“DAU dipangkas Rp. 193 M. Warning untuk Pemprov”
Renungan Malm ini:
“DAU dipangkas Rp. 193 M. Warning untuk Pemprov”
Pertama saya mohon izin memakai judul tersebut, kalimat itu adalah judul berita yang ditulis oleh Harian Rakyat Bengkulu (RB), 25 Agustus 2016, harian RB adalah Koran pagi terbesar di Bengkulu dan salah satu Koran Daerah yang terbaik di Indonesia, yang kadang-kadang menjadi brain warning saya, sebelum mengerjakan tugas rutin. Saya izin pakai judulnya, karena beberapa alasan, pertama: judul tersebut sangat komunikatif dan membahana bagi warga Bengkulu terutama bagi stakes holders di lingkungan Pemerintah Provinsi Bengkulu, dan orang-orang yang peduli Bengkulu, Kedua: ada kata warning dalam judul tersebut artinya peringatan, bisa juga tegoran agar berhati-hati. Dulu bapak saya, paling suka merokok warning, katanya tembakaunya enak dan hangat (apanya yang enak atau hangat, saya coba sedikit kepala saya jadi puyeng…maklum tidak biasa). Saya baru sadar bahwa Rokok warning tersebut sebenarnya bukan nama produk rokok, tetapi kata-kata yang ditulis pada kemasan tembakau yang bukusnya hitam, didalmnya ada kertas rokok (paper) yang berfungsi untuk “melinting” tembakau, kalua mau cara merokoknya tembakau tersebut digulung ke dalam paper, jangan terlalu besar kalau besar namanya cerutu bukan rokok paper lagi, nama rokok “warning”, kalau nggak salah berarti benar namanya “Shake”, di produksi di Rotterdam Belanda, nggak apa-apa saya ngalur-ngidul dulu masalah rokok karena sebentar lagi semua jenis rokok harganya mahal, dan ini sudah saya tulus 20 jam yang lalu.
Kembali ke judul di atas, bahwa adanya pemangkasan Dana Alokasi Umum (DAU), sebesar Rp. 193 M. untuk provinsi Bengkulu memang ini menjadi masalah besar, mengingat Bengkulu masih sangat tergantung dengan besaran DAU untuk menggerakkan roda pemerintahan sekaligus roda ekonomi di Provinsi Bengkulu, walaupun menurut Kepala BI Perwakilan Bengkulu tidak berdampak signifikan pada ekonomi rakyat, karena pada saat ini harga kopi dan Lada sedang tinggi, tapi ingat tidak semua petani di Provinsi Bengkulu menanam kopi dan Lada justru yang banyak menanam padi, karet dan sawit yang harganya cenderung menurun, ini salah lagi analisis saya, maaf saya bukan seorang ekonom, ini forsinya Prof Kamaluddin, menurut beliau jelas ada dampaknya, atau tanyakan sama pak Prof. Lizar Alfansi dosen FE Unib, juga pakar dibidang itu. kalau dosen FEBI IAIN mungkin Eka Sri Wahyuni, MM atau EEn atau ahli ekonomi lainnya.
Mengapa DAU dipangkas menjadi warning Pemrov. Bengkulu…?, yang jelas saya tidak perlu mengkaji dari segi ekonomi, dan bukan pula porsi saya untuk ikut-ikutan member warning kepada Pemprov. Bengkulu. Memang DAU dan DAK masih menjadi porsi terbesra pembiyayaan Provinsi Bengkulu. Tetapi jauh sebelum adany DAU dan DAK atau sebelum reformasi sudah saya sampaikan (ini kajian politik ekonomi gaya pemuda jaman dulu), Kata saya, agar Pemerintah Prov. Bengkulu bersunguh-sungguh, mencari alternatif pendanaan sendiri, saran saya waktu itu agar Pemda TK I. (istilah dulu) Provinsi Bengkulu mempunyai/mendirikan industri besar seperti Pabrik pakan ternak di Pulau Baii (dulu pelabuhan ini menjadi kebanggaan) pakan ikan terbesar se-Sumatera karena bahan bakunya ada di Bengkulu, ini juga sudah saya diskusikan dengan almarhum Hudari Hamid, karena itu merupakan ide besarnya, menurut saya yang belum terujud sampai sekarang (Almarhum adalah tokoh Pemuda waktu itu, saya sering diskusi sama beliau bahkan sampai larut malam dan saya banyak dapat pencerahan dari almarhum, terima kasih, semoga menjadi amal ibadah hendaknya..Amiin), saya pernah sampaikan ke Jakarta dan minta kepada Pemerintah Pusat agar Pabrik Rokok terbesar di Jawa di Pindahkan ke Bengkulu, karena waktu itu bahan bakunya ada seperti Cengkeh masih banyak di Bengkulu Selatan, Tembakau bisa dikembangkan di Rejang Lebong (dulu termasuk, Lebong, Rejang Lebong dan Kepahyang), dan saya protes kepada menteri waktu itu, kenapa pabrik-pabrik besar harus di letakkan bejejr dari Merak sampai Jakarta, kenapa tidak di bagi kepada provinsi-provinsi, pemerintah bisa atur itu, jangan dikendalikan oleh pengusaha, dengan berbagai kelicikanya…dengan alasan sarana dan pra-sarana. Persoalan ini pernah saya sampaikan di Jakarta sekitar tahun 90-an, waktu saya diundang mengikuti pembahasan Program Pembangunan Jangka Panjang kedua (PJP II), di hotel Kartika Candara, hotel Berbintang lima waktu itu dan maaf saya baru pertama kali nginap di hotel mewah dengan tarip kira-kira Rp.250 ribu/permalam, pada waktu itu, saya baru diangkat PNS Gol. II/a dengan gaji kira-kira Rp.50 ribu/bulan, jadi kalau harus bayar sendiri, saya harus rela tidak bergaji selama lima bulan dan sekalian tidak makan dan merokok, itupun bukan satu malam saya di traktir Menpora Ir. Akbar Tanjung (terima kasih Bang Akbar), saya tidak sendirian kalau nggak salah saya bersama Bung Patrice Rio Capella (mantan Ketua Partai Nasdem dan Angota DPR-RI) dan Ashbahul Fajri, ya silahkan tanyakan sama beliau kalau pembaca tidak yakin dengan saya…tapi yakinlah itu benar-benar terjadi, saya dulunya mengaktifkan diri di kepemudaan era orde baru.
Problem itu, terus berlanjut sampai sekarang alasannya sekali-lagi persoalan politik ekonomi yang tidak merata, dulu ada istilah pembangunan menetes, artinya daerah dapat pemerataan pembangunan dengan tetesannya (paradigm pembangunan orde baru, istilah asingnya “tricle down efect), kalau menurut Musiar Danis pada waktu itu, bukan menetes tapi hanya merembes atau dapat uapnya saja (orasi ilmiah kanda Musiar Danis waktu Milad HMI dan KAHMI sekitar pertengahan atau akhir tahun 80 an, belaiu baru pulang dari Amerika, …maaf Bang Danis…kalau salah, maklum sudah lama). Oleh karena itu, agar Provinsi tidak hanya dapat tetesan dana pembanguna dari pusat harus diciptakan sumber mata airnya, walaupun kecil tapi kalau tidak ada terpaksa seperti sekarang terus-menerus harus menunggu tetesan dari Jakarta, kalau tetesannya tersumbat seperti pemangkasan DAU seperti sekarang ini, baru tahu rasa.
Banyak analisis mengatakan bahwa tidak mudah, mendirikan industry besar untuk mencari sumber dana, analisis ini pasti teori ekonomi jalan lurus, padahal sekali-kali bolehlah pakai teori ekonomi menikung, misalnya mengapa tidak dipakai teori baru yakni teori yang mengatakan bahwa “teori perencanaan pembangunan yang benar adalah mematahkan lingkaran setan antara keterbatasan modal dan keterbelakangan sumber daya manusia” artinya kalau menunggu harus punya modal kapan…, atau menungu orang pintar semua…?. Kata orang nekat, jika perlu tutup sajalah teori ekonomi tersebut, nyatanya tanpa teori ekonomi, kalau harga komoditi rakyat meningkat, masyarakat pasti sejahtera…wah ini rupanya teori ekonomi juga, salah saya…, tetapi pengalaman waktu krisi tahun 1997-1998, para petani banyak berdoa, semoga krisi ini, berlaku selamanya, karena bagi mereka tidak terjadi krisis, bahkan mengalami peningkatan daya beli yang luar biasa, bahkan di kampung saya tercatat serentak membeli mobil baru merk Carry sebanyak 57 buah, padahal KK nya sekitar 150 an. Ini benar terjadi seperti disampaikan oleh Kepala BI Perwakilan Bengkulu di atas.
Mungkin yang mendekati kebenaran, persoalan modal…ini juga masalah klasik, dari pemerintah daerah yang maunya ril-ril saja. Modal di daerah pasti banyak bahkan sangat banyak, tapi belum tergarap dengan baik, dana DAU pengelolaannya agak miris dan mohon maaf, peruntukannya hanya dihabiskan untuk kepentingan pragmatis dan sesaat, missal rame-rame anggaran daerah dugunakan untuk bikin gedung baru, mobil opersasional baru, kesejahteraan pegawai (pegawai itu sudah sejahtera, hanya saja tidak merata), dan membuat proyek mercusuar yang tidak jelas kajian ekonominya seperti bikin Mes, hotel, bikin tugu atau pintu gerbang, pindah lokasi kantor dan sebagainya.
Ada juga, yang mencari kambing hitam penyebab dipangkasnya DAU, katanya dampak dari rasionalisasi anggaran dari Gubernur, karena sudah hampir akhir tahun belum membelanjakan uang, atau ada juga yang mengatakan, karena daerah-daerah terlalu banyak Silpa-nya, mungkin saja benar tetapi bukan Bengkulu saja DAUnya di pangkas, banyak daerah juga mengalami itu, jadi ini memang kebijakan dari pemerintah pusat yang sengaja mengurangi DAU di setiap Daerah, nah ini sudah kajian nasional, dan dua tahun terakhir ini memang pemerintahan Jokowi-JK, banyak menjalankan teori ekonomi penghematan, dan mencari celah-celah sumber pendapatan termasuk Tax Amnesty dan menaikan Cukai rokok, karena tidak berani lagi minjam atau jual aset Negara yang potensial, atau jalan pintas menaikan harga BBM.
Seperti saya katakana tadi tidak perlu saling salahkan, apalagi bertujuan salaing menjatuhkan yang penting bulatkan tekad, bahwa semua stake holders harus mempunyai visi yang sama untuk membangun Bengkulu dengan kerja dan karya mandiri, mumpung masih ada kesempatan dari sekarang. Kalau memang Gubernur akan mamajukan Industri Kelautan, itu tepat karena Bengkulu punya potensi, jadi semboyan Bengkulu Maritim, harus segera diujudkan., siapa tahu nanti Bengkulu akan menjadi daerah pengekspor dan pengulahan ikan tuna terbesar di Asia dan pusat industrinya di Enggano. Walaahualam bissawab.
Ceruk kamr, 28 Agustus 2016.
“DAU dipangkas Rp. 193 M. Warning untuk Pemprov”
Pertama saya mohon izin memakai judul tersebut, kalimat itu adalah judul berita yang ditulis oleh Harian Rakyat Bengkulu (RB), 25 Agustus 2016, harian RB adalah Koran pagi terbesar di Bengkulu dan salah satu Koran Daerah yang terbaik di Indonesia, yang kadang-kadang menjadi brain warning saya, sebelum mengerjakan tugas rutin. Saya izin pakai judulnya, karena beberapa alasan, pertama: judul tersebut sangat komunikatif dan membahana bagi warga Bengkulu terutama bagi stakes holders di lingkungan Pemerintah Provinsi Bengkulu, dan orang-orang yang peduli Bengkulu, Kedua: ada kata warning dalam judul tersebut artinya peringatan, bisa juga tegoran agar berhati-hati. Dulu bapak saya, paling suka merokok warning, katanya tembakaunya enak dan hangat (apanya yang enak atau hangat, saya coba sedikit kepala saya jadi puyeng…maklum tidak biasa). Saya baru sadar bahwa Rokok warning tersebut sebenarnya bukan nama produk rokok, tetapi kata-kata yang ditulis pada kemasan tembakau yang bukusnya hitam, didalmnya ada kertas rokok (paper) yang berfungsi untuk “melinting” tembakau, kalua mau cara merokoknya tembakau tersebut digulung ke dalam paper, jangan terlalu besar kalau besar namanya cerutu bukan rokok paper lagi, nama rokok “warning”, kalau nggak salah berarti benar namanya “Shake”, di produksi di Rotterdam Belanda, nggak apa-apa saya ngalur-ngidul dulu masalah rokok karena sebentar lagi semua jenis rokok harganya mahal, dan ini sudah saya tulus 20 jam yang lalu.
Kembali ke judul di atas, bahwa adanya pemangkasan Dana Alokasi Umum (DAU), sebesar Rp. 193 M. untuk provinsi Bengkulu memang ini menjadi masalah besar, mengingat Bengkulu masih sangat tergantung dengan besaran DAU untuk menggerakkan roda pemerintahan sekaligus roda ekonomi di Provinsi Bengkulu, walaupun menurut Kepala BI Perwakilan Bengkulu tidak berdampak signifikan pada ekonomi rakyat, karena pada saat ini harga kopi dan Lada sedang tinggi, tapi ingat tidak semua petani di Provinsi Bengkulu menanam kopi dan Lada justru yang banyak menanam padi, karet dan sawit yang harganya cenderung menurun, ini salah lagi analisis saya, maaf saya bukan seorang ekonom, ini forsinya Prof Kamaluddin, menurut beliau jelas ada dampaknya, atau tanyakan sama pak Prof. Lizar Alfansi dosen FE Unib, juga pakar dibidang itu. kalau dosen FEBI IAIN mungkin Eka Sri Wahyuni, MM atau EEn atau ahli ekonomi lainnya.
Mengapa DAU dipangkas menjadi warning Pemrov. Bengkulu…?, yang jelas saya tidak perlu mengkaji dari segi ekonomi, dan bukan pula porsi saya untuk ikut-ikutan member warning kepada Pemprov. Bengkulu. Memang DAU dan DAK masih menjadi porsi terbesra pembiyayaan Provinsi Bengkulu. Tetapi jauh sebelum adany DAU dan DAK atau sebelum reformasi sudah saya sampaikan (ini kajian politik ekonomi gaya pemuda jaman dulu), Kata saya, agar Pemerintah Prov. Bengkulu bersunguh-sungguh, mencari alternatif pendanaan sendiri, saran saya waktu itu agar Pemda TK I. (istilah dulu) Provinsi Bengkulu mempunyai/mendirikan industri besar seperti Pabrik pakan ternak di Pulau Baii (dulu pelabuhan ini menjadi kebanggaan) pakan ikan terbesar se-Sumatera karena bahan bakunya ada di Bengkulu, ini juga sudah saya diskusikan dengan almarhum Hudari Hamid, karena itu merupakan ide besarnya, menurut saya yang belum terujud sampai sekarang (Almarhum adalah tokoh Pemuda waktu itu, saya sering diskusi sama beliau bahkan sampai larut malam dan saya banyak dapat pencerahan dari almarhum, terima kasih, semoga menjadi amal ibadah hendaknya..Amiin), saya pernah sampaikan ke Jakarta dan minta kepada Pemerintah Pusat agar Pabrik Rokok terbesar di Jawa di Pindahkan ke Bengkulu, karena waktu itu bahan bakunya ada seperti Cengkeh masih banyak di Bengkulu Selatan, Tembakau bisa dikembangkan di Rejang Lebong (dulu termasuk, Lebong, Rejang Lebong dan Kepahyang), dan saya protes kepada menteri waktu itu, kenapa pabrik-pabrik besar harus di letakkan bejejr dari Merak sampai Jakarta, kenapa tidak di bagi kepada provinsi-provinsi, pemerintah bisa atur itu, jangan dikendalikan oleh pengusaha, dengan berbagai kelicikanya…dengan alasan sarana dan pra-sarana. Persoalan ini pernah saya sampaikan di Jakarta sekitar tahun 90-an, waktu saya diundang mengikuti pembahasan Program Pembangunan Jangka Panjang kedua (PJP II), di hotel Kartika Candara, hotel Berbintang lima waktu itu dan maaf saya baru pertama kali nginap di hotel mewah dengan tarip kira-kira Rp.250 ribu/permalam, pada waktu itu, saya baru diangkat PNS Gol. II/a dengan gaji kira-kira Rp.50 ribu/bulan, jadi kalau harus bayar sendiri, saya harus rela tidak bergaji selama lima bulan dan sekalian tidak makan dan merokok, itupun bukan satu malam saya di traktir Menpora Ir. Akbar Tanjung (terima kasih Bang Akbar), saya tidak sendirian kalau nggak salah saya bersama Bung Patrice Rio Capella (mantan Ketua Partai Nasdem dan Angota DPR-RI) dan Ashbahul Fajri, ya silahkan tanyakan sama beliau kalau pembaca tidak yakin dengan saya…tapi yakinlah itu benar-benar terjadi, saya dulunya mengaktifkan diri di kepemudaan era orde baru.
Problem itu, terus berlanjut sampai sekarang alasannya sekali-lagi persoalan politik ekonomi yang tidak merata, dulu ada istilah pembangunan menetes, artinya daerah dapat pemerataan pembangunan dengan tetesannya (paradigm pembangunan orde baru, istilah asingnya “tricle down efect), kalau menurut Musiar Danis pada waktu itu, bukan menetes tapi hanya merembes atau dapat uapnya saja (orasi ilmiah kanda Musiar Danis waktu Milad HMI dan KAHMI sekitar pertengahan atau akhir tahun 80 an, belaiu baru pulang dari Amerika, …maaf Bang Danis…kalau salah, maklum sudah lama). Oleh karena itu, agar Provinsi tidak hanya dapat tetesan dana pembanguna dari pusat harus diciptakan sumber mata airnya, walaupun kecil tapi kalau tidak ada terpaksa seperti sekarang terus-menerus harus menunggu tetesan dari Jakarta, kalau tetesannya tersumbat seperti pemangkasan DAU seperti sekarang ini, baru tahu rasa.
Banyak analisis mengatakan bahwa tidak mudah, mendirikan industry besar untuk mencari sumber dana, analisis ini pasti teori ekonomi jalan lurus, padahal sekali-kali bolehlah pakai teori ekonomi menikung, misalnya mengapa tidak dipakai teori baru yakni teori yang mengatakan bahwa “teori perencanaan pembangunan yang benar adalah mematahkan lingkaran setan antara keterbatasan modal dan keterbelakangan sumber daya manusia” artinya kalau menunggu harus punya modal kapan…, atau menungu orang pintar semua…?. Kata orang nekat, jika perlu tutup sajalah teori ekonomi tersebut, nyatanya tanpa teori ekonomi, kalau harga komoditi rakyat meningkat, masyarakat pasti sejahtera…wah ini rupanya teori ekonomi juga, salah saya…, tetapi pengalaman waktu krisi tahun 1997-1998, para petani banyak berdoa, semoga krisi ini, berlaku selamanya, karena bagi mereka tidak terjadi krisis, bahkan mengalami peningkatan daya beli yang luar biasa, bahkan di kampung saya tercatat serentak membeli mobil baru merk Carry sebanyak 57 buah, padahal KK nya sekitar 150 an. Ini benar terjadi seperti disampaikan oleh Kepala BI Perwakilan Bengkulu di atas.
Mungkin yang mendekati kebenaran, persoalan modal…ini juga masalah klasik, dari pemerintah daerah yang maunya ril-ril saja. Modal di daerah pasti banyak bahkan sangat banyak, tapi belum tergarap dengan baik, dana DAU pengelolaannya agak miris dan mohon maaf, peruntukannya hanya dihabiskan untuk kepentingan pragmatis dan sesaat, missal rame-rame anggaran daerah dugunakan untuk bikin gedung baru, mobil opersasional baru, kesejahteraan pegawai (pegawai itu sudah sejahtera, hanya saja tidak merata), dan membuat proyek mercusuar yang tidak jelas kajian ekonominya seperti bikin Mes, hotel, bikin tugu atau pintu gerbang, pindah lokasi kantor dan sebagainya.
Ada juga, yang mencari kambing hitam penyebab dipangkasnya DAU, katanya dampak dari rasionalisasi anggaran dari Gubernur, karena sudah hampir akhir tahun belum membelanjakan uang, atau ada juga yang mengatakan, karena daerah-daerah terlalu banyak Silpa-nya, mungkin saja benar tetapi bukan Bengkulu saja DAUnya di pangkas, banyak daerah juga mengalami itu, jadi ini memang kebijakan dari pemerintah pusat yang sengaja mengurangi DAU di setiap Daerah, nah ini sudah kajian nasional, dan dua tahun terakhir ini memang pemerintahan Jokowi-JK, banyak menjalankan teori ekonomi penghematan, dan mencari celah-celah sumber pendapatan termasuk Tax Amnesty dan menaikan Cukai rokok, karena tidak berani lagi minjam atau jual aset Negara yang potensial, atau jalan pintas menaikan harga BBM.
Seperti saya katakana tadi tidak perlu saling salahkan, apalagi bertujuan salaing menjatuhkan yang penting bulatkan tekad, bahwa semua stake holders harus mempunyai visi yang sama untuk membangun Bengkulu dengan kerja dan karya mandiri, mumpung masih ada kesempatan dari sekarang. Kalau memang Gubernur akan mamajukan Industri Kelautan, itu tepat karena Bengkulu punya potensi, jadi semboyan Bengkulu Maritim, harus segera diujudkan., siapa tahu nanti Bengkulu akan menjadi daerah pengekspor dan pengulahan ikan tuna terbesar di Asia dan pusat industrinya di Enggano. Walaahualam bissawab.
Ceruk kamr, 28 Agustus 2016.
Riel To Lee Kalu
msh mengandalkan dana pusat, itu artinya sesungguhnya belum siap
otonomi. Ambil positifnya: anggap bae ini test ujian, kalu dgn dipotong
193 M layanan publik dan pembangunan tetap berjalan normal bahkan ada
trend makin membaik, itu baru hebat. Tapi kalu terjadi sebaliknye, yak
udem.... artinyo tambah pidal!!!! He he he (Jgn peneng ige, negara/
daerah ne dide ka udem la kite saje)
Syaiful Anwar Ab betul se7 adinda riel
Ridwan Marigo aku si s7 bengkulu maju , rakyat bengkulu kaya raya , kalau harga2 hasil tani di sesuaikan dgn harga dolar kayak krisis 1997 .
Riel To Lee Bengkulu
ini sesungguhnya tidaklah miskin. potensinyo banyak, org cerdas jugo
banyak. Tinggal lagi cam mano pemerintah beserta stakeholders dpt scr
sinergis mengembangkannyo menjadi kekuatan nyata yg bisa mensejahterakan
masyarakat
Miftahul Jazim Pak Syaiful Anwar Ab....setuju yg manonyo pak.... setuju yg tambah pidal apo cakmano??
Emma Ellyani Sarbini Sepertinya
anggaran pangkas memangkas skrg ini sdh jadi trend, dimulai dari pusat
dan , diikuti daerah2 otonom, sy setuju dgn bpk, hrs nya kita di
bengkulu punya usaha sendiri d jgn mengharapkan sumbangan dr pusat,
contoh Batam, pabrik bnyk, hrsnya dic...See More
Mukhlis Sependapat
ambo buk ema....knp anggaran di pangkas mesti heboh.....seharusnya
cari solusi agar bisa tingkatkan investasi diberbagai bidang di era
pasar bebas saat ini.....kurangi ketergantungan pusat...gunakan fikiran
cerdas agr Bengkulu bisa lebih maju...
Bung Lubis Harpindo Menanggapi
sedikit guru ku,ada suara dari tani karet dan sawit sudah hampir 2 th
lebih harga nya cukup menyiksa bukan mensejahterakan ,pikir saja dengan
harga pokok sekrang yang amat mahal sedang kan harga karet sekitar
rp.4.500-5000,sedang kan dari pi...See More
Syaiful Anwar Ab saya
setuju kalo daerah ini memberi pelayanan yg baik.perizinan dimudahkan,
pungli dihilangkan, penegakan hukum ditingkatkn.para pelaku yg punya
otoritas hindari" kata"" kalu idak kini kebilo lagi, klak mungkin kito
la idak di siko lagi,pci la kini! kalo ini yg muncul maka karamlah
negeri ini.salam masih ada waktu utk memperbaiki. kalu ndak!
Babul Hairien ada
baiknya kampus bersama stakeholder harus ambil peran yg lebih besar
menterjemahkan bagaimana bengkulu lebih baik 5-10 tahun kedepan sebagai
bangunan bersama..bukan visi misi kepala daerah tapi VISI MISI BENGKULU.
Emma Ellyani Sarbini Kami
para Dosen hanya bisa mengamati dan memberi saran, itupun bisanya dlm
penelitian, tinggal niat baik dan gerakan dr pemerintah, baik eksekutif,
legislatif dan yudikatif ini juga hrs sinergi, susah teorinya kl tdk
diiringi dgn praktek pak
Syaiful Anwar Ab nah
abtara teori n praktek harus bersinergi.apa yg kita sarankan kalo para
praktisi mengangap ach itu teori, padahal teori itu muncul karena
praktek hehe.kita bilang teori menongkatkn multiplaie effec itu kalao
ada investasi.praktisi bilang honor dulu baru ada investasi kan tdk
ketemu hehe
Mukhlis Apbd
meningkat bukan berarti lebih baik tp cak mano apbd tu lebih efektif
dan efisien, wajar ajo di potong klau serapan nyo dak ado,pembangunan
jalan di tempat, ujung ujung silpa dn poya poya ngabisin sisa
anggaran...he he
Ridwan Marigo sedikit sentil kalau birokrasinya masih oreiantasinya lima tahun balik modal nido kah ngucup .alias nido ka medal .
Syaiful Anwar Ab yo camtu kak RM ridwan marigo hehe idak segalo rasonyo masih ado di sudut hatinyo utk mmbangun haha
Ridwan Marigo auu dinda syaiful anwar. Ab. ampi tulah hehehe ,apa lagi teduduk lah ndak ngulang , kita berdo'a rakyat makmur aamiin .
Emma Ellyani Sarbini Cukup ndiak cukup baliak modal kudai yg lain urusan kelo haaaaa
Ridwan Marigo pak imam jangan di amburkah bae simpulkan teni auu mangko ndiak melebar auu .
Riel To Lee Jgn
ada rasa pesimis & apatis terhadap teori, aturan, norma &
kaidah. Klo fenomena/ praktek terjadi belum sesuai dgn itu, berarti
masih banyak kesenjangan alias bermasalah. Nah sayangnyo pelibatan
akademisi/kampus msh sekedar formalitas & setengah hati
Komentar
Posting Komentar