system yang sengaja atau tidak sengaja membelenggu agar tidak keluar dari kungkungan penderitaan, bisa saja ini sengaja diciptakan oleh kelompok-kelompok tertentu dan kalau benar, maka kewaspadaan dan nalar harus jalan.
Sebenarnya setelah keluarnya UU No. 14 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), PNS yang merupakan bagian dari ASN kini sudah menjadi profesi, jadi PNS harus memiliki nilai-nilai dasar keprofesiannya antara lain melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggungjawab, dan berintegritas tinggi, serta melaksanakan tugasnya dengan cermat dan disiplin. Idealnya memang begitu, tetapi persoalannya masih macam-macam yang paling krusial adalah adanya perbedaan pendapatan yang cukup jauh antara PNS disatu instansi dengan instansi lain, padahal dalam suatu wilayah tertentu, misalnya PNS di lingkungan Pemda yang APBD nya rendah tunjangannya kecil bahkan tidak ada sama sekali diluar gaji dan pendapatan lainnya, sedangkan PNS di kantor “tetangga” punya tunjangan Kinerjanya sudah 100% ditambah dengan uang makan dan lain-lain, bagaimana dengan pegawai misalnya Kelurahan, padahal sama-sama PNS, sama-sama abdi Negara dan Abdi Masyarakat dan sama sama melayani, dasarnya apa perbedaan ini…? Masalah sumber daya, sekarang di Kelurahan banyak PNS yang pintar, energik dan punya integritas tinggi sebagai contoh lulusan-lulusan sekolah Pamong seperti STPDN, lulusan perguran tinggi ternama dan lain sebagainya. Bukan itu saja di lingkungan Perguruan Tinggi juga agak aneh, masa seorang Doktor bahkan professor tamatan Perguruan Luar negeri ternama, banyak membimbing mahasiswa, sering melakukan pengabdian dan penelitian, jauh dibawah tunjangan kinerja seorang kepala Biro. Perbedaan ini belum terasa jauh tapi kenyataan lain di Republik ini ada yang paling tragis, yang tersebar di dunia pendidikan misalnya masih ada honor guru SD sebesar Rp 500.000 dan SMP/SMA Rp 450.000, jauh dibawah UMR, padahal mereka rata-rata sudah berpendidikan sarjana, untuk itulah mereka berpacu supaya diangkat jadi PNS. dan Negara seharusnya rasional melihat dunia pendidikan ini, instutusi pendidikan dari berbagai jenjang masih kekurangan pengajarnya, dan sekolah-sekolah swasta sangat dibutuhkan, karena daya tampung negeri terbatas. Saya merenung lebih jauh, sepertinya pendidikan ini diangap sebagai komoditi ekonomi, bicara untung dan rugi, atau bisa juga pemerintah tidak punya nyali untuk melawan kekuatan “siluman” yang selalu mencrari keuntungan dari pendidikan, kalau tidak tahu sudah keterlaluan.
Di samping dunia pendidikan, sepertinya dunia kesehatan di Indonesia, sama dengan pendidikan dianggab sebagai bahan masukan atau pendapatan entah oleh kelompok pebisnis konglomerat atau oleh pemerintah sendiri, saya hanya bisa merenung dan tentu ada yang lebih tahu hitungannya dan sekali lagi renungan saya bisa salah. Wallahualam bissawab. Bersambung…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU