Renungan Malam Ini:
“SUAP, PENYAKIT YANG PERLU DIAMPUTASI”
Suap penyakit sosial yang sudah akut di tengah masyarakat, hampir semua institusi yang berkaitan dengan penyelenggraan kepentingan umum atau katakanlah segala pekerjaan yang membutuhkan pelayanan dari institusi pemerintah sulit untuk menentukan bahwa di tempat tersebut tidak ada praktik kotor penyuapan atau transaksi “suap”, sehingga secara goyon teman saya dalam diskusi ringan mengatakan bahwa jika manusia itu masih perlu makan lewat mulut, pasti ada pekerjaan suap disitu…ya betul juga yang namanya makan pasti ada kata suap.
Ini beda dengan suap ketika sedang makan, atau seorang ibu dengan tabah dan penuh kasih sayang menyuapi anaknya, bahkan ibu-ibu muda pagi atau sore hari dapat dilihat banyak melakukan ini bahkan sampai jalan-jalan diteras rumah, sambil belanja kewarung, atau sambil bernyanyi-nyanyi mengindung anaknya sembari menyuapinya dengan nasi dan lauk pauknya, kalau seperti ini jelas dianjurkan untuk melakukan suap dan itu ibadah yang luar biasa dan dipastikan akan menghantarkan ibu itu bahagia di dunia dan Insya Allah masuk surga nantinya…Aamiin.
Suap yang penyakit dimaksud adalah praktik penyuapan atau menerima suap untuk memuluskan suatu pekerjaan yang memang jika tidak disuap kadang-kadang bisa terhambat pekerjaan atau urusan yang diperlukan, suap-menyuap dalam urusan ini memang sudah lama, dan penyakit menahun yang kita sendiri sulit untuk mencari obatnya, walaupun segala prosedur, himbawan bahkan hukuman penerima penyuap dan disuap telah diperberat praktik suap tetap ada dan mungkin masuk katagori “membudaya” tapi kalau dikatakan budaya pastilah banyak yang tersinggung dan akan berargumentasi masa sih…bangsa yang beradap masih memelihara budaya buruk yang diluar kaidah bangsa yang Pancasilais…diskusi panjang tetap menarik dan ILC juga mengangkat tema ini.
Suap kemabali semarak dibicarakan, mungkin karena beberapa waktu yang lalu Presiden Jokowi ikut serta dalam OPP (Operasi Pemberantasan Suap) Di Kementerian Perhubungan, ya itulah kalau Presiden sudah sampai ikut seperti itu berarti masalahnya sudah luar biasa, dan ini memang wajar dijadikan tonggak baru era pemberantasan suap-menyuap, walaupun banyak juga yang mengeritik sebenarnya tidak perlu samapi Presiden ikut sidak segala…, apalagi penyakit ini sudah menjadi “rahasia umum” artinya rahasia yang sudah diketahui oleh banyak orang. Bahkan orang awam-pun mengetahui, misalnya dulu sebelum moratorium test CPNS ada istilah 3 in 1, maksudnya jika ada uang 100 juta bisa lulus untk tiga orang, kemudian terus meningkat terakhir issunya untuk livel gol III bisa sampai 250 juta…ini rumor atau fakta…, itu tadi rahasia tapi sudah umum, bahkan jika ingin menduduki jabatan tertentu juga harus bayar ya ada tarip-taripnya juga tergantung tingkatan jabatan dan instansi mana yang dia ditempatkan, sesudah ditempatkan persoalan suap belum selsai adalah lagi istilah “mengisi pulsa atau cas aki, supaya jabatan yang telah didapat agak aman, termasuk juga untuk jadi tenaga honorer tidak lepas dari isu suap-menyuap …ha…ha…ha..ha, kayak anak bayi saja, sekali lagi apakah ini issu, saya kutipkan di salah satu media yang memberitakan ini “…Begitu tingginya asa untuk menjadi pegawai pemerintahan, calon tidak segan menggelontorkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Bahkan ada yang menggadaikan aset yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Saking tingginya, bisa jadi tidak sebanding dengan lima hingga 10 tahun penghasilan yang akan diperoleh pegawai tersebut di instansi tempat ia akan bekerja..”( http://jambi.tribunnews.com/20…/…/25/suap-dan-status-pegawai). Sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat kebiasaan suap menyuap atau sogok menyogok dalam penerimaan CPNS. Menurut sumber yang dirahasiakan, persatu nomer CPNS rata-rata dihargai 175 juta, semisal kepala daerah meminta 1.500 CPNS dalam satu periode penerimaan. Jika dikalkulasikan yakni 175 juta dikali 1.500 sekitar 262.5 milliar.
(www.kompasiana.com/airputih17). Sebenarnya banyak sekali pemberitaan tentang indikasi adanya suap dalam penerimaan CPNS, tapi dipastikan kita tidak akan tahu siapa actor utama dari para pmain suap-menyuap tersebut. Sampai saat ini belum ada pejabat yang kena tangkap dalam kasus ini, yang bisa diciduk hanya pada tataran calonya…itupun, karena si calo lagi nasip sial karena yang dicaloinya tidak berhasil mencapai keinginan, kalau berhasil pasti diam saja, maklum dalam KUHP disuap dan menyuap sama-sama akan dikenai sanksi pidana, mungkin pasal ini mengambil dari hukum Islam “yang menyuap dan di suap sama dosanya”.
Modus operandi suap-menyuap bukan hanya dalam penerimaan CPNS atau mutasi jabatan PNS, banyak hal yang dapat dindikasikan rawan suap menyuap ini, seperti: Pungutan liar (pungli), yaitu melakukan pungutan diluar ketentuan undang-undang dan tidak menyetorkan ke kas Negara, Contohnya adalah tarif penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisisan (SKCK) adalah Rp. 10.000,-. sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2010 dan duitnya disetor ke kas negara. Jika ternyata ada polisi minta lebih dari itu, maka kelebihan tersebut termasuk pungutan liar, walaupun dengan dalih beli tinta dan kertas. Demikian juga biaya nikah hanya Rp 30.000,- (PP No. 47 Tahun 2004), sekarang sudah gratis, kecuali menikah di rumah penganten harus setor 600 ribu sebagai PNBP. Mark up atau penggelembungan harga, misalnya kertas 1 rim seharga Rp. 30.000,- dimanipulasi harganya menjadi Rp 50.000,- nasi bungkus harganya Rp. 12.500,- dinaikan harganya mnjadi Rp. 15.000,- dengan cara menyuap pemilik warung nasi untuk membuat kwitansi yang diinginkan pemesan, ini memang sedikit, tapi kalau satu kantor setiap hari ada yang lembur 5-10 dikali seluruh kantor pemerintah …berapa buah kantor pemerintah di Indonesia…wah…banyak juga. Belanja fiktif. Lebih jahat dari mark-up adalah belanja boongan. Mengaku telah membeli ini dan itu tapi tidak ada barangnya, telah melakukan kegiatan ini dan itu tapi tak pernah terjadi, sementara secara administratif ada, dana juga dikeluarkan, sebenarnya banyak lagi cara-cara suap-menyuap. (www.kompasiana.com). Kasus suap di Indonesia telah memakan banyak korban sebut saja kasus Akil Mukhtar, Hakim MK yang kebablasan menerima suap dari sekian banyak kasus yang ditanganinya dalam sengketa Pilkada, terakhir dan mudah-mudahan benar-benar terakhir walaupun harus tetap menggunakan asas pra duga tak bersalah terhadap manatan Ketua DPD RI, Irman Gusman, tetapi yang jelas beliau sudah dipecat sebagai Ketua DPD RI dan digantikan Senator dari Bengkulu bapak Mohammad Soleh, SE. kalau anggota DPR-RI sudah banyak seperti: Sejak dilantik pada 1 Oktober 2014, sudah tujuh dari 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) periode 2014-2019 ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan sangkaan menerima suap, dan salah satunya adalah seorang putra terbaik Bengkulu. Kalau dilingkungan pejabat daerah, berdasarkan data, sejak otonomi daerah disinyalir ada 70 persen yang terlibat korupsi termasuk didalamnya katagori suap.
Jika menilik beberapa kasus suap di atas, rasanya tepat aku pilih judul di atas, selanjutnya perlu upaya nyata untuk mengamputasinya,ini memang harus dilakukan, karena selama ini hanya diberi obat-obat ringan sehingga penyakitnya kambuhan, cara jitu ya amputasi memutus semua sel-sel yang berkaitan dengan suap, seperti apa yang dilakukan oleh Jokowi di Kementerian Perhubungan tersebut, lalu sekarang sudah mulai bergerak untuk melakukan amputasi, institusi Kepolisian RI telah melakukan uji petik suap di berbagai daerah dan terdapat beberapa oknum yang melakukan suap, Kabareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto menyatakan, Polri akan jadi salah satu pioner menghentikan pungli. Caranya dengan hidup sederhana. Menpan-RB juga telah menulis surat edaran larangan suap, para kepala daerah juga kompak untuk memberantas suap, nah inilah yang dikatakn amputasi tersebut yakni memotong setiap rantai yang berhubungan dengan suap. Semoga…..!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU