RENUNGAN HARI INI... HAKEKAT PENDIDIKAN, cermin di “HARDIKNAS”

RENUNGAN HARI INI
HAKEKAT PENDIDIKAN, cermin di “HARDIKNAS”
Pendidikan adalah proses hubungan timbal balik yang bersifat manusiawi antara pendidikan dengan murid untuk mencapai tujuan pendidikan, berupa mendambah kepintaran dan menanamkan karakter atau akhlak mulia. Proses itu berlangsung dalam lingkungan tertentu dengan menggunakan bermacam-macam tindakan yang disebut alat pendidikan. Alat yang dimaksudkan adalah wadah atau sarana terserah apapun bentuknya mau formal atau non-formal mau intra ataupun ekstra, semuanya berproses membentuk jati diri bangsa dalam kepribadian manusia yang utuh (insan kamil).
Proses interaksi dalam belajar dinukilkan oleh seorang comedian no tullen (kang Maman) acara ILK (Indonesia Lawak Klub), yang bertema “ada apa dengan sekolah” salah satu statmendnya “seoarang guru (dalam arti luas) masih megelegarkan suaranya sehingga memekakan telinga dan menjadi takut murid-murid, dan harus mengikuti apa kehendaknya, bagaimana seharusnya pendidik ia harus seperti guyuran hujan yang selalu memberikan kesejukan dan menyuburkan tanaman”, di akhir statmennya ia menujukan sebuah tulisan jika guru tidak bisa diteladani maka itu akan melahirkan murid-murid yang edan (Teladan = E…DAN, karena unsur hurup-hurupnya sama), murid-murid bisa jadi edan jika pendidik member contoh yang tidak mempunyai nilai-nilai keteladanan. Menurut saya tema ini tepat bukan saja ditampilkan pada saat kita memperingati “Hardiknas 2 Mei 2016” tetapi juga memberikan gambaran objektif kondisi dunia pendidikan saat ini, walaupun disampaikan secara santai penuh canda tetapi ini adalah lawakan yang penuh makna.
Pendidikan di Indonesia harus diakui sedang berada pada titik nadir keterpurukan, faktanya telah disampaikan oleh Menteri Anis Baswedan, tidak ada satupun penilaian yang dilakukan oleh lembaga resmi internasional memberikan nilai sangat rendah, standar terbawah, nilai sangat buruk. Di harian kompas, entah tahun berapa tapi masih ada dalam memori kita persolan pendidikan sama dengan benang kusut yang sangat sulit untuk di urai. Tetapi kalau benang kusut itu adalah penyakit pendidikan, maka pastilah ada obatnya, yakinlah bahwa setiap penyakit ada obatnya, kecuali itu adalah penyakit tidak kasat mata yang harus diobati oleh para normal, kalau seperti ini dimana lagi logika pendidikan, padahal pendidikan jelas dikelola oleh orang-orang yang pintar, jenius punya nalar yang tinggi, tidak mungkin mengasumsikan persoalan pendidikan sama dengan kemasukan makhluk halus.
Pengelolaan pendidikan tidak bisa dijadikan sebagai objek ekonomi yang dihitung berdasarkan untung dan rugi, dan penyelenggara pendidikan disamakan dengan perusahaan, nilai-nilai dasar pendidikan diarahkan satu tujuan menciptakan bangsa Indonesia yang cerdas berakhlak mulia seperti di cita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara, dengan tiga azas pendidikan, yakni: 1. Ing Ngarso Sung Tulodo, Di depan seorang Guru harus dapat memberikan contoh atau Teladan yang baik kepada siswa-siswinya.2. Ing Madya Mangun Karso, Di Tengah atau bersama-sama dengan Siswa, Seorang guru diharapkan dapat aktif bekerjasama dengan Siswa dalam Usaha mencapai tujuan pendidikan dan 3. Tut Wuri Handayani. Di Belakang, Seorang Guru harus mampu mengarahkan dan Memotivasi peserta Didik agar dapat mencapai hasil belajar yang optimal.
Persolannya apakah guru-guru formal saat ini bisa dijadikan sebagai contoh oleh siswanya, tergantung kita yang menilai, tapi seiring dengan hegemoni kemajuan dunia, guru sudah terpolarisasi dengan semangat kekinian, penampilan luar yang diutamakan, kesadaran menjadi guru hilang karena para gur juga adalah abdi Negara sama dengan abdi Negara yang lain, ketika suatu institusi menampilkan semangat kekinian, maka gurupun kadang-kadang melebihi adegan yang lebih fulgar seram dan tidak humanis lagi. Sulit bagi kita melihat guru yang digambarkan oleh Iwan Fals sebagai sosok Umar Bakri, jujur mengabdi walau makan hati. Sekolah berlomba-lomba mencapai prestasi dengan standar kemajuan teknologi dan itu harus dibiyayi karena pemerintah, tidak menjadikan prioritas utama, dalam pendanaan, akhirnya sekolah selalu merasa kekurangan dana untuk mengejar prestasi tersebut, timbulah ide-ide yang hanya bisa ditangkap oleh orang-orang berkemampuan secara finansial, jika orang tua hanya punya kemampuan ekonomi rendah jangan diharap bisa menikmati sekolah yang dianggap berprestasi, yang ini jelas tidak sesuai dengan azas kedua dari Ki Hajar.
Praktik-praktik pendidikan seperti di atas, tidak susah untuk di menacri sampelnya disekitar kita ada, anak-anak kita, teman-teman sejawat kita, termasuk orang-orang yang diberikan amanat mengelola pendidikan itu sendiri memaklumi bahwa kalau sekolah yang bermutu identik dengan biaya mahal, sekolah-sekolah yang biayanya rendah dianggap tidak akan bisa memberikan prestasi kepada peserta didiknya…KH. Abdul Muhi, pengelola salah satu sekolah berbasis Agama pernah melontarkan ini dalam suatu diskusi dan kebetulan saya duduk dekat beliau, hati kecil saya tersaya-sayat melihat penuturanya, bahwa yang bersekolah ditempat dia adalah murid-murid yang harus dicarikan makannya, dacarikan pakaian seragamnya dan jangan diharap kalau kita minta bayaran, pasti tahun depan tidak aka nada lagi yang menjadi anak didik di sekolahnya, dan guru-guru disekolahnya harus mencari murid kepelososk daerah yang jarang didatangi petinggi pendidikan. Padahal sekolah yang dikelola oleh Pak Kiyayi menawarkan ilmu untuk mencari kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akherat, dan inilah sesungguhnya model pendidikan yang hakiki, ya sabar pak Kiyayi saya juga dulu alumni Madrasah yang tidak jauh beda dengan sekolahnya bapak, mungkin lebih parah lagi, tapi dengan ijazah sekolah itulah saya bisa seperti saat ini, Alhamdulillah.
Lalu bagaimana dengan program pemerintah wajib belajar, pemberian bea siswa, menurut saya ini bagus tapi hanya sebatas obat, bukan menjaga kestabilan pendidikan, sifatnya isedentil dan tidak menyentuh keseluruh problem pendidikan namanya bea siswa ada aturan, ada syarat-syarat formal dan non formal yang harus dipenuhi, dan itu pasti terbatas dan sengaja dibatasi karena dananya memang terbatas. Cara terbaik menurut saya bea siswa tetap ada dan persyaratan juga ada, bahkan jika perlu diperberat dengan standar tujuan pendidikan bukan kepintaran saja, prestasi seseorang tidak hanya diukur dengan kecerdasan IQ semata banyak faktor membuat orang berprestasi, asal skat-skat penghambat segera dikurangi. Faktanya yang IQ nya tinggi biasanya menjadi dosen dan peneliti, IQ sedang biasanya di birokrasi dan bisa menjadi Pejabat Tinggi IQ nya sekedar cukup banyak yang menjadi pengusaha sukses, dan ini seharusnya dijadikan motivasi oleh guru kepada muridnya dan menjadi dasar kebijakan bagi pengelola pendidikan sesuai dengan azas ketiga Ki Hajar Dewantara.
Sekali lagi persoalan pendidikan saat ini sebagaimana saya tulis beberapa waktu yang lalu, dalam kondisi “darurat”, ya harus diselesaikan dengan cara darurat pula, tidak bisa lagi pakai teori modern yang belum tentu bisa diterapkan, sama saja seperti bangsa ini dulu paki teori ekonomi yang diimpor dari Berkeley, dan diterapkan bertahun-tahun hancur hanya sekejap tidak tahan diterpa krisis, teori ekonomi asli Indonesia yakni teori ekonomi gotong royong oleh Bung Hatta disebut Koperasi bisa bertahan walaupun dalam praktiknya tidak diprioritaskan oleh pemerintah.
Solusinya apa…? Inilah yang berat para pakar pendidikan saja belum menemukan jawaban yang pas, tapi kalau sepakat untuk melatakkan pendidikan dalam kondisi darurat, sudah saya ajukan tulisan saya 28 Aprl 2016...ini solusinya: 1. Adakan razia keseluruh pelosok negeri agar orang yang belum sekolah, diperintahkan untuk sekolah, baik laki-laki maupun perempuan 2. Ambil alih pengelola sekolah dari SD sampai perguruan tinggi, (Rencananya baru SLTA saja yang diambil alih tapi itu juga dialihkan dari Kab/Kota ke Provinsi), pemda tidak boleh mengelola sekolah, karena standarnya nasional bukan standar daerah, dan terbukti penuh dengan muatan-muatan politik, boleh kalau membantu, termasuk bikin sekolah swasta, boleh kalau mampu, 3. Guru-guru yang berlebih dimutasikan untuk mencukupi sekolah-sekolah yang berada di pelosok daerah, termasuk memindahkan guru-guru yang berada di pulau jawa, jika sudah berlebih, faktanya masih ada sekolah Dasar negeri/MI sampai kelas enam di sebuah kecamatan gurunya hanya 3 orang termasuk Kepala Sekolah, kalau tidak Percaya silahakn Cek di Desa Cinto Mandi Kab. Kepahyang. 4. Guru harus memenuhi kualifikasi pendidik, jika tidak sanggup dipindahkan sebagai pegawai fungsional umum, 5. Tambah dana (jika masih kurang 20%), kurangi pembebanan dana negara yang tidak bekaitan langsung dengan pendidikan, seperti pembangunan gedung kantor pemerintah, kenderaan dinas pejabat, biaya rapat-rapat, studi banding, dan lain-lain, 6. Perbanyak sekolah-sekolah kejuruan dan fakultas-fakultas kejuruan, di semua jenjang pendikan menengah atas dan perguruan tinggi negeri, 7). Subsidi khusus untuk prasarana langsung pendidikan seperti pembelian buku, computer untuk siswa, mahasiswa, guru dan dosen harganya paling mahal 50% dari harga pasaran. 8). Semua sekolah harus terjangkau jaringan IT dan gratis. 9). Tidak ada perbedaan beban biaya sekolah yang harus ditanggung masyarakat, sekolah favorit, jurusan, maupun bidang ilmu, misalnya semua jurusan untuk mahasiswa biayayanya sama Rp. 200.000,- per semester, ini contoh saja, tapi bisa, di India semua SPP sama besarnya dan saya tanyakan sendiri ke India di Jahwarala Nehru University dan Aligarh Moeslem University (UIN-nya India), dan telah banyak mahasiswanya berasal dari Indonesia terutama dari Jawa, ada juga dari Sumatera Utara, ini juga saya tanyakan sama mereka, semua SPP-nya kira-kira Rp. 200.000,- jika dirupihkan, jika mahasiswa mau beli computer ada potongan harga 50%, 10) diberikan kemudahan bagi siswa untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi sesuai dengan bakat dan minat peserta didik. 11) tenaga fungsional pendidik diwajibkan untuk meningkatkan jenjang pendidikan dan keahliannya, dan biayanya standar berlaku bagi semua penyelenggara pendidikan, kecuali pendidikan yang dikelola oleh swasta, dulu waktu saya di SMA swasta itu banyak sekali, sekarang tinggal satu dua saja, karena di setiap Kec. Hampir ada SLTA negeri, 12) Tindak tegas bagi penjahat pendidikan, dan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sebenarnya tidak memahami dunia pendidikan, tetapi diberi kekuasaan mengelola sarana pendidikan…semoga…!
Kamsia Apresiasi
Ceruk kamr, 3 Mei 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU