ILMU HUKUM DAN PERKEMBANGANYA (Kajian Khusus Hukum Normatif)



ILMU HUKUM DAN PERKEMBANGANYA
(Kajian Khusus Hukum Normatif)

Oleh:
Imam Mahdi[1]

Abstract


   Maksud utama dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui sifat kekhususan ilmu hukum (suigeneris) dan perkembangan ilmu hukum dari berbagai mazhab yang mendominasi pada priodesasi perkembangan ilmu pada umumnya. Disamping itu dikaji pula tentang mazhab posistisme hukum yang sampai sekarang masih menjadi kiblat dari berbagai kajian hukum, walaupun mazhab ini banyak dikritik oleh para ahli, terutama setelah munculnya teori relativitas sebagaiman berlaku pada ilmu pengetahuan alam (eksak). Di Indonesia sebenarnya menganut pluralism hukum, namun pada praktiknya didominasi oleh paham positivism hukum. Paham ini pada satu sisi memberikan kontribusi besar terhadap pembentukan hukum di Indonesia terutama dalam kaitannya dengan hirarki hukum. Pada bagian lain tulisan ini memberikan gambaran praktis bentuk penelitian hukum normative sebagai dngan berbagai ragaan yang mudah dipahami. Terutama berkaitan dengan isu-isu atau problem hukum yang harus dikemukakan oleh calon peneliti dalam menentukan desain besar penelitian hukum.

Kata Kunci: Ilmu Hukum, Perkembangan Ilmu, Kekhususan Ilmu hukum, metode
                   penelitian normatif.

A.  Pendahuluan

Perdebatan mengenai ilmu hukum semula sebagai suatu ilmu pengetahuan (sains) atau bukan sudah selesai, karena ilmu hukum telah dapat memenuhi kriteria sebagai suatu ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain, ini dapat dibuktikan bahwa unsur-unsur pengetahuan ilmiah yang menjadi syarat sebagai cabang ilmu yang dapat dikaji, diteliti dan dirumuskan sebagaimana ketentuan suatu pengetahuan ilmiah antara lain: 1) objektif, 2) mempunyai metode, 3) sistematis dan 4) universal[2]. Demikian juga ketentuan ilmia menurut pandangan Harold Berman telah terpenuhi, bahwa pengetahuan ilmiah harus memenuhi tiga perangkat kriteria, yaitu: (1) kriteria metodologikal, dalam peristilahan metodologi, ilmu dalam arti modern, merupakan seperangkat pengetahuan yang terin-tegrasi yang lahir dalam konteksitas dedukto-hipotetiko-verifikatif; (2) kriteria nilai, yaitu substansi yang mengacu pada premis-premis ilai obyektivitas, bebas pamrih (disinterestedness), skeptis, toleransi, dan keterbukaan; (3) kriteria sosiologikal, yang meliputi pembentukan komu- nitas ilmuwan, pentautan berbagai disiplin ilmiah, dan status sosial.[3]
Ilmu  hukum pada perkembangan selanjutnya,  yang masih  memerlukan pemahaman khusus, baik oleh ilmuwan bidang sosial maupun ilmuwan hukum itu sendiri, karena ada pertanyaan yang masih sering muncul dan harus dijawab secara akademis, apakah Ilmu Hukum itu ilmu, jika ia sebagai ilmu, bagaimana metodologinya? Menurut Lasiyo, pertanyaan tersebut seyogyanya tidak sekedar dicari jawabnya secara instan, tetapi harus dikaji dan dianalisis berdasarkan landasan pijak yang kuat dan jelas dari aspek keilmuan.[4]
Perdebatan selanjutnya terutama dari segi etimologinya terutama jika diterjemahkan secara harpiah ke dalam bahasa Indonesia, maka akan berbeda beda Pengertiannya,  pertama:  Dalam bahasa Belanda recht, dalam bahasa Jerman juga disebut Recht, sedangan dalam bahasa Indonesia disebut Hukum[5]. Adanya juga yang menyebutnya ius seperti dalam bahasa Latin, Sedangkan dalam arti yang kedua dalam bahasa Latin di sebut Lex, dalam bahasa Perancis droit, bahasa Perancis loi, bahasa Belanda wet, bahasa Jerman Gesetz, untuk kata-kata ini jika di Indonesiakan lebih tepat dimaknai dengan Undang-Undang, Kata “law” di dalam bahasa yaitu aturan-aturan yang dibuat oleh para raja-raja Anglo-Saxon yang telah dikodifikasi (dibukukan). Di Inggris juga dikenal juga istilah legal science jika di Indonesiakan tepatnya adalah ilmu tentang aturan perundang-undangan, di Indonesia ilmu perundang-undangan justru bagian dari ilmu hukum, dan berkembang juga menjadi teknik perundang-undangan dan bahkan sekarang lebih populer dengan istilah legal drafting. Jika mengarah demikian makan tidak sesuai lagi dengan makna yang sebenarnya yang dipahami oleh masyarakat tentang hukum.[6] Walaupun hukum itu sudah mengarah kepada suatu produk berupa perundang-undangan, maka seharusnya tetap mencerminkan dinamika interaksi kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Jangan hukum itu mempertahankan dan memaksakan suatu konstruksi yang bertentangan dengan dinamika masyarakat.[7] 
Oleh karena itu, mempelajari hukum tidak cukup dengan mempelajari buku-buku hukum atas mendengar selintas diskusi-diskusi tentang hukum, apalagi mengomentari tentang ilmu hukum padahal sebenarnya hanya memahami hukum dari luarnya saja, Ahmad Ali mengatakan bahwa sering terjadi kesalahpahaman tentang hukum dikalangan masyarakat awan terutama menyangkut hal-hal seperti:
1.      Kesalahpahaman mengidentikan hukum dengan perundang-undangan, padahal hukum tidak selalu identik dengan perundang-undangan, tetapi undang-undang hanyalah satu bagian yang sedemikian luas.
2.      Kesalahpahaman pengidentikan ilmu hukum dan pengetahuan hukum padahal ilmu (legal science, jurisprudence) tidak sama dengan pengetahuan hukum (legal knowledge).[8]

Menurut Philipus  M. Hadjon, ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif, praktis, dan preskriptif. Karakter yang demikian menyebabkan sementara kalangan  yang tidak memahami kepribadian ilmu hukum itu mulai meragukan hakikat keilmuan hukum. Keraguan tersebut  dikarenakan dengan sifat yang normatif ilmu hukum bukanlah ilmu empiris.[9]
Untuk itu penulis mencoba menganalisinya dari segi kekhususan (sui generis), melalui tulisan ini mudah-mudahan bagi orang yang tertarik mempelajari hukum agar ada sedikit gambaran tentang bangunan ilmu hukum itu, walaupun tulisan ini hanya membahas dari pandangan ilmu hukum itu sendiri, semoga.

B.  PEMBAHASAN
1.    Ilmu Hukum dan Perkembangannya
a.      Ilmu Hukum
Ilmu hukum adalah Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hukum atau segala sesuatu yang menyangkut tentang hukum, di dalam kamus perpustakaan hukum bahwa ilmu hukum selalu berkaitan dengan nama-nama seperti: Jurisprudence, yang berasal dari kata Jus, Juris, yang artinya hukum atau hak, dan kata Prudence, berarti melihat kedepan atau mempunyai keahlian, dan arti umum  Jurisprudence  adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari ilmu hukum[10].
Sajtipto Rahardjo yang mengutip pendapat Curzon, memberikan gambaran begitu luas kajian ilmu hukum, dan pada tulisan ini akan dikutip beberapa pendapat saja, sekedar untuk menyatakan bahwa keluasan kajian ilmu hukum tersebut, antara lain:
1.       Ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yang bersifat surgawi dan manusiawi, pengetahuan tentang apa yang benar dan yang tidak benar (Ulpian);
2.      Ilmu yang formal tentang hukum positif (Holland);
3.      Sentesis ilmiah tentang asas-asas yang pokok dari hukum;
4.      Penyelidikan oleh para ahli hukum tentang norma-norma, cita-cita dan teknik-tekni hukum dengan menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari berbagai disiplin di luar hukum yang mutahir (Stone)
5.      Ilmu hukum adalah nama yang diberikan kepada suatu cara untuk mempelajari hukum, suatu penyelidikan yang bersifat abstrak, umum dan teoritis, yang berusaha untuk mengungkapkan asas-asas yang pokok dari hukum dan system hukum (Fitzgerald).[11]

Sedangkan Menurut Purbacaraka dan Soerjono Sokanto  ilmu hukum merupakan:
1.  Ilmu hukum mencakup ilmu tentang kaidah atau norma yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai kaidah dengan dokmatik hukum dan sistematik hukum.
2.  ilmu tentang pengertian'pengertian hukum seperti subyek hukum, kejadian hukum, danperistiwa hukum.
3.  Ilmu tentang kenyataan yang menyoroti hukum sebagai prikelakuan dan sikap kita mencakup sosiologi hukum, antropolo!gi hukum, dan fisiologi hukum.[12]
Untuk  memahmi ilmu hukum dapat digambarkan dengan ragaan di bawah ini:

Sumber: diolah sendiri[13]

Dalam perkembangan selanjutnya ilmu hukum juga dapat dilihat dari segi ilmu Pengetahuan, maka ilmu hukum tersebut dapat dikelompokan dalam pengkajiannya meliputi:
1.      Subyek hukum;
2.      Obyek hukum;
3.      Persitiwa hukum;
4.      Perbuatan hukum;
5.      Hubungan hukum;
6.      Akibat hukum, dan
7.      Masyarakat hukum.[14]
Sedangkan jika hukum ditinjau dari  sudut filsafat, istilah ilmu (science) menyandang dua makna, yaitu sebagai produk dan sebagai proses. Sebagai produk, ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji kebenarannya dalam bidang tertentu dan tersusun dalam suatu sistem. Teori hukum memandang, bahwa ilmu hukum memiliki karakter yang khas (suigeneris), yaitu sifatnya yang normatif. Ilmu hukum termasuk kedalam kategori ilmu humaniora, seni, bahkan memiliki keterkaitan dengan filsafat dan sastra, dengan demikian dapat dibedakan dengan bidang-bidang ilmu alam dan ilmu sosial.
 Ciri yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami karakteristik ilmu hukum meragukan hakekat keilmuan hukum. Keraguan itu disebabkan karena ilmu hukum lebih bersifat normatif ketimbang empiris dan obyek telaahnya berkenaan dengan tuntunan perilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik. Ilmu hukum tetap diterima sebagai ilmu dengan tetap menghormati karakter ilmu hukum yang merupakan kepribadian ilmu hukum. Dengan demikian pengkajian ilmu hukum harus beranjak dari hakikat keilmuan hukum, yang meliputi 2 (dua) aspek pendekatan, yaitu: pendekatan dari sudut falsafah ilmu, dan pendekatan dari sudut pandang teori hukum[15].

b.      Perkembangan Hukum dan Ilmu Pengetahuan
Perkembangan hukum bergerak tidak kalah cepat dengan perkembangan ilmu pengetahuan (sains).[16] Hal ini dapat dikaji bahwa hukum tidak hanya sebagai suatu dogmatis yang hanya memandang hukum sebagai aturan atau dogma atau cara pandang sepihak dari sudut positivisme hukum, yang harus diterima apa adanya, namun hukum berkembang sebagi suatu alternative yang bisa mengikuti perkembangan masyarakat, sesuai kebutuhan di eranya.
Hukum berkembang melalui serangkaian proses penganalisaan dari berbagai aliran yang mendasarinya. Dimulai dari embrio pemahaman ilmu sosial dari para filsuf terkemuka di dunia sampai pada ahli-ahli hukum yang mencetuskan perkembangannya di abad ke-21 ini. Satu hal yang perlu kita pahami pula bahwa ilmu hukum bukanlah ilmu statis yang tidak berkembang, karena perkembangannya senantiasa ada sejalan dengan perkembangan masyarakat yang melingkupinya.[17]
Perkembangan hukum modern pada dasarnya adalah upaya meligitimasi keberadaan otoritas penguasa untuk mengatur masyarakat, untuk itu mka brkembanglah teori hukum positivism yang bersifat dogmatis tadi, tokoh-tokoh positivisme mendefinisikan hukum sebagai seperangkat aturan yang di bentuk untuk mengatur manusia. Aliran ini berkembang beratus-ratus tahun dan mendominasi seluruh produk hukum yang mengutamakan kepastian (law emfosment) dari pada kebutuhan hukum bagi masyarakat, agar tercipta perlindungan dan keadilan. Bahkan dengan dramatisisasi Hans Kelsen mengeluarkan teori “hukum murni” artinya hukum tidak boleh dimasuki unsure-unsur di luar hukum, termasuk unsur moral tidak bisa diadopsi menjadi hukum, karena moral bukan hukum. Bahkan John Austin sebagai tokoh utama aliran positivism mengatakan bahwa hukum sebagai perintah dari otoritas yang berdaulat di dalam masyarakat.[18]
Akan tetapi positivisme hukum sudah mulai dikritik oleh gerakan yang dipelopori oleh aliran-aliran baru hukum baik yang diilhami oleh hukum alam maupun aliran yang terlepas dari sandaran kedua teori yang berlawanan tersebut, dan itu sudah mulai Nampak pengaruhnya dalam perkembangan selanjutnya. Seperti teori hukum yang dikemukakan oleh Nonet dan Selzink yang membuat pencirian hukum ke dalam tiga golongan, yaitu: 1. Hukum yang refresif, 2 hukum yang otonom dan 3. Hukum yang responsive.[19]
Secara terus menerus timbul keritikan terhadap hukum modern yang selalu mengarah pada kepastian hukum dan keinginan penguasa untuk mengatur tersebut, misalnya dari Critical Legal Studies (CLS), yang giat melakukan pertemuan setiap tahun dari tahun 1977 sampai tahun 1982. Aliran pemikiran ini melakukan kritik tegas bahwa hukum sebagai pelaksanaan-formalisme tidak sesuai dengan realitas yang ada[20].
Kemudian banyak pakar hukum yang melakukan koreksi terhadap penerapan teori positivisme yang suatu saat akan diterapkan secara refresif dan memaksa tersebut, Thomas E. Davitt mengatakan bahwa hukum menyoroti nilai, kewajiban dan hak manusia terkait kebutuhan-kebutuhan umum dan bersama mereka. Hal-hal inilah yang membentuk isi hukum dan memberikan hukum tujuannya yang paling utama.[21] Akan tetapi Indonesia sebagi Negara yang mengalami masa suram yang cukup lama karena dijajah oleh Belanda yang menganut system hukum positip, bercorak eropa continental, sulit sekali bagi bangsa Indonesia untuk lepas dari system tersebut, walaupun sebenarnya sebelum bangsa barat tersebut datang ke nusantara hukum adat telah ada dan kemudian hukum Islam juga berkembang seiring dengan perkembangan agama Islam itu sendiri. Dengan demikian kecenderungan untuk memakai hukum tertulis masih tetap berlaku, walaupun secara formal tetap menganut pluralisme hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Daniel S. Lev yang dikutip oleh Hamdan Zulva, mengemukakan:
Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis. Walaupun demikian Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek), yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat.[22]

Di dalam parktik penyelenggraan hukum di Indonesia tetap mendahulukan hukum positif yang tertulis tersebut, sebagaimana banyak kasus yang pernah mencuat di akhir-akhir ini, dimana hati nurani penggiat hukum tersentuh atas kasus yang mnimpa nenek Mirna yang diputus oleh hakim bersalah karena mencuri 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) akan menjadikannya sebagai pesakitan di ruang pengadilan. Bahkan untuk perbuatannya itu dia diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan.[23]
Nnenek Mirna dihukum karena sebuah pasal yang sudah usang, peninggalan Belanda yakni Pasal 362 KUHP yang juga sampai saat ini masih ada[24], walaupun perkembangan selanjutnya tidak ada lagi peristiwa seperti itu yang akan disidangkan oleh hakim, bukan karena pasal tersebut dicabut tetapi ada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidan Ringan dan jumlah denda dalam KUHP, sebagaimana diatur dalam Pasal 1. Kata-kata "dua ratus lima puluh rupiah" dalam pasal 354, 373,379,384, 4O7 dan pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah);
Dengan demikian bahwa positivisme hukum di Indonesia tetap berjalan, hanya saja ada perubahan ketentuan penyesuaian denda seperti diatur dalam Pasl 1 PERMA tersebut. Demikian juga dalam dalam hukum positif lainya seperti tetap saja mengedepankan hukum tertulis yang dibuat oleh penguasa seperti dikemukakan oleh Theo Hujibers bahwa Hukum berasal dari negara dalam arti hukum berasal dari negara yang  berkuasa dalam negara, yaitu pemerintah. Pemerintah mengatur kehidupan masyarakat melalui politiknya. Karenanya pemerintah melalui politiknya menjadi sumber hukum[25].
Ilmu pengetahuan secara umum terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangannya semakin cepat seiring dinamika kehidupan yang semakin kompleks. Munculnya berbagai fenomena baru secara simultan menjadi tantangan yang harus direspon secara kreatif dan produktif.
Komunitas ilmiah telah menyadari atau memiliki kesadaran bahwa paradigma yang satu ini kian rapuh untuk menghadapi tantangan global, sehingga munculah paradigm baru, misalnya pada awal abad ke-20, manusia terkagum-kagum dengan teori newton dalam memahmi sesuatu seacra materialism ilmiah, dan dapat diukur dengan pasti sesuai dengan hukumnya. Ternyata penelitian selanjutnya justru bertolak belakang dengan teori newton dan kaum Newtonian, sehingga disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada yang pasti dalam dunia ilmu pasti, segala sesuatu dalam relaitas akan selalu tetap menjadi probabilitas sehingga apapun boleh terjadi, dan inilah yang disebut teori relativitas.[26] Ternyata bukan itu saja perkembangan ilmu pengetauan mencapai derajat yang paling tinggi dan memudahkan kehidupan manusia sekaligus juga berdampak dalam kehidupan. Menurut Anton F. Susanto bahwa positivisme hukum mendapat kritikan karena dianggap tidak mampu lagi mengakomodasi pluralitas kearifan lokal, bahkan ada kecenderungan, hukum dalam paradigm positivisme menindas hukum lokal dan atau menjadi beban masyarakat lokal[27].
Akan tetapi jika melihat secara jernih dalam positivisme hukum sebagaiman diajarkan oleh tokoh berikutnya yakni Hans Kelsen yang mengemukan Teori norma hukum berjenjang dan berkelompok (die theorie vom stufenordung der rechtsnormen) Hans Nawiasky ini jika diproyeksikan ke Norma hukum yang berlaku di Indonesia maka akan diperoleh pengelompokan hirarki sebagai berikut:
1.     Norma Dasar (Grundnorm)/Fundamental Negara (Staatsfundamentalnor) Indonesia adalah Pancasila dan Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945). Sehingga seluruh perundangan dibawahnya harus merujuk ke norma dasar ini (Hans Kelsen),
2.     Aturan Pokok Negara (Statgrundgesetz) Indonesia adalah batang tubuh UUD NRI 1945, TAP MPR RI dan Konvensi Ketatanegaraan,
3.     Undang-Undang Formal (Formell Gesetz) Indonesia adalah Undang-Undang,
4.     Aturan Pelaksana/Aturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung) Indonesia adalah secara hirarkis mulai Peraturan Pemerintah, hingga keputusan Bupati/Walikota[28].
Hans Nawiasky murid dari Hans Kelsen telah meletakan dasar teori jenjang hukum yang ia kembangkan (die theorie vom stufenordung der rechtsnormen) norma hukum dari negara berjenjang-jenjang dan bertingkat-tingkat, seperti anak tangga, dimana norma yang dibawah berlaku dan berdasar dari norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berdasar pada norma tertinggi yang disebut norma dasar (Grundnorm pada teori Hans Kelsen). Selain berjenjang dan bertingkat norma hukum menurut Hans Nawiasky juga berkelompok, dimana pengelompokannya sebagai beriku:
Kelompok I                        :Norma Dasar/Fundamental Negara (Staatsfundamentalnor)
Kelompok II           : Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz)
Kelompok III         : Undang-Undang Formal (Formell Gesetz)
Kelompok IV           :Aturan Pelaksana/Aturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung[29]

Indonesia termasuk Negara yang beruntung telah berhasil meletakan norma dasar (Grundnorm)/Fundamental Negara (Staatsfundamentalnor), dan tentunya sudah menjadi consensus untuk menjadikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, norma hukum pokok serta disebut pokok kaidah fundamental daripada suatu negara itu dalam hukum mempunyai hakikat serta kedudukan yang tetap, kuat, dan tidak berubah bagi negara yang dibentuk.
Jika demikian maka seluruh produk hukum yang dibentuk oleh pemerintah harus selalu berdasarkan Pancasila dan nilai-nilai Pancasila wajib hukumnya dijadikan pangkal norma dalam seluruh hirarki perundang-undangan. Oleh karena itu teori Hans Kelsen dan Hans Nawiayasky, memberikan kontribusi besar dalam menjaga norma perundang-undangan di Indonesia. Walaupun memang teori ini diangggap tidak memberikan tempat bagi kemajuan hukum Indonesia, menurut saya pendapat seperti ini sangat tendensius dan menganggap bahwa hukum harus bebas menentukan bentuknya sesuai dengan kehendak masyarakat. namun disatu sisi dapat diajukan acuan agar pembentukan perundang-undangan di Indonesia terjaga dari segala unsur yang bertentangan dengan Pancasila, dan setiap orang bisa mengontrolnya, dan telah terbukti bahwa undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 sebagai penjabaran Pancasila dapat diajukan Permohonan penolakannya ke Mahkamah Konstitusi, baik secara perorangan maupun kelompok, dan Pancasila sebagai  Staatsfundamentalnor bersifat plexibel terhadap perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat yang semakin maju ilmu pengetahunnya.
Hukum juga mengiringi perkembangan ilmu pengetahuan, bahkan hukum kadang-kadang parallel dengan perkemabangan sains. Lalu diamana letak titik singgung hukum dengan perkemabngan ilmu pengetahuan…? Ini dapat diilustrasikan sebagai berikut, Secara teoritis perkembangan ilmu pengetahuan selalu mengacu kepada peradaban Yunani. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, di antaranya adalah mitologi bangsa Yunani, kesusastraan Yunani, dan pengaruh ilmu pengetahuan pada waktu itu yang sudah sampai di Timur Kuno. Terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan di setiap periode ini dikarenakan pola pikir manusia yang mengalami perubahan dari mitos-mitos menjadi lebih rasional.[30]

c.       Metode Penelitian hukum
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa perkembangan hukum mengikuti perkembangan sains, ternyata Pemerintah Indonesia walaupun sudah banyak dikritik tentang kelemahan positivisme hukum bahkan ada yang mengatakan sebagai pengingkaran terhadap tradisi hukum asli Indonesia, namun paham positivisme hukum tetap dipertahankan, untuk itu suka atau tidak suka penelitian hukum tetap harus mengakui keberadaan hukum positive tersebut dan ini harus dipahmi secara mendalam oleh para mahasiswa dan seluruh komponen yang bergerak di bidang hukum, dan untuk itu penelitian hukum normatik dan bisa juga disebut teori hukum dogmatik semakin penting, agar ada kontribusi dari semua pihak untuk mengoreksi produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah terlebih lagi sebagai rekomendasi agar pembentukan hukum sesuai dengan normanya.
Penelitian ilmu hukum menurut Peter M. Marzuki, dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul, hasil yang dicapai bukan menolak atau menerima hipotesis, melainkan memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas itu yang diajukan. Oleh sebab itu metode yang dipergunakan dalam mengkaji ilmu hukum juga memiliki perbedaan dengan metode dalam mengkaji ilmu selain ilmu hukum, misalnya ilmu sosial maupun ilmu alamiah[31].
Perbedaan metode kajian terhadap ilmu hukum pada dasarnya, beranjak dari sifat dan karakter ilmu hukum itu sendiri, yaitu sifatnya yang normatif, terapan dan preskriptif. Mengikuti karakteristik keilmuan tersebut, ilmu hukum selalu berkaitan dengan apa yang seyogianya atau apa yang seharusnya. Sekarang yang menjadi pertanyaan dengan karakter tersebut apakah metode ilmiah dapat diterapkan untuk ilmu hukum? Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan, bahwa metode ilmiah, yaitu logico-hypotetico-verivicative hanya berlaku untuk keilmuan yang bersifat deskriptif, yaitu dalam kerangka menjelaskan hubungan sebab-akibat antara dua hal. Sedangkan sifat keilmuan hukum adalah preskriptif. Dengan demikian, metode dan prosedur penelitian dalam ilmu-ilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial tidak dapat diterapkan untuk ilmu hukum.[32]
Bagaimanapun juga, metode penelitian selalu mencari titik–titik tolak yang pasti dan peraturan-peraturan penelitian yang diharapkan tentang bagaimana suatu penelitian harus dilakukan supaya dapat menghasilkan kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan (reliable) dan sahih (valid)[33]
Berbeda dengan jenis penelitian hukum empiris, penelitian hukum normative memiliki kecenderungan dalam mencitrakan hukum sebagai disiplin preskriptif di mana hanya melihat hukum dari sudut pandang norma-normanya saja, yang tentunya bersifat preskriptif. Dimana tema–tema penelitiannya mencakup:
1) Penelitian terhadap asas-asas hukum;
2) Penelitian terhadap sistematika hukum;
3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal;
4) Perbandingan hukum; dan
5) Sejarah hukum.[34]
Perlu disadari ilmu hukum adalah ilmu yang sangatlah kompleks, mulai dari kajiannya filosofis, pengembangan keilmuannya baik teoritis maupun praktis, sampai kepada wujud konkret dari eksistesinya yang tidak lain didedikasikan kepada masyarakat berupa produk hukum, solusi terhadap baik perkara hukum publik maupun perkara hukum privat yang ditemukan sehari-hari di tengah masyarakat, bahkan tidak jarang beraspekmultidimensi, atau dengan kata lainilmu hukum tanpa dukungan ilmu-ilmulain terkadang tidak mampu menyelesaikan permasalahan hukum secaratuntas dan menyeluruh. Kajian hukum yang filosofis misalnya, diawali dengan sulitnya mendefinisikan konsepsi hukum itu sendiri, tarik menarik antara pencapaian.
Dikatakan menarik, mengingat ketepatan, relevansi, dan konsistesi pilihan metode dalam melakukan penelitian demi penelitian hukum akan sangat terkait dengan hasilnya, yang tentu saja tujuannya akan bermanfaat/berguna bagi masyarakat secara umum, seperti berupa karya ilmiah hukum, putusan hukum, maupun dalam bentuk pendapat hukum dan Lain-lain, yang pada dasarnya semua itu merupakan produk karya tulis di bidang hukum yang di dalamnya terkandung argumentasi dan penalaran hukum dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kasus hukum konkret maupun yang berkaitan dengan pengembangan bidang keilmuan hukum itu sendiri, dimana dalam penyajiannya antara produk hukum satu dengan yang lainnya membutuhkan metode yang khas atau tersendiri. Meskipun, bagi sebagian penstudinya hal ini justru membingungkan bahkan cenderung ada yang bersikap skeptis, sehingga tidak terlalu menghiraukan atau tidak menaruh perhatian terhadap hukum dan metode penelitian kajiannya[35].
Bahwa calon-calon sarjana hukum mulai sekarang dalam perencanaan pembuatan proporsal penelitian sudah harus mengacu pada perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, studi perbandingan hukum, kajian konseptual hukum untuk mengkaidahi tindakan-tindakan dan beberapa peristiwa hukum. Calon-calon sarjana hukum tidak bisa direcoki dengan kalangan ilmu lain, ilmu sosial, ilmu politik, apalagi ilmu ekonomi jika kita ingin melahirkan sarjana yang mahir di bidang keahlian hukum, entah akan menjadi seorang juris atau praktisi. Kita berikan saja kepada kalangan ilmuwan social untuk menjadi pengamat hukum, jangan kita ikut-ikutan menjadi pengamat (observer)[36].
Di program starta 2 (magister hukum) IAIN Bengkulu saya mengajar Politik Hukum termasuk politik hukum Islam, untuk itu saya jelaskan kepada mahasiswa bahwa politik hukum adalah bidang kajian politik, yang orientasinya berkaitan dengan arah kebijakan pengusaha untuk membentuk hukum sesuai dengan keinginannya, jadi politik hukum masuk kajian ilmu sosial pada umumnya, bukan kajian hukum yang sebenarnya. Mewissen dalam bukunya “Teori Hukum, Filsafat Hukum & pengembanan Hukum” menyebut bidang kajian seperti ini adalah ilmu empirik yang berobjekkan hukum, jadi ilmu sosial yang memandang “hukum” sebagai variabelnya.
Banyak penelitian mahasiswa (khususnya mahasiswa Syari’ah IAIN Bengkulu, termasuk program Pascasarjana), yang mngajukan proposal, nyaris tidak ada yang serius mendalam bidang ilmu hukum, dan saya katakana bahwa itu adalah proposal mahasiswa diluar mahasiswa hukum dan tertarik kepada ilmu hukum, karena bangunan penelitian hukum meraka adalah bangunan penelitian ilmu-ilmu sosial. Hal ini tidak bisa disalahkan seluruhnya kepada mahasiswa sebab selama ini yang mengajar metode penelitian hukum adalah orang-orang yang tidak pernah mendalami hukum secara komprehinsip, dan beranggapan bahwa ilmu hukum sama halnya dengan ilmu sosial lainya seperti ilmu ekonomi, ilmu pendidikan dan mungkin juga ilmu politik[37].
        Penelitian ilmu hukum seharus berkaitan dengan tata nilai (norma), ternayat penelitian mahasiswa hukum hanya sebatas penelitian ilmu sosial, yang diberi variable hukum, Padahal jelas bidang keahlian hukum diorientasikan untu mengisi lembaga peradilan, kejaksaan, dan institusi hukum lain serta berprofesi dibidang keahlian hukum seperti advokat, notaris dan paralegal dan sebagainya, persoalannya basis keilmuan hukum, mereka masih sangat lemah bahkan otaknya sudah  “lumpuh” dalam menerapkan kedispilian keilmuwan mereka untuk dikatakan terampil hukum. Di praktik kemahiran hukum seperti paraktik peradilan misalnya mereka tidak mampu menyusun dokumen persidangan dengan benar, demikian juga dalam keahlian paralegal, para mahasiswa kesulitan dalam membuat tugas seperti pembentukan naskah akademik rancangan undang-undang dengan baik, karena keterampilan hukumnya disandera oleh pemahaman yang salah terhadap konstruksi keilmuan hukum, sehingga pemahamannya terhadap penelitian hukum yang memang mestinya normativf, yang selama ini cenderung kepada penelitian sosial yang mereka dapatkan dalam metode penelitian hukum.
Proporsal penelitian sudah harus mengacu pada perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, studi perbandingan hukum, kajian konseptual hukum untuk mengkaidahi tindakan-tindakan dan beberapa peristiwa hukum. Calon-calon sarjana hukum tidak bisa direcoki dengan kalangan ilmu lain, ilmu sosial, ilmu politik, apalagi ilmu ekonomi jika kita ingin melahirkan sarjana yang mahir kelak, entah akan menjadi seorang juris atau praktisi. Sebagai calon ahli hukum para mahasiswa hukum hendaknya  mendalami materi keluasan ilmu hukum, jangan menjadi pengamat hukum, profesi pengamat berikan saja kepada kalangan ilmuwan sosial untuk menjadi pengamat hukum, jangan kita ikut-ikutan menjadi pengamat (observer).[38]
Sebagai panduan awal penulis mempertegas penelitian hukum normative terutama menentukan isu/problem hukum yang akan diteliti, sebagai mana ragaan di bawah ini:[39]



Kekaburan hukum
Harmonisasi vertikal
Harmonisasi horizontal

Aksilogis
Tidak harmonis
Kekosongan hukum
Efistemo
logis
Ontologis

            Sumber: Diolah sendiri


Ragaan ini memberikan gambaran bahwa isu hukum yang akan dikaji melalui penelitian  normatif berkaitan dengan kekosongan hukum, ketidak harmonisan hukum baik vertical yakni sesuai dengan tatat urutan perundang-undangan, maupun ketidak harmonisan terhadap hukum produk hukum yang setara, misalnya undang-undang dengan undang. Yang dimaksud dengan multi tafsir (ambigu), jika ditemukansuatu problem dalam Pasal peraturan perundang-undangan memberikan banyak pengertian, hal ini sulit untuk dilaksanakan. Sedangkan yang dimaksud dengan kekaburan hukum adalah problem terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak jelas apa yang diatur.
Problem-problem hukum tersebut harus dianalisi melalui penelitian hukum agar ditemukan suatu produk hukum mempunyai otoritas (positivitas), mempunyai tatanan yang logis (Koherensi) dan mempunyai nilai keadilan sebagi rohnya hukum.
            Untuk mempermudah dalam penelitian hukum normative, sebaiknya disusun design penelitian sebagimana ragaan dibawah ini:

Latar belakang
Perma
salahan
Landasan teori
Metode penelitian
Hasil dan pembahasan
FILOSOFIS
PERMSL. 1
GRAND
PENELITIAN YURIDIS NORMATI, MELALUI BERBAGAI MACAM PENDEKATAN
KESIMP. 1
YURIDIS
SOSIOLOGIS
PERMSL. 2
MIDLE
APLICATION
KESIM. 2
 











Sumber: diolah sendiri dari berbagai sumber.

            Desain penelitian ini tidak menggambarkan keseluruhan dari desain penelitian hukum normative yang lengkap, bisa saja peneliti memodifikasinya, apalagi sekarang sudah ada kecenderungan untuk mengabungkan antara peneltian yuridis normative murni dengan sosiologikal yurisprudensi, tergantung dari keinginan peneliti sendiri.
           
C.      Penutup
1.      Ilmu hukum ilmu yang mandiri dankhas (sui generis), bukan bagian dari ilmu humaniora maupun ilmu sosial, apalagi ilmu pengetahuan alam (eksakta) dan ilmu-ilmu hukum yang telah memiliki tempat yang tak terbantahkan di ranting-ranting pohon ilmu.
2.      Ilmu hukum mengalami perkembangan yang pesat seiring berlakunya decade mazhab-mazhab pada zamannya.
3.      Mazhab hukum positivisme, masih berlaku di Indonesia dan ini mengahruskan para mahasiswa maupun professional hukum dan akademisi hukum untuk focus melakukan penelitian yang sesuai dengan segi positf hukum itu sendiri.
4.      Penelitian hukum normative merupakan icon dalam penelitin hukum yang sebenarnya dan mempunyai karakteristik sendiri yakni berkaitan dengan analisis norma-norma hukum dan asas-asas hukum itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory Dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana Prenda Group, Cet. Ke-2, November 2009).

Ahmad Ali dan Wiwie Heryoni, Resep Hukum: sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Kencana Prenda Media Group, 2012).

Anton F. Susanto, Ilmu Hukum non Sistematik: Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010).

C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke -20 (Bandung: Penerbit Alumni, 1994)

Damang A. Al-Khawarizami, Mengembalikan “Jati Diri” Penelitian Hukum, (www.negarahukum.com)

Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet. I, LP3S, (Jakarta, 1990).

Depri Liber Sonata, Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No. 1, Januari -Maret 2014

Faizal Surya, Paradigma (ilmu) Hukum Profetik, http://www.academia.edu, diakses 9 Desember 2016).

H. Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2010).

Imam Mahdi, Harmonisasi Pengaturan Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran Daerah: Kajian khusus RPJMD Provinsi: Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Tahun 2012, hlm. 25-33

Jeremy Bentham, Teori Perundang-undangan: prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum pidana, Bandung: Nuansa, 2006),

Jimly Asshiddiqie. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,  2006)

Lasiyo dalam M. Hadin Muhjad, dkk., Peran  Filsafat Ilmu dalam Ilmu Hukum: Kajian Teoritis dan Praktis”, (Surabaya: Unesa University Press, 2003)

Maria Farida Indrati Soeprapto.  Ilmu Perundang-Undangan (Yogyakarta: Kanisius, Buku I,  2010).

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005).
Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam “Yuridika”, Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, No. 6 Tahun IX, November – Desember 1994,

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum,  (Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 1993).

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-5, 2002),

Sajtipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritsi Serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia (Yogyakarat: Genta Publishimh, 2009).

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000).

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001)

Teori Relativitas, adalah teori yang digagas oleh Fisikawan Albert Einstein tahun 1905.

Thio Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1990)

Thomas E. Davitt, Nilai-Nilai Dasar di Dalam Hukum: penerjemah Yudi santoso (Yogyakarta: Fallmal, 2012).

Titik Triwulan Tutik, Ilmu Hukum: Hakekat Keilmuannya Ditinjau Dari Sudut Filsafat Ilmu Dan Teori Ilmu Hukum, Jurnal ilmiah MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012.

Widodo Dwi Putro, Mencari kebenaran materiil dalam “Hard Case” pencurian tiga buah kakao: Jurnal Yudisial, Vol-III/No-03/Desember/2010)

www.scrib.go.id, diakses 4 Desember 2016.

http://jabar.kemenkumham.go.id, diakses 8 Desember 2016.

https://news.detik.com, diakses 9 Desember 2016




[1] Penulis adalah dosen HTN (Siyasah) Program Pascasarjana IAIN Bengkulu
[2] Lihat: H. Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2010), hlm. 16
[3] Titik Triwulan Tutik, Ilmu Hukum: Hakekat Keilmuannya Ditinjau Dari Sudut Filsafat Ilmu Dan Teori Ilmu Hukum, Jurnal ilmiah MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569
[4] Lasiyo dalam M. Hadin Muhjad, dkk., Peran  Filsafat Ilmu dalam Ilmu Hukum: Kajian Teoritis dan Praktis”, (Surabaya: Unesa University Press, 2003), hal. iii.
[5] Kata hukum berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah “Alkas”, yang selanjutnya diambil alih dalam bahasa Indonesia menjadi “Hukum” di dalam pengertian hukum terkandung pengertian yang bertalian erat dengan pengertian yang dpat melakukan paksaan. (Lihat: R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-5, 2002), hlm. 24.
[6] Secara sederhana masyarakat mengenal hukum adalah aturan dan harus ditaati oelah masyarakat, karena ada hukum tersebut mereka menjadi tertib dan takut untuk melanggarnya. Oleh karena itu maka diperlukan cabang ilmu hukum lain lagi seperti Antropologi hukum dan sosiologi hukum untuk mengkaji hukum yang ada dimasyarakat.
[7] Jeremy Bentham, Teori Perundang-undangan: prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum pidana, Bandung: Nuansa, 2006), hlm. 26.
[8] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory Dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana Prenda Group, Cet. Ke-2, November 2009,  Hlm. 12
[9] Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam “Yuridika”, Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, No. 6 Tahun IX, November – Desember 1994, hlm. 1. Lihat Juga: Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 20.
[10] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 9
[11] Ibid, hlm. 10 dan 11
[12] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum,  (Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 10.
[13] Liahat: J. Van Apeldorn yang membagi ilmu hukum terdiri dari: 1. Sosiologi hukum, Sejarah Hukum, dan Perbandingan Hukum, sedangkan WLG. Lemaire mebagi ilmu hukum seperti: 1. Ilmu Hukum Positif, 2. Perbandingan hukum, 3. Sosiologi hukum dan Sejarah Hukum. Sedangkan Sajtipto rahardjo memasukan Politik hukum dan Filsafat hukum selain apa yang disebutkan oleh J. Van Apeldorn tersebut.
[14] R. Soeroso, Loc. Cit,  hlm. 18 dan 19
[15]  Titik Triwulan Tutik, Loc. Cit.
[16] Anton F. Susanto, Ilmu Hukum non Sistematik: Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 186
[17] Sejarah Perkembangan Ilmu Hukum dari Hans Kelsen, Roscoe Pound sampai pada Mochtar Kusumaatmadja, http://jabar.kemenkumham.go.id, diakses 8 Desember 2016.
[18] Ahmad Ali dan Wiwie Heryoni, Resep Hukum: sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Kencana Prenda Media Group, 2012) hlm. 93. Implementasi Teori Hukum Murni menjadikan Hukum lepas dari aras moral dan nilai-nilai Agama. Misal Putusan vonis penjara terhadap nenek tua pencuri buah kakao adalah benar sesuai logika hukum, karena tindakanya memenuhi unsur unsur pidana, meskipun nurani kita berontak, untuk mengatakan tidak. penomena ini menunjukan hukum tidak memberi ruang kepada moralitas maupun nilai metafisis, yang dianggapnya sebagai unsur non-yuridis (Faizal Surya, Paradigma (ilmu) Hukum Profetik, http://www.academia.edu, diakses 9 Desember 2016).
[19] Sajtipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritsi Serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia (Yogyakarat: Genta Publishimh, 2009),  hlm. 73
[20] Anton F. Susanto, Loc. Cit, hlm. 187.
[21] Thomas E. Davitt, Nilai-Nilai Dasar di Dalam Hukum: penerjemah Yudi santoso (Yogyakarta: Fallmal, 2012) hlm. 41
[22] Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet. I, LP3S, (Jakarta, 1990) hlm. 438.
[23] Mencuri 3 buah kakao, nenek Mirna dihukum 1 bulan 15 hari. (https://news.detik.com), diakses 9 Desember 2016
[24] Kasus Min ini memenuhi rumusan delik tindak pidana biasa (pencurian) karena undang-undang yang mengatur ukuran nilai barang yang bisa diperkarakan sudah sudah usang atau tidak pernah direvisi (updated) sejak tahun 1960 sehingga perbuatan yang tidak menimbulkan bahaya terhadap individu/publik atau tidak ada bahaya sosialnya tetap bisa dijerat. Kedua, kasus Min sekilas memang kelihatan remeh temeh (hanya tiga kakao) tetapi sesungguhnya dibalik itu sarat dengan perselisihan paradigma sehingga mudah terjadi ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dengan keadilan. Permasalahannya; Apakah putusan hakim telah mengakomodasi nilai keadilan dengan menemukan kebenaran materiil dalam kasus hard case. (Widodo Dwi Putro, Mencari kebenaran materiil dalam “Hard Case” pencurian tiga buah kakao: Jurnal Yudisial, Vol-III/No-03/Desember/2010)
[25] Thio Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1990) hlm. 113
[26] Teori Relativitas, adalah teori yang digagas oleh Fisikawan Albert Einstein tahun 1905.
[27] Lihat: Anton F. Susanto, Loc. Cit, hlm. 15-16.
[28] Jimly Asshiddiqie. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,  2006) hlm. 171.
[29] Maria Farida Indrati Soeprapto.  Ilmu Perundang-Undangan (Yogyakarta: Kanisius, Buku I,  2010), hlm. 44- 45.
[30] Anton F. Susanto, ibid, hlm. 165.
[31] Peter M. Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Perenada Media Group, 2015) hlm. 17.
[32] Titik Triwukan Tutik, Op. Cit.
[33] C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke -20 (Bandung: Penerbit Alumni, 1994), hlm. 108.
[34] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 14.

[35] Depri Liber Sonata, Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No. 1, Januari -Maret 2014
[36] www.scrib.go.id, diakses 4 Desember 2016.
[37] Ilmu hukum termasuk ke dalam kategori ilmu humaniora, seni, bahkan memiliki keterkaitan dengan filsafat dan sastra, dengan demikian dapat dibedakan dengan bidang-bidang ilmu alam dan ilmu sosial (Depri Liber Sonata, Ibid)
[38] Damang A. Al-Khawarizami, Mengembalikan “Jati Diri” Penelitian Hukum, (www.negarahukum.com)
[39] Lihat: Imam Mahdi, Harmonisasi Pengaturan Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran Daerah: Kajian khusus RPJMD Provinsi: Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Tahun 2012, hlm. 25-33

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU