ZAKAT, POTENSI EKONOMI BERDEMENSI POLITIK “Menghambat Kebangkitan Islam di Indonesia”



ZAKAT, POTENSI EKONOMI BERDEMENSI POLITIK
 “Menghambat Kebangkitan Islam di Indonesia”

                Rakor zakat nasional di Jakarta pada tanggal 10-12 Mei 2016 yang lalu di Jakarta telah ditetapkan bahwa tahun 2016 adalah tahun kebangkitan zakat Indonesia, ini sangat berasalan seperti dikatakan oleh Zainulbahar Noor, Pertumbuhan penghimpunan zakat, infak, dan sedekah oleh lembaga-lembaga amil zakat resmi yang dimiliki Pemerintah atau yang diakui oleh Pemerintah untuk periode 2002-2015 adalah lebih dari 23%, jauh melampaui rerata pertumbuhan ekonomi nasional periode tersebut yang kurang dari 6%. Dan ini cenderung akan terus menaik seiring dengan pertumbuhan ekonomi umat dan manjemen pengelolaan zakat yang transparan dan akuntable.
                Potensi zakat Indonesia berdasarkan penelitian Baznas bekerjasama dengan IPB tahun 2010 mencapai Rp. 217 triliun dan diperkirakan pada tahun 2015 sudah melebihi Rp. 280 triliun.  Ini uang semua dan banyak sekali, akan tetapi nyatanya belum bisa dikumpulkan secara terorganisir mlalui lembaga resmi yang telah dibentuk oleh Pemerintah seperti Baznas atau lembaga yang diakui oleh pemerintah, data terakhir menujukan bahwa pada tahun 2015 baru tercatat Rp. 4 triliun atau 1, 4% saja dikit sekali.
                Regulasi sudah cukup di buat oleh pemerintah bersama DPR dan ini tidak tanggung-tanggung UU zakat telah ada bahkan telah disempurnakan, bahkan cukup jelas aturannya sebagai payung hukum untuk digerakkan oleh pemerintah, ini menunjukan bahwa pemerintah bersma DPR paham betul bahwa zakat dapat dijadikan sumber pendapatan yang potensial khususnya untuk mengentaskan rakyat muslim yang masih terpuruk di bumi gemah ripah loh jinawe ini, semoga. Walaupun sebenarnya disana sini masih banyak kelemahan-kelemahan terutama berkaitan dengan perhitungan antara kewajiban zakat dan pajak bagi umat Islam, dan zakat masih bersifat kesadaran dan saya kira disinilah kelemahan UU ini, karena sanksi yang dapat dikenakan hanya kepada pengelola zakat bukan kepada wajib zakat, seharusnya kalau sudah bikin UU jangan tanggung-tanggung wajib zakat yang tidak bayar zakat juga harus bisa dikenakan sanksi, ini bukan persoalan kesadaran tetapi menyangkut kepenetingan bersama dan kemaslahatn umat Islam Indonesia yang masih banyak yang miskin dan sampai tahun 2015 ini masih ada sekitar 30% rakyat Indonesia miskin, dan dapat dipastikan yang mayoritas miskin itu adalah umat Islam.
                UU zakat baru muncul pasca reformasi, karena di era sebelumnya bangsa Indonesia, masih terlena dengan sumber kekayaan alam yang melimpah ruah, sehingga sumber-sumber di luar kekayaan alam terlupakan bahkan sektor pajakpun, belum menjadi urutan pertama sebagai penyumbang APBN…dan pendanaan pembangunan semuanya dikendalikan di Jakarta, jika tidak cukup dari SDA, bisa utang ke Luar negeri dan pihak luar selalu menawarkan pinjaman baik dari IGGI, Word Bank, IMF atau Negara-negara sahabat yang memang banyak yang kaya, tapi sayang semua kekayaan alam Indonesia yang terkuras, hanya dinikmati oleh segelintir orang baik dari swasta ataupun BUMN, celakanya uang yang dikelola oleh BUMN digerogoti oleh oknum-oknum secara bersama-sama. Dan itu sudah habis semua, walaupun masih ada sumber alam sudah dikuasai oleh asing, dengan berbagai macam perjanjian, baik yang masuk akal atau diakali oleh pihak asing, dan sampai sekarang belum bisa diatasi atau sama sekali memang tidak akan bisa diatasi. Di era orde baru diakui oleh siapa saja walaupun dia bukan ahli ekonomi bahwa pertumbuhan sangat tinggi, akan tetapi sayang pemerataan tidak ada diperparah lagi seolah-olah KKN dilegalkan. Pada masa Orde Baru, apa yang bisa digadaikan; digadaikan. Kalo bisa ngutang ya ngutang. Beda dengan konsep Soekarno, kalau kita belum mampu mengolah SDA biarlah dulu di dalam perut bumi, kalau kita sudah pintar baru digali, di orde baru, yang penting bisa  makan enak dan hidup wah. Rakyat pun merasa hidup berkecukupan pada masa Orba. Beras murah, padahal sebagian adalah beras impor, minyak murah, padahal dikuras habis-habisan oleh perusahaan asing, Beberapa gelintir orang mendapat rente ekonomi yang luar biasa dari berbagai jenis monopoli impor komoditi bahan pokok, termasuk beras, terigu, kedelai dsb. Semua serba tertutup dan tidak transparan. Jika ada orang mempertanyakan, diancam tuduhan subversif. Hutan dijadikan sumber duit, dibagi menjadi kapling-kapling HPH; jika masayarakat membuka hutan untuk kebun kopi dianggab merusak Lh, pondoknya di bakar, jika petani sembunyi-sembunyi memetik kopi yang memang miliknya yang sudah di jaga aparat dianggap pencuri, tanpa diadili, direndam, ditendang, dipukul pakai popor senjata dan lain-lain, jika melawan secara kelompok dicap teroris dan diburu seperti perang dengan Negara yang menganeksasi, silakan di telusuri fakta peristiwa di Lampung, mulai dari kasus Warman Cs sampai pada peristiwa Desa Talang Sari. Penyiksaan bagi rakyat yang tidak berdaya menjadi tontonan yang biasa, sedangkan HPH dibagi-bagi ke orang-orang tertentu  secara tidak transparan. Di era Orba saya pernah baca tulisan di majalah forum seperti tulisan Didik J. Rachbini, tentang import terigu oleh bogasari, Negara benar-benar dikadali oleh perusahaan tersebut, tapi anehnya tetap saja jalan, ini salah satu orang yang berani menulis diwaktu itu, belum lagi tata niaga cengkeh, bawang putih bahkan jeruk diatur tata niaganya, tapi orang diam saja, para pejabat pura-pura nggak tahu yang penting dia dapat fee, aman dengan kedudukan dan jabatannya.  
Di era orde baru potensi zakat, tidak pernah dijadikan sebagai salah satu alternative, pembiayaan umat. Setelah tahun 1991, untuk menarik simpati masyarakat untuk keterpilihan pada periode yang keenam kalinya, pemerintah  pada masa itu akhirnya mau mengeluarkan peraturan perundang-undangan meskipun hanya setingkat Surat Keputusan Bersama No. 29 dan No. 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan BAZIS yang diterbitkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri setelah melalui Musyawarah Nasional MUI IV tahun 1990.
Tetapi tampaknya, keberpihakan tersebut masih dirasa setengah hati. Hal ini terlihat dari posisi BAZIS sebagai sebuah lembaga swadaya masyarakat dan bukan sebagai organisasi pemerintah ataupun semi pemerintah. Fase formalisme tersebut berlangsung dari tahun 1991 – 1998.
                Memang di era orde baru, pemerintah alergi dengan labal-label Islam, mungkin tarauma sejarah panjang pergolakan politik di Indonesia, tokoh-tokoh Islam pada awal kemerdekaan selalu mengedepankan Islam sebagai suatu kekuatan politik dan seolah-olah kalau Negara tidak berdasarkan Islam, maka semua  kepentingan-kepentingan Islam itu tidak bisa diakomudasi padahal di Indonesia dari awal telah diketahui bahwa bangsa Indonesia sangat majemuk dan pilihan yang tepat tentunya Pancasila bukan Islam dan Islam ada dalam Pancasila, dan itu hanyalah keinginan tokoh-tokoh saja, belum tentu mencerminkan seluruh pemeluk agam Islam. Rezim Orde Baru selalu menganggap setiap aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat Islam yang tidak sesuai dengan agenda yang dikehendaki oleh pemerintah sebagai bentuk dari fundamentalisme Islam, dan kemudian menyebut mereka yang melontarkan aspirasi itu sebagai Islam fundamantalis (http://nyemot.typepad.com).
Pengaruhnya dalam sekali, bahkan menimbulkan kecurigaan yang berkelanjtan, ditambah dengan pemahaman yang keliru oleh lingkaran kekuasaan orde baru, jika Islam mendapatkan peran maka selalu dicurigai dan diberikan masukan kepada penentu kebijakan bawa peran tersebut tidak mustahil akan mengembalikan keinginan semula dari para pendiri bangsa yang gigih memperjuangan Negara Islam. Hampir semua lembaga-lemabaga yang berlabel Islam seperti zakat, yang jelas identik dengan ekonomi Islam tidak bisa dikembangkan.
Islam mulai dilirik ole orde baru tidak bisa dipungkiri melalui jasa besar Habibie, seorang jenius tetapi komitmen Ke Islamannya sangat tinggi, Selanjutnya, sejak awal tahun 1990-an sampai jatuhnya Orde Baru, Soehrto mengambil kebijakan akomodatif dan rekonsiliatif dengan kaum muslim. partai Golkar (Partai Pemerintah pada era Orde) baru sudah di isi oleh orang-orang yang komitmen ke Islaman cukup Tinggi seperti tokoh muda waktu Akbar tanjung, Mahdi Sinambela, Slamet Efendi Yusup dan lain-lain. Sehingga waktu itu disebut, pemerintahan hijau, yang dulunya hanya kuning keabu-abuan, semarak ke-Islaman tumbuh dimana-mana, dikantor-kantor pemerintah sudah biasa diadakan kegiatan keagamaan melalui lembaga khusu yang dinamakan Peringaatan hari-hari besar Islam (PHBI). Termasuk zakatpun baru diatur oleh Pemeintah bersamaan dengan munculnya kesadaran para pejabat tentang Ke-Islaman.  Hal ini sebenarnya tidak lepas dari tokoh sentralnya Pak. Harto yang dulunya Islam yang dipengaruhi kejawen sudah mulai melaksanakan Islam yang sebenarnya. Namun dalam tataran politik pengakomodasian terhadap aspirasi Islam itu tidak dilandasi oleh niatan yang tulus (genuine) untuk mengembangkan Islam, bahkan ini digunakan oleh Soeharto sebagai alternative, karena disinyalir  militer tidak bulat lagi mendukungnya, seperti adanya gerakan-gerakan para pensiunan militer yang tergabung dalam kelompok petisi 50, dibawah koordinasi Ali Sadikin, HR. Dhrsono, dan beberapa pensiunan jenderal.
                  Di era reformasi Pengelolaan zakat di Indonesia memiliki dasar hukum UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat; Keputusan Menteri Agama RI No. 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999; dan Keputusan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Kemudian UU zakat diperbaharui dengan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Dengan UU yang baru ini ada beberapa perubahan signifikan bagi pemerintah antara lain: 1. Pemerintah diberi kewenangan penuh, jadi pemerintah lebih leluasa dalam penghimpunan maupun pendistribusian dana zakat, 2. Kas anggaran pemerintah menjadi bertambah akibat dari himpunan dana zakat, 3. Bargaining power yang dimiliki pemerintah membuat pendistribusian dana zakat bisa lebih baik dan tertata, 4. Meminimalisir penyimpangan yang terjadi akibat LAZ yang tak berbadan hukum resmi, 5. Bisa lebih preventif lagi dalam pemungutan pajaknya.
Akan tetapi dalam tataran empirisnya, masih juga terkesan setengah hati, walaupun sudah Nampak kesungguhan dengan diperbaharuinya UU Zakat, mungkin alasannya yang berbeda. Bahkan ada yang pesimis, pemerintahan di era reformasi sebenarnya sama saja,  tidak akan bersungguh-sungguh untuk mengembangakan zakat, karena pada tataran implementasinya dibiarkan tumbuh sendiri tanpa peduli mau jalan atau tidak, bahkan akalau zakat bisa berkembang dan menjadi kekuatan ekonomi umat Islam yang utama, jelas orang-orang yang anti ekonomi Islam yang selama ini telah menikmati kelebihan akan kebakaran jenggot, yang Islam merasa menyesal karena hartanya tidak bersih, yang non muslim juga merasa takut karena, usahanya dari hasil merampok SDA yang seharusnya milik orang Islam, pemerintah dan DPR sudah lepas tangan karena secara politis sudah ada alasan bahwa mereka sudah berbuat, seandainya Presiden menginstruksikan semua Lembaga Keuangan Pemerintah dan BUMN harus 80 persen dikeluarkan zakatnya dan pajak porsinya 20 persen saja, wah saya pikir nggak akan sampai lima tahun orang miskin di Indonesia tidak aka nada lagi.Tapi ini rasanya terlalu otopis. Akh menghayal itu tidak mungkin ada niat terselubung dari segelintir orang yang ingin menjadikan umat Islam di Indonesia ini selalu bergantung kepada kebijakan pemerintah, agar umat Islam tidak terlalu kuat dalam bargaining posision di Negara yang multi kultur dan multi agama dan Negara tidak akan bisa dikuasai hanya segelintir kekuatan saja mustahil…ya mustahil dalam tataran teori, praktiknya bisa saja terjadi.
Anggapan semacam itu di samping tidak berdasar terlalu tendensius dan penuh dengan muatan sirik, dan ini sebenarnya dipahami oleh elit negeri ini, tapi jalan keluarnya tertutup tembok dan tidak ada satupun kekuatan yang dimiliki untuk menerobosnya, padahal semua orang tahu bahwa Islam itu Rahmatan lil alamain. Seharusnya jika umat Islam sejahtera, pastilah kaum-kaum minoritas akan terbantu, bukan sebaliknya, umat Islam dibiarkan miskin agar dia selalu membawa proposal minta dibantu oleh kelompok minoritas dan akan selalu mempunyai ketrgantungan dengan kelompok tersebut, dan ini sudah Nampak betul dipelihara oleh kekuatan-kekuatan khusus agar tetap terjaga, mulai dari ekonomi, Pers, budaya dan sekarang politik kalau pemerintahan mulai dari era orde lama, orde baru dan reformasi kelompok minoritas berjuang keras agar potensi umat Islam tidak berkembang.
Mungkin tingal TNI dan Polisi di era reformasi ini yang belum bisa dikuasai, oleh kekuatan ekonomi kafitalis Indonesia dan yakinlah tidak akan bisa dikuasai secara kelembagaan, mungkin kalau oknum bisa saja, kalau lembaga lain semuanya sudah dikuasai oleh kelompok minoritas, Pemerintahan dikendalikan oleh kelompok ekonomi yang beraliran kafitalis, Pemerintahan juga demikian karena kebijakannya diarahkan untuk tidak mandiri, seperti selalu harus hidup dari berhutang, DPRD juga tidak bisa diharapkan, sibuk dengan urusannya sendiri dan partai politknya, bahkan partai-partai yang bersuara kepentingan Islam dihancurkan dari dalam berupa tawaran koalisi dan janji bagi kue kekuasaan, bahkan dengan terang-terangan dengan alasan legal standing, memecah belah kubu yang memang sedang bertikai, bukan mencariak solusi untuk mendamaikan. Memang tidak ada kekauatan sekarang ini yang bisa diandalkan untuk membangkitkan kejayaan Islam di Indonesia ini, jika anda tidak percaya silahkan lakukan perbandingan dengan Negara tetangga kita Malysia, semuanya berkaitan dengan Islam pasti akan mendapat kemudahan dan fasilitas khusus dari Negara, padahal di Malaysia agama Islamnya hanya sekita 60% bahkan kurang, Indonesia paling sedikit 80% tetapi tidak ada keistemiwaan sedikitpun, bahkan jika perlu harus dihambat supaya tidak bisa berkembang, sinyalmen itu ada baik yang transparan maupun yang terselubung, seperti membiarkan koperasi tumbuh sendiri, karena pasti anggota koperasi tersebut mayoritas muslim, bahkan secara terang-terangan  ada statmen yang menyudutkan organisasi Islam oleh oknum di lembaga  yang saat ini sangat kredibel dan dianggab sebagai salah satu yang bisa menyelamatkan bangsa dari bahaya korupsi, dan rakyat banyak berharap dengan lembaga tersebut, oknum tersebut menggunakan status keberadaannya dilembaga tersebut membangun opini seolah-olah kumpulan intelektual muda Islam saja bisa  sarang korupsi dan seolah-olah tidak ada idealisme sedikitpun diajarkan di lembaga tersebut pada saat pengkaderan, wah…benar-benar edan ini orang, ini sangat berbahaya dan mungkin punya agenda tersendiri dari kelompok tertentu yang memang anti kebangkitan Islam,  contoh lain sekolah-sekolah yang berlevel Islam dianggap sekolah kelas dua, jelas fasilitasnya tidak akan sama dengan sekolah umum walaupun sama-sama negeri, untuk itu sekolah-sekolah Islam berjuang sendiri karena sudah ada kebebasan dan itu sudah nampak ada hasilnya, seperti munculnya sekolah-sekolah Islam terpadu, pesantren modern dan beberapa perguruan tinggi Islam lainnya seperti yang dikelola Muhammadiyah.
Selagi umat Islam Indonesia masih miskin, dan pemerintah tidak memberikan keberpihakan secara khusus kepada umat Islam  Indonesia, kebangkitan Islam yang di gadang-gadangkan susah untuk cepat terujud, apalagi kalau memang tidak ada sama sekali keinginan dari Pemerintah untuk membuat Islam Tumbuh sebagai pelopor ekonomi kesejahteran masyarakat Indonesia. Umat Islam Indonesia sekarang ini sudah sadar betul, bahwa dia hidup dari Negara yang majemuk, umat Islam Indonesia paham betul punya nilai-nilai ke-Indonesiaan atau kenusantaraan, bahkan sudah diakui dunia bahwa Islam  moderat Indonesia, bisa bergaul di tengah peradaban yang berkembang dan ini sudah dibuktikan sendiri, betapa tolerannya Islam Indonesia terhadap orang  non muslim, siapa saja tidak pernah terusik karena minoritas, tidak pernah terhambat karir politiknya, bahkan dia bisa memimpin orang muslim jika memang dia berkualitas, tapi ingat harus punya wawasan ke-Indonesiaan dan kenusantaraan dan yang tidak boleh menjadi Imam Sholat saja bagi yang non muslim. Tapi ingat toleransi dan moderatnya seorang muslim ada batas-batas tertentu, dalam artian bahwa kemoderatan Islam jangan dipandang oleh non muslim sebagai kelemahan dari orang islam untuk berijtihad, antara ijtihad dan moderat dua porsi yang berbeda, walaupun sama menimplemntasikan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Sangat beruntung di dalam Islam ada zakat, dan zakat dalam kajian fikih kontemporer seperti dikemukakan oleh Didin Hafiduddin, yakni setelah terbitnya buku Fiqh al-Zakat yang ditulis oleh Yusuf Al-Qaradhawi. Buku tersebut berisikan penjelasan zakat secara komprehensif ditulis tahun 1389 H/1969 M, diterbitkan oleh Muassasah Ar-Risalah, Beirut dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Salman Harun, Hasanuddin dan Didin Hafiduddin, diterbitkan pertama kali tahun 1988, oleh PT. Pustaka Litera Antar Nusa bekerjasama dengan BAZIZ DKI.yang paling menonjol dalam buku tersebut adalah tentang harta obyek zakat yang mencakup semua harta maupun penghasilan/pendapatan yang dimiliki oleh setiap muslim yang mencakup seluruh bidang pekerjaan yang halal yang apabila telah mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Termasuk di dalamnya penghasilan yang didapatkan melalui keahlian tertentu secara perorangan maupun bersama-sama, atau yang sering disebut dengan zakat profesi (mihnah). Misalnya, dokter, ahli hukum, arsitek, dosen/guru, penjahit, karyawan maupun lainnya (Profesi artis, pen). Termasuk pula pada obyek zakat perusahaan yang dikelola oleh seorang muslim atau bersama-sama. (https://aliboron.wordpress.com)
Oleh karena itu jika Zakat dapat dijadikan sebagai alternative mebangkitkan ekonomi umat dan untuk mengentaskan kaum miskin di Indonesia, seharusnya didukung, diberi fasilitas dan tentunya pemegang kekuasaan harus menjadikan itu sebagi program utama, tidak hanya sebuah cek kosong melalui regulasi, program pemerintah harus nyata, di Malysia pemerintah menyediakan dana untuk melatih petugas zakat, tidak diambil dari dana zakat tersebut, perguruan tinggi di Malysia mempunyai lembaga khusus yang dibentuk pemerintah untuk mengkaji zakat secara ilmiah.
                Apa penyeban zakat belum bisa di kelola secara maksimal, banyak faktor dan itu sama saja dengan menanyakan mengapa bangsa Indonesia ada yang miskin padahal hidup di Negara yang super kaya, jawabannya pasti banyak faktor, bahkan bisa-bisa saling membenarkan dan saling menyalahkan dan ujung-ujungnya saling fitnah, akhirnya energy terkuras untuk menyelesaikan konfliks fitnah bukan untuk mengatasi persoalan pokok tentang mensejahterakan orang yang miskin. Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan untuk memaksimalkan zakat di Indonesia dan ini juga masih dalam tahap teoritis, dan perlu dilaksanakan secara empiris, tapi paling tidak inilah yang biasa kami kaji di Prodi Zakat dan Wakaf Fakultas Syari’ah IAIN Bengkulu, antara lain:
1.       Kesungguhan pemerintah, untuk menjadikan zakat sebagai salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh warga Negara, sperti telah disebutkan di atas bahwa UU zakat hanya menerapkan sanksi kepada bada atau lembaga pengelola zakat, belum bisa diterapkan kepada wajib zakat, untuk itu UU kembali harus direvisi.
2.       Harus jelas hubungan antara kewajiban membayar zakat dan pajak, oleh karena itu setiap wajib zakat juga diwajibkan juga memiliki Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ) sama halnya dengan NPWP bagi wajib pajak, dan ini harus dipelopori oleh Pemerintah dan Pejabat yang beragama Islam, mulai dari Presiden samapi pada aparat yang terendah.
3.       Pengelola zakat harus akuntable dan professional, untuk itu setiap pengelolah wajib zakat harus dilatih ketrampilannya dan ini harus dianggarkan oleh Negara, tidak boleh mengambil dana zakat untuk mengadakan pelatihan.
4.       Setiap daerah harus membentuk Perda sebagai payung hukum agar memudahkan oprasional pengelolaan zakat di daerah, dan sesuai karateristik perda yang bersifat mengatur sesuai dengan potensi dan kekhususan daerah.

Beda dengan Pemerintah pusat di daerah justru tumbuh subur, keinginan Pemerintah Daerah untuk memperdayaakan pengelolaan zakat, maklum ini potensi sumber dana yang pasti, tinggal lagi pengelolaannya harus berhati-hati ini dana umat, dana yang dikeluarka atas perintah agama, oleh karena itu, perda-perda yang bermunculan harus bisa mesinergikan dengan tujuan pokok adanya kewajiban zakat tersebut. Semangat daerah seperti cendawan tumbuh dimusim hujan, akan layu sebelum mekar, jika tetap saja pusat tidak sungguh-sungguh ingin menjadikan lembaga ekonomi Islam ini sebagai kekuatan bersama, dan membiarkan daerah berdaya sendiri tanpa support yang maksimal, apalagi pada saat ini daerah masih terjebak dengan problem politik elit daerah yang menghaburkan energy hanya untuk sahwat kekuasaan.

Semoga Umat Bangkit, dan bangsa Indonesia Sejahtera dengan adanya zakat, Insya Allah.
               
Kamsia  Apresiasi
Ceruk Kamar, 4  Juni 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU