Renungan malam Ini: “REFORMASI HUKUM MENIKUNG”

Renungan malam Ini:
“REFORMASI HUKUM MENIKUNG”
Aneh kedengarannya reformasi hukum “menikung” seolah-olah diibaratkan pembalap Motor GF atau formula one, melakukan gaya ketika memotong lawannya ketika di arena balapan dengan menikungkan kenderaan balapnya untuk memndahului lawan…dan mungkin juga ibarat ini kurang tepat, tetapi jangan disalahkan dulu mungkin ada benarnya jika kita analisis seperti apa jika hal ini dilakkakn untuk merubah tatanan hukum yang sudah mapan seperti di Indonesia sekarang ini, namun disadari banyak kekurangan dan bahkan membuat kecewa para pencari keadailan. Istilah ini diungkapkan oleh Prof. Dr. Herlambang, SH, M. Hum. Salah satu fakar hukum Pidana Fak. Hukum UNIB di acara FGD IAIN Bengkulu hari ini tanggal 20 Juni 2016.
Sebuah istilah sah-sah saja apalagi istilah itu disampaikan oleh seorang yang mempunyai legitimasi keilmuan dengan gelar professor dan itu menurut saya rasional dan dapat diterima, apalagi kalau kita memakai teori Friedmen dalam penegakan hukum di Indonesia yang didasarkan pada tiga komponen pokok yakni substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Persoalannya karena ketiga komponen tersebut tidak dilaksanakan dengan sebaik-baknya ketika Indonesia berkeinginan mengadakan reformasi khususnya di bidang hukum. Subsatnsi hukum kita bermasalah, karena produk hukum yang dibut tidak dilandasi atau menyimpang dari asas utama nilai-nilai pancasila, hukum Indonesia yang dibuat banyak menyimpang dari rul pancasila, misalnya asas Ketuhanan Yang maha Esa, asas keadilan yang berkeadilan dan bermartabat, bahkan sebagai juga ada yang telah lepas dari asas musyawarah. Asas musyawarah jelas sudah ditinggalkan dengan dalih demokrasi dan ini diterapkan pada saat penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada. Begitu juga dengan struktur hukum, sekarang ini menurut Professor Herlambang, terlalau banyak lembaga yang menangani bidang penegakan hukum selain tidak efektif juga membebani keuangan Negara, bahkan struktur itu digadang-gadang bisa saling mengawasi justru ada yang berkomplot, istilahnya mungkin “mapia”…dan ini memang pasti banyak yang tidak setuju dan pastilah punya argument khusus untuk pembenarannya, tidak mungkinlah lembaga-lembaga yang sudah ada dan terlanjur dibentuk begitu saja dihapuskan resikonya terlalu mahal. Persoalan budaya hukum juga tidak tuntas direformasi ada standar ganda yang diterapkan dan ini jelas tidak mendidik masyarakat untuk membentuk rakyat agar sadar hukum, alasannya sederhana rakyat jadi bingung apakah budaya hukum merujuk kepada nilai-nilai moral atau pada budaya kepastian hukum dengan memaksa masyarakat untuk mematuhi hukum yang justru masih asing dan itu bukan budaya mereka, dan mereka dianggap tidak berbudaya dalam persepsi formalnya.
Lalu apa yang dimaksudkan reformasi hukum menikung…? Seperti dimisalkan dengan pembalap di atas, jika ingin mendahului pembalap lain yang kita misalkan dengan kondisi hukum sekarang, tidak mungkin akan di tabrak dari belakang atau diloncati, karena pembalap bukan penerbang dia tetap harus berada di landasannya, ya harus dilewati dengan cara menikung tadi, biarlah dia jalan tapi kita ambil jalan lain agar kemenangan tidak merusak tatanan yang sudah ada atau mengganggu substansi dan struktur yang telah ada.
Gunakan cara lain yang lebih elegan dan ini sangat sesuai dengan cultur bangsa Indonesia, yakni dengan memaksimalkan kearifan lokal yang masih berlaku dan terpelihara di tengah masyarakat Indonesia. Persolannya bisakaha ini dilaksanakan, bisa jika masyarakat memang menghendaki, siapa yang bisa membendung keinginan rakyat “suara rakyat adalah suara tuhan”. Contoh jika ada peristiwa pidana ditengah masyarakat tidak semuanya harus dilakukan melalui prosedur hukum formal, bisa saja dilakukan dengan penyelesaian non formal dengan lembaga kearifan lokal sebagai rumah besar hukumnya, dan biasanya kearifan lokal tersebut selalu disertai dengan unsur keyakinan yang telah meresap dalam kehidupan masyarakat secara abadi.
Dengan kearifan lokal, mungkin kita tidak akan dipusingkan dengan kondisi pembinaan atau pemulihan kembali masyarakat yang sudah terlanjur berbuat salah, dan penjara sampai saat ini tidak memberikan efek jera sebagaimana diharapkan. Bahkan kenyataannya semakin banyak orang dipenjara semakin marak kejahatan terjadi dipenjarapun bisa saja terjadi tempat suburnya pidana baru, bahkan penjara seolah-olah rumah aman bagi penjahat untuk merintis dan melaksanakan rencana-rencana jahat yang lebih terorganisis, contohnya pada kasus narkoba.
Ini sebuah ide, sebuah renungan yang jelas bukan dari refleksi dari kekecewaan apalagi apatis terhadap penegakan hukum sekarang, yang jelas ini sebuah rencana bukanlah tujuan dan rencana hanyalah proses, tujuannya adalah penegakan hukum itu sendiri, dimana ketiga komponen hukum dapat diadopsi dan bekerja sesuai dengan tufoksinya. Dan tiga unsur dalam penerapan hukum merasa puas dengan hasilnya….Semoga
Kamsia Apresiasi
Ceruk kamr, 21 Juni 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU