MENAKAR NILAI KONSTITUSIONAL PERDA BERNUANSA SYARI’AH




MENAKAR NILAI KONSTITUSIONAL PERDA BERNUANSA SYARI’AH
(Bagian ke-1 dari ….Tulisan)
Bangsa Indonesia telah berkonsensus bahwa pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, dari pandangan hukum tata Negara Pancasila adalah staatsfundamentalnorms jadi ukurannya segala macam wujud pemebntukan hukum harus bersumber dari nilai-nilai Pancasila tersebut. Pancasila yang dimaksudkan seperti termuat dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dan itu merupakan satu kesatuan yang utuh dari alenia pertama sampai alenia keempat.
Oleh karena itu dalam pengimplementasiannya untuk produk perundang-undangan di Indonesia termasuk Peraturan daerah (Perda Provinsi dan Prda Kabupaten/Kota) harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, dan ini sudah harga mati tidak ada tawar-menawar, hal ini dapat dimaknai seperti: 1. Pancasila sebagai dasar negara sering disebut dasar falsafah negara, ideologi negara. Dalam hal ini Pancasila dipergunakan sebagai dasar dalam mengatur penyelenggaraan pemerintahan di dalam suatu negara. 2. Sebagai dasar negara, Pancasila dipergunakan untuk mengatur seluruh tatanan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai dasar hukum yang mengatur bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala hukum adalah. Perundang-undangan terkait Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum di Indonesia dapat ditelusuri sumbernya adalah: 1. Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 (Ketetapan MPR No.V/MPR/1973, Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978) yang menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum Indonesia, 2. Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 pasal 1 ayat (3) tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang- undangan yang menyatakan bahwa ”Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila”, 3. UU No.10 tahun 2004 sebagaimana telah diganti dengan UU No. 11 Tahun 1912, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dicantumkan dalam Pasal 2, menyatakan bahwa ”Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 dimana Pancasila dijadikan juga sebagai dasar ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara, sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila”.
Memasuki era reformasi, suatu “keberkahan” bagi daerah untuk mengatur dirinya sendiri sesuai dengan asas otonomi daerah yang seluas-luasnya, maka sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 sebagai mana telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan terakhir diganti kembali dengan UU No. 23 tahun 2014, memberikan kewenangan kepada daerah untuk membentuk peraturan darah sebagai konsekwensi untuk mengatur diri sendiri dengan penuh bertanggungjawab untuk melaksanakan system otonomi daerah. maka daerah membentuk Peraturan daerah dengan sifat kekhasan tersebut sebagai payung hukum tertinggi di daerah yang bisa mewujudkan dan menampung aspirasi rakyat.
Bagi daeah-daerah yang mayoritas menganut agama tertentu seperti Islam, maka nilai-nilai agama Islam akan mempengaruhi nilai-nilai kehidupan masyarakat secara Islam demikian juga dengan masyarakat yang beragama Hindu ataupun Nasrani, juga demikian hal ini berkaitan dengan tatanan hidup bermasyarakat agama menjadi pegangan, dan itu harus dimaknai sebagai bentuk kesadaran masyarakat menjalankan agamanya dan jelas Pancasila sebagai rujukan tertinggi mengakui hal tersebut sebagaimana termaktub dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di samping itu di dalam Pembukaan UUD 1945 nilai-nilai luhur keagamaan tetap memnajdi kekuatan dalam membentuk suatu Negara Indonesia sehingga bisa lepas dari penjajahan sebagaimana ditungkan dalam Pembukaan dengan kata-kata “Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Ini menunjukan bahwa bangsa Indonesia meyakini betul bahwa kemerdekaan sebagai perjuangan rakyat yang diredhoi Tuhan yang Maha Esa, bahkan dengan kata-kata yang lebih Takwa bisa dinyatakan Kemerdekaan itu adalah campur tangan Tuhan yang mempunyai kekuasaan yang maha dahsyat.
Kedudukan Pembukaan UUD 1945, kalau kita pelajari di PPKn dulu dan kini tetap menjadi kajian menarik, walaupun Pembukaan merupakan bagian dari UUD 1945, namun Pembukaan mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi dari Pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945. Kedudukan lebih tinggi ini karena Pembukaan UUD 1945: (a) mengandung jiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan suasana kerohanian dari terbentuknya Negara RI; (b) memuat tujuan negara dan dasar negara Pancasila; (c) menajdi acuan atau pedoman dalam perumusan Pasal-pasal UUD 1945. Dengan demikian Pembukaan UUD 1945 merupakan Staatsfundamentalnorm atau yang disebut dengan Norma Fundamental Negara, Pokok Kaidah Fundamental Negara, atau Norma Pertama, yang merupakan norma tertinggi dalam suatu negara. Ia merupakan norma dasar (Grundnorm) yang bersifat pre-supposed’ atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dan karena itu tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi. Ia juga merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya, termasuk menjadi dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Ia juga merupakan landasan dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut. Menurut Hans Kelsen bahwa norma hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi, dan norma hukum yang lebih tinggi itu tidak boleh bertentangan dengan norma lain yang lebih tinggi lagi, begitu seterusnya hingga rangkaian norma ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi (staatsfundamentalnorm). Pendapat Kelsen ini kemudian dikenal dengan Stufentheorie.
Lalu kenapa pada perkembangan selanjutnya, ketika Indonesia sudah merdeka, dan rakyat ingin melaksanakan ajaran agamanya melalui formalism Negara justru banyak hambatan inilah yang harus diluruskan dan diberikan pencerahan kembali, tulisan ini hanya sekedar refleksi saja terhadap apa masih ada realitas sebagaian ilite yang tidak memahaminya secara utuh.
Sebagai contoh ketika daerah banyak membentuk produk hukum yang bernuansa agama, bernilai syari’ah atau bagi yang sinis mengatakan bias agama, baik secara klembagaan maupun perorangan berbagai dalih dikemukakan untuk menolak produk hukum lokal tersebut. Sebagaimana diketahui public pada tanggal 13 Juni 2006 sebanyak 56 orang anggota DPR dari fraksi PDI-P dan PDS mendesak Presiden untuk mencabut Perda-Perda yang dikatakan bernuansa syariah tersebut, seperti Perda tentang Larangan melakukan maksiat, perda larangan minuman keras dianggap mempunyai muatan agama tertntu (Islam) dan bagi yang menguslkan “memorandum” penolakan, tentu saja ini mendapat “kontra memorandum” dari berbagai fraksi yang mengatakan bahwa Perda-perda yang dianggab bermasalah tersebut oleh fraksi PDI-P dan PDS secara konstitusional tidak bermasalah dan yang lebih penting tidak akan membuat Indonesia menjadi chaos atau setidak-tidaknya menghambat kemajuan investasi di Indonesia. Akhir dari konflik tersebut Ketua DPR Agung Laksono membuat statmen bahwa pro kontra terhadap Perda-perda yang dianggap bernuansa syariah segera di akhiri dan bagi yang tidak setuju silakan lakukan mekanisme hukum yakni mengajukan yudicial revew ke Mahkamah Agung, dan ini tepat, karena kalau diselesaikan lewat DPR jelas itu adalah penyelesaian politik, padahal Indonesia adalah Negara hukum, seharusnya para anggota yang terhormat lebih memahami hal tersebut. (Baca: Majalah Tempo 14 Mei 2006 dan lihat juga: disertasi Haedar Nashir pada Program Doktor Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 20 September 2006 dan Baca Juga: Disertasi Sirajuddin pada Program Doktor Fak. Hukum Universitas Brawijaya Malang, Tahun 2014).
Saya kembali mendengarkan, adanya pernyataan-pernyataan yang mempermasalahkan Perda-perda yang bernuansa syariah untuk dikoreksi ulang atau dilakukan evaluasi kembali keberadaanya. Sebagaimana saya ikuti seminar yang dilakukan oleh fakultas Hukum Universitas Bengkulu dengan menghadirkan narasumber dari pejabat eselon I Kementerian Hukum dan HAM, yang melontarkan statmen senada untuk mengevaluasi perda-perda tersebut.
Dikesempatan yang sama saya menyampaikan bahwa hal tersebut sebenarnya tidak ada problem sepanjang perda-perda tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar yakni Pancasila dan sesuai dengan asas-asas perundang-undangan di Indonesia yang mengatur hirakinya, lagipula perda tersebut secara formal telah melalui mekanisme pembentukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan tegas saya katakana pada seminar tersebut, jika seandainya ada yang tidak setuju dengan Perda yang dianggab bermuatan syariah ajukan yudicial revew ke Mahkamah Agung dan sekalian juga ajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi RI terhadap UU yang juga bermuatan syariah seperti UU Haji, UU Zakat dan Wakap UU Perbankan yang Pasal-Pasalnya ada yang mengatur tentang Perbankan Syariah, UU Zakat dan lain-lain itu baru benar. Silahkan pahami ketentuan Pasal 24 A ayat (1) menetapkan, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, …”. Pasal 24 C ayat (1) menentukan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar …”.
Kemudian ketika saya diminta untuk menjadi narasumber Uji Publik terhadap Raperda Inisiati DPRD tentang Pengelolaan Zakat beberapa hari lalu di hotel Nala, masih ada yang mengemukakan pendapat seperti pada saat seminar di Unib tersebut, dan maaf saya sedikit emosi waktu menanggapinya, wajar saya fikir persoalan ini sebenarnya sudah selesai, masa harus berteori kembali dengan argument yang tidak cerdas, atau karena ada hal lain dibalik itu semua, kita tidak tahu, namun secara konstitusional saya bisa katakana bahwa perda-perda seperti perda zakat, jelas ini adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk mengatasi kemiskinan di Provinsi Bengkulu, karena tanpa perda tersebut Pemerintah tidak ada dasar hukum untuk memobilasi dana umat yang luar biasa banyaknya dimaksimalkan dan diatur dengan baik demi kesejahteraan bersama. Yang jelas Perda ini mengajak kebaikan, kenapa harus dipermasalahkan, zakat adalah wajib bagi umat Islam, hanya saja ini tidak terorganisir pengelolaanya. Lagipula perda ini tidak ditujukan kepada semua orang Islam, hanya sebatas Institusi atau lembaga dibawah koordinasi Pemerintah Provinsi Bengkulu.
Saya tidak tahu apa yang tersembunyi dibalik pendapat seseorang, namun yang jelas mari kita dialogkan secara jernih penuh dengan semangat musyawarah sebagaimana diajarkan oleh Pancasila, dan bermusyawarah juga bagian dari demokrasi Pancasila.
Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU