ZAKAT, POTENSI EKONOMI BERDEMENSI POLITIK “Menghambat Kebangkitan Islam di Indonesia”
ZAKAT, POTENSI EKONOMI BERDEMENSI POLITIK
“Menghambat Kebangkitan
Islam di Indonesia”
Rakor
zakat nasional di Jakarta pada tanggal 10-12 Mei 2016 yang lalu di Jakarta
telah ditetapkan bahwa tahun 2016 adalah tahun kebangkitan zakat Indonesia, ini
sangat berasalan seperti dikatakan oleh Zainulbahar Noor, Pertumbuhan penghimpunan
zakat, infak, dan sedekah oleh lembaga-lembaga amil zakat resmi yang
dimiliki Pemerintah atau yang diakui oleh Pemerintah untuk periode 2002-2015
adalah lebih dari 23%, jauh melampaui rerata pertumbuhan ekonomi nasional
periode tersebut yang kurang dari 6%. Dan ini cenderung akan terus menaik
seiring dengan pertumbuhan ekonomi umat dan manjemen pengelolaan zakat yang
transparan dan akuntable.
Potensi
zakat Indonesia berdasarkan penelitian Baznas bekerjasama dengan IPB tahun 2010
mencapai Rp. 217 triliun dan diperkirakan pada tahun 2015 sudah melebihi Rp.
280 triliun. Ini uang semua dan banyak
sekali, akan tetapi nyatanya belum bisa dikumpulkan secara terorganisir mlalui
lembaga resmi yang telah dibentuk oleh Pemerintah seperti Baznas atau lembaga
yang diakui oleh pemerintah, data terakhir menujukan bahwa pada tahun 2015 baru
tercatat Rp. 4 triliun atau 1, 4% saja dikit sekali.
Regulasi
sudah cukup di buat oleh pemerintah bersama DPR dan ini tidak tanggung-tanggung
UU zakat telah ada bahkan telah disempurnakan, bahkan cukup jelas aturannya
sebagai payung hukum untuk digerakkan oleh pemerintah, ini menunjukan bahwa
pemerintah bersma DPR paham betul bahwa zakat dapat dijadikan sumber pendapatan
yang potensial khususnya untuk mengentaskan rakyat muslim yang masih terpuruk
di bumi gemah ripah loh jinawe ini, semoga. Walaupun sebenarnya disana sini
masih banyak kelemahan-kelemahan terutama berkaitan dengan perhitungan antara
kewajiban zakat dan pajak bagi umat Islam, dan zakat masih bersifat kesadaran
dan saya kira disinilah kelemahan UU ini, karena sanksi yang dapat dikenakan
hanya kepada pengelola zakat bukan kepada wajib zakat, seharusnya kalau sudah
bikin UU jangan tanggung-tanggung wajib zakat yang tidak bayar zakat juga harus
bisa dikenakan sanksi, ini bukan persoalan kesadaran tetapi menyangkut kepenetingan
bersama dan kemaslahatn umat Islam Indonesia yang masih banyak yang miskin dan
sampai tahun 2015 ini masih ada sekitar 30% rakyat Indonesia miskin, dan dapat
dipastikan yang mayoritas miskin itu adalah umat Islam.
UU
zakat baru muncul pasca reformasi, karena di era sebelumnya bangsa Indonesia,
masih terlena dengan sumber kekayaan alam yang melimpah ruah, sehingga
sumber-sumber di luar kekayaan alam terlupakan bahkan sektor pajakpun, belum
menjadi urutan pertama sebagai penyumbang APBN…dan pendanaan pembangunan
semuanya dikendalikan di Jakarta, jika tidak cukup dari SDA, bisa utang ke Luar
negeri dan pihak luar selalu menawarkan pinjaman baik dari IGGI, Word Bank, IMF
atau Negara-negara sahabat yang memang banyak yang kaya, tapi sayang semua
kekayaan alam Indonesia yang terkuras, hanya dinikmati oleh segelintir orang
baik dari swasta ataupun BUMN, celakanya uang yang dikelola oleh BUMN
digerogoti oleh oknum-oknum secara bersama-sama. Dan itu sudah habis semua,
walaupun masih ada sumber alam sudah dikuasai oleh asing, dengan berbagai macam
perjanjian, baik yang masuk akal atau diakali oleh pihak asing, dan sampai
sekarang belum bisa diatasi atau sama sekali memang tidak akan bisa diatasi. Di
era orde baru diakui oleh siapa saja walaupun dia bukan ahli ekonomi bahwa
pertumbuhan sangat tinggi, akan tetapi sayang pemerataan tidak ada diperparah
lagi seolah-olah KKN dilegalkan. Pada masa Orde Baru, apa yang bisa digadaikan;
digadaikan. Kalo bisa ngutang ya ngutang. Beda dengan konsep Soekarno, kalau
kita belum mampu mengolah SDA biarlah dulu di dalam perut bumi, kalau kita
sudah pintar baru digali, di orde baru, yang penting bisa makan enak dan hidup wah. Rakyat pun merasa
hidup berkecukupan pada masa Orba. Beras murah, padahal sebagian adalah beras
impor, minyak murah, padahal dikuras habis-habisan oleh perusahaan asing, Beberapa
gelintir orang mendapat rente ekonomi yang luar biasa dari berbagai jenis
monopoli impor komoditi bahan pokok, termasuk beras, terigu, kedelai dsb. Semua
serba tertutup dan tidak transparan. Jika ada orang mempertanyakan, diancam
tuduhan subversif. Hutan dijadikan sumber duit, dibagi menjadi kapling-kapling
HPH; jika masayarakat membuka hutan untuk kebun kopi dianggab merusak Lh,
pondoknya di bakar, jika petani sembunyi-sembunyi memetik kopi yang memang
miliknya yang sudah di jaga aparat dianggap pencuri, tanpa diadili, direndam,
ditendang, dipukul pakai popor senjata dan lain-lain, jika melawan secara
kelompok dicap teroris dan diburu seperti perang dengan Negara yang
menganeksasi, silakan di telusuri fakta peristiwa di Lampung, mulai dari kasus
Warman Cs sampai pada peristiwa Desa Talang Sari. Penyiksaan bagi rakyat yang
tidak berdaya menjadi tontonan yang biasa, sedangkan HPH dibagi-bagi ke
orang-orang tertentu secara tidak
transparan. Di era Orba saya pernah baca tulisan di majalah forum seperti tulisan
Didik J. Rachbini, tentang import terigu oleh bogasari, Negara benar-benar
dikadali oleh perusahaan tersebut, tapi anehnya tetap saja jalan, ini salah
satu orang yang berani menulis diwaktu itu, belum lagi tata niaga cengkeh,
bawang putih bahkan jeruk diatur tata niaganya, tapi orang diam saja, para
pejabat pura-pura nggak tahu yang penting dia dapat fee, aman dengan kedudukan
dan jabatannya.
Di era orde
baru potensi zakat, tidak pernah dijadikan sebagai salah satu alternative,
pembiayaan umat. Setelah tahun 1991, untuk menarik simpati masyarakat untuk
keterpilihan pada periode yang keenam kalinya, pemerintah pada masa itu akhirnya mau mengeluarkan
peraturan perundang-undangan meskipun hanya setingkat Surat Keputusan Bersama
No. 29 dan No. 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan BAZIS yang diterbitkan oleh
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri setelah melalui Musyawarah Nasional MUI
IV tahun 1990.
Tetapi
tampaknya, keberpihakan tersebut masih dirasa setengah hati. Hal ini terlihat
dari posisi BAZIS sebagai sebuah lembaga swadaya masyarakat dan bukan sebagai
organisasi pemerintah ataupun semi pemerintah. Fase formalisme tersebut
berlangsung dari tahun 1991 – 1998.
Memang
di era orde baru, pemerintah alergi dengan labal-label Islam, mungkin tarauma
sejarah panjang pergolakan politik di Indonesia, tokoh-tokoh Islam pada awal
kemerdekaan selalu mengedepankan Islam sebagai suatu kekuatan politik dan
seolah-olah kalau Negara tidak berdasarkan Islam, maka semua kepentingan-kepentingan Islam itu tidak bisa
diakomudasi padahal di Indonesia dari awal telah diketahui bahwa bangsa
Indonesia sangat majemuk dan pilihan yang tepat tentunya Pancasila bukan Islam
dan Islam ada dalam Pancasila, dan itu hanyalah keinginan tokoh-tokoh saja,
belum tentu mencerminkan seluruh pemeluk agam Islam. Rezim Orde Baru selalu menganggap
setiap aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat Islam yang tidak sesuai dengan
agenda yang dikehendaki oleh pemerintah sebagai bentuk dari fundamentalisme
Islam, dan kemudian menyebut mereka yang melontarkan aspirasi itu sebagai Islam
fundamantalis (http://nyemot.typepad.com).
Pengaruhnya
dalam sekali, bahkan menimbulkan kecurigaan yang berkelanjtan, ditambah dengan
pemahaman yang keliru oleh lingkaran kekuasaan orde baru, jika Islam
mendapatkan peran maka selalu dicurigai dan diberikan masukan kepada penentu
kebijakan bawa peran tersebut tidak mustahil akan mengembalikan keinginan
semula dari para pendiri bangsa yang gigih memperjuangan Negara Islam. Hampir
semua lembaga-lemabaga yang berlabel Islam seperti zakat, yang jelas identik
dengan ekonomi Islam tidak bisa dikembangkan.
Islam mulai
dilirik ole orde baru tidak bisa dipungkiri melalui jasa besar Habibie, seorang
jenius tetapi komitmen Ke Islamannya sangat tinggi, Selanjutnya, sejak awal
tahun 1990-an sampai jatuhnya Orde Baru, Soehrto mengambil kebijakan akomodatif
dan rekonsiliatif dengan kaum muslim. partai Golkar (Partai Pemerintah pada era
Orde) baru sudah di isi oleh orang-orang yang komitmen ke Islaman cukup Tinggi
seperti tokoh muda waktu Akbar tanjung, Mahdi Sinambela, Slamet Efendi Yusup
dan lain-lain. Sehingga waktu itu disebut, pemerintahan hijau, yang dulunya
hanya kuning keabu-abuan, semarak ke-Islaman tumbuh dimana-mana,
dikantor-kantor pemerintah sudah biasa diadakan kegiatan keagamaan melalui
lembaga khusu yang dinamakan Peringaatan hari-hari besar Islam (PHBI). Termasuk
zakatpun baru diatur oleh Pemeintah bersamaan dengan munculnya kesadaran para
pejabat tentang Ke-Islaman. Hal ini
sebenarnya tidak lepas dari tokoh sentralnya Pak. Harto yang dulunya Islam yang
dipengaruhi kejawen sudah mulai melaksanakan Islam yang sebenarnya. Namun dalam
tataran politik pengakomodasian terhadap aspirasi Islam itu tidak dilandasi
oleh niatan yang tulus (genuine) untuk mengembangkan Islam, bahkan ini
digunakan oleh Soeharto sebagai alternative, karena disinyalir militer tidak bulat lagi mendukungnya,
seperti adanya gerakan-gerakan para pensiunan militer yang tergabung dalam
kelompok petisi 50, dibawah koordinasi Ali Sadikin, HR. Dhrsono, dan beberapa
pensiunan jenderal.
Di era reformasi Pengelolaan zakat di
Indonesia memiliki dasar hukum UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;
Keputusan Menteri Agama RI No. 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan UU No. 38
Tahun 1999; dan Keputusan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No.
D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Kemudian UU zakat
diperbaharui dengan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Dengan UU
yang baru ini ada beberapa perubahan signifikan bagi pemerintah antara lain: 1.
Pemerintah diberi kewenangan penuh, jadi pemerintah lebih leluasa dalam
penghimpunan maupun pendistribusian dana zakat, 2. Kas anggaran pemerintah
menjadi bertambah akibat dari himpunan dana zakat, 3. Bargaining power yang
dimiliki pemerintah membuat pendistribusian dana zakat bisa lebih baik dan
tertata, 4. Meminimalisir penyimpangan yang terjadi akibat LAZ yang tak
berbadan hukum resmi, 5. Bisa lebih preventif lagi dalam pemungutan pajaknya.
Akan tetapi
dalam tataran empirisnya, masih juga terkesan setengah hati, walaupun sudah Nampak
kesungguhan dengan diperbaharuinya UU Zakat, mungkin alasannya yang berbeda. Bahkan
ada yang pesimis, pemerintahan di era reformasi sebenarnya sama saja, tidak akan bersungguh-sungguh untuk
mengembangakan zakat, karena pada tataran implementasinya dibiarkan tumbuh
sendiri tanpa peduli mau jalan atau tidak, bahkan akalau zakat bisa berkembang
dan menjadi kekuatan ekonomi umat Islam yang utama, jelas orang-orang yang anti
ekonomi Islam yang selama ini telah menikmati kelebihan akan kebakaran jenggot,
yang Islam merasa menyesal karena hartanya tidak bersih, yang non muslim juga
merasa takut karena, usahanya dari hasil merampok SDA yang seharusnya milik
orang Islam, pemerintah dan DPR sudah lepas tangan karena secara politis sudah
ada alasan bahwa mereka sudah berbuat, seandainya Presiden menginstruksikan
semua Lembaga Keuangan Pemerintah dan BUMN harus 80 persen dikeluarkan zakatnya
dan pajak porsinya 20 persen saja, wah saya pikir nggak akan sampai lima tahun
orang miskin di Indonesia tidak aka nada lagi.Tapi ini rasanya terlalu otopis.
Akh menghayal itu tidak mungkin ada niat terselubung dari segelintir orang yang
ingin menjadikan umat Islam di Indonesia ini selalu bergantung kepada kebijakan
pemerintah, agar umat Islam tidak terlalu kuat dalam bargaining posision di
Negara yang multi kultur dan multi agama dan Negara tidak akan bisa dikuasai
hanya segelintir kekuatan saja mustahil…ya mustahil dalam tataran teori,
praktiknya bisa saja terjadi.
Anggapan
semacam itu di samping tidak berdasar terlalu tendensius dan penuh dengan
muatan sirik, dan ini sebenarnya dipahami oleh elit negeri ini, tapi jalan
keluarnya tertutup tembok dan tidak ada satupun kekuatan yang dimiliki untuk
menerobosnya, padahal semua orang tahu bahwa Islam itu Rahmatan lil alamain.
Seharusnya jika umat Islam sejahtera, pastilah kaum-kaum minoritas akan
terbantu, bukan sebaliknya, umat Islam dibiarkan miskin agar dia selalu membawa
proposal minta dibantu oleh kelompok minoritas dan akan selalu mempunyai
ketrgantungan dengan kelompok tersebut, dan ini sudah Nampak betul dipelihara
oleh kekuatan-kekuatan khusus agar tetap terjaga, mulai dari ekonomi, Pers,
budaya dan sekarang politik kalau pemerintahan mulai dari era orde lama, orde
baru dan reformasi kelompok minoritas berjuang keras agar potensi umat Islam
tidak berkembang.
Mungkin tingal
TNI dan Polisi di era reformasi ini yang belum bisa dikuasai, oleh kekuatan
ekonomi kafitalis Indonesia dan yakinlah tidak akan bisa dikuasai secara
kelembagaan, mungkin kalau oknum bisa saja, kalau lembaga lain semuanya sudah
dikuasai oleh kelompok minoritas, Pemerintahan dikendalikan oleh kelompok
ekonomi yang beraliran kafitalis, Pemerintahan juga demikian karena
kebijakannya diarahkan untuk tidak mandiri, seperti selalu harus hidup dari
berhutang, DPRD juga tidak bisa diharapkan, sibuk dengan urusannya sendiri dan
partai politknya, bahkan partai-partai yang bersuara kepentingan Islam
dihancurkan dari dalam berupa tawaran koalisi dan janji bagi kue kekuasaan, bahkan
dengan terang-terangan dengan alasan legal standing, memecah belah kubu yang
memang sedang bertikai, bukan mencariak solusi untuk mendamaikan. Memang tidak
ada kekauatan sekarang ini yang bisa diandalkan untuk membangkitkan kejayaan
Islam di Indonesia ini, jika anda tidak percaya silahkan lakukan perbandingan
dengan Negara tetangga kita Malysia, semuanya berkaitan dengan Islam pasti akan
mendapat kemudahan dan fasilitas khusus dari Negara, padahal di Malaysia agama
Islamnya hanya sekita 60% bahkan kurang, Indonesia paling sedikit 80% tetapi
tidak ada keistemiwaan sedikitpun, bahkan jika perlu harus dihambat supaya
tidak bisa berkembang, sinyalmen itu ada baik yang transparan maupun yang
terselubung, seperti membiarkan koperasi tumbuh sendiri, karena pasti anggota
koperasi tersebut mayoritas muslim, bahkan secara terang-terangan ada statmen yang menyudutkan organisasi Islam
oleh oknum di lembaga yang saat ini
sangat kredibel dan dianggab sebagai salah satu yang bisa menyelamatkan bangsa
dari bahaya korupsi, dan rakyat banyak berharap dengan lembaga tersebut, oknum
tersebut menggunakan status keberadaannya dilembaga tersebut membangun opini
seolah-olah kumpulan intelektual muda Islam saja bisa sarang korupsi dan seolah-olah tidak ada
idealisme sedikitpun diajarkan di lembaga tersebut pada saat pengkaderan,
wah…benar-benar edan ini orang, ini sangat berbahaya dan mungkin punya agenda
tersendiri dari kelompok tertentu yang memang anti kebangkitan Islam, contoh lain sekolah-sekolah yang berlevel
Islam dianggap sekolah kelas dua, jelas fasilitasnya tidak akan sama dengan
sekolah umum walaupun sama-sama negeri, untuk itu sekolah-sekolah Islam berjuang
sendiri karena sudah ada kebebasan dan itu sudah nampak ada hasilnya, seperti
munculnya sekolah-sekolah Islam terpadu, pesantren modern dan beberapa
perguruan tinggi Islam lainnya seperti yang dikelola Muhammadiyah.
Selagi umat
Islam Indonesia masih miskin, dan pemerintah tidak memberikan keberpihakan
secara khusus kepada umat Islam
Indonesia, kebangkitan Islam yang di gadang-gadangkan susah untuk cepat
terujud, apalagi kalau memang tidak ada sama sekali keinginan dari Pemerintah
untuk membuat Islam Tumbuh sebagai pelopor ekonomi kesejahteran masyarakat Indonesia.
Umat Islam Indonesia sekarang ini sudah sadar betul, bahwa dia hidup dari
Negara yang majemuk, umat Islam Indonesia paham betul punya nilai-nilai
ke-Indonesiaan atau kenusantaraan, bahkan sudah diakui dunia bahwa Islam moderat Indonesia, bisa bergaul di tengah
peradaban yang berkembang dan ini sudah dibuktikan sendiri, betapa tolerannya
Islam Indonesia terhadap orang non
muslim, siapa saja tidak pernah terusik karena minoritas, tidak pernah
terhambat karir politiknya, bahkan dia bisa memimpin orang muslim jika memang
dia berkualitas, tapi ingat harus punya wawasan ke-Indonesiaan dan
kenusantaraan dan yang tidak boleh menjadi Imam Sholat saja bagi yang non
muslim. Tapi ingat toleransi dan moderatnya seorang muslim ada batas-batas
tertentu, dalam artian bahwa kemoderatan Islam jangan dipandang oleh non muslim
sebagai kelemahan dari orang islam untuk berijtihad, antara ijtihad dan moderat
dua porsi yang berbeda, walaupun sama menimplemntasikan Islam sebagai rahmatan
lil alamin.
Sangat
beruntung di dalam Islam ada zakat, dan zakat dalam kajian fikih kontemporer
seperti dikemukakan oleh Didin Hafiduddin, yakni setelah terbitnya buku Fiqh al-Zakat yang ditulis oleh
Yusuf Al-Qaradhawi. Buku tersebut berisikan penjelasan zakat secara
komprehensif ditulis tahun 1389 H/1969 M, diterbitkan oleh Muassasah
Ar-Risalah, Beirut dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Salman
Harun, Hasanuddin dan Didin Hafiduddin, diterbitkan pertama kali tahun 1988,
oleh PT. Pustaka Litera Antar Nusa bekerjasama dengan BAZIZ DKI.yang paling
menonjol dalam buku tersebut adalah tentang harta obyek zakat yang mencakup
semua harta maupun penghasilan/pendapatan yang dimiliki oleh setiap muslim yang
mencakup seluruh bidang pekerjaan yang halal yang apabila telah mencapai
nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Termasuk di dalamnya penghasilan yang
didapatkan melalui keahlian tertentu secara perorangan maupun bersama-sama,
atau yang sering disebut dengan zakat profesi (mihnah). Misalnya, dokter, ahli
hukum, arsitek, dosen/guru, penjahit, karyawan maupun lainnya (Profesi artis,
pen). Termasuk pula pada obyek zakat perusahaan yang dikelola oleh seorang
muslim atau bersama-sama. (https://aliboron.wordpress.com)
Oleh karena
itu jika Zakat dapat dijadikan sebagai alternative mebangkitkan ekonomi umat
dan untuk mengentaskan kaum miskin di Indonesia, seharusnya didukung, diberi
fasilitas dan tentunya pemegang kekuasaan harus menjadikan itu sebagi program
utama, tidak hanya sebuah cek kosong melalui regulasi, program pemerintah harus
nyata, di Malysia pemerintah menyediakan dana untuk melatih petugas zakat,
tidak diambil dari dana zakat tersebut, perguruan tinggi di Malysia mempunyai
lembaga khusus yang dibentuk pemerintah untuk mengkaji zakat secara ilmiah.
Apa
penyeban zakat belum bisa di kelola secara maksimal, banyak faktor dan itu sama
saja dengan menanyakan mengapa bangsa Indonesia ada yang miskin padahal hidup
di Negara yang super kaya, jawabannya pasti banyak faktor, bahkan bisa-bisa
saling membenarkan dan saling menyalahkan dan ujung-ujungnya saling fitnah,
akhirnya energy terkuras untuk menyelesaikan konfliks fitnah bukan untuk
mengatasi persoalan pokok tentang mensejahterakan orang yang miskin. Ada
beberapa solusi yang bisa ditawarkan untuk memaksimalkan zakat di Indonesia dan
ini juga masih dalam tahap teoritis, dan perlu dilaksanakan secara empiris,
tapi paling tidak inilah yang biasa kami kaji di Prodi Zakat dan Wakaf Fakultas
Syari’ah IAIN Bengkulu, antara lain:
1. Kesungguhan
pemerintah, untuk menjadikan zakat sebagai salah satu kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh warga Negara, sperti telah disebutkan di atas bahwa UU zakat
hanya menerapkan sanksi kepada bada atau lembaga pengelola zakat, belum bisa
diterapkan kepada wajib zakat, untuk itu UU kembali harus direvisi.
2. Harus
jelas hubungan antara kewajiban membayar zakat dan pajak, oleh karena itu
setiap wajib zakat juga diwajibkan juga memiliki Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ)
sama halnya dengan NPWP bagi wajib pajak, dan ini harus dipelopori oleh Pemerintah
dan Pejabat yang beragama Islam, mulai dari Presiden samapi pada aparat yang
terendah.
3. Pengelola
zakat harus akuntable dan professional, untuk itu setiap pengelolah wajib zakat
harus dilatih ketrampilannya dan ini harus dianggarkan oleh Negara, tidak boleh
mengambil dana zakat untuk mengadakan pelatihan.
4. Setiap
daerah harus membentuk Perda sebagai payung hukum agar memudahkan oprasional
pengelolaan zakat di daerah, dan sesuai karateristik perda yang bersifat
mengatur sesuai dengan potensi dan kekhususan daerah.
Beda dengan Pemerintah pusat di daerah justru tumbuh subur, keinginan Pemerintah
Daerah untuk memperdayaakan pengelolaan zakat, maklum ini potensi sumber dana
yang pasti, tinggal lagi pengelolaannya harus berhati-hati ini dana umat, dana
yang dikeluarka atas perintah agama, oleh karena itu, perda-perda yang
bermunculan harus bisa mesinergikan dengan tujuan pokok adanya kewajiban zakat
tersebut. Semangat daerah seperti cendawan tumbuh dimusim hujan, akan layu
sebelum mekar, jika tetap saja pusat tidak sungguh-sungguh ingin menjadikan
lembaga ekonomi Islam ini sebagai kekuatan bersama, dan membiarkan daerah
berdaya sendiri tanpa support yang maksimal, apalagi pada saat ini daerah masih
terjebak dengan problem politik elit daerah yang menghaburkan energy hanya
untuk sahwat kekuasaan.
Semoga Umat
Bangkit, dan bangsa Indonesia Sejahtera dengan adanya zakat, Insya Allah.
Kamsia Apresiasi
Ceruk Kamar, 4 Juni 2016.
Komentar
Posting Komentar