BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN

KERANGKA KONSEP PENELITIAN
Kerangka
konsep yang dijadikan kajian dalam penulisan disertasi ini disusun dalam bentuk
yang runtut dan diharapkan dapat mendeskripsikan dan menjawab permasalahan.
Konsep-konsep penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut: Pertama, konsep harmonisasi pembentukan
peraturan perundang-undangan, konsep ini diperuntukkan untuk mengidentifikasi
nilai-nilai dan gagasan-gagasan tentang peraturan perundang-undangan yang
mengatur perencanaan pembangunan daerah, karena perencanaan pembangunan daerah
pada dasarnya adalah implementasi dari keseluruhan peraturan perundang-undangan
yang akan dilaksanakan oleh stakeholders
(pemangku kepentingan) perencanaan pembangunan di daerah. Oleh karena itu
keseluruhan peraturan perencanaan pembangunan daerah harus harmonis,
ketdakharmonisan akan menyulitkan bagi stakeholders
di daerah untuk mempedomani peraturan tersebut, yang akan dijadikan landasan
yuridis dalam membentuk produk hukum daerah khususnya bidang perencanaan dan
pembangunan.
|
Ketiga,
konsep penyelenggaraan pemerintahan daerah, sejak Indonesia merdeka 17 Agustus
1945, sudah 12 (dua belas) kali undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah
dirubah, sekarang dengan UU No. 32 Tahun 2004sebagaimana telah dua kali
diamandemen yang digandeng dengan UU No. 33 Tahun 2004. Perubahan UU tersebut
membawa dampak yang cukup luas dalam sistem pemerintahan di daerah dari konsep
otonomi, desentralisi, sentralisasi, penguatan otonomi dengan penambahan asas
dekonsentrasi dan mide bewen (pembantuan). Oleh karena di era reformasi
sekarang ini konsep penyelenggaraan pemerintah perlu dijadikan kajian dalam
disertasi ini, karena sangat berkaitan dengan konsep ke-empat, yaitu penguatan
partisipasi masyarakat dalam sisitem pembangunan daerah.
Keempat,
konsep perencanaan pembangunan partisipatif, dengan asumsi bahwa masyarakat harus
dijadikan subyek pembangunan, karena sebenarnya masyarakatlah yang harus
dibangun peradapannya, kesejahteraannya, keadilannya dan sebagainya. Untuk
mewujudkan hal tersebut masyarakat harus terlibat langsung dalam proses
pembangunan, pemerintah tidak bisa terobsesi dengan kemampuan dan dukungan
regulasi, finansial dan sumber daya yang dimiliki. Masyarakat mempunyai
kemampuan dan caranya sendiri serta sangat mengerti kebutuhannya, hal ini juga
berkaitan dengan kondisi obyektif masyarakat yang hetrogen, sekaligus komunal
dan mempunyai nilai-nilai kearipan lokal yang dijamin konstitusi.
1. Konsep Harmonisasi Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
Perencanaan Pembangunan Daerah
Berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, bahwa pembentukan peraturan
perencanaan pembangunan daerah diatur dalam Peraturan Daerah (UU No. 32 Tahun
2004). Oleh karena itu sesuai dengan fungsinya Perda merupakan bagian penting
untuk melakukan pembentukan hukum[4]
di daerah. Peraturan Daerah dimaksudkan sebagai landasan hukum untuk
menjalankan seluruh aktifitas pemerintahan di daerah. Seperti telah disebutkan
di atas bahwa di dalam ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Menyebutkan tata urutan perundang-undangan yang
menjadi sumber tertib hukum, salah satunya adalah Peraturan Daerah, jadi Perda
termasuk salah satu perundang-undangan yang di akui di Indonesia. Dengan
demikian maka, pembuat Perda (Pemerintah Daerah dan DPRD) hendaknya melahirkan Peraturan Perundang-undangan
(Perda-pen) yang dapat mencerminkan
keadilan bagi semua individu, serta memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi
masyarakat.[5]
Di samping itu hendaknya undang-undang merefleksikan hal-hal yang tengah
terjadi dalam masyarakat[6].
Untuk itu penyusunan Perda juga sama dengan tata cara penyusunan
perundang-undangan lainnya, Pasal 1 angka 1 UU No. 10 Tahun 2004sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 12 tahun 2011 menyebutkan: ”Pembentukan peraturan
perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang
pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,
perumusan, pembahasan, pengesahan, pengudangan, dan penyebarluasan”. Secara
teknis telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 2006
tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.
Keberadaan hukum sistem perencaanaan pembangunan daerah menjadi sangat
substansial dalam tataran teoritik maupun empirik, bagi kelangsunganan
pembangunan daerah dan merupakan suatu yang sangat integralis dengan
penyelenggaraan negara. Melalui sarana hukum perencanaan pembangunan daerah
secara jelas ditujukan untuk terbangunnya suatu sistem yang komprehensif dan
integral dalam seluruh mekanisme pembangunan yang akan dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah bersama masyarakat.
Di samping itu juga fungsi perencanaan pembangunan yang dituangkan dalam
Peraturan Daerah diharapkan untuk
menjamin pengelolaan pembangunan daerah yang memberikan kepastian hukum,[7] ketertiban masyarakat serta tujuan akhirnya
menciptakan masyarakat yang sejahtera sesuai dengan konsep negara Welfare State[8]
yang dianut oleh negara modern dewasa ini[9].
Konsep ini menjadi landasan yang kuat untuk dijadikan pegangan dalam
pelaksanaan penelitian Disertasi ini.
Peraturan Daerah sebagai produk hukum dalam kajian filosofis mempunyai
makna yang sangat luas terutama jika dikaitkan dengan kewajiban setiap orang
untuk mematuhi hukum, karena hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban,
kepastian dan keadilan di dalam masyarakat. Konsep ini sejalan dengan argumen
Christoper Heath, bahwa warga negara harus mematuhi hukum, karena negara
berjasa melalui hukum melindungi hak-haknya sebagai warga negara (Samaritanism and the Duty to Obey the Law)[10].
Senada dengan pendapat di atas dinyatakan pula oleh O. Notohamidjojo bahwa
hukum memiliki segi reguler, hal ini berarti hukum datang untuk menimbulkan
tata dalam masyarakat; demi damai dan kepastian hukum. Unsur ini merupakan
unsur doelsteling hukum.[11]
Regulasi hukum di bidang perencanaan pembangunan sudah di kemukakan di atas
memberikan dampak yang luar biasa dalam sistem perencanaan pembangunan nasional
yang didalamnya inklud sistem perencanaan pembangunan daerah terutama setelah
keluarnya UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
dalam beberapa Pasalnya menyebutkan:
Pasal 5 UU
No. 25 Tahun 2004 menyebutkan ada tiga dokumen perencanaan daerah yaitu:
1. RPJP
Daerah memuat visi, misi dan arah pembangunan daerah[12]
yang mengacu kepada RPJP Nasional.
2. RPJM
Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang
penyusunannya berpedoman kepada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional,
membuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijkan
umum dan program satuan kerja perangkat daerah lintas satuan kerja perangkat
daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam
kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
3. RKPD
merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu kepada RPJP daerah, memuat
kerangka ekonomi daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksnakan
langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi
mayarakat.
Di
samping itu dinas/instansi daerah membuat Renstra-SKPD dan Renja-SKPD.[13]
Renstra-SKPD yang memuat visi, misi tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan
pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat
Daerah serta berpedoman kepada RPJM Daerah dan bersifat indikatif.
Sedangkan
Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra-SKPD dan mengacu kepada
RKPD, memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan, baik yang
dilaksanakan langsung oleh Pemerintah Daerah maupun yang ditempuh dengan
mendorong partisipasi masyarakat.
Sistem perencanaan nasional/daerah, seperti disebutkan
dalam penjelasan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 mencakup lima pendekatan
dalam seluruh rangkaian perencanaan, yaitu: (1) Politik, (2) Teknokratik, (3)
Partisipatif, (4) atas-bawah (top down), dan (5) bawah-atas (bottom
up).[14]
Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, mengatur perencanaan daerah dari Pasal 150 sampai Pasal
154.[15]
Pentingnya
pembahasan pengaturan hukum dalam Sistem Perencanaan Pembangunan dimaksudkan
sebagai pedoman agar perencanaan tersebut memenuhi persyaratan hukum, dan
memberi kepastian hukum bagi stakeholders
perencenaan. Hal tersebut seperti dikatakan oleh Ateng Syafruddin.[16]
Hanya rencana
yang memenuhi persyaratan hukumlah yang dapat melindungi hak-hak warga
masyarakat dan memberi kepastian hukum baik
warga termaksud maupun bagi aparatur/administrasi yang bertugas
melaksankan dan mempertahankan rencana yang sejak proses perencanaannya sampai
pada penetapannya memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.
Menyangkut
persoalan penyelenggaraan pembangunan di daerah, yang secara tegas mengatur hal
tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintaha di Daerah
yang merupakan produk Orde Baru yang sarat dengan kepentingan pemerintah pusat
yang sentralistik dan menggangu kemandirian daerah dalam mengatur otonominya.[17]
kemudian UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai produk era reformasi yang juga dianggap sebagai
undang-undang yang sudah mengarah kepada sistem pemerintahan federal, jauh dari
semangat negara kesatuan[18], oleh
karena itulah maka UU tersebut kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sifatnya mengembalikan
prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang otonom tetapi masih
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Akan tetapi UU
No. 32 Tahun 2004 kebanyakan hanya mengedepankan orientasi keuangan dengan
menciptakan berbagai Peraturan Daerah yang menekankan kepentingan ekonomi
daripada kepentingan pelayanan publik.[19] Di
dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut penyelenggaraan pembangunan di daerah
diatur mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan.
Konsep
Pembentukan Peraturan Perencanaan Pembangunan Daerah dapat dikemukakan secara
ringkas produk hukum yang menjadi dasar hukum, bentuk dokumen perencanaan dan
bentuk hukum perencanaan pembangunan daerah, seperti tabel di bawah ini:
Tabel 3:
Dasar Hukum, Bentuk Dokumen Perencanaan dan Bentuk Hukum
Perencanaan Pembangunan Daerah
NO
|
Dasar
Hukum
|
Bentuk
Dok. Perencanaan
|
Bentuk
Hukum
|
1
|
1. UU No. 25 Tahun 2004
2. UU No. 32 Tahun2004
3. RPJP Nasional
4. RPJM Nasional
5. Peraturan Pemerintah
|
RPJPD
|
PERDA
|
2
|
1. UU No. 25 Tahun 2004
b.UU No. 32 Tahun2004
c.RPJM Nasional
d.RPJPD
e.Peraturan
Pemerintah
|
RPJM
Daerah
|
PERDA/Peraturan
Kepala Daerah.
|
3
|
1. RJMD
2. RKP
3. Peraturan Pemerintah
|
RKPD
|
Peraturan
Kepala Daerah
|
4
|
1. UU No. 17 Tahun 2003
b.UU No. 25 Tahun 2004
c.UU No. 32 Tahun 2004
d.UU No. 33 Tahun 2004
e.UU No. 17 Tahun 2007
f.RKPD
g.Keputusan Mendagri [20]
|
RAPBD/APBD
|
PERDA
|
5
|
1. UU No. 32 Tahun 2004
2. RKPD
3. Tupoksi
|
Renstra-SKPD
|
Keputusan
Kepala Daerah
|
6
|
a.UU No. 32 Tahun 2004
b.Renstra-SKPD
|
Renja-SKPD
|
Keputusan
Kepala SKPD
|
Sumber: Temuan
Sendiri diolah dari berbagai sumber
1.
Konsep
Hukum dalam Perencanaan Pembangunan Pembangunan Daerah
Hukum berperan
sebagai “as a tool of social engineering” untuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam
masyarakat dan sebagai pembaharuan masyarakat,
hukum bertugas sebagai penyalur kegiatan manusia kearah yang dikehendaki
oleh pembangunan.[21] Roscoe
Pound[22]
mengatakan bahwa hukum dapat mempengaruhi masyarakat serta hukum dapat sebagai
sarana rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering). Mochtar
Kusumaatmaja[23] juga
mengatakan hukum sebagai sarana untuk melaksanakan pembangunan. Menurut
Soerjono Soekanto,[24] hukum
memiliki 3 (tiga) fungsi yakni sebagai: sarana pengendali sosial, sarana untuk
memperlancar interaksi sosial, hukum bekerja menjadi sarana pemaksa yang
melindungi warga masyarakat dari ancaman maupun perbuatan-perbuatan yang
membahayakan diri serta harta bendanya.
Juga hukum bersifat memelihara dan mempertahankannya yang telah
tercapai.[25]
Pembangunan
sebagai suatu perubahan sosial yang berencana, sedangkan “proses pembangunan
yang sedang berlangsung membawa konsekwensi terjadinya proses perubahan dan
pembaharuan seluruh pranata sosial yang ada, termasuk pranata hukum, yaitu
dengan mempertanyakan kembali peran dan fungsi hukum dalam pelaksanaan
kebijaksanan pembangunan.”[26]
Adapun peran
kongkrit hukum dalam pembangunan telah dikatakan oleh Abul Gani:
Kalau hukum
benar-benar berkesempatan berperan dalam proses penyelenggaraan pembangunan,
tak ayal lagi pembangunan akan terlaksana secara lebih manusiawi. Pembangunan
sebagai proses politik pada hakekatnya merupakan mekanisme/perencanaan dan perencanaan
masa depan, dan kalau hukum benar-benar berperan secara nyata, maka masa depan
kita pun akan lebih manusiawi wujud dan coraknya[27]
Sedangkan
Satjipto Rahardjo,[28]
mengatakan hukum dapat diharapkan dapat berperan secara positif untuk:
1.
mengamankan hasil-hasil yang didapat oleh kerja dan usaha
dalam pembangunan.
2.
penciptaan lembaga-lembaga hukum baru yang melancarkan
dan mendorong pembangunan;
3.
pengembangan apa yang disebut dengan keadilan untuk
pembangunan;
4.
pemberian legitimasi terhadap perubahan-perubahan yang
bertujuan untuk itu oleh orang-orang
yang melakukan pilihan-pilihan yang akan memberikan efek yang mendorong
perubahan dalam pembangunan;
5.
Penggunaan hukum untuk melakukan perombakan-perombakan;
6. peranan dalam menyelesaikan
perselisihan;
7. pengaturan kekuasaan
pemerintahan.
Pada buku lain Rahardjo[29] mengemukakan bahwa hukum harus mampu
menjadi sarana agar tujuan-tujuan
kebijaksanaan publik dapat terujud dalam masyarakat. Hal ini mengingat
ciri-ciri yang melekat pada hukum, yaitu:
1. Kehadiran hukum menghadirkan suatu
kemantapan dan keteraturan dalam usaha
manusia;
1. Memberikan kerangka sosial terhadap
kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Di dalam ruang lingkup kerangka yang
telah diberikan dan dibuat oleh masyarakat
itu, anggota-anggota masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya;
2. Sebagai kerangka sosial untuk
kebutuhan manusia itu, maka hukum
menampilkan wujudnya sebagai sarana untuk menjamin, agar anggota-
anggota masyarakat dapat dipenuhi secara terorganisasi;
3. Di dalam masyarakat ditemui berBagai
sub sistem yang jalin menjalin satu sama lain, dimana perubahan pada suatu sub
sistem akan memberikan dampaknya pada
sub sistem lainnya.
Sehubungan dengan itu Lili Rasyidi
berpendapat “Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
di dalam masyarakat.”[30] Oleh karena itu dibutuhkan
partisipasi masyarakat dalam merencanakan hukum dan pembangunan, ada beberapa
alasan mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting dalam perencanaan
pembangunan. Pertama, sebagai alat untuk memperoleh informasi, kedua,
masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika
merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaan, karena akan lebih
mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki
terhadap proyek tersebut,[31]ketiga,
sebagai ujud dari demokrasi bahwa rakyat mempunyai hak untuk dilibatkan
dalam pembangunan. Jadi partisipasi masyarakat akan mengefektifkan tindakan
pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, termasuk penerapan aturan-aturan
hukum yang telah ada.
Campur tangan hukum yang semakin
meluas kedalam bidang-bidang kehidupan masyarakat menyebabkan bahwa keterkaitan
dengan masalah-masalah sosial semakin intensif.[32] Termasuk didalamnya sistem
perencanaan pembangunan daerah, karena salah satu kajian dari ilmu-ilmu sosial
dan admanistrasi hukum yang berkaitan dengan kebijakan dan social
engineering.
Disamping itu untuk mencapai
tujuan-tujuan yang berat dan kompleks itu, suatu proses pembangunan membutuhkan
perencanaan yang cermat, perencanaan ini antara lain juga mencakup jaminan dan
perlindungan terhadap keteraturan, kelancaran, dan keseluruhan proses dan
hasil-hasil dari pembangunan itu, dan karenanya dibutuhkan suatu instrumen yang
mampu meberikan jaminan, perlindungan, kepastian, dan arah bagi pembangunan
itu. instrumen itu adalah hukum[33]
Hukum yang bisa memberikan jaminan
perlindungan dan kepastian dan arah bagi
pembangunan sangat tergantung kepada karakter hukum suatu bangsa/negara hal tersebut sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
bangsa/negara ditempat hukum itu berlaku, baik law making dalam arti
produk-produk hukum yang dihasilkan maupun law enforcemen[34]
Di dalam teori dan praktik diketahui
bahwa Perencanaan pembangunan mutlak memiliki tiga sifat yaitu : a.
alokatif, b. inovatif, c. multi fungsi
dan inter disipliner [35].
Alokatif, inovatif dan multi fungsi
telah di bahas terdahulu, pada bagian ini akan dikaji dari sudut pandang
perencanaan pembangunan daerah yang bersifat inter disipliner terutama dalam
pandangan hukum administrasi negara.
Perencanaan dalam hukum administrasi
negara adalah “suatu” (keseluruhan peraturan yang bersangkut paut yang
mengusahakan sepenuhnya, mewujudkan suatu keadaan tertentu yang teratur),
“tindakan-tindakan” (tindakan yang berhubungan secara menyeluruh) yang
memperjuangkan dapat terselenggaranya suatu keadaan tertentu secara
tertentu.Keseluruhan itu disusun dalam bentuk tindakan hukum administrasi;
sebagai tindakan hukum yang menimbulkan administratif, sedangkan dalam
pembangunan, perencanaan mulai dari suatu proses administrasi. [36]
Perencanaan merupakan bentuk
keputusan administrasi negara, keputusan ini merupakan suatu perbuatan yang
tidak saja bersifat yuridis tetapi juga bersifat politis dan ekonomis (bestuure
handelung).[37]
Bersifat politis dan ekonomis, karena perencanaan
pembangunan lebih dititik beratkan kepada penguasa atau pemerintah untuk menata
dan mengatur suatu rencana pembangunan yang telah disepakati bersama baik
melalui perundang-undangan maupun kebijakan. Campur tangan
pemerintah ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :[38]
a. Fungsi
mengatur
1. Penentuan
kebijaksanaan
2. Pemberian
pengarahan dan bimbingan.
3. Pengaturan
melalui perizinan
4. Pengawasan,
produk dari fungsi ini adalah berbagai peraturan-
peraturan.
b. Pemilikan
sendiri dari pada usaha-usaha ekonomi atau sosial yang
penyelenggaraannya dapat dilakukan sendiri
atau swasta.
c.
Penyelenggaraan sendiri dari berbagai kegiatan-kegiatan ekonomi
atau
sosial.
Berkenaan
dengan itu Muchsan dan Fadillah
berpendapat :
Keluarnya kebijakan pemerintah, karena ketika pada kasus
tertentu unsur hukum ini tidak dapat diterapkan sama persisi dengan harapan
yang ada, maka kebijakan publik diharapkan mampu memberikan tindakan-tindakan
yang lebih kontekstual dengan kondisi riil yang ada dilapangan, dan ketika
kebijakan publik melakukan hal itu maka sesungguhnya ia pun berangkat dari
unsur hukum yang dimaksud[39].
Di samping itu “agar suatu kebijaksanaan publik yang telah diwujudkan dalam
bentuk hukum dengan berbagai bentuk peraturan perundang-undangan yang ada,
dapat dijalankan secara efektif, maka diperlukan penguasaan keterampilan baru
oleh para perencana dan penentu kebijaksanaan, para pejabat pemerintah (dalam
hal ini birokrat)”[40]
Sedangkan birokrasi yang didalamnya adalah birokrat merupakan aparat pemerintah
yang mempunyai peran dalam menerapkan keputusan politik.[41]
Dengan adanya fungsi mengatur, pemerintah mengadakan regulasi terhadap
perencanaan pembangunan, namun perlu diingat keputusan administrasi negara yang
bersifat perencanaan tidak dapat dijadikan sebagai pangkal sengketa tata usaha
negara, sepanjang belum final, konktrit dan individual, tetapi perencanaan yang
baik dan sikap tindak administrasi yang sesuai dengan perencanaan dapat
mencegah terjadinya sengketa tata usaha. Dalam sistem pemerintahan fungsi hukum
menurut Rahardjo:
Dapat disederhanakan dalam 2 (dua) bagian, yakni sebagai
kontrol sosial (social control) dan sarana rekayasa sosial (Social
Engineering). Aspek pekerjaan hukum sebagai sarana kontrol sosial,
tempatnya bersifat statis, yaitu sekedar memecahkan masalah yang dihadapkan
kepadanya secara kongkrit, yaitu mengatur hubungan-hubungan sosial yang ada,
hal ini berbeda dengan hukum sebagai rekayasa sosial yang artinya tidak
ditinjau kepada pemecahan masalah yang ada melainkan berkeinginan untuk
menimbulkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku anggota-anggota masyarakat.
Perubahan-perubahan itu terutama menyangkut masalah kelembagaan, yaitu tentang
faktor-faktor perubahan yang membebani pekerjaan lembaga-lembaga hukum (seperti
lembaga hukum pembentukan norma dan penyelesaian sengketa) sehingga diperlukan
adanya penyesuaian-penyesuaian dipihak lembaga-lembaga tertentu.[42]
Meskipun fungsi hukum
sebagai sarana kontrol bersifat statis, masih dapat diamati keterlibatan
hukum pada prubahan sosial.[43]
Di samping itu hukum harus mencerminkan rasa keadilan
bagi para pihak yang terlibat atau diatur oleh hukum tersebut. Hukum tersebut
harus sesuai dengan kondisi masyarakat yang diaturnya. Hukum tersebut harus
dibuat sesuai dengan prosedur yang ditentukan. Juga suatu hukum yng baik dapat
dimengerti dan dipahami oleh para pihak yang diaturnya.[44]
Senada dengan itu Sunggono mengatakan:
Hukum merupkan instrumen (alat) untuk mewujudkan
tujuan-tujuan tertentu, menjadikan hukum sebagai sarana yang secara sadar dan
aktif digunakan untuk mengatur masyarakat, dengan menggunakan (melalui)
peraturan-peraturan hukum yang dibuat dengan sengaja. Dalam kontek yang
demikian ini, sudah barang tentu harus diikuti dan diperhatikan
perkembagan-perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, sebagai basis
sosialnya.[45]
Aturan hukum perencanaan diatur dalam perundang-undangan dan pembuatan aturan
harus dengan perencanaan yang teliti dan cermat, seperti dikatakan oleh
Soejito. “membuat rancangan undang-undang (baca: Peraturan Perundang-undngan)
adalah merupakan pekerjaan yang sulit, merancang Peraturan Perundang-undangan
bukan merupakan soal ilmu pengetahuan, tetapi ada pula soal seninya.[46]
Keterlibatan pemerintah dalam mengatur masyarakat merupakan suatu ciri dari
prinsif negara Welfare State (negara kesejahteraan)[47] yang
merupakan tuntutan negara modern saat ini. Menurut Juanda,[48] “hampir
semua negara modern saat ini mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi
seluruh rakyatnya (Welfare State).” Dalam suatu negara modern dimana
negara ikut campur dalam segala kehidupan masyarakat, maka pada administrasi
negara diberikan juga pekerjaan seperti yang diakatakan oleh Donner yang
dikutip Sunindhia dan Widiyanti, “sebagai pekerjaan menentukan tugas atau Leakstelling
atau tugas politik walaupun tugas ini haruslah dituangkan dalam
undang-undang dan peraturan.[49]
Tugas politik negara meliputi keseluruhan aspek kehidupan masyarakat,
ekonomi, sosial budaya, hukum dan lain-lain, dalam politik hukum kita kenal
sebuah teori kausalitas antar hukum dan politik , yaitu:
1. Hukum diterminan atas politik, dalam arti
bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur dan harus tunduk pada aturan hukum.
2. Politik diterminan atas hukum, karena hukum
merupakan hasil atau kristalisasi dari
kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan.
3.
Politik dan hukum sebagai sub sistem
kemasyrakatan berada pada posisi yang sederajat diterminasinya seimbang, karena
meskipun hukum berlaku, maka semua
kegiatan politik harus tunduk kepada hukum.[50]
Di dalam hubungan
kausalitas tadi Mahfud mempertanyakan,
bagaimana pengaruh politik terhadap hukum, mengapa politik banyak
mengintervensi hukum, jenis politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk
hukum yang berkararter tertentu dan sebagainya[51]. Pada
kesempatan lain Mahfud mengatakan: “Konfigurasi politik yang demokratis
senantiasa melahirkan produk hukum yang berkararter responsif, sedangkan
konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang berkararter
konserfatif.”[52]
Masalah lain yang juga
mendapat sorotan ialah adanya hubungan
timbal balik antara kaedah-kaedah (norm) dengan kenyataan-kenyataan (werkelijkheid),
seperti juga adanya hubungan timbal balik antara hukum dan politik.[53]
Demikian juga dengan
pengaturan hukum sistem perencanaan pembangunan daerah tidak terlepas dari
konfigurasi dan hubungan kausalitas antara politik dan hukum, khusus perencanaan
pembangunan daerah, karena ditetapkan dengan Perda yang juga produk hukum yang
isinya/materinya merupakan kebijakan-kebijakan hukum dan politik.
Perda
adalah ketetapan hukum, sedangkan materi dalam perda tersebut adalah produk
kebijakan politik, dan penetapan hukum itu perlu agar masing-masing
stakeholders yang kemungkinan dikemudian hari melanggar kesepakatan tersebut
dapat dikenakan sanksi, dan konsistensi dari stakeholders dapat dijaga
keutuhannya.[54]
Untuk melaksanakan Perda
ini biasanya diiringi dengan surat keputusan, instruksi, surat edaran, bahkan
ada hanya dengan himbauan gubernur. Hal semacam ini dalam hukum administrasi
negara bisa dibenarkan yang disebut perbuatan hukum bersegi satu[55] yang dilakukan oleh Badan Administrasi Negara
yang diberi nama “Ketetapan” kalau bahasa hukumnya Beschikking dan
perbuatan membuat ketetapan ini disebut “Penetapan” misalnya Walikota
menetapkan kepada tuan Kurdi diberi izin untuk membangun rumah dipersil jalan
cihamplas nomor 37 Bandung.[56]
Dalam
praktikpenyelenggaraan pemerintahan di Indonesia bentuk keputusan tata usaha
negara sangat beraneka ragam, contoh: Pengangkatan Pegawai, Izin Usaha
Industri, Surat Keterangan Kelakuan Baik, Akte Kelahiran, Surat Izin Mengemudi
(SIM), Sertifikat Hak AtasTanah dll.[57]
Ketetapan dan penetapan itu adalah perbuatan hukum
administrasi negara (hukum pemerintahan) mempunyai hubungan hukum yang istimewa
diadakan, akan memungkinkan para pejabat (ambtsdrager) administrasi
negara melakukan tugas mereka yang khusus.[58] Pada umumnya
penetapan pemerintah tidak bersifat mengatur melainkan sebagai keputusan atau
penetapan, tetapi ada juga yang bersifat mengatur, seperti: Penetapan
Pemerintah tentang hari raya.[59]
Ketetapan menurut W.F. Prins dalam bukuya Inleiding in het administratief
recht van Indonesia mendefinisikan ketetapan ialah: Tindakan hukum yang
sepihak dalam bidang pemerintahan dilakukan oleh alat perlengkapan negara
berdasarkan kewenangannya yang khusus.[60] Berkenaan
dengan pengertian menurut hukum administrasi di atas, secara filsafati hukum
juga dapat didefinisikan, yaitu: “Hukum dilaksanakan sesuai dengan jenis
kalimat pengaturannya, yaitu memerintahkan, mengatur, mengizinkan, dan
sebaginya.”[61]
1.
Konsep Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
DPRD dan Kepala Daerah
merupakan elemen penting dalam penyelengraan pemerintahah daerah pada kerangka
otonomi daerah.[62]Starting point dalam mengintroduksir
Pemerintahan Daerah menurut UUD 1945 dapat diruntut dari pandangan salah
seorang arsiteknya yang terbukti memiliki peran besar dalam mendesain konsep
UUD 1945, yaitu Mister Muhammad Yamin. Pada 29 Mei 1945 M. Yamin menyampaikan
Rancangan UUD untuk dipelajari oleh BPUPKI.[63] Rancangan yang
disampaikan tersebut memuat pengaturan tentang Pemerintahan daerah yang
ternyata dirumuskan identik dengan yang kini terdapat dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen.[64]
Sejak tahun 1903[65]
sampai sekarang, dapat dikemukakan berbagai UU seperti di bawah ini:
1. Decentralisatie
Wet tahun 1903;
2. BestuurS.H.ervorming Tahun 1922;
3. Undang-undang Nomor 1 thaun 1945;
4. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948
tentang Pemerintahan di daerah;
5. Undang-Undang Nomor 44 tahun 1950 tentang
Pemerintahan Daerah-daerah Indonesia Timur;
6. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah;
2. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
tentang Pemerintahan daerah;
3. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun
1960;
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Desa;
7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, beserta berbagai peraturan pelaksanaannya yang
ditetapkan pada tahun 1999 dan tahun 2000;
8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan daerah beserta
peraturan-peraturan pelaksanaannya;
9. Undang-Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya sampai sekarang.
10. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang Perimabngan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Di samping ketentuan perundang-undangan di atas
ada beberapa Udang-undang yang berkaitan dengan pengaturan pemerintahan daerah
sperti: UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,
dan sebelumnya dikeluarkan juga UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
UU No. 32 Tahun 2004 telah beberapa kali diubah sebagaimana telah beberapa kali
dijelaskan di atas, pertama kali dengan UU No. 8 Tahun 2005 dan terakhir dengan
UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sampai disertasi ini ditulis (Desember
2011-Januari 2012) UU No. 32 Tahun 2004, dari berbagai informasi bahwa UU
tersebut akan diubah kembali dan telah masuk dalam agenda persidangan DPR Tahun
2012.[66] Di samping itu banyak UU yang
berkaitan dengan Pemerintahan Daerah yang sering di rubah misalnya UU tentang
Pajak Daerah dan Retrebusi Daerah, terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retrebusi Daerah.[67] UU ini sebagai
perubahan dari UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retrebusi Daerah
dan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retrebusi Daerah.
Di era reformasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah terjadi pasangan surut kekuatan untuk
mendapatkan kekusaan antara DPRD di satu pihak dan Pemerintah Daerah, dalam hal
ini Gubernur dan Bupati/Walikota di lain pihak, berdasarkan ketentuan UU NO. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, DPRD mempunyai kekuasaan yang cukup besar
bahkan Kepala Daerah dibawah bayang-bayang DPRD dan bisa jadi Kepala Daerah
bisa dipecat oleh DPRD dengan alasan pertanggungjawaban Kepala Daerah tidak
diterima oleh DPRD atau dengan alasan lain.[68]
Secara
berangsur-angsur pergulatan politik antara DPRD dan Pemerintah Daerah selalu
terjadi pergeseran misalnya kekuasaan
pembentukan Peraturan Daerah dari Kepala Daerah kepada DPRD, pertanggungjawaban
Kepala Daerah tidak lagi menjadi hal yang menakutkan bagi Kepala Daerah, akan
tetapi penguatan lembaga DPRD secara politik terus mengalami perubahan dan
selalu bersentuhan dengan kelemahan administratif pemerintahan yang menempatkan
DPRD seolah-olah berada di bawah Departemen Dalam Negeri.[69]
Kedudukan politik dan administratif
DPRD memang selalu berkembang sebagaimana dengan
sejarah perkembangan Pemerintah Daerah, seperti yang diungkapkan dalam wacana
Lislie Lipson mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah bahwa pemerintahan
daerah dideskripsikan sebagai elementasi ”the
greet of politics” yang di Indonesia terus diperdebatkan serta muncul
semakin ”frontier”. Ke permukaan:
”Isu tentang otonomi daerah sebagai manifestasi
desentralisasi teritorial telah lama menjadi topik pembicaraan, baik di
kalangan pakar, ataupun elite strategis, praktisi di pusat dan daerah serta
pers dan media massa, yang pada akhir-akhir ini lebih santer ke permukaan. Hal ini mudah dimengerti, karena
masalah desentralisasi dan otonomi daerah bukan hanya fenomena administrasi,
melainkan juga fenomena politik yang sekaligus juga fenomena kemasyarakatan,
sehingga tidak bisa terlepas dari segi-segi kepemerintahan dan kehidupan
kemasyarakatan yang majemuk dan makin maju serta terus berkembang”. [70]
Pengaturan pemerintahan daerah di dalam UUD 1945 yang masih
bersifat umum dan normatif selalu mengalami perubahan dari masa kemasa,
terutama menyangkut pembagian kekuasaan antara kekuasaan DPRD dan Kepala
Daerah. Dalam sebuah penelitian untuk Disertasi Juanda[71]
telah mengemukakan tentang adanya pasang surut hubungan kekuasaan antara DPRD
dan Kepala Daerah.
”Setelah
mencermati pola hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah dalam
berbagai peraturan perundang-undangan serta ekses-ekses yang timbul, seiring
dengan adanya pergeseran paradigma dalam sistem pemerintahan dan sistem
ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 (setelah amandemen), untuk mewujudkan
otonomi daerah di masa datang tentu hubungan kewenangan antara kedua organ
tersebut mutlak ditata kembali.[72]
Sehubungan dengan itu Akmal
Boedianto[73]
mengemukakan dalam kurun waktu sejarahnya
pelaksanaan yuridis otonomi daerah yang terus bergerak cepat sampai
diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(UU Pemda Tahun 1999) maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Pemda Tahun 2004). Bahkan keberlakuan UU Pemda 2004 dewasa ini terus
mengalami pergulatan untuk segera direvisi guna mengikuti perkembangan
permasalahan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah serta dinamika politik lokal
yang begitu progresif.
Dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan dari UU No. 22
Tahun 1999, masih perlu
dicermati dengan seksama, karena persoalan yang muncul dalam wacana otonomi
daerah sekarang ini justru lebih mementingkan semangat politik lokal bukan pada
tataran mempercepat proses pembangaunan di daerah secara keseluruhan. Kasus
pemekaran wilayah justru menyebabkan pertikaian elit daerah yang tidak
konstruktif, elit-elit daerah disinyalir hanya menggunakan peluang supaya
mendapat kekuasaan baik dibidang eksekutif maupun legislatif daerah (DPRD) dan
tidak bersungguh-sungguh untuk mensejahterakan daerahnya, sudah menjadi
kenyataan sebenarnya daerah yang memekarkan diri lepas dari daerah induknya
justru memperbesar jurang pemisah antara daerah yang miskin dan yang kaya.
Di samping itu
perlu juga menjadi perhatian khusus disinyalir adanya disintegrasi bangsa yang
telah secara mapan terbentuk sebagai Negara Kesatuan (NKRI), mulai dari
mengarah kepada keinginan untuk mendirikan negara fedaral bahkan lebih ekstrim
ada kekhawatiran untuk memisahkan diri dari NKRI. Juga menjadi pertanyaan yang
perlu dijawab secara tuntas masalah otonomi khusus di Papua dan Nangroe Aceh
Darusslam, masih layakah daerah tersebut sebagai daerah berdasarkan perspektif
Negara Kesatuan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. semangat otonomi
daerah hendaknya tidak dipahami sebagai kebebasan daerah untuk menjadikan
daerah sebagai negara-negara kecil dalam suatu bingkai negara kesatuan, tidak
mustahil pada suatu saat daerah-daerah yang mempunyai ciri spesfik seperi Bali,
Kalimantan, Sumatera Barat dan lain-lain akan menuntut serupa dengan daerah
yang diberikan otonomi khusus.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah di era
reformasi ini, masih tetap mengakui pemerintahan Desa seperti diamanatkan oleh
UUD 1945 Pasal 18 yang menghendaki agar kesatuan-kesatuan masyarakat, seperti
desa, gambong, huta, negeri, marga dan sebagainya dapat dibiarkan tumbuh dan
berkembang dalam suasana keanekaragaman atau kebhinekaan.[74]
Dengan demikian
seharusnya konteks otonomi daerah diperjelas kembali yaitu lebih dititik
beratkan kepada pemberdayaan masyarakat, melalui prinsip-prinsip Good Governance seperti keterbukaan,
akuntabilitas dan upaya sungguh-sungguh untuk memberantas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN). Pemberantasan KKN harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa,
karena KKN di Indonesia sudah pada tataran akut, kronis, masif, sistematis dan
sebagainya, oleh karena itu kata-kata begawan hukum Satjipto Rahardjo patut
direnungkan ”Matahari sudah tinggi dan kita sedang menghadapi pemberantasan
korupsi dengan cara-cara luar biasa”.[75]
Selanjutnya Rahardjo mengatakan ”Akhirnya sangat disarankan dan didukung agar
kejaksaan, advokat, pengadilan, mulai hari ini berani berfikir dan bertindak
bebas dan kreatif, tidak submisif, demi untuk menyelamatkan bangsanya dari
keambrukan karena korupsi”.[76]
Di samping persoalan hukum yang masih ”runyam” Persoalan penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang ”kusut”harus menjadi prioritas, karena perbaikan
penyelenggaraan pemerintahan daerah, tidak terlepas dari upaya menyelamatkan
bangsa, kalau penyelenggaraan pemerintahan daerah baik, dipastikan negara
menjadi baik pula. Oleh karena itu hubungan pemerintah pusat dan Pemerintah
Daerah harus dijamin berjalan selaras dan berimbang, bercermin dengan kondisi
sekarang, harus di tata kembali pola
hubungan antara Pemerintah Provinsi di satu pihak Pemerintah Kabupaten dan Kota di pihak lain serta penekanan titik
berat otonomi daerah antara provinsi dengan kabupaten dan kota[77].
Untuk memperjelas penyelengggaraan pemerintahan daerah dalam bingkai NKRI
dapat dilihat ragaan dari Suparto Wijoyo dibawah ini:
Gambar 2:
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
![]() |
Sumber: Suparto
Wijoyo, Otda Dari Mana Dimulai, (Surabaya:
Airlangga University Press,
2005), hlm. 25
Ragaan di atas menjelaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam
bingkai NKRI hanya mengenal daerah besar dan daerah kecil, DPRD hanya ada pada
daerah yang bersifat otonom, berdasarkan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004,
Pemerintahan Desa menjadi bagian dari Pemerintahan Daerah dengan tetap memperhatikan sifat
keistimewaannya, sebagiamana diatur dalam Pasal 200 ayat (1) ”Dalam pemerintahan
daerah Kabupaten/Kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah
desa dan badan permusyawaratan desa”.
Untuk melaksanakan ketentuan UU 32 Tahun 2004, dalam hal penyelenggaraan
pemerintahan daerah telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007
tentang Organisasi Perangkat daerah, Pasal 1 PP tersebut mengatur hal-hal
sebagai berikut:
1.
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPR menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota,
dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.
3.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut
DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
4.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5.
Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sitem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
6.
Perangkat daerah provinsi adalah unsur pembantu Kepala
Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat
daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis daerah.
7.
Perangkat daerah Kabupaten/Kota adalah unsur pembantu
Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari
sekretariat daerah, sekretariat Dewan Perwakilan rakyat Daerah, dinas daerah,
lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.
Dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut pelaksanaan otonomi seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip NKRI,
mengandung makna bahwa adanya perbedaan antara sistem penyelenggaraan
negara yang bersifat federal dengan negara kesatuan. Walaupun ada katat-kata
”seluas-luasnya” tetappenyelenggaraan pemerintahan daerah dalam koridor NKRI
dan pelaksanaannya harus ”berpedoman kepada segala aturan, perundang-undangan
yang dikeluarkan pemerintah pusat, tidak boleh bertentangan dengan
kebijaksanaan pemerintah pusat, atau wewenangnya tidak boleh merugikan
kepentingan negara”.[78]
Dengan demikian tidaklah mungkin bahwa Pemerintah Daerah yang merupakan
organisasi ketatanegaraan yang tegak sendiri itu memiliki asas-asas politik
sendiri yang tidak selaras dengan asas-asas politik negara[79].
Jika dikaitkan dengan perencanaan pembangunan daerah dimana hal tersebut
menjadi urusan wajib daerah, maka finalisasi dari perencanaan pembangunan
daerah itu adalah tanggung jawab Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas
otonomi dan pembantuan. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan
daerah, sedangkan SKPD adalah perangkat daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).
Keseluruhan penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut pada dasarnya
melakasanakan kebijaksanaan pusat yang dilimpahkan kepada daerah oleh karena
itu pelaksanaan otonomi daerah adalah pelaksanaan hak sekaligus kewajiban untuk
mengurus sendiri kepentingan masyarakatnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagai contoh: daerah diberikan hak untuk membuat Peraturan Daerah, akan
tetapi Peraturan Daerah tersebut merupakan ”pancaran” dari undang-undang.
Adanya penetapan RPJM Daerah dengan Peraturan Daerah, jika dilihat dari
penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dibenarkan dalam sitem tersebut, akan
tetapi menjadi masalah lain jika RPJM Daerah tersebut merupakan penjabaran dari
visi. misi dan program calon Kepala
Daerah dengan sistem pemilihan langsung (persoalan ini akan dibahas lebih
lanjut pada Bab V disertasi ini).
11.
Konsep
Pembangunan Partisifatif.
Pembangunan partisipatif sebenarnya telah dimulai pada
era Orde Baru terutama pada Pelita ke-IV yang ditandai dengan adanya
program-program pembangunan seperti Inpres Desa Tertinggal, pembagian klaster-klaster
kantong kemiskinan yang menggunakan pola-pola skema tindakan langsung yang
lebih potensial terhadap permasalahan.[80]
Konsep itulah yang menjadi dasar dan ciri dari sitem
pembangunan modern dewasa ini, arah pembangunan jelas untuk mengangkat deraja
orang yang miskin (pra-sejahtera)
menjadi masyarakat sejahtera, dari konsep ini dari tarik menjadi
asas-asas pembangunan. Asas pembangunan sebagaimana telah diuraikan pada latar
belakang harus dijadikan ide normatif dalam setiap gerak pembangunan.
Memasuki era reformasi konsep pembangunan partisipatif
mendapatkan porsi regulasi yang jelas dan terarah. Keluaranya UU No. 17 Tahun
2003, UU No. 32 tahun 2003, UU No. 33 Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 2004,
dokumen perencanaan dan penganggaran yang setiap tingkatan perencanaan tersebut
hampir seluruhnya menghendaki adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan,
berikut ini akan disebutkan beberapaPasal dari UU di atas yang mengatur tentang
perencanaan pembangunan daerah yang harus melibatkan masyarakat, antara lain:
1.
UU No. 25 tahun 2005 menyebutkan:
Pasal 1 angka 21:
Musyawarah
Perencanaan Pembangunan yang selanjutnya disingkat Musrenbang adalah forum
antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan Nasional dan rencana
pembangunan Daerah.
Pasal 2 ayat (4)
Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional bertujuan untuk:
a.
mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
b.
menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antarDaerah,
antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
c.
menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan;
d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
e.
menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Pasal 12 ayat (2)
Kepala
Bappeda menyusun rancangan akhir RPJP Daerah berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Panjang Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4).
Pasal
17 ayat (2)
Musrenbang Jangka Menengah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dilaksanakan paling lambat 2
(dua) bulan setelah Kepala Daerah dilantik.
Pasal 18
ayat (2)
Kepala Bappeda menyusun rancangan
akhir RPJM Daerah berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Menengah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).
Pasal 22
(ayat)
Rancangan
RKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dan rancangan RKPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) menjadi bahan bagi Musrenbang.
Pasal 23 ayat (2)
Musrenbang penyusunan RKPD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dilaksanakan paling lambat bulan
Maret.
Pasal
24 ayat (2)
Kepala
Bappeda menyusun rancangan akhir RKPD berdasarkan hasil Musrenbang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2).
Pasal 27
ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara penyusunan RPJP Daerah, RPJM Daerah, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-SKPD dan
pelaksanaan Musrenbang Daerah diatur dengan Peraturan Daerah
2.
UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur secara eksplesit
tentang adanya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan
daerah, sebagai berikut:
Pasal 150 ayat (3) hurup d
Rencana kerja pembangunan daerah,
selanjutnya disebut RKPD, merupakan penjabaran dari RPJM Daerah untuk jangka
waktu 1 (satu) tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas
pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan
langsung oleh Pemerintah Daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi
masyarakat, dengan mengacu kepada rencana kerja Pemerintah;
Pasal 151 ayat (2)
Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dirumuskan dalam bentuk rencana kerja satuan kerja perangkat
daerah yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang
dilaksanakan langsung oleh Pemerintah Daerah maupun yang ditempuh dengan
mendorong partisipasi masyarakat.
3.
UU No. 33 Tahun 2004 juga mengatur secara eksplesit
tentang adanya partisipasi masyarakat dalam penyampaian informasi keuangan
daerah, sebagai berikut:
Pasal
103
Informasi
yang dimuat dalam Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 101 merupakan data terbuka yang dapat diketahui, diakses, dan diperoleh
masyarakat.
Ketentuan Pasal-Pasal di atas
mempertegas bahwa masyarakat diberikan peluang besar untuk terlibat dalam
pembahasan, penyusunan dan pembentukan hukum perencanaan pembangunan daerah,
karena memang hukum dibuat untuk masyarakat. Dalam kajian normatif sosiologis
yang mengedepankan empiris dari keseluruhan tatanan hukum perencanaan
pembangunan terutama di daerah, telah di uraikan oleh Satjipto Rahardjo:
”...hukum
senantiasa dikaji sebagai kenyataan sehari-hari (the full social reality of law). Hukum tidak dapat dilihat
semata-mata sebagai kumpulan materi hukum, seperti perundang-undangan,
melainkan memilki sosok atau jati diri. Maka, pemahaman tentang sosok hukum (”gestalt-like vision”) itulah sekarang
yang dibicarakan.[81]
Sosok hukum benar-benar merumuskan otoritas untuk saling memberikan dalam
suatu hubungan soasial kemasyarakatan dalam kerangka norma-norma. Norma-norma
hukum merupakan pijakan untuk menata dan mengatur prilaku masyarakat maupun
institusi pemerintahan dalam menjamin kelangsungan fungsinya.[82]
Peran pemerintah sebagai penanggung jawab teknokratis perencanaan
pembangunan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan di bidang perencanaan
pembangunan, menunjukkan adanya sistem desentralisasi administrasi dan
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, sebagaimana disampaikan oleh Direktorat
Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) Kementerian Dalam Negeri RI:
Pertama, secara paradigmatik diyakini bahwa perencanaan dan
penganggaran partisipatif adalah bentuk kongkrit dari pelaksanaan
desentralisasi administrasi pemerintahan dan prinsip-prinsip tata pemerintahan
yang baik. Perencanaan dan penganggaran partisipatif adalah bentuk nyata
penerapan prinsip demokrasi dalam alokasi sumberdaya publik. Kedua,
munculnya dukungan kerangka hukum yang memberikan peluang bagi daerah untuk
mengatur urusan daerahnya, termasuk di dalamnya urusan perencanaan dan
pengalokasian anggaran.[83]
Mengatur prilaku masyarakat dalam kaitannya dengan perencanaan pembangunan
partisipatif jika dikaitkan dengan ketentuan UU No. 32 Tahun 2003, UU No. 33
Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 2004, dimana proses pembentukan dokumen
perencanaan pembangunan daerah menghendaki musyawarah perencanaan pembangunan
(Musrenbang). ”Musrenbang pada dasarnya adalah mekanisme perencanaan
pembangunan yang bersifat bottom-up.
Dengan mekanisme ini diharapkan adanya keterlibatan masyarakat sejak awal dalam
proses pembangunan”.[84]
Pembangunan yang bersifat bottom-up
(Bottom-up planning) menunjukkan adanya partisipasi masyarakat dalam
perencanaan pembangunan, akan tetapi tidak mesti diterjemahkan bahwa
perencanaan tersebut harus berasal dari masyarakat, akan tetapi dimusyawarahkan
oleh pemangku kepentingan di tingkat bawah (Daerah). Oleh karena itu menurut
Ginanjar Kartasasmita perencanaan dari bawah adalah perencanaan rinci (mikro)
yaitu perencanaan yang prosesnya dimulai dari mengenali kebutuhan di tingkat
masyarakat yang secara langsung terkait dan mendapatkan dampak dari kegiatan
pembangunan yang direncanakan, sedangkan perencanaan sektoral (makro) adalah
perencanaan dari atas ke bawah.[85]
Konsep Pembangunan partisipatif yang mengedepankan botton-op planning, merupakan suatu paradigma pembangunan yang
selalu melibatkan rakyat ”miskin”, sebagaimana diutarakan oleh Sulekale:
Yang perlu segera dilaksanakan adalah
membangun suatu paradigma pembangunan
yang memihak kepada penduduk miskin. Dalam membangun paradigma golongan
miskin perlu diikutsertakan, misalnya melalui perwakilan mereka. Pemerintah
Daerah dan pemerintah desa sebaiknya hanya melakukan pekerjaan yang benar-benar
mampu mereka kelola. Untuk mencapai kemampuan manajemen tersebut, Pemerintah
Daerah dan pemerintah desa perlu bekerjasama dengan pihak-pihak lain yang
berminat dalam program penanggulangan kemiskinan.[86]
Dalam kontek regulasi di daerah, dimana salah satu fungsi
dari hukum, bahwa hukum itu memberi kepada pribadi atau lemabaga tertentu untuk
mengambil keputusan. Dalam hal ini Peraturan Daerah menjadi penting artinya
bagi masyarakat dan begitu sebaliknya.[87]
Oleh karena produk kebijakan
daerah berupa Perda itu penting untuk menakar partisipasi masyarakat, maka
harus dihindari adanya perda yang bermasalah, akan tetapi kenyataannya “terjadi
hampir di seluruh Indonesia perda banyak yang bermasalah”[88]. Oleh karena
itu seharusnya DPRD dan Pemerintah Daerah melibatkan orang-orang diluar lembaga
tersebut untuk membentuk perda yang baik dan benar.[89]
Keprihatinan lemahnya
sumber daya penyelenggara pemerintahan daerah khususnya DPRD, menjadi kajian
khusus dari berbagai elemen termasuk dari lembaga swadaya masyarakat
internasional (LSM/NGO), yang ikut ambil bagian dalam meningkatkan SDM tersebut
salah satu contoh yang dilakukan oleh USAID (LSM Amerika) bekerja sama dengan
LGSP (Local Governnance Support Program) LSM Nasional mengadakan pelatihan dibidang
pembuatan kebijakan di daerah, legislasi, penganggaran, pengawasan dan
representasi.[90]
Adapun laporannya sebagai berikut:
Kemajuan-kemajuan yang dirasakan
langsung oleh setiap anggota DPRD telah dikemukakan secara gamblang, dan dampak
kebijakan yang dihasilkannyapun sangat kongkrit yang dapat langsung dirasakan
oleh warga di daerah tersebut. Misalnya saja, ketepatan waktu dalam memutuskan
APBD sehingga dana DAU dari pemerintah pusat pun dapat turun dengan tepat waktu
juga. Beberapa DPRD telah dapat membongkar dana-dana tidur (idle cash)
yang cukup besar di daerah dan direalokasi untuk menambah pos-pos kesejahteraan
rakyat. Bahkan dari hampir keseluruhan DPRD yang didokumentasikan pengalamannya
telah menunjukkan adanya peningkatan efisiensi perencanaan dan penganggaran.
Walaupun demikian, di sisi lain masih diakui adanya sisa-sisa dan warisan
kebudayaan dari kekuasaan lama yang pro-status quo yang masih terjadi secara
acak disana sini. Sisa-sisa dari kekuasaan lama antara lain berupa kelebaman
DPRD dalam mensikapi perubahan dan tuntutan yang muncul dari konstituen mereka
sendiri.
Hal yang agak merisaukan bagi
masyarakat yang menginginkan perubahan di daerah adalah jaminan bagi anggota
DPRD yang progresif dan dengan tegas membela kepentingan warganya dalam
institusi ini untuk dapat terpilih kembali dalam periode mendatang. Walaupun
hal ini terasa sangat ironis. Di satu sisi, mereka seharusnya dapat mempunyai
“tiket” untuk meneruskan pengabdiannya di institusi legislatif ini, tetapi di
lain pihak pada masa ini politik uang masih dapat mengubah konfigurasi
demokratis yang baru terbangun ini.[91]
Konsep pembangunan
partisifatif erat kaitannya dengan demokrasi[92]. Demokrasi
adalah sistem pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat (demos artinya rakyat, cratos artinya kewenangan). Artinya,
rakyat memberikan kewenangan/mandat kepada pemerintah untuk ’memerintah’
mereka. Dengan demikian, pemerintah memiliki ’kekuasaan’ (power) karena kekuasaan itu diberikan oleh rakyat. Tetapi, karena dalam
praktik-praktik pemerintah seringkali menyalahgunakan kekuasaan tersebut, maka
dalam sistem demokrasi harus ada mekanisme agar rakyat bisa mengontrol dan
mengawasi sepak terjang pemerintah. Selain itu, rakyat juga harus memiliki
ukuran-ukuran dalam menilai performa pemerintahannya, antara lain:perumusan
hak-hak sipil dalam suatu negara, adanya perlindungan HAM, dan adanya
penegakanhukum untuk semua[93].
Di kaitkan dengan
konsep politik, partisipasi warga merupakan keharusan (sebagai salah satu
prinsip dasar sistem demokrasi). Partisipasi masyarakat/warga berarti adanya
keterlibatan masyarakat biasa dalam urusan-urusan setempat secara langsing[94].
Partisipasi warga itu dimaksudkan untuk mengontrol penyalahgunaan kekuasaan
oleh pemimpin, menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, melibatkan warga
dalam pelaksanaan pemerintahan, memberi
masukkan pada saat pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan warga
(publik). Bentuk-bentuk partisipasi warga dalam konsep politik sebenarnya
sangat luas, yaitu: keterlibatan warga dalam organisasi sosial kemasyarakatan
(organisasi sipil), kesediaan masyarakat untuk memberikan opini terhadap
isu-isu yang menyangkut kepentingan masyarakat (opini publik), keterlibatan
masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan, dan sebagainya.
Partisipasi dalam kosakata politik sebenarnya jauh lebih tua daripada
partisipasi dalam wacana pembangunan. Dalam politik, kata partisipasi
dipadankan dengan kata warganegara (citizenparticipation).
Sedangkan dalam pembangunan, kata partisipasi lebih banyak dipadankan dengan
kata masyarakat (community participation).[95]
Istilah partisipasi,
dalam perkembangannya lebih populer dalam wacana pembangunan dan cenderung
berubah menjadi terminologi yang steril (a-politis).
Kebanyakan lembaga pemerintah, LSM dan donor menggunakan istilah partisipasi
dalam program pembangunan diartikan sebagai partisipasi sosial. Sehingga
terjadilah pemilahan partisipasi sosial dengan partisipasi dalam proses
demokrasi.[96]
Kedua istilah ini masing-masing
mempunyai keterbatasan: partisipasi sosial yang diartikansebagai upaya
meningkatkan pengawasan masyarakat terhadap sumber-sumber sosial terutama
program-program pembangunan, ternyata tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan
struktural yang dihadapi di dalam konteks persoalan di Indonesia. Sedangkan
partisipasi politik yang diartikan sebagai peran serta masyarakat dalam
pengertian politik secara sempit, tidak memadai sebagai wilayah kerja untuk
menegakkan demokrasi masyarakat.
Partisipasi sosial dalam pembangunan,
memiliki kecenderungan untuk dimaknai dan diaplikasikan secara teknis dan
instrumental. Hal ini mendorong terjadinya manipulasi partisipasi, karena
sebenarnya dipergunakan untuk mendorong peran serta masyarakat dalam agenda
orang luar. Jelas kedua jenis partisipasi di atas tidak akan mendorong
demokratisasi dan restrukturisasi masyarakat karena tidak mengembangkan
kesadaran dan kepedulian yang lebih luas dari warga masayrakat (elite dan warga
masyarakat lainnya) dalam membangun komunitas yang lebih baik. Bukan rahasia
lagi bahwa di Negara kita ini pertimbangan-pertimbangan ekonomis, stabilitas,
dan security sering mengalahkan
pertimbangan-petimbangan mengenai aspirasi masyarakat dan hak asasi mereka
sebagai warga negara.[97]
Partisipasi masyarakat (community participation) di kalangan
pembangunan lebih sering diartikansebagai partisipasi sosial daripada
partisipasi politik. Anggapan ini nampaknya menjadikan partisipasi sebagai
pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan, bukan partisipasi untuk
mengembangkan sistem dan struktur baru komunitas yang lebih setara,
partisipatif, dan demokratis. Partisipasi yang tidak mengembangkan perluasan di
tingkat komunitas, jelas tidak akan banyak berpengaruh terhadap demokratisasi
komunitas. [98]
Di
dalam konsep demokrasi, terdapat sejumlah pilar atau prinsip yang harus ada
sehingga bisadikatakan demokrasi berjalan, yaitu: partisipasi warga; kesetaraan atau tidak adanyadiskriminasi
golongan, agama, etnis, dan gender, toleransi terhadap perbedaan, akuntabilitaspemerintah
terhadap rakyat, transparansi pemerintahan, kebebasan berusaha
untukmengembangkan ekonomi, kontrol terhadap penyalahgunaan kekuasaan, jaminan
perlindunganhak-hak sipil, perlindungan HAM, serta aturan dan penegakan hukum.
Partisipasi
warga (citizen participation) di
dalam konsep demokrasi, diartikan sebagai keterlibatanwarga dalam berbagai
proses pemerintahan, antara lain dalam pengembangan kebijakan publik,dalam
mengawasi jalannya pemerintahan, menyampaikan aspirasi dan kepentingan masyarakatdan
dalam mendukung berbagai upaya pembangunan.Masyarakat (komunitas) partisipatif
adalah sebuah keadaan yang menunjukkan bahwa partisipasisudah menjadi nilai,
sikap-perilaku, dan budaya di suatu masyarakat, sehingga mereka bisamengambil
peran yang menentukan, baik dalam proses-proses pembangunan maupun
dalampemerintahan yang sesuai dengan asas-asas demokrasi.[99]
Karena
itu, Hans Antlov, dalam tulisannya, menganjurkan penggunaan kembali istilah
partisipasiwarga yang meliputi partisipasi sosial dan partisipasi politik dalam
arti luas. Partisipasi warga inidiartikan sebaga keterlibatan warga masyarakat
dalam pemerintahan lokal secara penuh, termasukdalam kegiatan-kegiatan sosial
kemasyarakatan, dalam program-program pembangunan,dalamproses pengambilan keputusan
publik tingkat lokal, dalam pemilihan kepemimpinan lokal (formalmaupun
informal),yang merupakan seluruh bagian dari kehidupan masyarakat (komunitas).[100]Karena itu, peran Lembaga-lembaga
pengembang program pembangunan juga meliputi peransebagai pengorganisir rakyat
(community organizer) karena
partisipasi warga harus dikembangkanmelalui penguatan lembaga-lembaga
masyarakat/rakyat (organisasi sipil) yang bilsa menjadikelompok kepentingan dan
kelompok penekan tingkat lokal dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan(mempengaruhi
lembaga politik formal melalui legislatif dan eksekutif lokal).
Penguatankelembagaan masyarakat/rakyat (organisasi sipil) ini, diperlukan dalam
menopang pemerintahanlokal yang partisipatif (participatory local governance) atau komunitas yang demokratis (democratic community).[101]
Apapun penyebutannya tentang
partisipasi, tidak akan terlepas dari kedudukan masyarakat sebagi penunjang
kerja besar pembangunan secara teknokrat adalah tanggung jawab pemerintah
melalui birokrasinya. Bagaimanapun juga kalau para birokrat tidak ingin
kehilangan wibawanya dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan publik, para
birikrat harus senantiasa memperhatikan aspirasi-aspirasi masyarakat dan
mendukung partisipasi seluruh unsur masyarakat secara wajar. Setidak-tidaknya
ada dua alasan mengapa sistem partisipatoris dibutuhkan dalam Negara
demokratis. Pertama ialah bahwa sesungguhnya rakyat sendirilah yang paling
paham mengenai kebutuhannya.[102]
Adapun peran
serta atau partisipasi masyarakat dapat berupa:
1.
Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi
tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti
menerima (manfaat, memenuhi, melaksanakan) mengiakan, menerima dengan
syarat, maupun dalam arti menolak.
2.
Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk
pengambilan keputusan (penetapan rencana, perasaan terlibat dalam perencanaan
perlu ditumbuhkan sedini mungkin di dalam masyarakat, partisipasi ini juga disebut partisipasi dalam pengambilan
keputusan politik yang menyangkut nasib mereka dan partisipasi dalam hal bersifat
teknis.
3.
Partisipasi
dalam pelaksanaan oprasional pembangunan.
4.
Partisipasi
dalam hal menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan (participation
in benefits).[103]
“Partisipasi dalam
menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana hasilnya dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat. Akan tetapi bukan hanya saja dalam menjalankan
pembangunan tetapi sejak tahapan pengambilan keputusan.”[104]
Pemerintah mulai
menyadari pentingnya partisipasi masyarakat pada tahun 80an, melalui Instruksi Menteri
Dalam Negeri Nomor 4 tahun 1981 yang menentukan bahwa perencanaan pembangunan
di Indonesia dilakukan berdasarkan suatu asas bottom up planning atau perencanaan dari bawah,[105] kemudian disusul Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1982 yang mengatur mekanisme pelaksanaan bottom up planning dengan tahapan
perencanaan sebagai berikut:[106]
1.
Rakorbang
tingkat desa/kelurahan.
2.
Rakorbang
tingkat kecamatan.
3.
Rakorbang
tingkat Kabupaten/Kotamadya.
4.
Rakorbang
tingkat Provinsi.
5.
Rapat
koordinasi regional
6.
Rakorbang
nasional.
Kemudian dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional lalu disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2004 tetang Sistem Pembangunan Nasional,
kemudian UU Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan yang
kesemuanya memasukan materi tentang sistem perencanaan pembangunan daerah,
untuk melaksanakan ketentuan perundang-undangan tersebut, khusus mengenai RPJM
Daerah dikeluarkanlah Surat Edaran Meneteri Dalam Negeri Nomor 050/2020/SJ
Tahun 2005 perihal Petunjuk Penyusunan Dokumen RPJP Daerah dan RPJM Daerah
Daerah serta Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor 0259/M.PPN/I/2005-050/166//SJ Perihal
Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2005. Walaupun aturan sudah
banyak dibuat sebagai pedoman dalam penyusunan program perencanaan yang
melibatkan masyarakat, maka pertanyaan yang muncul adalah apakah pemerintah
sungguh-sungguh atau tidak tentang perencanaan yang telah ditetapkanya itu.
Di samping
memperhatikan dan menampung aspirasi masyarakat, kegiatan pembangunan
seharusnya mempunyai konsep pembangunan berkelanjutan dan mengacu pada kondisi
alam dan pemanfaatannya agar berwawasan lingkungan.[107] Oleh
karena itu pembentukan Perda RPJM Daerah juga harus sesuai dengan konsep
universal tentang hukum yang meliputi ketertiban, berkepastian dan berkeadilan.[108]
Salah satu
kekhawatiran dampak dari otonomi daerah menjadi keresahan para pakar lingkungan
bahwa dengan adanya otonomi daerah kecenderungan akan terjadi kerusakan
lingkungan seperti pendapat Otto Soemarwoto,[109] banyak
orang mengkhawatirkan bahwa otonomi daerah akan mengakibatkan makin rusaknya
lingkungan hidup, bahaya ini memang ada karena daerah ingin meningkatkan
Pendapatan Asli Daearah (PAD) semaksimal mungkin padahal otonomi dibuat bukan
semata-mata untuk menambah PAD, bukan untuk menambah pungutan. Pemerintah yang
baik adalah pemerintah yang paling sedikit memungut.[110]
Akan tetapi kebijakan pemerintah
pusat juga berpotensi merusak lingkungan,
”Fakta menunjukan kebijaksanaan pusatlah yang telah menghancurkan
lingkungan dengan tidak berkeadilan seperti kasus Riau, kasus Free Port, kasus
Aceh dan lain-lain”.[111]
Kelima, Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya alam secara
efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan, seperti yang dikatakan oleh
Alvi Syahrin sebagai berikut:
Perencanaan
pembangunan berkelanjutan sebagai standar yang tidak hanya ditujukan bagi
perlindungan lingkungan melainkan juga bagi kebijakan pembangunan, Artinya,
dalam penyediaan, penggunaan, peningkatan sumber daya alam dan peningkatan
taraf ekonomi, perlu menyadari pelestarian fungsi lingkungan hidup, kesamaan
derajat antar generasi, kesadaran terhadap hak dan kewajiban masyarakat.[112]
Struktur ekonomi
yang membuat alokasi sumber daya ekonomi terkonsentrasi di Jakarta jelas tidak
adil.[113] Atau
perencanaan pembangunan yang hanya membuat segelintir orang menikmati
pembangunan tentu jauh dari keadilan, pembangunan baru adil apabila 30 sampai
40 juta rakyat miskin sekarang ini bisa dientaskan.
Keseluruhan konsep yang dijadikan acuan dalam penelitian Disertasi
ini dapat di gambarkan sebagai berikut:
Gambar 3:
Kerangka Konsep Pembentukan Hukum
Perencanaan Pembangunan Daerah yang Harmonis dan Partisipatif

Sumber: Temuan
sendiri dan diolah dari berbagai sumber
[1] Mochtar Kusumaatmadja, konsep…Op.Cit, hlm. 5
[4]
Pembentukan hukum, menurut Mahfud MD
didasarkan pada konfigurasi politik tertentu akan melahirkan produk hukum
tertentu dengan spesifikasi sebagai berikut: a) Konfigurasi politik demokratis
dan non-otoriter akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter
responsif/populistis, b) Konfigurasi politik otoriter dan non demokratis akan
melahirkan hukum-hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif/elitis, Mahfud,
Md, Hukum dan ...Op.Cit, hlm. 155
[5] Lili
Rasjidi dan Ira Thania, Pengantar
Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1988), hlm. 37.
[6] Sajipto
Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang
Ancaman Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Sinar
Baru, 1995), hlm. 77.
[7]Kepastianhukum
yang dimaksudkan disini bukan hanya sekedar doktrin kepastian hukum yang
otomatis (taken for granted) setelah
dibentuknya peraturan perundang-undangan, akan tetapi lebih dari itu harus
dikaji mengenai penomena kepastian hukum itu sendiri agar mempunyai kekuatan
hukum dan dapat diimplementasikan di tengah kehidupan masyarakat (Lihat:
Satjipto Rahardjo, Lapisan-lapisan dalam
Studi Hukum, dalam Rahmad Safa’at, Penyunting, (Malang: Banyumedia
Publishing, 2009) hlm. 51.
[8] Negara
kesejahteraan (welfare state) sebagai antitese dan konsepsi yang
individualistis dalam masa liberalisme
atau collectivitalisme yang
menghendaki negara hukum liberal para warga masyarakat dilindungi hak-haknya
secara formal menurut hukum, maka dalam negara kesejahteraan perlindungan dan
jaminan hak-hak warga lebih ditekankan pada perlindungan dan jaminan secara
materiil sosial ekonomis, hal ini berarti bahwa secara yuridis formil setiap orang berhak dan bebas untuk
menuntut kehidupan yang layak tetapi secara materil yaitu sosial ekonomis
sebagian besar warga masyarakat tidak berdaya untuk memperbaiki nasibnya,
jaminan dan perlindungan hak-hak bidang
sosial ekonomi. Sebagai akibatnya maka negara harus ikut campur tangan dalam
pengaturan kehidupan sosial ekonomi untuk menjamin keadilan sosial. R.
Soegijanto Tjakranegara, Hukum Tata Usaha
dan Birokarasi Negara, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 64-65
[9] Yang
dimaksud negara modern adalah negara yang memiliki sifat-sifat universal,
seperti ilmu pengetahuan modern, filsafat modern, politik modern, pemikiran
modern, dan seterusnya termasuk implikasinya terhadap hukum modern seperti yang
dikemukakan oleh Max Weber. Lihat: A.A.G Peters dan Koesriani Siswosoebroto
(ed), Perkembangan Hukum Modern dan
Rasional: Sosiologi Hukum Max Weber, dalam Hukum dan Perkembangan Sosial,
(Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1988), hlm. 368.
[10] Andre Tata Hujan,Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Tahun 2009), hlm.
203
[11] Akmal
Budianto, Op. Cit. hlm. 42.
[12]
Menurut ketentuan UU No. 25 Tahun 2004. Visi adalah rumusan umum mengenai
keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan. Misi adalah rumusan
umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi.
Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk
mewujudkan visi dan misi. Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil oleh
Pemerintah Pusat/Daerah untuk mencapai tujuan.
[13] Pasal 7 UU No.25 Tahun 2004 Menyebutkan: (2)
Renstra-SKPD memuat visi,misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan
kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi satuan kerja
perangkat daerah serta berpedoman kepada RPJM Daerah dan bersifat indikatif.(2)
Renja SKPD disusun berpedoman kepada renstra SKPD dan mengacu kepada RKP memuat
kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik dilaksanakan langsung oleh
Pemerintah Daerah maupun yang ditempuh melalui partisipasi masyarakat.
[14]
Pendekatan politik memandang bahwa pemilihan Presiden/Kepala Daerah adalah
proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya
berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon
Presiden/Kepala Daerah. Oleh Karena itu rencana pembangunan adalah penjabaran
dari agenda pembangunan yang ditawarkan Presiden/Kepala Daerah pada saat
kampanya kedalam rencana pembangunan jangka menengah.
Perencanaan dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan
dengan menggunakan metode dan kerangka berfikir ilmiah oleh lembaga atau satuan
kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. Perencanaan dengan pendekatan
partisifatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (Stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka
adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Sedangkan
pendekatan atas-bawah dan bawah atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut
jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas bawah dan bawah atas
diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan, baik tingkat nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan
Desa.
[15]
Pasal-Pasal tersebut dapat di lihat pada halaman 3 tulisan ini.
[16] Ateng
Syafruddin, PerencanaanAdministrasi.....,
Op. Cit, hlm. 115.
[17] I Gede
Pantja Astawa, Politik Hukum Pemerintahan di Derah berdasarkan Pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945, dalam Arief Sidarta dkk (ed) Butir-butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan yang
Layak, (Badung: Citra Aditiya
Bakti, 1996), hlm. 114.
[18] Konsideran menimbang hurup c UU 32
Tahun 2004 menyebutkan: “bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan,
dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti”
[19]Akmal
Budianto, Op.Cit, hlm. 4
[20]Biasanya berubah setiap Tahun Anggaran, Keputusan
Mendagri selalu diubah/diperbaharui. Terakhir dengan Keputuan Menteri dalam
Negeri No. 22 Tahun 2012.
[21] A. Moekti Fajar, Negara Hukum dan
Pembangunan, Artikel pada majalah Hukum, No.4, Desember 1987.
[22] Dikutip Lili Rasyidi, Filsafat
hukum-Apakah Hukum itu ? (Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 1991),
hlm. 49-50.
[23] Mochtar Kusumaatmaja, Hukum,
Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,
Pola dan Mekanisme Pembaharuan di Indonesia, Penerbit Lembaga Penelitian
Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Unpad. (Bandung bekerja sama dengan penerbit Bina Cipta, 1976), hlm 25. Di
Indonesia, Mochtar Kusumaatmaja telah mengintrodusir sebuah teori hukum pembangunan
yang menurutnya dibangun diatas teori kebudayaan dari Northrop, teori orientasi
kebijaksanaan (Policy-Oriented) dari MC. Dougal dan Laswell dan teori hukum
pragmatis dari Roscoe Pound. Menurut Mochtar, hukum merupakan keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat,
juga mencakup lembaga-lembaga (Institutions) dan proses-proses (Processes) yang
mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.(Lili Rasyidi dan IB.
Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya,
1993, hlm 126)
[24] Soerjono Soekanto, Teori
Sosiologi tentang Pribadi Dalam Masyarakat, (Jakarta: Penerbit
Ghalia Indonesia, 1982), hlm 79-80.
[25] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep
Hukum Dalam Pembangunan, kumpulan karya tulis, editor, R. Otje Salman dan
Eddy Damian, (Bandung: Alumni, 2002),
hlm 4.
[26] Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, (Jakarta:
Sinar Grfika), hlm 101.
[27] Abdul Gani, Peran Hukum Dalam
Pembangunan Indonesia, Makalah pada symposium Peranan Ilmu Hukum Dalam
Pembangunan Indonesia di Surabaya, 17 Nopember 1984.
[28] Satjipto Rahardjo, Hukum dan…Op.
Cit, hlm. 136-137.
[29] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1987), hlm,
149-151
[30] Lili Rasyidi, Dasar-Dasar
Filsafat Hukum, (Bandung; Alumni, 1985), hlm 47
[31] Seperti kasus-kasus pemberian HGU
terhadap perkebunan besar di Bengkulu, dikemudin hari terjadi sengketa dengan
masyarakat setempat, berdasarkan analisa penulis yang dimuat dalam suatu makalah
yang berjudul Transaksi yang bersangkutan dengan tanah yang berlaku di tengah
masyarakat sebagai alternatif penyediaan tanah untuk perkebenuan besar di
Bengkulu, disebabkan masyarakat tidak
dilibatkan mencarai alaternatif selain dari harus membebaskan tanah masyarakat
yang diatasnya telah ada hak-hak lain secara adat. Transaksi seperi
Sorong/sorongan, Sasih, maro/paruan dan lain-lain tidak pernah dicoba untuk di
gunakan sebagai dasar penyediaan tanah
bagi proyek pemerintah, berdasarkan hasil Penelitian Kusmito Gunawan,
hampir seluruh HGU di Bengkulu Utara bermasalah terutama menyangkut tanah
masyarakat. Hal ini juga karena pemberian HGU tidak selektif terbukti banyaknya
HGU perkebunan besar dicabut izin HGU nya. Terakhir, harian Bengkulen Post
menulis pada Edisi 26 September 2006 kasus PLTA Musi di Kabupaten Kepahyang,
“PLTA Musi ciptakan kemiskinan Baru”
[32] Sutandyo Wignyosoebroto, Ilmu
Hukum dan Ilmu Sosial, Kertas Kerja Seminar Antropologi hukum UI, Jakarta,
7-9 Januari 1991, hlm, 17-18.
[33] Lili Rasyidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum
…Op.Cit, hlm 118
[34] Herawan S, Implikasi Hukum
Terhadap Pelaksanaan Program Landreform Di Indonesia, Makalah, tanpa
tahun, hlm 5
[35] Tim Penulis Modul FISIP UT,
Materi Pokok Perencanaan Pembangunan, (Jakarta: Karunika 1988), hlm 1.5
[36] SF. Marbun, dkk, Hukum Administrasi
Negara, (Yokjakarta: UII Press 1997), hlm 237
[38] Awaloeddin Jamin, Masalah
Organisasi dan Administrasi Pembangunan, Majalah Prisma No. 4 Agustus 1974,
hlm 14.
[39]Muchsan dan Fadilla Putra, Op. Cit, hlm, 86.
[40] Emil Salim, Lingkungan Hidup dan
Pembangunan, (Jakarta: Mutiara, 1980), hlm, 160.
[41] Setiap usaha untuk menegakkan hukum
selalu dikembangkan ketangan penguasa-penguasa politik, karena setiap perumusan
kebijaksanaan melalui badan-badan legislatif terletak pada kekuasaan politik,
karena itu merupakan suatu keputusan politik. (Terjemahan: Philipe Nonet and
Philipe Selzink, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law,
(New York: Harper and Row Publishers, New York, 1978), hlm 79.
[42] Satjipto Rahardjo,Hukum dan
Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman di Indonesia,
(Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm
128-129.
[43] Soerjono Soekanto, Teori…Op. Cit,,
hlm 80.
[44] R. Otje Salman, Beberapa Aspek
Sosiologi Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1989), hlm 91
[45] Bambang Sunggono, Op. Cit,
hlm 3.
[46] Irawan Soejito, Teknik Membuat
Undang-Undang, (Jakarta: Pradnya Paraita, 1969, hlm 11.
[47] Negara kesejahteraan (welfare
State) sebagai antitese dan konsepsi yang individulistis dalam masa
liberalisme atau collektivitalisme yang menghendaki negara ikut serta dalam
penyelenggaraan kesejahteraan rakyat untuk menjamin keadilan sosial. Kalau
dalam negara hukum liberal para warga masyarakat dilindungi hak-haknya secara
formal menurut hukum. maka dalam negara kesejahteraan perlindungan dan jaminan
hak-hak warga lebih ditekankan pada perlindungan dan jaminan secara materiil
sosial ekonomis, hal ini berarti bahwa secara yuidis formil setiap orang berhak
dan bebas untuk menuntut kehidupan yang layak tetapi secara materiil yaitu sosial
ekonomis sebagian besar warga masyarakat tidak berdaya untuk memperbaiki
nasibnya. Jaminan dan perlindungan hak-hak bidang sosial ekonomi. Sebagai
akibatnya maka negara harus ikut campur tangan dalam pengaturan kehidupan
sosial ekonomi untuk menjamin keadilan sosial. (R. Soegijanto Tjakranegara,
Hukum Tata…Op. Cit, hlm. 64-65.
[48] Juanda, Op Cit, hlm 36
[49] YW. Sunindhia dan Mimik Widiyanti, Administrasi
Negara dan Peradilan Administrasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990),
hlm 157. Dalam kaitan pendapat di atas, secara teoritis pada umumnya dibedakan
adanya tiga macam hal berlakunya hukum atau perunadng-undangan, yaitu: 1.
berlaku secara yuridis, mengenai hal ini terdapat pandangan-pandangan sebagai
berikut: a). Han Kelsen dalam teorinya, The pure theory of Law menyatakan
bahwa hukum mempunyai keberlakuan yuridis apabila penentuannya berdasarkan pada
kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (hal ini berdasrkan teori, fenbau de
recStuhts) ; b). Zevenbergen dalam Formele Encyclopaidie der
Rechtswetwnschapmenyatakan bahwa suatu kaidah hukum mempunyai keberlakuan
yuridis apabila kaidah tersebut menurut tata cara yang ditetapkan; c). Logemann
dalam Over de Theorie van een Stelling Staatrecht menyatakan bahwa suatu
kaidah hukum mengikat apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu
kondisi dengan akibatnya. 2. Berlakunya secara Sosiologis, yang berintikan pada
efektifitas hukum, dalam kaitan ini terdapar dua teori pokok yang mengatakan :
a). Teori kekeuasaan pada pokoknya menyatakan bahwa hukum berlaku secara sosiaologis
apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, dan hal ini adalah terlepas dari
masyarakat apakah masyarakat menerima atau bahkan menolak; b). Teori pengakuan
yang berpokok pangkal pada pendirian bahwa berlakunya hukum didasarkan pada
penerimaan atau pengakuan oleh masyarakat kepada siapa hukum tersebut berlaku.
3. Berlakunya secara filosofis artinya bahwa hukum tersebut sesuai dengan
cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Liahat: Soerjono Soekato,
Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pembangunan di Indonesia,
(Jakarta: UI Press, Jakarta, 1983), hlm
34-35
[50]
Satya Arinanto, Politik Hukum…Op. Cit.
[51] Moh. Mahfud Md, Politik Hukum di
Indonesia, (Jakarta, LP3ES, 1998, hlm 91.
[52] Moh. Mahfud Md, Pergulatan
Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999, hlm 295.
[53] Sri Soemantari Martosowignyo, Pembangunan
Hukum Nasional dalam Presfektif Kebijakan, dalam Identitas Hukum
Nasional. Artidjo Alkostar, ed, (Yogyakarta, Fakultas Hukum UII, 1997), hlm
295.
[54] H. Muchsan dan Fadilla Putra,
Hukum…Op Cit hlm 37.
[55]
Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah ketentuan-ketentuan
semacam itu sering kita temui. Menurut Hukum Administrasi Negara “Himbauan”
tidak termasuk dalam katagori keputusan tata usaha negara seperi diatur pada
Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, dengan unsur-unsur sebagai berikut: -
Penetapan tertulis; - Oleh badan atau pejabat tata usaha negara; - Tindakan
Hukum Tata usaha negara; - kongkrit, individual, final, akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata. Disamping perbuatan hukum bersegi satu ada
sifat norma hukum bersegi empat yaitu: 1. Norma umum abstrak misalnya
undang-undang, 2. norma individual kongkrit misalnya keputusan tata usaha
negara, 3. norma umum kongkrit misalnya rambu-rambu lalu lintas yang dipasang
disuatu tempat tertentu (rambu ini berlaku bagi semua pemakai jalan namun hanya
berlaku untuk lokasi itu, 4). Norma individual abstrak misalnya izin gangguan.
(Philipus M. Hadjon, dkk, Pengatar…Op Cit hlm 124-125).
[56] YW. Sunindhia dan Mimik Widiyanti, Administri
….Op Cit, hlm 79.
[57] Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar
…Op Cit hlm 125.
[58] E. Utrecht, Pengantar Hukum
Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1964), hlm 9.
[59] Bagir Manan dan Kuntana Magnar,
Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni 1993), hlm
59.
[60] R. Soegijanto Tjakranegara, Hukum…Op
Cit hlm 77
[61] E. Sumaryono, Etika Hukum,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), hlm 87.
[62] Akmal Boedianto, Op.Cit. hlm. 48.
[63] The Liang Gie, Op. Cit. Dalam Akmal Boedianto, Ibid,
hlm.51.
[64] I Gede Astawa, Op.Cit, hlm. 82 dalam Akmal Boedianto, Ibid.
[65] CST Kansil, Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, Cet.3, (Jakarta: Rineka Citra,
1991), dalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pasca
Reformasi, (Jakarta: Pt. Bhuana Ilmu Populer, 2008, hlm. 305.
[66] Lihat: Prioritas Program Legislasi
Nasional dari 70 UU yang masuk dalam Prolegnas 2011 salah satunya Perubahan
Terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Sekretariat Jenderal
DPRI Tahun 2011.
[67] Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan
Retrebusi Daerah. UU Nomor 28 Tahun 2009 Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 130. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
[68]
Periode berlakunya UU No. 22 Tahun 1999,
telah memakan korban dari penguatan kewenangan DPRD seperti
pemberhentian Walikota Surabaya (Soenarto Sumoprawiro dan penggantinya Bambang
Dwi Hartono 11 Juli 2002), Gubernur Kalimantan Selatan (Sjahril Darham bulan
Agustus 2002) dan Bupati Kampar, Riau (Jefri Noer tanggal 12 Oktober 2002).
Berbeda dengan kasus di atas Walokota Bengkulu (Khairul Amri) beberapa bulan
menjelang masa jabatan berakhir membuat pernyataan mengundurkan diri kepada
DPRD karena disinyalir pertanggingjawabannya akan ditolak, akan tetapi
pengunduran diri yang bersangkutan tidak ditanggapi dan pertanggungjawaban yang
bersangkutan diterima oleh DPRD Kota Bengkulu. (Lihat: Juanda, Op.Cit,)
[69]
Problematika penyelenggaraan pemerintahan daerah sebenarnya bermuara dari
inkonsistensi UUD 1945 terutama Pasal 19 ayat (1) dengan ayat (2) nya, dimana
Pasal 19 ayat (1) menyebutkan: “Penyelenggaraan pemerintahan adalah Presiden
dibantu oleh satu orang wakil Presiden, dan oleh menteri negara”. Sedangkan
ayat (2) menyebutkan: “Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah Pemerintah
Daerah dan DPRD.” Lihat: Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok...Op.
Cit, hlm. 394
[70]. E.
Koswara, ”Kebijaksanaan Desentralisasi
dalam Rangka Menunjang Pembangunan Daerah” dalam Achmad Sjhabuddin dan
Arselan Harahap, Pembangunan Administrasi
di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 146.
[71] Juanda,
Op. Cit, hlm. 357-358.
[72] Juanda,
Ibid
[73]
Akmal Boedianto, Op. Cit. Hlm. 49-50.
[74] Jimly Asshiddqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, (Jakrata: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008),
hlm. 494.
[75] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2006), hlm. 130.
[76]Ibid
[77]
Di dalam praktik penyerahan kewenangan pusat kepada daerah provinsi dan
Pemerintah Provinsi menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota, biasanya dalam penyerahan sebagian kewenangan dari Pemerintah
Provinsi kepad Pemerintah Kabupaten/Kota sering terjadi kendala dengan berbagai
pertimbangan, sehingga sebagian kewenangan yang telah diberikan kepada
Pemerintah Provinsi tersebut tidak seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota sehingga di dalam paraktek justru Pemerintah Provinsi yang
paling banyak menerima pelimpahan kewenangan yang seharusnya kwenangan tersebut
dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
[78] R.G. Kartaspoetra, Sistematika Hukum Tatanegara, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1993), hlm. 97
[80] Vidhiyandika Moeljarto, Kemiskinan: Hakekat, Ciri Dimensi, dan Kebijakan dalam CSIS , Kemiskinan Mengais
Sumber Daya, Majalah Analisis, Tahun XXXII No. 3.
[81] Satjipto Rahardjo, Membedah…Op. Cit, hlm. 59-60.
[82] Akmal Boedianto, Op.Cit, hlm. 45
[83] Dirjen PMD, Kementerian Dalam Negeri
RI, Integrasi Sistem Perencanaan dalam
Pembangunan Daerah, materi ceramah dalam Power Point, Juli 2008.
[84]M.R. Khairul Muluk, Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah,
(Malang: Banyu Media dan Lembaga Penerbitan FIA Unibraw, 2007) hlm. 91.
[85]Ginanjar
Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat,
(Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan (Jakarat: CIDES, 1997), hlm. 114-115.
[86] Dalle Daniel
Sulekale, Pemberdayaan Masyarakat Miskin
di Era Otonomi DaerahTahun II No. 2, April 2003. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_14/artikel_2.htm, di akses 28
Desember 2011.
[87] Suparto Wijoyo, Laku-Lika-Liku Ilmu Hukum, (Surabaya: Airlangga University Press,
2005), hlm. 381.
[88] Dalam sebuah sumber menyebutkan,
inventarisasi yang dilakukan oleh komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah
menemukan hanya 14,8% dari 709 perda yang diteliti, tidak bermasalah sisanya
85, 2% bermasalah, sumber lain menyebutkan dari 1.600 perda yang diteliti
KPPOD, sebanyak 500 perda atau 31% diusulkan untuk dicabut. (Jazim Hamidi, dkk,
Optik, Op.Cit., hlm. 127-128).
[89] M.R. Khairul Muluk, Op. Cit, ,
hlm.13
[90] Program LGSP
dilaksanakan atas kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS),
Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Pemerintah Daerah dan organisasi
masyarakat dalam wilayah provinsi target LGSP. Program LGSP didanai oleh United States Agency for International
Development (USAID) dan dilaksanakan oleh RTI Internasional berkolaborasi
dengan International City/County
Management Association (ICMA), Democracy
International (DI), Computer Assisted
Development Incorporated (CADI) dan the
Indonesia Media Law and Policy Centre (IMLPC). Pelaksanaan Program dimulai
pada Tanggal 1 Maret, 2005 dan berakhir Tanggal 30 September, 2009. LGSP
bekerja di lebih dari 60 kabupaten dan kota di Indonesia di sembilan provinsi:
Aceh, Sumatera
Utara,
Sumatera Barat, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan
dan Papua Barat.
[91] USAID, Meneropong Jejak Perjuangan
Legislatif Daerah, http://www.ireyogya.
Org wp/WP% 20Sutoro% 2001. pdf.
Diakses tanggal 24 Desenber 2012.
[92] “Partisipasi dapat terjadi bila ada
demokrasi” Lihat: Khairul Muluk, Op. Cit,
hlm. 52.
[93] Kementerian Pekerjaan Umum,
Direktorat Cipat Karya, Modul Dasar PNPM Mandiri, Pembangunan Partisipatif. 2006.
[94] M.R. Khairul Muluk, Op.Cit, hlm.49.
[95]
Kementerian, Op. Cit.
[96]Ibid
[97] Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 135.
[98] Kementerian, Op. Cit.
[99]Ibid
[101]Ibid
[102] Wahyu Kumorotomo, Op. Cit. hlm. 135
[103] Taliziduhu Ndraha, Pembangunan
Masyarakat; Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas, (Jakarta: Bina Aksara,
1987), hlm 103-104.
[104] Ginanjar Kartasasmita, Visi
Pembangunan 2018, Tantangan Bagi Profesi Administrasi, Majalah
Perencanaan Pembangunan No. 08/Mei, 1997, hlm 9.
[105] Loekman Soetrisno, Upaya Menciptakan Pembangunan Berkelanjutan,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hlm 122
[106] Mekanisme perencanaan menurut Atar
Sibero sebagai berikut: 1). Musyawarah pembangunan di tingakat Desa dimana LKMD
yang dipimpin oleh Kepala Desa/Lurah dengan dibimbing Camat menyusun usulan
rencana pembangunan desa, 2). Berupa diskusi Temu Karya Pembangunan di tingkat
kecamatan, baik dalam bentuk diskusi UDKP maupun temu karya LKMD yang dipimpin
Camat dengan bimbingan Ketua Bappeda TK II dan Kepala Kantor Bangdes
Kab./Kodya, 3) Rapat koordinasi pembangunan (Rakorbang) TK II, 4) Rakorbang TK
II, 5). Konsultasi
Regional Bappeda, 6). Konsultasi Nasional Bappeda. Atar Sibero, Peningkatan
Kemampuan Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Daerah, (Jakarta:
LP3ES, 1985), hlm 9-10.
[107]
Pramudya L, Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001, (Jakarta: PT. Gramedia Wedia
Sarana, 2000), hlm 23-24.
[108] O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Beberapa
Bab Dari FilsafatHukum, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1975), hlm. 83
[109] Otto
Soemarwoto, dalam NHT. Siahaan, Hukum
Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004),
hlm. 53
[110] M.
Riyas Rasyid, Mengubah Pemerintah
Indonesia, (Jakarta: Eventa Prima Comunication, 2003), hlm. 236.
[111] a.
Kasus Riau, Provinsi Riau menghasilkan
devisa Rp. 60 Triliun dalam setahun, hutan Riau hampir habis dieksploitasi,
dari 9,2 juta hektar hutan, saat ini yang masih perawan tinggal 450 ribu
hektar. Pasir dari Riau bahkan dijual untuk reklamasi Singapura, sekitar 82, 7
persen hak ulayat Riau diambil konglomerat Jakarta… b. Kasus Free Port, karena
dari pertambangan Free Port hanya mendapatkan 2 % dari bahan yang digali
sedangkan 98 % sisanya menjadi buangan (tailing) yang digelontorkan begitu saja ke sungai. c.
kasus Aceh … kekayaan Aceh berupa minyak bumi, gas alam dan hutan dieksploitasi
habis-habisan. Rian Nugroho D., Otonomi Daerah. Desentralisasi Tanpa
Revolusi, (Jakarta: PT. Elex Media Kupotendo, 2000), hlm 191-192.
[112] Alvi
Syahrin, Op.Cit, hlm 84-85.
[113]
Andrianof A. Caniago, Rintangan-Rintangan Demokratisasi di Indonesia, Dalam
Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, (Jakarta: LP3ES, 2002), hlm 22.
Komentar
Posting Komentar