Renungan Hari Ini: HAKIM, PROFESI DENGAN PANGGILAN “YANG MULYA”

Renungan Hari Ini:
HAKIM, PROFESI DENGAN PANGGILAN “YANG MULYA”
Sebenarnya panggilan “yang mulya” untuk sebutan para hakim, tidak diatur secara resmi dalam perundang-undangan, (saya belum menemukannya, kalau sudah ada maaf itu kesalahan saya), sebutan yang mulya hanyalah implementasi dari sekian banyak aturan yang memberikan kedudukan lebih terhormat pada hakim pada saat di ruang sidang, karena dalam ruang sidang tata cara dalam persidangan itulah yang mengakibatkan hakim disapa dengan “yang mulya”. Dalam ketentuan UU seperti disebutkan dalam Peraturan MK No. No. 19 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan, diatur mengenai kewajiban para pihak, saksi, ahli, dan pengunjung sidang untuk menghormati hakim. Memang ada beberapa Pengadilan yang mengharuskan untuk menyebut hakim yang mulya seperti di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam ketentuan tata tertib persidangan menyebutkan salah satunya keharusan memanggil atau bekomunikasi dengan hakim pada saat persidangan dengan sebutan “yang Mulya”. Jadi kalau kita di dalam persidangan bisa sebagai Saksi, Advokat, atau duduk di kuris pesakitan sekalipun, bolehlah kita menyebut hakim dengan, kata-kata sopan, misalnya: “…Betul Buk hakim…”, atau “…saya keberatan Pak Hakim…”, tapi kalau di Jakarta Selatan harus disebutka seperti ini: “…Betul yang mulya…” atau “…saya keberata yang mulya…”, karena diatur dalam tata tertib persidangan termasuk juga Pengadilan lain kalau tata tertibnya mengharuskan demikian. Fatrialis Akbar hakim MK, kurang sereg di panggil “yang mulya” menurut beliau "Pak Hakim yang terhormat saja ya. Enggak usah yang mulia gitu ya," kata Patrialis Akbar saat melakukan sidang di Gedung MK, (2/2/2016).
Berbeda dengan tata tertip persidangan di pengadilan, Majelis Kehormatan Dewan (MKD), dalam tata tertibnya jelas mengatur sebutan untuk ketua dan anggota MKD dengan panggilan “yang mulya”, ini memang khusus, sebab panggilan untuk anggota DPR biasa juga disebut sebagai anggota DPR/DPRD yang terhormat, akan tetapi proses persidangannya sebenarnya tidak beda dengan jalannya rapat, anggota MKD bisa saja menyampaikan intrupsi kepada pimpinan sidang MKD, ini tidak mungkin terjadi dalam proses peradilan di lembaga pengayoman yang kita lihat, atau memang kita tidak melihatnya karena musyawarah hakim sifatnya tertutup.
Tetapi kalau kalau hakim harus memakai toga, yakni baju kebesaran, memang diarur dalam SEMA Nomor 6 Tahun 1966 tentang Pemakaian Toga Dalam Sidang. Dalam persidangan perkara pidana, Pasal 230 ayat (2) KUHAP mewajibkan hakim dalam ruang sidang untuk mengenakan pakaian sidang dan atribut sidang. Pakaian sidang bagi hakim adalah toga berwarna hitam dengan lengan lebar, simare dan bef. Dalam praktek peradilan, simare hakim dibedakan warnanya, merah untuk hakim peradilan umum (baik perkara pidana ataupun perdata), warna hijau untuk hakim peradilan agama, dan warna biru untuk hakim peradilan tata usaha negara, sedangkan untuk peradilan militer tidak mengenakan toga sebagai pakaian sidang.
Lalu apa hakikat “yang Mulya”, saya cari di KBBI kata yang mulya menunjkkan pada tinggi (tentang kedudukan, pangkat, martabat), tertinggi, terhormat: yang mulia para duta besar negara sahabat, jadi yang mulya jelaslah sebutan khusus.
“yang mulya” berkaitan erat dengan nilai-nilai khusus yang melekat kepada seseorang yang prima/insan kamil, artinya melekat kepada ciri-ciri orang yang baik dan ini juga tergantung dari sudut mana kita menganalisisnya kalau dalam Agama Islam sebagai tuntunan jalan hidup seseorang muslim ada panduannya dikatakan orang baik sepert: 1. Takwa kepada Allah SWT, 2. Gemar bersedekah atau menginfakkan, 3. Dapat menahan amarah, 4. Senantiasa memaafkan kesalahan orang lain., 5. Sabar di dalam menghadapi semua keadaan , 6. Bersungguh-sungguh di dalam melaksanakan perintah Allah SWT, 7. Senantiasa menegakkan shalat, 8. Senantiasa ingat kepada Allah, 9. Jika berbuat dosa segera meminta ampun dan bertobat 10. Berpedoman kepaa Al-Quran dalam menjalani hidupnya, 11. Betindak adil juka memutus perkara, dan lain-lain. Ini bagi orang termasuk hakim yang beragama Islam, dan saya fikir agama lain juga sama, karena setiap ajaran agama selalu memberikan jalan lurus untuk berbuat baik sesuai dengan martabat manusia.
Hal-hal seperti ini sering saya sampaikan kepada mahasiswa saya di Fakultas Syari’ah dan Hukum, karena dari sekian banyak mahasiswa saya ada yang bercita-cita jadi hakim, motivasinya bermacam-macam, bahkan ada yang terang-terangan ingin jadi hakim karena gajinya besar, ya terserah itu sah-sah saja, dan kuliah hanyalah proses, dan selama saya mengajar berdasarkan catatan alumni ada puluhan yang sudah menjadi hakim, ini yang saya bimbing langsung baik melalui mata kuliah ataupun bimbingan tugas akhir, dan hakim-hakim tersebut tersebar hampir di seluruh penjuru nusantara, bahkan ada yang menjadi hakim di Pengadilan Agama Kupang Provinsi NTT, di Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Sumatera Barat tentu saja ada di Bengkulu, belum yang menjadi Panitera, atau Pegawai Pengadilan lainnya, bahkan mahasiswa saya, dan saya bimbing tugas akhirnya ada yang sudah menjadi hakim tinggi di salah satu Pengadilan Tinggi Agama di Kalimantan, termasuk penegak hukum lainnya Advokat, Polisi dari bintara bahkan sudah ada yang perwira menengah, kalau Jaksa belum saya ketahui. Maksud saya mengetehkan ini bukan berarti, sekedar riaya’ atau ingin dipuji, dan manusia tidak boleh pamrih mendapat pujian “segala puja dan puji hanyalah milik Allah” tetapi mengingatkan saja bahwa profesi seperti saya (dosen hukum) juga turut andil mengantarkan orang untuk sebutan “yang mulya”.
Hal ini penting, karena persoalan hakim akhir-akhir ini sedang mendapat sorotan, dan salah satu akar permasalahnya menurut Suparman Marzuki (mantan Ketua KY-RI), adalah persoalan hulunya, mulai dari program pendidikan yang tidak spesifik untuk hakim sampai kepada rekrutmen hakim yang sama halnya dengan rekrutmen untuk PNS biasa, padahal hakim itu adalah jabatan khusus atau menurut Suparman jabatan Negara walaupun belum sepenuhnya pejabat Negara.
Selanjutnya, bagaimana kalau seorang hakim tersandung masalah hukum, khususnya masalah tindak pidan korupsi…?, bagaimana dengan pangilan “yang mulya”…?. Jika tokoh politisi, professional, termasuk dosen bahkan ulama sekalipun tersangkut masalah hukum khususnya korupsi, tidak akan menjadi berita yang menggemparkan apalagi kalau profesi tersebut wilayah pengabdiannya hanya di tingkat kabupaten bahkan Provinsi sekalipun, orang sudah biasa dan memang biasa terjadi dan sudah menjadi santapan pemeriksa hampir setiap hari di negeri ini, walaupun perbuatannya sebenarnya sangat jahat dan bahkan sudah dikatagorikan merampok negara. Tapi akan beda kalau yang tersangkut hukum itu adalah seoarang hakim, dan orang merasa tidak percaya kok hakim bisa berbuat seperti itu, walaupun sebenarnya masih ada juga hakim yang lain melakukan tinfakan melawan hukum atau perbuatan tercela lainnya. Hal ini wajar, karena dari berbagai institusi penegak Hukum seperti Polisi, Jaksa, dan Advokat walaupun profesinya di bidang hukum dan sama-sama menurut UU disebut penegak hukum, tapi dia bukan penentu terakhir sebagai benteng keadilan. Tambahan lagi hakimlah profesi yang di gaji Negara yang tergolong paling besar, walaupun dia hanya S.1 Hukum, gajinya mengalahkan seorang Profesor Hukum di Perguruan Tinggi. dan hakim hanya dialah yang berhak dipanggil yang mulya, yang agak istimewa mungkin pangilan untuk Anggota Dewan yang biasa di panggil yang terhormat, seolah-olah diluar profesi dewan tidak ada lembaga yang pantas untuk dipanggil dengan sebutan yang terhormat. Dulu memang ada panggilan untuk Profesor dengan panggilan yang agak bergengsi maha guru, tapi di Indonesia tidak popular yang berhak di panggil maha justru muridnya sang professor yakni mahasiswa. Tetapi ingat dari sekian banyak masalah yang menimpa hakim, masih banyak hakim yang baik seperti Artidjo Alkostar ini di sampaikan oleh Abdurrahman Saleh Mantan jaksa Agung dan Mantan Hakim Agung, bahwa Artidjo Alkostar termasuk salah satu hakim yang berintegritas tinggi, bahkan melalui hakim ini telah menjadikan para koruptor menjadi sekarat, karena putusannya bisa dikali dua atau mungkin saja dikali tiga, dan tentu saja putusannya mendapat pro dan kontra, dan putusan hakim tidak bisa hanya didasari pada satu sisi saja, misalnya karena faktor kebencian, karena putusan hakim harus berdasarkan keadilan, yang dilandasi keyakinan yang utuh termasuk harus dipertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan itu menjadi dasar sebuah putusan hakim, yang pro dengan Pak Hakim Atidjo Alkostar, memanggilnya dengan sebutan “yang mulya” sangat tepat.
Lalu apa beratnya di panggil “yang mulya”, yang jelas Fatrialis Akbar, hakim MK, ogah dipanggil “yang mulya”. Presiden pun dalam panggilan resminya menurut Mendagri cukup dipanggil “yang terhormat Bapak Presiden Republik Indonesia Bapak Jokowi”, hal ini juga baru pertama kali dalm sejarah ketatanegaraan Indonesia Panggilan Presiden diatur, sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100/449/SJ tanggal, 26 Januari 2015 perihal Penyebutan Nama Presiden RI pada saat acara, tidak perlu di panggil yang mulya Presiden, walaupun seorang presiden tersebut memang orang yang nomor satu mulyanya di sebuah Negara, ini sama saja dengan panggilan kepada orang lain yang memang wajar dihormati, sama halnya dengan sambuta dekan pasti menyebutkan yang terhormat Bapak Rektor, Bapak Wakil Rektor para guru besar dan lain-lain. Di samping itu bagi bangsa Indonesia yang sedang berijtihat bersama-sama mengatasi masalah besar korupsi menggantungkan harapan kepada hakim-hakim tipikor, agar kiranya ada efek jera terhadap pelaku korupsi dan orang lain yang punya kesempatan korupsi jadi takut korupsi, karena jika ketahuan akan berhadapan dengan hakim, “yang mulya”.
Kamsia Apresiasi
Ceruk Kamar, 25 Mei 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU