Renungan Malam ini Perda “Bernuansa” Agama.

Renungan Malam ini
Perda “Bernuansa” Agama.
Alhamdulillah Pagi tadi (Pukul 08.00-09.00. Tgl. 06-03-2017), saya diberikan kepercayaan untuk mengantarkan mahasiswa meraih gelar Sarjana Hukum Tata Negara (HTN) di Fakultas Syaria’h IAIN Bengkulu, dengan Gelar SH, sesuai dengan PMA No. 33 Tahun 2016 tentang sebutan Gelar Kesarjanaan di Lingkungan PTKIN, dalam prosesi ujian Skripsi an. Sdr. Nindia Permata Sari, saya bertindak sebagai Ketua/Pembimbing/Penguji, Sekretaris/Pembimbing/Penguji Ibu. Ernawati, M. Hum dan Penguji Utama Bapak Prof. Dr. H. Sirajuddin, M. M. Ag. MH (Plt. Rektor) Dan Penguji Kedua Bpk. Wery Gusmansyah, MH. (Kaprodi HTN).
Saya justru tertarik kepada kesimpulannya antara lain dengan keteguhan dan keyakinan bahwa Perda bernuansa agama yang didasarkan pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah, Ia mengatakan bahwa dasar hukum pembentukan Perda bernuansa agama sangat lemah, namun secara konstitusional dan filosofinya sangat kuat, karena ada landasan hukum UUD 1945, Pasal 28, dan Pasal 29, dan secara filosofis terdafat dalam Pancasila sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” tentunya dalam kajian ananda Nindia Permata Sari, walaupun UU No. 23 Tahun 2014 tidak mengatur secara implisit tetapi jelas dapat dibenarkan, dapat diberlakukan apalagi jika dikaitkan dengan kajian Fikih Siyasah melalui kajian makasit syariah, bahwa Pembentuk perda yang bisa dikatagorikan sebagai Ijtihad “Imam/Pemimpin”, yang intinya seorang Imam atau Pemimpin harus memberikan kemaslahatan kepada umat/rakyat. Jadi pembentukan Perda bernuansa Agama sepanjang untuk kemaslahatan Umat jelas dibolehkan bahkan diwajibkan.
Renungan ini mengingatkan saya, ketika mengikuti pembahasan Perda Pengelolaan Zakat Provinsi Bengkulu, beberapa bulan yang lalu, mayoritas fraksi dan anggota DPRD provinsi Bengkulu sepakat untuk menolak Raperda Pengelolaan Zakat usul inisiatif DPRD sendiri, walaupun pembahasannya sudah melalui tahapan-tahapan bahkan sudah dibentuk Pansus, berarti sudah ada wakil-wakil dari setiap Fraksi, namun pada Paripurna ternyata ditolak, alasanya tentu masalah yuridis formal, karena Pengelolaan Zakat sudah diatur dalam UU dan ada juga surat dari Mendagri bahwa perda semacam itu tidak dianjurkan. Sebenarnya saya terlibat dalam penyusunan Naskah Akademik bahkan draft materi pasal-pasalnya, waktu itu saya berkeyaknan Perda ini akan mulus untuk disahkan, tetapi kenyataannya berbeda dari harapan dengan penolakan, hanya tiga Fraksi yang mendukung dan lima Fraksi yang menolak dan votingpun juga sebagain besar menolak, dari 23 anggota yang hadir, hanya 9 yang menerima. Tanggapan Pemerintah Darah melalui Wakil Gubernur, sebenarnya mengarah kepada keberatan adanya Perda ini walaupun hanya bersifat eksplesit, melaui analisis hukum semata dan hanya berdasarkan landasan formil UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah daerah dan UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yang intinya Pengelolaan zakat adalah domein Baznas dan pertanggungjawabannya kepada Menteri Agama.
Alasan para politisi Padang Harapan tersebut bahwa pengaturan zakat sudah diatur dalam UU dan juga sudah ada Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat, mereka berkesimpulan bahwa pengelolaan Zakat adalah kewenangn Pemerintah Pusat, daerah tinggal melaksanakannya, secara logika betul, namun dalam praktiknya akan sulit bagi pemerintah Daerah yang bersifat otonom untuk memobilasi pengumpulan zakat melalui wadah khusus yakni Baznas, karena para muzaki diberikan kebebasan untuk menyalurkan zakatnya kepada para asnaf yang berhak. Tujuan utama Perda Pengelolaan Zakat agar uang yang terkumpul bisa dikembangkan secara produktif dan tentunya tidak bersifat konsumtif semata.
Saya tidak berani berasumsi bahwa memang ada kekuatan-kekuatan tertentu yang secara tersembunyi takut, jika hukum-hukum public tersebut secara jelas berasal dari hukum agama (Islam), mungkin ini petaka dan warisan jaman colonial, dan dilanggengkan orde lama sampai orde baru, sehingga jika ada keinginan dari orang Islam untuk memformalkan hukum, maka jelas kecurigaan akan bertambah bahwa suatu saat aka nada upaya untuk menuntut penegakan syariat islam di Indonesia. Saya rasa ini berlebihan dan seharusnya dipilah-pilah. Hukum Islam yang berdampak sosial dan tujuannya untuk kesejahteraan umat, Pemerintah wajib mendukung, jangan dikait-kaitkan dengan masalah toleransi beragama, justru yang menolak pemeberlakuan hukum-hukum agama yang mengatur umat beragama dan tujuannya untuk kedamaian agama tersebut itulah orang yang intoleransi. Bahkan mungkin di dalam benaknya, sudah terbawa sifat represif terhadap aspirasi dan keyakinan penduduk mayoritas Muslim. Saya tidak sejauh ini untuk berasumsi bahwa masih terdapat penguasa yang bersikap diskriminatif dengan dalih toleransi bahkan demokrasi, yang dengan keras menolak jika hukum yang akan dibuat bersumber dari nilai-nilai Islam. Akibatnya, setiap kali umat Islam menuntut berlakunya syari’at Islam dalam rana public pasti mendapat penolakan, tanpa dikaji secara mendalam. Asumsi ini terlalu jauh dan tidak pas untuk era reformasi sekarang ini. Mungkin hanya beda pemahamannya saja dan beda cara merujuk suatu atauran yang melatar belakanginya.
Raperda Zakat sebenarnya hanya memberikan legitimasi kepada Pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pembayaran zakat pada Instansi Pemerintah termasuk badan-badan usaha dibawah koordinasi Pemerintah daerah secara focus menyalurkan zakat pada Baznas baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota, dengan adanya Perda diharapkan Pemerintah Daerah benar-benar focus untuk itu. Kalau masalah pembayaran zakat itu sudah menjadi rana privatisasi kaum muslimin. Apalagi di daerah yang mayoritas beragama Islam, sekali lagi harapan kita adalah agar zakat benar-benar produktif, tidak konsumtif semata. Perda zakat jelas mempunyai nilai ekonomi syariah yang tinggi, seharusnya Pemerintah Daerah berupaya sekuat tenaga menggerakan potensi apa saja yang bersifat halal untuk kesejahteraan rakyatnya, zakat memenuhi unsur itu.
Jika itu alasanya, kontradiktif dengan hasil ujian Skripsi Mahasiswa saya yang pada bagian saranya justru merekomendasikan agar perda-perda yang bernuansa agama jika memang dikehendaki oleh masyarakat dan mempunyai dampak untuk kemaslahatan umat, dapat dibentuk. Kalau hanya alasanya bahwa UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah bahwa urusan agama adalah kewenangan Pusat, ini juga perlu dipertanyakan karena urusan agama berada dimana-mana dipusat juga ada di daerah juga ada, jadi harus diatur betul yang mana yang tidak boleh dan yang mana yang dianjurkan. Lagi pula dalam politik pembentukan produk hukum daerah seperti Perda harus dimaknai sebagai suatu keberpihakan kepada rakyat untuk mempercepat kesejahteraan bagi daerah tersebut, tanpa melanggar rambu-rambu konstitusi Negara. (wallahualam bissawab).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU