Renungan Malam ini:
“KESALEHAN HUKUM”
Kesalehan hukum pada dasarnya dapat dikaitkan sebagai ketaatan terhadap hukum, istilah ini sebenarnya sudah terdengar lama dan sempat dilontarkan oleh Cak Nur (Nurcholis majid, 1992), namun sayang tidak begitu populer di tengah masyarakat termasuk juga di kalangan orang hukum sendiri, beda dengan istilah “Kesalehan individu, kesalehan sosial bahkan juga ada istilah kesalehan ekonomi” orang pada mahfum.
Lalu kenapa kesalehan hukum tidak sempat booming padahal, biasanya pernyataan sekelas Cak Nur selalu hangat diperbincangkan orang baik yang pro maupun yang kontra, maklum tokoh ini memang lontaranya kalau kita pinjam istilah “pulgar” Ruhut Sitompul seorang politikus yang juga praktisi hukum dan menyambi sebagai artis yang jelas sekarang beliau juga menjadi bintang di acara ILC yang diasuh wartawan senior Bang Karni Ilyas, istilahnya “sedap-sedap nikmat”. Ya kira-kira begitulah, sedap untuk dinimkati asyik untuk diamati. Pernyataan Caknur yang sedap-sedap nikmat yang lain, ketika ia melontarkan pernyataan “Islam Yes Partai Islam No” kira-kira 40 tahun yang lalu, padahal kalau ditelusuri sejarahnya Cak Nur lahir dari keluarga orang partai bapaknya sendiri adalah aktivis Masyumi di daerahnya, dan dia sendiri adalah aktifis organisasi yang banyak melahirkan tokoh politik. Tetapi kenapa intelektual Islam Indonesia ini sempat ngomong seperti itu, menurut Taufik Abdulah sang Penyair, dan juga sempat membuat pernyataan menurut saya, sangat bermakna “spiral kebodohan masih terjadi di Indonesia sehingga terus menggerogoti kehidupan dan budaya yang diagungkan adiluhung. Lebih lanjut, spiral kebodohan ini terus membesar ketika tindakan kebodohan dibalas dengan kebodohan juga. Ia menjelaskan, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa seperti semakin menjauh akibat banyak tindakan bodoh yang dilakukan dalam semua lapisan masyarakat, sehingga terus melingkar bagai spiral yang makin membesar setiap hari”. lontaran Cak Nur menurut Taufik Abdullah, itu jelas telah dipikirkanya dalam waktu yang cukup lama dan itu tepat untuk era tersebut, dimana kehidupan berpolitik tidaklah semarak seperti di era ini. Justru di saat terakhir kehidupannya, saya selalu terngiang kata-kata bijak sebagai protes atas kebabalasan dan kekeliruan memaknai era reformasi kira-kira katanya “kalau ukuran reformasi itu adalah pemberantasan KKN, maka reformasi telah gagal, untuk itu diperlukan kekuatan massa yani reformasi lebih dahsyat dari reformasi,..wah, gawat..kira-kira apa gerakan masyarakat yang lebih heboh dari reformasi, karena dengan reformasi saja sampai sekarang Indonesia disatu sisi belum pulih benar dari air bah reformasi tahun 1997-1998, sakitnya disini, kata Cita Catata.
Kesalehan hukum memang tidak sempat menggaung seperti “Islam yes partai Islam No”, tetapi lontaran kata bijak penuh muatan filosofis tersebut menurut saya perlu direnungkan oleh orang-orang hukum, kesalehan memang berada pada esoteris manusia, tidak bisa diukur dengan angka tetapi bisa di rasakan dan dinikmati dalam kehidupan manusia, “kesalehan” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ketaatan dalam menjalankan ibadah; kesungguhan menunaikan ajaran agama. Kesalehan dalam pengertian agama (Islam) mempunyai dua dimensi yakni kesalehan individu dan keslahean sosial, yang berkaitan dengan persolan ritual keagamaan dan implementasi muamalah. Jadi kesalehan akan berdampak kepada diri seseorang dan bisa juga tercermin dari masyarakatnya.
Lalu dimana hakekat kesalehan hukum, sebelum bicara pada rana Epistemologis, Ontologis maupun Aksiologis hukum, perlu dipahami dulu letak hukum itu, kalau seandainya van Apeldoorn, yang mengarang buku Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht (Pengantar Ilmu Hukum Belanda), yang menjadi bacaan utama calon sarjana hukum di era sebelum dan di era saya, jawabnya pasti juga tidak akan memuaskan, ya dia sendiri bilang begitu “kalau ditanya dimana letak hukum itu pasti jawabanya tidak akan memuaskan, sama tidak memuaskanya jika ditanyakan definisi tentang hukum, hukum ya hukum tidak perlu diterjemahkan secara dipenitif dan ditanyakan letaknya secara limitative, tetapi hukum dibutuhkan oleh manusia, dan cara memahaminya juga bisa dibedakan seperti norma, pengertian dan kenyataan hukum, jadi hukum banyak dimensinya dan dimensi yang mana yang diambil Indonesia ketika Negara dengan bangga mendeklarasikan diri sebagai Negara hukum, melalui konstitusinya.
Seperti telah disebutkan di atas persoalan ini (kesalehan dan hukum) ada pada esoteris (batin) manusia, namun implemnatsinya bisa kemana-mana, orang yang taat terhadap hukum Islam berarti hukum Islam tersebut berada pada jiwa seorang muslim, dan orang Islam tahu betul bahwa hukum Islam itu bersumber dari pedoman hidup yang ia yakini (Al-Qur’an dan Hadist). Walaupun hukum itu dibuat oleh manusia tetapi inspirasinya agama dan wahyu (ini pendapat Theo Hiijbers, dalam bukunya “Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah).
Lalu timbul kembali pertanyaan, mengapa terjadi huum itu selalu diabaikan orang, ya jawabnya sama saja kenapa orang tidak taat kepada agamanya,…sama halnya dulu ketika P4 di era orde baru dibumikan luar biasa, tetapi kilas balik sejarah mengatakan bahwa orde tersebut sebenarnya juga tidak murni mengamalkan ajaran Pancasila tersebut, buktinya banyak sila-sila dari Pancasila yang sengaja dipeti es-kan dan sengaja dibelokan hakekat kebenaranya.
Oleh karena itu, jangan heran jika ada yang bergelar sarjana hukum, mengerti hukum bahkan berpredikat abdi dan penegak hukum, bisa saja perbuatanya jauh dari kehendak hukum, bahkan ada yang lebih parah lagi ada juga istilah “Mafia” padahal kata mafia lebih tepat untuk kejahatan yang dulunya dilakukan di Italia yang melakukan kejahatan secara terorganisir. Kalau sudah seperti itu sebenarnya mengingkari kodrat dengan menghadapkanya pada realitas hidup mausia itu sendir, dimana manusia pada intinya menuju kepada kesempurnaan baik dalam mencapai tujuan subjektif lebih-lebih pada tujuan objektifnya. Dalam agama Islam jelas tujuan hidup manusia harus berpedoman pada ayat yang mengatakan: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. “ (Adz-Dzariyat: 56)
Seharusnya manusia yang saleh dalam pengertian taat kepada aturan hukum Tuhan, maka akan selalu terpatri dalam jiwa dan aktualisasi dirinya selalu merasa bersalah apabila melanggar ketentuan hukum baik yang diciptakan manusia ataupun itu memang bersumber pada wahyu. Taat kepada hukum sebenarnya bukan suatu paksaan dari hukum itu sendiri atau takut karena sanksi yang akan dihadapi, tetapi lebih pada menjalankan kodrat dan realitas hidup sebagai manusia. Oleh karena itu apa yang dikatakan oleh Cak Nur di atas tentang “Kesalehan Hukum”, rasanya sangat bermakna bagi semua manusia dan dapat dipahami secara seksama oleh masyarakat hukum. Walahualam bissawab.
Ceruk Kamar, 22 September 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU