ILMU HUKUM DAN PERKEMBANGANYA (Kajian Khusus Hukum Normatif)
ILMU HUKUM DAN
PERKEMBANGANYA
(Kajian Khusus
Hukum Normatif)
Oleh:
Imam Mahdi[1]
Abstract
Maksud
utama dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui sifat kekhususan ilmu hukum
(suigeneris) dan perkembangan ilmu hukum dari berbagai mazhab yang mendominasi
pada priodesasi perkembangan ilmu pada umumnya. Disamping itu dikaji pula
tentang mazhab posistisme hukum yang sampai sekarang masih menjadi kiblat dari
berbagai kajian hukum, walaupun mazhab ini banyak dikritik oleh para ahli,
terutama setelah munculnya teori relativitas sebagaiman berlaku pada ilmu
pengetahuan alam (eksak). Di Indonesia sebenarnya menganut pluralism hukum,
namun pada praktiknya didominasi oleh paham positivism hukum. Paham ini pada
satu sisi memberikan kontribusi besar terhadap pembentukan hukum di Indonesia
terutama dalam kaitannya dengan hirarki hukum. Pada bagian lain tulisan ini
memberikan gambaran praktis bentuk penelitian hukum normative sebagai dngan
berbagai ragaan yang mudah dipahami. Terutama berkaitan dengan isu-isu atau
problem hukum yang harus dikemukakan oleh calon peneliti dalam menentukan
desain besar penelitian hukum.
Kata Kunci: Ilmu Hukum, Perkembangan Ilmu,
Kekhususan Ilmu hukum, metode
penelitian normatif.
A. Pendahuluan
Perdebatan mengenai ilmu hukum semula
sebagai suatu ilmu pengetahuan (sains) atau bukan sudah selesai, karena ilmu
hukum telah dapat memenuhi kriteria sebagai suatu ilmu, sama halnya dengan
ilmu-ilmu pengetahuan yang lain, ini dapat dibuktikan bahwa unsur-unsur
pengetahuan ilmiah yang menjadi syarat sebagai cabang ilmu yang dapat dikaji,
diteliti dan dirumuskan sebagaimana ketentuan suatu pengetahuan ilmiah antara
lain: 1) objektif, 2) mempunyai metode, 3) sistematis dan 4) universal[2]. Demikian
juga ketentuan ilmia menurut pandangan Harold Berman telah terpenuhi, bahwa
pengetahuan ilmiah harus memenuhi tiga perangkat kriteria, yaitu: (1) kriteria
metodologikal, dalam peristilahan metodologi, ilmu dalam arti modern, merupakan
seperangkat pengetahuan yang terin-tegrasi yang lahir dalam konteksitas
dedukto-hipotetiko-verifikatif; (2) kriteria nilai, yaitu substansi yang
mengacu pada premis-premis ilai obyektivitas, bebas pamrih (disinterestedness), skeptis, toleransi,
dan keterbukaan; (3) kriteria sosiologikal, yang meliputi pembentukan komu-
nitas ilmuwan, pentautan berbagai disiplin ilmiah, dan status sosial.[3]
Ilmu hukum
pada
perkembangan selanjutnya, yang masih memerlukan
pemahaman khusus, baik oleh
ilmuwan bidang sosial maupun
ilmuwan hukum itu sendiri,
karena ada pertanyaan yang masih sering muncul dan harus dijawab secara akademis, apakah Ilmu Hukum itu
ilmu,
jika ia sebagai ilmu, bagaimana metodologinya? Menurut Lasiyo, pertanyaan tersebut seyogyanya tidak sekedar dicari
jawabnya secara
instan, tetapi harus dikaji dan dianalisis berdasarkan landasan
pijak yang kuat dan jelas dari aspek keilmuan.[4]
Perdebatan
selanjutnya terutama dari segi etimologinya terutama jika diterjemahkan secara
harpiah ke dalam bahasa Indonesia, maka akan berbeda beda Pengertiannya, pertama:
Dalam bahasa Belanda recht, dalam bahasa Jerman juga disebut Recht,
sedangan dalam bahasa Indonesia disebut Hukum[5].
Adanya juga yang menyebutnya ius seperti dalam bahasa Latin, Sedangkan dalam
arti yang kedua dalam bahasa Latin di sebut Lex, dalam bahasa Perancis droit,
bahasa Perancis loi, bahasa Belanda wet, bahasa Jerman Gesetz, untuk kata-kata
ini jika di Indonesiakan lebih tepat dimaknai dengan Undang-Undang, Kata “law” di dalam bahasa yaitu aturan-aturan
yang dibuat oleh para raja-raja Anglo-Saxon yang telah dikodifikasi
(dibukukan). Di Inggris juga dikenal juga istilah legal science jika di Indonesiakan tepatnya adalah ilmu tentang
aturan perundang-undangan, di Indonesia ilmu perundang-undangan justru bagian
dari ilmu hukum, dan berkembang juga menjadi teknik perundang-undangan dan
bahkan sekarang lebih populer dengan istilah legal drafting. Jika mengarah
demikian makan tidak sesuai lagi dengan makna yang sebenarnya yang dipahami
oleh masyarakat tentang hukum.[6]
Walaupun hukum itu sudah mengarah kepada suatu produk berupa
perundang-undangan, maka seharusnya tetap mencerminkan dinamika interaksi
kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Jangan hukum itu mempertahankan dan memaksakan
suatu konstruksi yang bertentangan dengan dinamika masyarakat.[7]
Oleh
karena itu, mempelajari hukum tidak cukup dengan mempelajari buku-buku hukum
atas mendengar selintas diskusi-diskusi tentang hukum, apalagi mengomentari
tentang ilmu hukum padahal sebenarnya hanya memahami hukum dari luarnya saja,
Ahmad Ali mengatakan bahwa sering terjadi kesalahpahaman tentang hukum
dikalangan masyarakat awan terutama menyangkut hal-hal seperti:
1.
Kesalahpahaman
mengidentikan hukum dengan perundang-undangan, padahal hukum tidak selalu
identik dengan perundang-undangan, tetapi undang-undang hanyalah satu bagian
yang sedemikian luas.
2.
Kesalahpahaman
pengidentikan ilmu hukum dan pengetahuan hukum padahal ilmu (legal science, jurisprudence) tidak sama
dengan pengetahuan hukum (legal knowledge).[8]
Menurut
Philipus M. Hadjon, ilmu hukum memiliki
karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif, praktis, dan preskriptif.
Karakter yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami kepribadian ilmu hukum
itu mulai meragukan hakikat keilmuan hukum. Keraguan tersebut dikarenakan dengan sifat yang normatif ilmu
hukum bukanlah ilmu empiris.[9]
Untuk
itu penulis mencoba menganalisinya dari segi kekhususan (sui generis), melalui
tulisan ini mudah-mudahan bagi orang yang tertarik mempelajari hukum agar ada
sedikit gambaran tentang bangunan ilmu hukum itu, walaupun tulisan ini hanya
membahas dari pandangan ilmu hukum itu sendiri, semoga.
B. PEMBAHASAN
1.
Ilmu
Hukum dan Perkembangannya
a.
Ilmu
Hukum
Ilmu
hukum adalah Ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang hukum atau segala sesuatu yang menyangkut
tentang hukum, di dalam kamus perpustakaan hukum bahwa ilmu hukum selalu
berkaitan dengan nama-nama seperti: Jurisprudence, yang berasal dari kata Jus,
Juris, yang artinya hukum atau hak, dan kata Prudence, berarti melihat kedepan
atau mempunyai keahlian, dan arti umum Jurisprudence adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari ilmu hukum[10].
Sajtipto
Rahardjo yang mengutip pendapat Curzon, memberikan gambaran begitu luas kajian
ilmu hukum, dan pada tulisan ini akan dikutip beberapa pendapat saja, sekedar
untuk menyatakan bahwa keluasan kajian ilmu hukum tersebut, antara lain:
1.
Ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah
yang bersifat surgawi dan manusiawi, pengetahuan tentang apa yang benar dan
yang tidak benar (Ulpian);
2.
Ilmu
yang formal tentang hukum positif (Holland);
3.
Sentesis
ilmiah tentang asas-asas yang pokok dari hukum;
4.
Penyelidikan
oleh para ahli hukum tentang norma-norma, cita-cita dan teknik-tekni hukum
dengan menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari berbagai disiplin di luar
hukum yang mutahir (Stone)
5.
Ilmu
hukum adalah nama yang diberikan kepada suatu cara untuk mempelajari hukum,
suatu penyelidikan yang bersifat abstrak, umum dan teoritis, yang berusaha untuk
mengungkapkan asas-asas yang pokok dari hukum dan system hukum (Fitzgerald).[11]
Sedangkan Menurut Purbacaraka dan Soerjono Sokanto ilmu hukum merupakan:
1. Ilmu hukum mencakup ilmu tentang kaidah atau norma yaitu
ilmu yang menelaah hukum sebagai kaidah dengan dokmatik hukum dan sistematik
hukum.
2. ilmu tentang pengertian'pengertian hukum seperti subyek
hukum, kejadian hukum, danperistiwa hukum.
3. Ilmu tentang kenyataan yang menyoroti hukum sebagai prikelakuan
dan sikap kita mencakup sosiologi hukum, antropolo!gi hukum, dan fisiologi
hukum.[12]
Untuk memahmi ilmu hukum dapat digambarkan dengan
ragaan di bawah ini:
Sumber:
diolah sendiri[13]
Dalam perkembangan selanjutnya ilmu
hukum juga dapat dilihat dari segi ilmu Pengetahuan, maka ilmu hukum tersebut
dapat dikelompokan dalam pengkajiannya meliputi:
1. Subyek
hukum;
2. Obyek
hukum;
3. Persitiwa
hukum;
4. Perbuatan
hukum;
5. Hubungan
hukum;
6. Akibat
hukum, dan
7. Masyarakat
hukum.[14]
Sedangkan jika hukum ditinjau dari sudut filsafat, istilah ilmu (science)
menyandang dua makna, yaitu sebagai produk dan sebagai proses. Sebagai produk,
ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji kebenarannya dalam bidang tertentu
dan tersusun dalam suatu sistem. Teori hukum memandang, bahwa ilmu hukum
memiliki karakter yang khas (suigeneris), yaitu sifatnya yang normatif. Ilmu
hukum termasuk kedalam kategori ilmu humaniora, seni, bahkan memiliki
keterkaitan dengan filsafat dan sastra, dengan demikian dapat dibedakan dengan
bidang-bidang ilmu alam dan ilmu sosial.
Ciri
yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami karakteristik
ilmu hukum meragukan hakekat keilmuan hukum. Keraguan itu disebabkan karena
ilmu hukum lebih bersifat normatif ketimbang empiris dan obyek telaahnya
berkenaan dengan tuntunan perilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak
sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat
dipaksakan oleh kekuasaan publik. Ilmu hukum tetap diterima sebagai ilmu dengan
tetap menghormati karakter ilmu hukum yang merupakan kepribadian ilmu hukum.
Dengan demikian pengkajian ilmu hukum harus beranjak dari hakikat keilmuan
hukum, yang meliputi 2 (dua) aspek pendekatan, yaitu: pendekatan dari sudut
falsafah ilmu, dan pendekatan dari sudut pandang teori hukum[15].
b.
Perkembangan
Hukum dan Ilmu Pengetahuan
Perkembangan hukum bergerak tidak kalah
cepat dengan perkembangan ilmu pengetahuan (sains).[16]
Hal ini dapat dikaji bahwa hukum tidak hanya sebagai suatu dogmatis yang hanya
memandang hukum sebagai aturan atau dogma atau cara pandang sepihak dari sudut
positivisme hukum, yang harus diterima apa adanya, namun hukum berkembang
sebagi suatu alternative yang bisa mengikuti perkembangan masyarakat, sesuai
kebutuhan di eranya.
Hukum berkembang melalui serangkaian
proses penganalisaan dari berbagai aliran yang mendasarinya. Dimulai dari
embrio pemahaman ilmu sosial dari para filsuf terkemuka di dunia sampai pada
ahli-ahli hukum yang mencetuskan perkembangannya di abad ke-21 ini. Satu hal
yang perlu kita pahami pula bahwa ilmu hukum bukanlah ilmu statis yang tidak
berkembang, karena perkembangannya senantiasa ada sejalan dengan perkembangan
masyarakat yang melingkupinya.[17]
Perkembangan hukum modern pada dasarnya
adalah upaya meligitimasi keberadaan otoritas penguasa untuk mengatur
masyarakat, untuk itu mka brkembanglah teori hukum positivism yang bersifat
dogmatis tadi, tokoh-tokoh positivisme mendefinisikan hukum sebagai seperangkat
aturan yang di bentuk untuk mengatur manusia. Aliran ini berkembang
beratus-ratus tahun dan mendominasi seluruh produk hukum yang mengutamakan
kepastian (law emfosment) dari pada kebutuhan hukum bagi masyarakat, agar
tercipta perlindungan dan keadilan. Bahkan dengan dramatisisasi Hans Kelsen
mengeluarkan teori “hukum murni” artinya hukum tidak boleh dimasuki
unsure-unsur di luar hukum, termasuk unsur moral tidak bisa diadopsi menjadi
hukum, karena moral bukan hukum. Bahkan John Austin sebagai tokoh utama aliran
positivism mengatakan bahwa hukum sebagai perintah dari otoritas yang berdaulat
di dalam masyarakat.[18]
Akan tetapi positivisme hukum sudah
mulai dikritik oleh gerakan yang dipelopori oleh aliran-aliran baru hukum baik
yang diilhami oleh hukum alam maupun aliran yang terlepas dari sandaran kedua
teori yang berlawanan tersebut, dan itu sudah mulai Nampak pengaruhnya dalam
perkembangan selanjutnya. Seperti teori hukum yang dikemukakan oleh Nonet dan
Selzink yang membuat pencirian hukum ke dalam tiga golongan, yaitu: 1. Hukum
yang refresif, 2 hukum yang otonom dan 3. Hukum yang responsive.[19]
Secara terus menerus timbul keritikan
terhadap hukum modern yang selalu mengarah pada kepastian hukum dan keinginan
penguasa untuk mengatur tersebut, misalnya dari Critical Legal Studies (CLS),
yang giat melakukan pertemuan setiap tahun dari tahun 1977 sampai tahun 1982.
Aliran pemikiran ini melakukan kritik tegas bahwa hukum sebagai
pelaksanaan-formalisme tidak sesuai dengan realitas yang ada[20].
Kemudian banyak pakar hukum yang
melakukan koreksi terhadap penerapan teori positivisme yang suatu saat akan
diterapkan secara refresif dan memaksa tersebut, Thomas E. Davitt mengatakan
bahwa hukum menyoroti nilai, kewajiban dan hak manusia terkait
kebutuhan-kebutuhan umum dan bersama mereka. Hal-hal inilah yang membentuk isi
hukum dan memberikan hukum tujuannya yang paling utama.[21]
Akan tetapi Indonesia sebagi Negara yang mengalami masa suram yang cukup lama
karena dijajah oleh Belanda yang menganut system hukum positip, bercorak eropa
continental, sulit sekali bagi bangsa Indonesia untuk lepas dari system
tersebut, walaupun sebenarnya sebelum bangsa barat tersebut datang ke nusantara
hukum adat telah ada dan kemudian hukum Islam juga berkembang seiring dengan
perkembangan agama Islam itu sendiri. Dengan demikian kecenderungan untuk
memakai hukum tertulis masih tetap berlaku, walaupun secara formal tetap
menganut pluralisme hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Daniel S. Lev yang
dikutip oleh Hamdan Zulva, mengemukakan:
Setelah
masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya
merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis
dan perundang-undangan yang bercorak positivis. Walaupun demikian Belanda
menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek), yaitu membiarkan hukum
adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa
berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia
(Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme
hukum. Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum
kolonial dan meninggalkan hukum adat.[22]
Di dalam parktik penyelenggraan hukum di
Indonesia tetap mendahulukan hukum positif yang tertulis tersebut, sebagaimana
banyak kasus yang pernah mencuat di akhir-akhir ini, dimana hati nurani
penggiat hukum tersentuh atas kasus yang mnimpa nenek Mirna yang diputus oleh
hakim bersalah karena mencuri 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari
Antan (RSA) akan menjadikannya sebagai pesakitan di ruang pengadilan. Bahkan
untuk perbuatannya itu dia diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa
percobaan 3 bulan.[23]
Nnenek Mirna dihukum karena sebuah pasal
yang sudah usang, peninggalan Belanda yakni Pasal 362 KUHP yang juga sampai saat
ini masih ada[24], walaupun
perkembangan selanjutnya tidak ada lagi peristiwa seperti itu yang akan
disidangkan oleh hakim, bukan karena pasal tersebut dicabut tetapi ada Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak
Pidan Ringan dan jumlah denda dalam KUHP, sebagaimana diatur dalam Pasal 1. Kata-kata
"dua ratus lima puluh rupiah" dalam pasal 354, 373,379,384, 4O7 dan
pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah);
Dengan demikian bahwa positivisme hukum
di Indonesia tetap berjalan, hanya saja ada perubahan ketentuan penyesuaian
denda seperti diatur dalam Pasl 1 PERMA tersebut. Demikian juga dalam dalam
hukum positif lainya seperti tetap saja mengedepankan hukum tertulis yang dibuat
oleh penguasa seperti dikemukakan oleh Theo Hujibers bahwa Hukum berasal dari
negara dalam arti hukum berasal dari negara yang berkuasa dalam negara,
yaitu pemerintah. Pemerintah mengatur kehidupan masyarakat melalui politiknya.
Karenanya pemerintah melalui politiknya menjadi sumber hukum[25].
Ilmu pengetahuan secara umum terus
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangannya semakin cepat
seiring dinamika kehidupan yang semakin kompleks. Munculnya berbagai fenomena
baru secara simultan menjadi tantangan yang harus direspon secara kreatif dan
produktif.
Komunitas ilmiah telah menyadari atau memiliki kesadaran bahwa
paradigma yang satu ini kian rapuh untuk menghadapi tantangan global, sehingga
munculah paradigm baru, misalnya pada awal abad ke-20, manusia
terkagum-kagum dengan teori newton dalam memahmi sesuatu seacra materialism
ilmiah, dan dapat diukur dengan pasti sesuai dengan hukumnya. Ternyata
penelitian selanjutnya justru bertolak belakang dengan teori newton dan kaum
Newtonian, sehingga disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada yang pasti dalam
dunia ilmu pasti, segala sesuatu dalam relaitas akan selalu tetap menjadi
probabilitas sehingga apapun boleh terjadi, dan inilah yang disebut teori
relativitas.[26]
Ternyata bukan itu saja perkembangan ilmu pengetauan mencapai derajat yang
paling tinggi dan memudahkan kehidupan manusia sekaligus juga berdampak dalam
kehidupan. Menurut Anton F. Susanto bahwa positivisme hukum mendapat kritikan
karena dianggap tidak mampu lagi mengakomodasi pluralitas kearifan lokal,
bahkan ada kecenderungan, hukum dalam paradigm positivisme menindas hukum lokal
dan atau menjadi beban masyarakat lokal[27].
Akan tetapi jika melihat secara jernih dalam positivisme hukum
sebagaiman diajarkan oleh tokoh berikutnya yakni Hans Kelsen yang mengemukan
Teori norma hukum berjenjang dan berkelompok (die theorie vom stufenordung
der rechtsnormen) Hans Nawiasky ini jika diproyeksikan ke Norma
hukum yang berlaku di Indonesia maka akan diperoleh pengelompokan hirarki
sebagai berikut:
1. Norma Dasar (Grundnorm)/Fundamental Negara (Staatsfundamentalnor)
Indonesia adalah Pancasila
dan Pembukaan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945). Sehingga seluruh perundangan
dibawahnya harus merujuk ke norma dasar ini (Hans Kelsen),
2. Aturan Pokok Negara (Statgrundgesetz) Indonesia
adalah batang tubuh UUD NRI 1945, TAP MPR RI dan Konvensi Ketatanegaraan,
3. Undang-Undang Formal (Formell Gesetz) Indonesia
adalah Undang-Undang,
4. Aturan Pelaksana/Aturan Otonom (Verordnung & Autonome
Satzung) Indonesia adalah secara hirarkis mulai Peraturan Pemerintah,
hingga keputusan Bupati/Walikota[28].
Hans
Nawiasky murid dari Hans Kelsen telah meletakan dasar teori
jenjang hukum yang ia kembangkan (die theorie vom stufenordung der
rechtsnormen) norma hukum dari negara berjenjang-jenjang dan
bertingkat-tingkat, seperti anak tangga, dimana norma yang dibawah berlaku dan
berdasar dari norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berdasar
pada norma tertinggi yang disebut norma dasar (Grundnorm pada teori
Hans Kelsen). Selain berjenjang dan bertingkat norma hukum menurut Hans
Nawiasky juga berkelompok, dimana pengelompokannya sebagai beriku:
Kelompok I :Norma
Dasar/Fundamental Negara (Staatsfundamentalnor)
Kelompok II :
Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz)
Kelompok III :
Undang-Undang Formal (Formell Gesetz)
Kelompok
IV :Aturan Pelaksana/Aturan
Otonom (Verordnung & Autonome Satzung[29]
Indonesia termasuk Negara yang beruntung telah berhasil
meletakan norma dasar (Grundnorm)/Fundamental
Negara (Staatsfundamentalnor), dan tentunya sudah menjadi consensus
untuk menjadikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, norma
hukum pokok serta disebut pokok kaidah fundamental daripada suatu negara
itu dalam hukum mempunyai hakikat serta kedudukan yang tetap, kuat, dan
tidak berubah bagi negara yang dibentuk.
Jika demikian maka seluruh produk hukum yang dibentuk oleh
pemerintah harus selalu berdasarkan Pancasila dan nilai-nilai
Pancasila wajib hukumnya dijadikan pangkal norma dalam seluruh hirarki
perundang-undangan. Oleh karena itu teori Hans Kelsen dan Hans Nawiayasky,
memberikan kontribusi besar dalam menjaga norma perundang-undangan di
Indonesia. Walaupun memang teori ini diangggap tidak memberikan tempat bagi kemajuan
hukum Indonesia, menurut saya pendapat seperti ini sangat tendensius dan
menganggap bahwa hukum harus bebas menentukan bentuknya sesuai dengan kehendak
masyarakat. namun disatu sisi dapat diajukan acuan agar pembentukan
perundang-undangan di Indonesia terjaga dari segala unsur yang bertentangan
dengan Pancasila, dan setiap orang bisa mengontrolnya, dan telah terbukti bahwa
undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 sebagai penjabaran Pancasila
dapat diajukan Permohonan penolakannya ke Mahkamah Konstitusi, baik secara
perorangan maupun kelompok, dan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnor bersifat plexibel
terhadap perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat yang semakin maju ilmu
pengetahunnya.
Hukum juga mengiringi perkembangan ilmu pengetahuan, bahkan
hukum kadang-kadang parallel dengan perkemabangan sains. Lalu
diamana letak titik singgung hukum dengan perkemabngan ilmu pengetahuan…? Ini
dapat diilustrasikan sebagai berikut, Secara teoritis perkembangan ilmu
pengetahuan selalu mengacu kepada peradaban Yunani. Hal ini didukung oleh
beberapa faktor, di antaranya adalah mitologi bangsa Yunani, kesusastraan
Yunani, dan pengaruh ilmu pengetahuan pada waktu itu yang sudah sampai di Timur
Kuno. Terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan di setiap periode ini
dikarenakan pola pikir manusia yang mengalami perubahan dari mitos-mitos
menjadi lebih rasional.[30]
c.
Metode Penelitian
hukum
Sebagaimana
telah diuraikan di atas bahwa perkembangan hukum mengikuti perkembangan sains,
ternyata Pemerintah Indonesia walaupun sudah banyak dikritik tentang kelemahan
positivisme hukum bahkan ada yang mengatakan sebagai pengingkaran terhadap
tradisi hukum asli Indonesia, namun paham positivisme hukum tetap
dipertahankan, untuk itu suka atau tidak suka penelitian hukum tetap harus
mengakui keberadaan hukum positive tersebut dan ini harus dipahmi secara
mendalam oleh para mahasiswa dan seluruh komponen yang bergerak di bidang
hukum, dan untuk itu penelitian hukum normatik dan bisa juga disebut teori
hukum dogmatik semakin penting, agar ada kontribusi dari semua pihak untuk
mengoreksi produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah terlebih lagi sebagai
rekomendasi agar pembentukan hukum sesuai dengan normanya.
Penelitian ilmu
hukum menurut Peter M. Marzuki, dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu
hukum yang timbul, hasil yang dicapai bukan menolak atau menerima hipotesis,
melainkan memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas itu yang
diajukan. Oleh sebab itu metode yang dipergunakan dalam mengkaji ilmu hukum
juga memiliki perbedaan dengan metode dalam mengkaji ilmu selain ilmu hukum,
misalnya ilmu sosial maupun ilmu alamiah[31].
Perbedaan metode
kajian terhadap ilmu hukum pada dasarnya, beranjak dari sifat dan karakter ilmu
hukum itu sendiri, yaitu sifatnya yang normatif, terapan dan preskriptif.
Mengikuti karakteristik keilmuan tersebut, ilmu hukum selalu berkaitan dengan
apa yang seyogianya atau apa yang seharusnya. Sekarang yang menjadi pertanyaan
dengan karakter tersebut apakah metode ilmiah dapat diterapkan untuk ilmu
hukum? Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan, bahwa metode ilmiah,
yaitu logico-hypotetico-verivicative
hanya berlaku untuk keilmuan yang bersifat deskriptif, yaitu dalam kerangka
menjelaskan hubungan sebab-akibat antara dua hal. Sedangkan sifat keilmuan
hukum adalah preskriptif. Dengan demikian, metode dan prosedur penelitian dalam
ilmu-ilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial tidak dapat diterapkan untuk ilmu hukum.[32]
Bagaimanapun
juga, metode penelitian selalu mencari titik–titik tolak yang pasti dan
peraturan-peraturan penelitian yang diharapkan tentang bagaimana suatu
penelitian harus dilakukan supaya dapat menghasilkan kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan
(reliable) dan sahih (valid)[33]
Berbeda dengan
jenis penelitian hukum empiris, penelitian hukum normative memiliki
kecenderungan dalam mencitrakan hukum sebagai disiplin preskriptif di mana
hanya melihat hukum dari sudut pandang norma-normanya saja, yang tentunya
bersifat preskriptif. Dimana tema–tema penelitiannya mencakup:
1) Penelitian terhadap
asas-asas hukum;
2) Penelitian terhadap
sistematika hukum;
3) Penelitian terhadap
taraf sinkronisasi vertical dan horizontal;
4) Perbandingan hukum; dan
Perlu disadari
ilmu hukum adalah ilmu yang sangatlah kompleks, mulai dari kajiannya filosofis,
pengembangan keilmuannya baik teoritis maupun praktis, sampai kepada wujud
konkret dari eksistesinya yang tidak lain didedikasikan kepada masyarakat
berupa produk hukum, solusi terhadap baik perkara hukum publik maupun perkara
hukum privat yang ditemukan sehari-hari di tengah masyarakat, bahkan tidak
jarang beraspekmultidimensi, atau dengan kata lainilmu hukum tanpa dukungan
ilmu-ilmulain terkadang tidak mampu menyelesaikan permasalahan hukum
secaratuntas dan menyeluruh. Kajian hukum yang filosofis misalnya, diawali
dengan sulitnya mendefinisikan konsepsi hukum itu sendiri, tarik menarik antara
pencapaian.
Dikatakan menarik, mengingat ketepatan,
relevansi, dan konsistesi pilihan metode dalam melakukan penelitian demi
penelitian hukum akan sangat terkait dengan hasilnya, yang tentu saja tujuannya
akan bermanfaat/berguna bagi masyarakat secara umum, seperti berupa karya
ilmiah hukum, putusan hukum, maupun dalam bentuk pendapat hukum dan Lain-lain,
yang pada dasarnya semua itu merupakan produk karya tulis di bidang hukum yang
di dalamnya terkandung argumentasi dan penalaran hukum dalam memecahkan permasalahan-permasalahan
yang berkaitan dengan kasus hukum konkret maupun yang berkaitan dengan
pengembangan bidang keilmuan hukum itu sendiri, dimana dalam penyajiannya
antara produk hukum satu dengan yang lainnya membutuhkan metode yang khas atau
tersendiri. Meskipun, bagi sebagian penstudinya hal ini justru membingungkan
bahkan cenderung ada yang bersikap skeptis, sehingga tidak terlalu menghiraukan
atau tidak menaruh perhatian terhadap hukum dan metode penelitian kajiannya[35].
Bahwa calon-calon sarjana hukum mulai
sekarang dalam perencanaan pembuatan proporsal penelitian sudah harus mengacu
pada perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, studi perbandingan hukum,
kajian konseptual hukum untuk mengkaidahi tindakan-tindakan dan beberapa
peristiwa hukum. Calon-calon sarjana hukum tidak bisa direcoki dengan kalangan
ilmu lain, ilmu sosial, ilmu politik, apalagi ilmu ekonomi jika kita ingin melahirkan
sarjana yang mahir di bidang keahlian hukum, entah akan menjadi seorang juris
atau praktisi. Kita berikan saja kepada kalangan ilmuwan social untuk menjadi
pengamat hukum, jangan kita ikut-ikutan menjadi pengamat (observer)[36].
Di program starta 2 (magister hukum) IAIN
Bengkulu saya mengajar Politik Hukum termasuk politik hukum Islam, untuk itu
saya jelaskan kepada mahasiswa bahwa politik hukum adalah bidang kajian
politik, yang orientasinya berkaitan dengan arah kebijakan pengusaha untuk
membentuk hukum sesuai dengan keinginannya, jadi politik hukum masuk kajian
ilmu sosial pada umumnya, bukan kajian hukum yang sebenarnya. Mewissen dalam
bukunya “Teori Hukum, Filsafat Hukum & pengembanan Hukum” menyebut bidang
kajian seperti ini adalah ilmu empirik yang berobjekkan hukum, jadi ilmu sosial
yang memandang “hukum” sebagai variabelnya.
Banyak penelitian mahasiswa (khususnya
mahasiswa Syari’ah IAIN Bengkulu, termasuk program Pascasarjana), yang
mngajukan proposal, nyaris tidak ada yang serius mendalam bidang ilmu hukum,
dan saya katakana bahwa itu adalah proposal mahasiswa diluar mahasiswa hukum
dan tertarik kepada ilmu hukum, karena bangunan penelitian hukum meraka adalah
bangunan penelitian ilmu-ilmu sosial. Hal ini tidak bisa disalahkan seluruhnya
kepada mahasiswa sebab selama ini yang mengajar metode penelitian hukum adalah
orang-orang yang tidak pernah mendalami hukum secara komprehinsip, dan
beranggapan bahwa ilmu hukum sama halnya dengan ilmu sosial lainya seperti ilmu
ekonomi, ilmu pendidikan dan mungkin juga ilmu politik[37].
Penelitian
ilmu hukum seharus berkaitan dengan tata nilai (norma), ternayat penelitian
mahasiswa hukum hanya sebatas penelitian ilmu sosial, yang diberi variable
hukum, Padahal jelas bidang keahlian hukum diorientasikan untu mengisi lembaga peradilan,
kejaksaan, dan institusi hukum lain serta berprofesi dibidang keahlian hukum
seperti advokat, notaris dan paralegal dan sebagainya, persoalannya basis
keilmuan hukum, mereka masih sangat lemah bahkan otaknya sudah “lumpuh” dalam menerapkan kedispilian
keilmuwan mereka untuk dikatakan terampil hukum. Di praktik kemahiran hukum
seperti paraktik peradilan misalnya mereka tidak mampu menyusun dokumen
persidangan dengan benar, demikian juga dalam keahlian paralegal, para
mahasiswa kesulitan dalam membuat tugas seperti pembentukan naskah akademik
rancangan undang-undang dengan baik, karena keterampilan hukumnya disandera
oleh pemahaman yang salah terhadap konstruksi keilmuan hukum, sehingga pemahamannya
terhadap penelitian hukum yang memang mestinya normativf, yang selama ini cenderung
kepada penelitian sosial yang mereka dapatkan dalam metode penelitian hukum.
Proporsal penelitian sudah harus mengacu
pada perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, studi perbandingan hukum,
kajian konseptual hukum untuk mengkaidahi tindakan-tindakan dan beberapa
peristiwa hukum. Calon-calon sarjana hukum tidak bisa direcoki dengan kalangan
ilmu lain, ilmu sosial, ilmu politik, apalagi ilmu ekonomi jika kita ingin
melahirkan sarjana yang mahir kelak, entah akan menjadi seorang juris atau
praktisi. Sebagai calon ahli hukum para mahasiswa hukum hendaknya mendalami materi keluasan ilmu hukum, jangan
menjadi pengamat hukum, profesi pengamat berikan saja kepada kalangan ilmuwan
sosial untuk menjadi pengamat hukum, jangan kita ikut-ikutan menjadi pengamat (observer).[38]
Sebagai panduan awal penulis mempertegas
penelitian hukum normative terutama menentukan isu/problem hukum yang akan
diteliti, sebagai mana ragaan di bawah ini:[39]
Kekaburan hukum
|
Harmonisasi
vertikal
|
Harmonisasi horizontal
|
Aksilogis
|
Tidak harmonis
|
Kekosongan hukum
|
Efistemo
logis
|
Ontologis
|
Sumber:
Diolah sendiri
Ragaan
ini memberikan gambaran bahwa isu hukum yang akan dikaji melalui
penelitian normatif berkaitan dengan
kekosongan hukum, ketidak harmonisan hukum baik vertical yakni sesuai dengan
tatat urutan perundang-undangan, maupun ketidak harmonisan terhadap hukum
produk hukum yang setara, misalnya undang-undang dengan undang. Yang dimaksud
dengan multi tafsir (ambigu), jika ditemukansuatu problem dalam Pasal peraturan
perundang-undangan memberikan banyak pengertian, hal ini sulit untuk
dilaksanakan. Sedangkan yang dimaksud dengan kekaburan hukum adalah problem
terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak jelas apa yang diatur.
Problem-problem
hukum tersebut harus dianalisi melalui penelitian hukum agar ditemukan suatu
produk hukum mempunyai otoritas (positivitas), mempunyai tatanan yang logis
(Koherensi) dan mempunyai nilai keadilan sebagi rohnya hukum.
Untuk mempermudah dalam penelitian
hukum normative, sebaiknya disusun design penelitian sebagimana ragaan dibawah
ini:
Latar belakang
|
Perma
salahan
|
Landasan teori
|
Metode penelitian
|
Hasil dan pembahasan
|
FILOSOFIS
|
PERMSL. 1
|
GRAND
|
PENELITIAN YURIDIS NORMATI, MELALUI BERBAGAI MACAM
PENDEKATAN
|
KESIMP. 1
|
YURIDIS
|
SOSIOLOGIS
|
PERMSL. 2
|
MIDLE
|
APLICATION
|
KESIM. 2
|
Sumber:
diolah sendiri dari berbagai sumber.
Desain penelitian ini tidak
menggambarkan keseluruhan dari desain penelitian hukum normative yang lengkap,
bisa saja peneliti memodifikasinya, apalagi sekarang sudah ada kecenderungan
untuk mengabungkan antara peneltian yuridis normative murni dengan sosiologikal
yurisprudensi, tergantung dari keinginan peneliti sendiri.
C.
Penutup
1. Ilmu hukum ilmu yang mandiri dankhas
(sui generis), bukan bagian dari ilmu humaniora maupun ilmu sosial, apalagi ilmu
pengetahuan alam (eksakta) dan ilmu-ilmu hukum yang telah memiliki tempat yang
tak terbantahkan di ranting-ranting pohon ilmu.
2. Ilmu hukum mengalami perkembangan
yang pesat seiring berlakunya decade mazhab-mazhab pada zamannya.
3. Mazhab hukum positivisme, masih
berlaku di Indonesia dan ini mengahruskan para mahasiswa maupun professional
hukum dan akademisi hukum untuk focus melakukan penelitian yang sesuai dengan
segi positf hukum itu sendiri.
4. Penelitian hukum normative merupakan
icon dalam penelitin hukum yang sebenarnya dan mempunyai karakteristik sendiri
yakni berkaitan dengan analisis norma-norma hukum dan asas-asas hukum itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad
Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory
Dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), Jakarta: Kencana Prenda Group, Cet. Ke-2, November 2009).
Ahmad Ali dan Wiwie Heryoni, Resep Hukum: sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Kencana Prenda Media
Group, 2012).
Anton
F. Susanto, Ilmu Hukum non Sistematik:
Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2010).
C.F.G.
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di
Indonesia Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke -20 (Bandung:
Penerbit Alumni, 1994)
Daniel
S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,
Cet. I, LP3S, (Jakarta, 1990).
Depri
Liber Sonata, Metode Penelitian Hukum
Normatif Dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No. 1, Januari
-Maret 2014
H. Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:
Paradigma, 2010).
Imam
Mahdi, Harmonisasi Pengaturan Perencanaan
Pembangunan dan Penganggaran Daerah: Kajian khusus RPJMD Provinsi:
Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Tahun
2012, hlm. 25-33
Jeremy
Bentham, Teori Perundang-undangan:
prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum pidana, Bandung: Nuansa, 2006),
Jimly
Asshiddiqie. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006)
Lasiyo
dalam M. Hadin Muhjad, dkk., ”Peran Filsafat Ilmu dalam Ilmu Hukum:
Kajian Teoritis dan Praktis”, (Surabaya: Unesa University Press, 2003)
Maria
Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-Undangan (Yogyakarta:
Kanisius, Buku I, 2010).
Peter
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005).
Philipus
M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam “Yuridika”, Jurnal
Hukum Universitas Airlangga Surabaya, No. 6 Tahun IX, November – Desember 1994,
Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal
Kaidah Hukum, (Bandung: Penerbit
Citra Aditya Bakti, 1993).
R.
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum,
(Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-5, 2002),
Sajtipto
Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial:
Suatu Tinjauan Teoritsi Serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia
(Yogyakarat: Genta Publishimh, 2009).
Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung:
Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000).
Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001)
Teori
Relativitas, adalah teori yang digagas oleh Fisikawan Albert Einstein tahun
1905.
Thio
Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan
Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1990)
Thomas
E. Davitt, Nilai-Nilai Dasar di Dalam
Hukum: penerjemah Yudi santoso (Yogyakarta: Fallmal, 2012).
Titik
Triwulan Tutik, Ilmu Hukum: Hakekat
Keilmuannya Ditinjau Dari Sudut Filsafat Ilmu Dan Teori Ilmu Hukum, Jurnal
ilmiah MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012.
Widodo Dwi Putro, Mencari kebenaran
materiil dalam “Hard Case” pencurian tiga buah kakao: Jurnal Yudisial,
Vol-III/No-03/Desember/2010)
www.scrib.go.id, diakses 4
Desember 2016.
http://jabar.kemenkumham.go.id, diakses 8 Desember 2016.
https://news.detik.com, diakses 9
Desember 2016
[1]
Penulis adalah dosen HTN (Siyasah) Program Pascasarjana IAIN Bengkulu
[2] Lihat: H. Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:
Paradigma, 2010), hlm. 16
[3] Titik Triwulan
Tutik, Ilmu Hukum: Hakekat Keilmuannya
Ditinjau Dari Sudut Filsafat Ilmu Dan Teori Ilmu Hukum, Jurnal ilmiah
MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569
[4] Lasiyo dalam M. Hadin Muhjad, dkk., ”Peran Filsafat Ilmu dalam Ilmu Hukum: Kajian Teoritis dan Praktis”, (Surabaya: Unesa University Press, 2003), hal. iii.
[5] Kata hukum berasal dari bahasa
Arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah “Alkas”, yang
selanjutnya diambil alih dalam bahasa Indonesia menjadi “Hukum” di dalam
pengertian hukum terkandung pengertian yang bertalian erat dengan pengertian yang
dpat melakukan paksaan. (Lihat: R. Soeroso, Pengantar
Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-5, 2002), hlm. 24.
[6] Secara sederhana masyarakat
mengenal hukum adalah aturan dan harus ditaati oelah masyarakat, karena ada
hukum tersebut mereka menjadi tertib dan takut untuk melanggarnya. Oleh karena
itu maka diperlukan cabang ilmu hukum lain lagi seperti Antropologi hukum dan
sosiologi hukum untuk mengkaji hukum yang ada dimasyarakat.
[7] Jeremy Bentham, Teori Perundang-undangan: prinsip Legislasi,
Hukum Perdata dan Hukum pidana, Bandung: Nuansa, 2006), hlm. 26.
[8] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory Dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence),
Jakarta: Kencana Prenda Group, Cet. Ke-2, November 2009, Hlm. 12
[9]
Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam
“Yuridika”, Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, No. 6 Tahun IX,
November – Desember 1994, hlm. 1. Lihat Juga: Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005), hlm. 20.
[10] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti, 2000), hlm. 9
[11] Ibid, hlm. 10 dan 11
[12] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum,
(Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 10.
[13] Liahat: J. Van Apeldorn yang
membagi ilmu hukum terdiri dari: 1. Sosiologi hukum, Sejarah Hukum, dan
Perbandingan Hukum, sedangkan WLG. Lemaire mebagi ilmu hukum seperti: 1. Ilmu
Hukum Positif, 2. Perbandingan hukum, 3. Sosiologi hukum dan Sejarah Hukum.
Sedangkan Sajtipto rahardjo memasukan Politik hukum dan Filsafat hukum selain
apa yang disebutkan oleh J. Van Apeldorn tersebut.
[14] R. Soeroso, Loc. Cit, hlm. 18 dan 19
[16] Anton F. Susanto, Ilmu Hukum non Sistematik: Fondasi Filsafat
Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010),
hlm. 186
[17] Sejarah Perkembangan Ilmu Hukum dari Hans Kelsen, Roscoe Pound sampai
pada Mochtar Kusumaatmadja, http://jabar.kemenkumham.go.id,
diakses 8 Desember 2016.
[18] Ahmad
Ali dan Wiwie Heryoni, Resep Hukum:
sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Kencana Prenda Media Group, 2012) hlm. 93.
Implementasi Teori Hukum Murni menjadikan Hukum lepas dari aras moral dan
nilai-nilai Agama. Misal Putusan vonis penjara terhadap nenek tua pencuri buah
kakao adalah benar sesuai logika hukum, karena tindakanya memenuhi unsur
unsur pidana, meskipun nurani kita berontak, untuk mengatakan tidak. penomena
ini menunjukan hukum tidak memberi ruang kepada moralitas maupun nilai
metafisis, yang dianggapnya sebagai unsur non-yuridis (Faizal Surya, Paradigma
(ilmu) Hukum Profetik, http://www.academia.edu,
diakses 9 Desember 2016).
[19] Sajtipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan
Teoritsi Serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia (Yogyakarat: Genta
Publishimh, 2009), hlm. 73
[20] Anton F. Susanto, Loc. Cit, hlm. 187.
[21] Thomas E. Davitt, Nilai-Nilai Dasar di Dalam Hukum:
penerjemah Yudi santoso (Yogyakarta: Fallmal, 2012) hlm. 41
[22] Daniel S. Lev, Hukum Dan
Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet. I, LP3S, (Jakarta,
1990) hlm. 438.
[23] Mencuri 3 buah kakao, nenek
Mirna dihukum 1 bulan 15 hari. (https://news.detik.com), diakses 9 Desember 2016
[24] Kasus Min ini memenuhi rumusan delik tindak pidana biasa
(pencurian) karena undang-undang yang mengatur ukuran nilai barang yang bisa
diperkarakan sudah sudah usang atau tidak pernah direvisi (updated) sejak tahun
1960 sehingga perbuatan yang tidak menimbulkan bahaya terhadap individu/publik
atau tidak ada bahaya sosialnya tetap bisa dijerat. Kedua, kasus Min sekilas
memang kelihatan remeh temeh (hanya tiga kakao) tetapi sesungguhnya dibalik itu
sarat dengan perselisihan paradigma sehingga mudah terjadi ketegangan antara
tuntutan kepastian hukum dengan keadilan. Permasalahannya; Apakah putusan hakim
telah mengakomodasi nilai keadilan dengan menemukan kebenaran materiil dalam
kasus hard case. (Widodo Dwi Putro, Mencari kebenaran materiil dalam “Hard
Case” pencurian tiga buah kakao: Jurnal Yudisial, Vol-III/No-03/Desember/2010)
[25] Thio Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990) hlm. 113
[26] Teori Relativitas, adalah teori
yang digagas oleh Fisikawan Albert Einstein tahun 1905.
[27] Lihat: Anton F. Susanto, Loc. Cit, hlm. 15-16.
[28] Jimly Asshiddiqie. Teori
Hans Kelsen Tentang Hukum. (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006) hlm. 171.
[29] Maria Farida Indrati Soeprapto.
Ilmu Perundang-Undangan (Yogyakarta: Kanisius, Buku I,
2010), hlm. 44- 45.
[30] Anton F. Susanto, ibid, hlm. 165.
[31] Peter
M. Marzuki, Penelitian Hukum,
(Jakarta: Perenada Media Group, 2015) hlm. 17.
[32] Titik Triwukan Tutik, Op. Cit.
[33] C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Penelitian
Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke -20 (Bandung: Penerbit Alumni, 1994),
hlm. 108.
[34] Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 14.
[35] Depri Liber
Sonata, Metode Penelitian Hukum Normatif
Dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No. 1, Januari -Maret
2014
[37] Ilmu hukum termasuk ke dalam kategori ilmu humaniora, seni, bahkan
memiliki keterkaitan dengan filsafat dan sastra, dengan demikian dapat
dibedakan dengan bidang-bidang ilmu alam dan ilmu sosial (Depri Liber
Sonata, Ibid)
[38] Damang A. Al-Khawarizami,
Mengembalikan “Jati Diri” Penelitian Hukum, (www.negarahukum.com)
[39] Lihat: Imam Mahdi, Harmonisasi Pengaturan Perencanaan
Pembangunan dan Penganggaran Daerah: Kajian khusus RPJMD Provinsi:
Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Tahun
2012, hlm. 25-33
Komentar
Posting Komentar