Renungan Malam ini “ISLAM DAN SIMBOL-SIMBOL”

Renungan Malam ini
“ISLAM DAN SIMBOL-SIMBOL”
Kultum Tarawih mala mini (jumat, 10 Juni 2016), oleh Ustadz Zul Efendi, M. Pd. I, temanya cukup menggugah dan mengingatkan kita semua bahwa Islam itu penuh dengan simbol-simbol yang pada hakekatnya adalah sebuah identitas individu maupun komunitas, tujuannya jelas untuk lebih mendekatkan diri kepada sang khalik. Identitas bisa diperlihatkan melalui busana, sperti pakai sorban, jubah dan kaian sarung, atau peci baju koko, dan bagi wanita tentunya dengan jilbab dan lain-lain. Bahkan identitas atau symbol tadi bisa juga melekat pada fisik seseorang seperti ada tanda hitam di kening bisa dua titik atau tiga titik dan itu juga melambangkan mendekatkan diri kepada sang Pencipta Allah. SWT, menandakan orang tersebut selalu sujud kepada-Nya. Simbolik dalam Islam memang ada dalinya dalam Al-Quran: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil” (QS. Al-Fath: 29). Ketika menafsirkan ayat ini, ada sebagian ulama seperti Imam Malik dan juga Sa’id bin Jubair, yang mengatakan bahwa bekas sujud itu adalah warna kehitaman yang nampak di dunia ini. Namun agak berbeda dalam hal ini adalah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu serta Al-Hasan dan juga Az-Zuhri. Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bekas itu adalah warna putih bersinar yang nanti memancar di hari kiamat, bagi siapa yang saat di dunia ini banyak melakukan shalat.
Demikian dengan sabda Rasulullah SAW berikut ini: Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Ketika Allah SWT selesai menetapkan hukum di tengah hamba-Nya, dan ingin mengeluarkan dengan rahmat-Nya orang-orang yang ada di neraka, Dia memerintahkan para malaikat untuk mengeluarkan orang yang tidak menyekutukan Allah. Dan di antara orang yang akan dirahmati Allah itu adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah. Maka diketahui mereka ada di neraka. Dan mereka dikenali dengan adanya bekas sujud. Sebab api neraka itu membakar anak Adam, kecuali bekas sujudnya. Sebab Allah mengharamkan kepada neraka untuk membakar bekas sujud. (HR Bukhari dan Muslim)
Bahkan bagi orang yang sudah melaksanakan rukun Iman yang kelima, namanya ditambah dengan identitas Haji bagi laki-laki dan haja bagi wanita. Dan ini selalu melakat pada namanya di depan, ini sebenarnya tidak ada dalilnya bahwa orang yang sudah pergi haji bahwa namanya harus dilambangkan dengan hurup Besa H atau Hi untuk lali-laki dan Hj untuk wanita yang sudah menunaikan Ibadah haji, (bukan Umrah, kalau umrah walaupun sudah berkali-kali tidak sanggup pakai identitas itu).
Tapi kita tidak pernah ada nama Nabi Kita yang disebutkan Haji Muhammad, SAW, jika ada kata Haji kemudian diikuti nama Muhammad, pastilah yang dimaksud bukanlah Nabi Muhammad SAW, nabi terakhir penutup dari semua nabi-nabi Allah, atau Haji Abu Bakar Sidiq, Haji Umar Ibn Khatab, Haji Usman Ibn Affan atau Haji Ali Ibn Abi Thalib, pastilah yang dimaksud bukalan Khalifaturrasidin (sahabat nabi yang utama), demikian juga dengan ulama zaman dulu seperti Imam Syafe’I, Maliki, Hambali dan lain-lain.
Lalu kenapa orang pakai gelar haji atau haja setelah menunaikan ibadah haji…? Jawabnya tentu itu hanya simbol, bahwa seseorang telah melaksanakan rukun Islam yang kelima, dulu pada tahun 70-an samapai tahun 80-an orang yang pakai peci haji dapat dipastikan bahwa orang tersebut telah menunaikan ibadah haji, yang belum haji, tidak sanggup pakai peci haji, tapi sekarang oang sudah biasa pakai peci haji, bahkan seoarang penjahatpun pada saat di sidang di pengadilan atas kejahatannya, bagi yang beragama Islam sudah biasa juga dipakaikan peci haji dilengkapi baju koko, jadi peci haji dan baju koko tidak bisa lagi mewakili symbol bahwa ia sudah pergi haji, lagi pula peci haji mudah didapat dan harganyapun terjangkau. Bahkan banyak kita lihat orang-orang yang pakai sorban lengkap dengan baju jubahnya pergi rombongan sampai sepuluh atau lebih belum tentu ia sudah melaksanakan ibadah haji, mungkin hanya satu-dua saja diantar rombongan tersebut. Nah kalu begitu simbol hurup “H” di depan nama seseorang sampai sekarang masih menjadi symbol yang diakui dan mempunyai makna yang sebenarnya. Jika nama seseorang tersebut misalnya Herman Sunarya, jika mau disingkat pastilah dia tidak sanggup kalau ditulis H. Sunarya paling-paling namanya Herman S. demikian juga dengan nama Hadi Purnomo, kalau belum haji pasti disingkat dengan Hadi P. tidak dengan H. Purnomo.
Ada yang menarik di desa saja ada seorang ulama terkenal punya pesanteren, tidak mau di panggil Kiyayi haji yakni Almukarram KH. Dahri, padahal secara tradisi dan keilmuan dia sangat pantas untuk menyandang gelar tersebut, dia mau disebut atau di tulis Haji Dahri saja, karena menurut beliau yang berhak menyandang gelar tersebut adalah KH. Abdul Djabbar, guru beliau, bahkan selagi Almukarram KH. Abdul Djabbar masih hidup H. Dahri tidak mau menjadi Imam Sholat di Mesjid bahkan khotbahpun beliau tidak mau, kecuali kalau sholat di pesantren beliau baru H. Dahri mau menjadi Imam Sholat dan memberikan tausiah, saya nggak tahu alasannya tapi yang jelas ketika KH. Abdul Jabbar meninggal barulah H. Dahri mau menjadi Imam Sholat Jum’at dan mengisi tausia-tausia di luar pesantrennya, dan menurut para muridnya dan masyarakat pada umumnya sangat wajar kalau H. Dahri dipanggil KH. Dahri, tapi karena sudah terbiasa masyarakat memanggilnya dengan H. Dahri sampai beliau meninggal tetap di panggil seperti itu, bahkan sesuai dengan kebiasaan masyarakat beliau dipanggil dengan almukaram “Haji Darit” bukan Haji Dahri (nama formalnya).
Saya pernah terbaca dalam, sebuah artikel ini sudah lama sekali sekali saya lupa siapa yang menulisnya dan di majalah apa oleh karena itu jika tidak sama atau ada yang ditambah atau dikurang saya mohon maaf kepada penulis, yang jelas tulisan tersebut masih ada di memori otak kanan saya. Dikisahkan di sebuah desa, ada seseorang warga, tergolong baru tinggal di desa tersebut, orang baru ini dipanggil dengan “Kiyayi Slamet Gundul” oleh warga, di rajin sholat berjamaah di mesjid, dia belum haji akan tetapi karena kebiasaan di desa itu apabila orang sholat kemasjid biasanya pakai peci hitam dan yang sudah haji biasa pakai sorban lengkap dengan jubah kebesarannya, beda dengan pak Slamet ini setiap ke mesjid terutama lima waktu termasuk juga sholat jumat dan kegiatan keagamaan lainya di mesjid nggak pernah memakai Peci apalagi pakai peci haji, karena ia memang belum haji, itulah maka ia digelari Kiyayi Slamet Gundul, maklum di desa itu ada juga yang bernama Slamet, mungkin untuk mebedakan antara Bapak Slamet warga asli desa dengan Slamat yang baru pindah dimaksud.
Pada suatu hari pengurus mesjid iseng, menyuruh Kiayi Slamet Gundul (Pak Salamet yang baru), disuruh menjadi Imam Sholat Maghgrib, ternyata hari itu Imam yang biasa memimpin sholat berhalangan hadir, sebagian jemaah tidak mau diimami oleh pak Slamet, dan memilih sholat sendiri di belakang, Pak Slamet hari itu juga tidak pakai Peci awalnya tidak mau tetapi pengurus Mesjid entah tahu atau hanya sekedar menguji saja terus memaksa pak Slamet untuk menjadi Imam, jadilah Sholat Maghrib tersebut Pak Slamet menjadi Imam, ternyata bacaan ayat Al-Quran pak Slamet Gundul luar biasa bagusnya, tumak-ninanya pas, dan suaranya khas tapi syahdu, mihraj hurup dan tajwid rasanya tidak ada yang bisa disalahkan, sama halnya dengan Imam Mesjid yang biasa menjadi Imam dan mungkin lebih bagus kalau dari segi lagunya, orang-orang yang tadinya sholat sendiri di belakang merasa menyesal tidak menjadi makmum ketika pak Slamet Gundul menjadi Imam, pengurus mesjid juga luar biasa bangganya dengan pak Slamet Gundul, maklum kalau salah tunjuk biasalah para jamaah pasti akan menjadi umpatan.
Slidik dan slidik, yang dilakukan oleh pengurus mesjid, yang sudah akrab, ternyata dirumah pak Slamet gundul ada ruang khusus ibadah yang digunakan sholat berjemaah dengan keluarga, jika lagi ada halangan ke Mesjid, ada kitab-kitab yang biasa dijadikan literatur di pesantren plus buku-buku agama kontemporer yang terkenal, dan tetangga juga bilang terdengar sayu-sayu di rumah baru pak Slamet setiap malam ada lantunan orang mengaji dan pengakuan pak slamet sendiri bahwa ia bersama isterinya hampir tidak pernah tertinggal Sholat malam.
Lalu kenapa pak Slamet tidak biasa pakai peci waktu sholat berjamaah, menurut penuturannya kepada pengurus mesjid yang sudah beberapa kali bertamu, Pak Slamet dulunya suka pakai Peci dan hampir setiap hari kalau keluar rumah juga pakai peci, menurut dia sejak dia nonton TV akhir-akhir ini, timbul keengganan memakai peci, orang yang jelas-jelas melakukan kejahatan yang katagorinya biadap, pas waktu sidang ternyata dia pakai peci plus baju koko, walaupun tidak sedikitpun diraut mukanya menampakan penyeselan, bahkan selalu berbelit-belit ditanya majelis hakim, ya nggak tahu kenapa para pesakitan tersebut pakai peci, apa memang disiapkan oleh petugas lapas sebagai program Kemenkumham secara nasional, bahwa yang disidang tersebut adalah orang Islam, atau hanya kesadaran terdakwa sendiri, kita tidak tahu. Ada lagi menurut Pak Slamet yang membuatnya miris, ada tamu yang berkunjung ke Pesantren tempat dia pernah mondok dulu, Pak Slamet tahu betul siapa tamu tersebut, dia seorang tokoh non muslim, pas datang ke Pesantren penampilannya luar biasa tidak ada bedanya dengan para Ustadz-Ustadz muda yang mengajar di pesantren tersebut, pakai peci, sorban digantung di leher dan baju koko putih, para santri disuruh atau kesadarannya sendiri berebut mencium tangan tamu tersebut, menurut pak Slamet tidak usahlah seperti itu, ya kalau mau datang, datang saja biasa saja dan umat Islam terbuka dengan siapa saja, nggak perlu didramatis seperti tokoh tersebut. Sejak itulah Kiayi Slamet Gundul, dia tidak mau lagi pakai peci tuturnya. Walahualam bissawab.
Kamsia Apresiasi
Ceruk Kamar, 10 Juni 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU