Harmonisasi Pengaturan Perencanaan Pembangunan Daerah: (Kajian khusus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJM Daerah Provinsi)”.



BAB I 
PENDAHULUAN
1.           Latar Belakang

Disertasi ini mengambil judul: Harmonisasi Pengaturan Perencanaan Pembangunan Daerah: (Kajian khusus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJM Daerah   Provinsi)”. Dari judul di atas terdapat kata harmonisasi, kata harmonisasi dimaksudkan adalah upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional.[1]dalam websters new twentieth century dictionary, harmonization diartikan the act of harmonizing. Harmoni dalam bahasa Inggris disebut harmonize, dalam bahasa Francis disebut dengan harmonie, dan dalam bahasa yunani disebut harmonia. Harmonize penjelasan menurut websters new twentieth century dictionary adalah “a fitting together, agreement, to exist in peace and frienship as individuals or families (1) combination of parts into an orderly or proportionate whole (2) agreement in feeling, idea, action, interest etc..[2]Kata harmonisasi sendiri berasal dari kata harmoni yang dalam bahasa Indonesia berarti pernyataan rasa, aksi, gagasan dan minat: keselarasan, keserasian.[3]
1
 
Di Indonesia harmonisasi dapat diketahui dalam Keputusan Presiden No. 188 Tahun 1998, Pasal 2 menyebutkan: ”Dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi yang akan dituangkan dalam rancangan undang-undang. Menteri atau Pimpinan Lembaga pemerkasa penyusunan rancangan undang-undang wajib mengkonsultasikan terlebih dahulu konsep tersebut dengan Menteri Kehakiman dan Menteri serta Pimpinan Lembaga lainnya yang terkait.
Harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia setelah keluarnya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan[4] (selanjutnya disebut UU No. 10 Tahun 2004), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentuakan Perundang-Undangan.[5] Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 16, UU No. 10 Tahun 2004 bahwa proses pembentukan peraturan perundang-undangan dilaksanakan sesuai dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yang  dilaksanakan secara terpadu antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan tata cara dan pengelolaan Prolegnas tersebut dalam pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolan Program Legislasi Nasional, yang ditetapkan pada tanggal 13 Oktober 2005. Demikian juga dengan UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 16 menyebutkan: “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas”.
Badan Pembinaan Hukum Nansional (BPHN), menegaskan di samping pentingnya sinkronisasi hukum,[6] harus ada harmonisasi hukum, dengan menyatakan bahwa suatu sistem hukum terus mengalami perubahan, ”Sistem hukum nasional Indonesia juga merupakan hasil proses harmonisasi antara sejumlah unsur dan faktor yang diolah berdasarkan dan memegang teguh paradigma, asas-asas, norma, dan metode hukum yang pasti, sebagaimana disepakati sebelumnya”,[7] Pada bagian lain BPHN. dalam buku yang disusun oleh Moh. Hasan Wargakusumah dan kawan-kawan, harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis.[8]
Memasuki babak baru era reformasi, telah membawa peubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, salah satu yang mengalami perubahan adalah sistem perencanaan pembangunan daerah, hal ini ditandai dengan keluarnya beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur perencanaan pembangunan daerah, yaitu: pertama, Undang-Undang Nomor:25 Tahun 2004Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional[9] (selanjutnya disebut UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN), yang mengatur khusus mengenai perencanaan. Kedua,  Undang-Undang Nomor:17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara[10](selanjutnya disebut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara),  yang mengatur pengelolaan keuangan negara dan daerah[11]. Ketiga,  Undang-Undang Nomor:32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2004 Pemda),[12] undang-undang ini telah dua kali diubah dan terakhir dengan Unadang-Undang Nomor: 12 Tahun 2008 tentang  Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,[13] (Selanjutnya disebut UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua UU Pemda) juga mengatur tentang Perencanaan Pembangunan Daerah,  dan keempat, Undang-Undang Nomor:33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah,[14] (selanjutnya disebut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan)yang mengatur perencanaan dan penganggaran di daerah. Di samping keempat UU yang disebutkan tadi dan merupakan implementasi dari UU tersebut ada juga Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang[15] (selanjutnya disebut UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJP) sebagai implementasi dari kempat UU dimksud.
Keluarnya keempat undang-undang yang memiliki kekuatan hukum yang sama, akan menimbulkan multi tafsir dalam implementasinya, mengingat UU tersebut mengatur substansi yang saling terkait, dengan demikian berpotensi disharmoni dan tidak sinkron, seperti dikatakan oleh Goesniadhi:
Penerapan peraturan perundang-undangan dalam jumlah yang banyak secara bersamaan dalam waktu yang sama dan dalam ruang yang sama, sudah tentu membawa konsekwensi terjadinya disharmonisasi hukum, misalnya terjadi tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan…sudah tentu akan menimbulkan benturan kepentingan antarlembaga. Masing-masing peraturan perundang-undangan memiliki tujuan, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi, dimana ketiganya sering dirumuskan dalam bentuk kebijakan-kebijakan.[16]
BPHN juga mensinyalir adanya ketidakharmonisanpembuatan peraturan perundang-undangan, seperti disimpulkan pada seminar BPHNke VIII tahun 2003 bahwa: “Berkenaan dengan peraturan perundang-undangan selain penggunaan istilah atau nomenklatur yang rancu penempatan urutannya pada suatu jenjang atau hierarki banyak yang tidak sesuai dengan kaidah perundang-undangan yang berlaku.
Problem di atas terus berlangsung jika dihubungkan dengan realitas pengaturan perencanaan pembangunan daerah saat ini, ketidakharmonisan keempat Undang-undang benar adanya seperti diungkapkan oleh Ibnu Tricahyo[17]dan temuan peneliti sebagai berikut:
1.    Ada  4 (empat) Undang-undang yang mengatur perencanaan pembangunan dan penganggaran, yaitu: UU No. 25 Tahun 2004 mengatur khusus mengenai perencanaan, sementara UU No. 17 Tahun 2003 mengatur pengelolaan keuangan Negara dan daerah, sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, mengatur perencanaan dan penganggaran di daerah. Serta UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN. Artinya, proses perencanaan dan penganggaran di daerah harus mengacu keempat undang-undang ini. Tidak menutup kemungkinan, keempat undang-undang yang memilii kekuatan hukum yang sama kuat, dapat menimbulkan multi interpretasi dalam implementasinya, mengingat keempatnya mengatur substansi yang saling terkait.
2.    Berdasarkan ketentuan UU No.25 Tahun 2004, Pasal 19 ayat (3)   menyebutkan: ”RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala Daerah dilantik”.  Sedangkan di dalam  UU No.32 Tahun 2004Pasal 150 ayat (3) huruf e menyebutkan: ”RPJP Daerah dan RPJM Daerah sebagaimana disebut pada ayat (3) hurup a dan b ditetapkan dengan Perda berpedoman kepada Peraturan Pemerintah”

Adanya perbedaan pengaturan hukum perencanaan pembangunan daerah yang sama-sama masih berlaku menyulitkan pelaksanaan pengaturan perencanaan daerah.[18]Perbedaan pengaturan tersebut pada gilirannya akan menimbulkan masalah yuridis yang cukup serius terhadap keabsahan suatu dokumen perencanaan pembangunan daerah, karena antara Peraturan Daerah (Perda) dengan Peraturan Kepala Daerah mempunyai kedudukan hukum yang berbeda.  Hal ini berkaitan dengan kekuatan hukum peraturan perundang-undangan seperti diatur dalam Pasal 7 ayat (5) UU No.10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 7 ayat (2) jo. Pasal 8 ayat (1) dan (2), jo. Pasal 14.
Menurut Maria Farida Indrati S. Fungsi Peraturan Daerah dan fungsi Peraturan Kepala Daerah berbeda sifatnya: Fungsi Peraturan Daerah merupakan fungsi yang bersifat atribusi sedangkan fungsi Peraturan Kepala Daerah ini merupakan fungsi delegasian dari Peraturan Daerah, atau dari suatu Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[19]
Sedangkan materi muatan Perda itu sendiri berisikan kebijakan-kebijakan hukum dan politik seperti dikatakan oleh Muhchsan dan Fadila Putra:
      Perda adalah ketetapan hukum, sedangkan materi Perda tersebut adalah produk kebijakan politik, dan penetapan hukum itu perlu agar masing-masing stakeholders yang kemungkinan dikemudian hari melanggar kesepakatan tersebut dapat dikenakan sanksi, dan konsistensi dari stakeholders dapat dijaga keutuhannya.[20]
3. Ketentuan Pasal 150 ayat (3) hurup a dan b UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan:
Rencana Pembangunan Jangka Panjang daerah disingkat dengan RPJP daerah untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang mengacu kepada RPJP nasional;
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah daerah yang selanjutnya disebut RPJM Daerah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman kepada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJM nasional;
                   Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat  (2) UU No. 25 Tahun 2004, menyebutkan:
RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program”
Mengingat materi muatan RPJM Daerah   Provinsi antara lain merupakan penjabaran Visi dan Misi, berarti RPJM Daerah  Provinsi tersebut merupakan ide dan gagasan dari calon Kepala Daerah. Dari ketentuan Pasal di atas mengisyaratkan bahwa perencanaan yang diatur dalam RPJM DaerahProvinsi adalah program Kepala Daerah yang disusun berdasarkan visi dan misi Kepala Daerah yang terpilih dalam Pemilihan Umum yang dilakukan secara langsung, dengan demikian RPJM DaerahProvinsi murni merupakan ide-ide Kepala Daeahyang sebelumnya sebagai calon Kepala Daerah, berkemungkinan dengan ide-ide dan gagasan seorang calon calon Kepala Daerah itulah yang menyebabkannya terpilih menjadi Kepala Daerah walaupun hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Berdasarkan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 di atas, maka berkemungkinan besar materi muatan RPJM Daerah   Provinsi yang harus dituangkan dalam Peraturan Derah akan berbeda dengan visi dan misi yang disampaikan pada saat kampanye. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian terdahulu, bahwa RPJM Daerah  Provinsi sebagian besar diatur dalam Perda[21].
          4.Berdasarkan ketentuan Pasal 150 ayat (1) hurup c UU No. 32 Tahun 2004 bahwa:

”Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah daerah yang selanjutnya disebut RPJM Daerah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman kepada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJM nasional;

Persoaalan yang muncul dalam pembentukan RPJM Daerah   Provinsi yang harus bepedoman kepada RPJM Nasional, hal ini terjadi karena berkemungkinkan pemilihan Kepala Daerah pelaksanaannya terjadi lebih dahulu dari pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden atau sebaliknya maka, RPJM Daerah   Provinsi akan disusun berdasarkan RPJM Nasional yang disusun berdasarkan visi dan misi Presiden telah berganti.

5.  Disharmoni UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Kedua UU ini, juga mengatur hal yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran di daerah, padahal UU No. 25 Tahun 2004 telah mengatur secara rinci tentang Perencanaan Pembangunan Daerah.
6. Disharmoni antara UU No.17 Tahun 2003dan UU No. 33 Tahun 2004, juga mengatur perencanaan tahunan dan  penganggaran daerah, UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 33 Tahun 2004. Hal ini dapat dilihat hampir sebagian Pasal dan ayat pada UU No.33 Tahun 2004, khusunya berkaitan dengan penyusunan APBD, merupakan “copypaste” dari UU No.17 Tahun 2003. Perbedaannya, hanyalah pergantian beberapa kata dan penambahan satu ayat atau lebih dalam Pasal-pasalnya, namun tetap mengisaratkan hal yang sama. BeberapaPasaldari aturan tersebut mengatur hal yang sama.[22]Pada dasarnya, pencatuman kembali aturan kedalam aturan yang lain,bukan suatu larangan, namun sebaiknya jika mengatur  hal yang sama cukup merujuk aturan yang terdahulu. Sehingga tidak terkesan melakukan pemborosan aturan atau kurang kreatif dalam penyusunan undang-undang, yang dapat menjadi preseden buruk bagi para aparat di daerah dalam penyusunan Perda.  
1.            RPJPD membatasi penyampaian visi dan misi calon Kepala Daerah dan RPJM Daerah, artinya para calon Kepala Daerah dalam berkampanye menyampaikan visi-misi dan programnya tidak boleh terlepas dari RPJP Daerah. Sebagai ilustrasi,  jika ada 5 calon Kepala Daerah, maka akan terjadi perebutan isu yang ada dalam RPJP Daerah. Disamping itu perencanaan jangka panjang juga memiliki landasan hukum yang lemah. RPJP Nasional  yang ditetapkan dengan undang-undang danRPJPDaerah dengan Perda, dapat saja berubah atau diganti, seiring dengan pergantian pemerintahan nasional maupun daerah. Akibatnya, RPJP Daerah bisa saja terus dirubah pada saat pergantian pemerintahan sehingga tidak berbeda dengan RPJM Daerah yang selalu dirumuskan 5 tahunan.
2.    Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tidak disebutkan keharusan mengikutkan masyarakat, hal ini berbeda dengan penyusunan RPJPDaerah dan RPJM Daerah.Padahal RKPD merupakan program tahunan yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Hanya partisipasi masyarakat dalam RKPD  dimaksudkan sebagai pendorong dalam hal pendanaan pembangunan.UU No. 33 Tahun 2004, penyusunan RKPD dinyatakan hanya mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan tidak disebutkan sebagai penjabaran RPJM Daerah. UU No. 17 Tahun 2007  tentang RPJPN yang dinyatakan sebagai pedoman jangka panjang dalam sistem pembangunan nasional untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, akan tetapi justru berkemungkinan tidak akan dijadikan pedoman oleh daerah-daerah karena beberapa kendala, seperti telah disebutkan di atas.
Adanya beberapa UU yang mengatur tentang sistem perencanaan pembangunan yang tidak harmonis, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan konflik antara penyelenggara negara (termasuk pemerintahan di daerah, pen), karena undang-undang menyimpan potensi konflik.[23]
Berkenaan dengan pendapat di atas,  perlu juga dikaji ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan:“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Berarti Presiden adalah satu-satunya yang diberikan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam hal perencanaan pembangunan, oleh karena itu berbagai ketentuan undang-undang yang mengatur tentang perencanaan pembangunan seharusnya menyatu dalam ketentuan peraturan yang dijadikan landasan hukum pembangunan nasional. Pasal 4 ayat (1) UUD1945 ini, sejak dirumuskan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tidak mengalami perubahan. 
Akan tetapi jika diamati ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian ketentuan Pasal tersebut dan dihubungkan  dengan sistem perencanaan pembangunan seolah-olah berdiri sendiri-sendiri[24] dan masing-masing daerah akan merencanakan kepentingan daerahnya sesuai dengan asas otonomi daerah, dan sering tidak mempehatikan prinsip-prinsip otonomi dalam koridor negara kesatuan. Berkenaan dengan itu Solly Lubis memberikan saran, ...supaya dipahami benar-benar baik konsepsional maupun oprasional mengenai hakekat otonomi daerah dan kaitannya dengan asas desentralisasi dan dekonsentralisasi serta dengan asas medebewind (tugas pembantuan)[25]. Hal ini juga dipertegas dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) yang menyebutkan: “Pemerintah Daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 tersebut jika dihubungkan dengan Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004, dimana hal-hal yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan adalah termasuk urusan wajib pemerintahan daerah provinsi. Oleh karena itu pengaturan tentang perencanaan pembangunan harus juga memperhatikan ketentuan Pasal tersebut, yang berarti daerah bebas merencanakan sesuatu harus sesuai dengan potensi sumberdaya daerah masing-masing berdasarkan skala provinsi, kabupaten dan kota.
Pemahaman terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (1) sebagai kaidah penuntun untuk mempertegas batas-batas kewenangan eksekutif (constitutional government) khususnya Presiden supaya tidak menjurus kepada pemerintahan yang diktator, dengan memberdayakan lembaga-lembaga negara lain menurut kewenangan konstitusionalnya masing-masing dan untuk mengontrol kebijakan serta tindakan Presiden dan aparat eksekutif dalam pimpinannya. Sedangkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 sebagai kaidah penuntun dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, supaya lebih dikonkritkan aturan konstitusionalnya yang mengacu kepada aspirasi politik yang menghendaki otonomi yang seluas-luasnya dengan perimbangan kekuasaan dan perimbangan keuangan yang mendukung pengembangan ekonomi yang luas itu, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945[26].
Selain problematika harmonisasi dan sinkronisasi hukum di atas, pengaturan hukum diperlukan guna mencegah dan menanggulangi dampak negatif perencanaan akibat dari ketidak sinkronan hukum, maka kebutuhan terhadap pengaturan hukum secara komprehensip menjadi alasan bagi istilah “pengaturan hukum” sebagai bagian dari keseluruhan judul tulisan ini.
Perlu diingat bahwa perencanaan tidak semata-mata merupakan persoalan instrumentasi sasaran-sasaran secara efisiensi, juga suatu proses yang mungkin mengantar masyarakat menemukan masa depannya.[27] Jadi pada dasarnya perencanaan pembangunan daerah yang dituangkan dalam RPJM Daerah Provinsi bertujuan untuk mengarahkan dan menciptkan kondisi  kehidupan rakyat yang lebih baik paling tidak untuk masa jabatan Gubernur selama 5 (lima) tahun. Adapun keterkaitan hukum dalam perencanaan pembangunan adalah mendasari, menuntun dan mengamankan kegiatan pembangunan atau dengan kata lain memberikan arah agar tidak terjadi penyimpangan-penyimapangan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan. Menurut Sjachran Basah substansi hukum sebagai sarana pembangunan harus mampu:
1.     memberi arahan terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan dan hasil-hasilnya (stabilitatief);
2.     Membina kesatuan dan persatuan bangsa (integratief);
3.     Memelihara, menjaga dan mengamankan pembangunan dan hasil-hasilnya (stabilitatif);
4.     Menyempurnakan sikap tindak administrasi negara dan warga masyarakat (perfektif)
5.     Mengoreksi sikap tindak administratif negara dan warga masyarakat.[28]

Mengingat sistem perencanaan pembangunan daerah yang diatur dalam perundang-undangan, maka dapat diartikan bahwa perencanaan pembangunan di Indonesia adalah perencanaan normatif dalam artian perencanaan pembangunan tersebut mengikat seluruh warga negara untuk melaksanakan perencanaan pembangunan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Adapun ciri-ciri pembangunan normatif sebagaimana dikemukakan oleh Ateng Syafruddin sebagai berikut:
1.   bertujuan merumuskan dan melestarikan sasaran-sasaran dan nilai-nilai; yakni sebagai pengamalan Pancasila dan UUD 1945.
2.   Memiliki koridor otonomi yang cukup besar bagi para perancang dan lembaga-lemabaga perancang dalam merumuskan keinginan, gagasan, sasaran, dan peralatan yang dikehendaki. Kadar otonomi dimaksud, terimplementasikan melalui pengaturan, wewenang, tugas dan fungsi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen-departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Instansi Vertikal, Unit Pelaksana Teknis Dinas, dan Dinas-Dinas Daerah.
3.   Bersifat Adaptif, mengembangkan, melestarikan, dan memperbaharui; perwujudannya terlihat dari materi muatan GBHN, REPELITA Nasional, Pola Dasar Pembangunan Daerah, REPELITA Daerah dan Program/Proyek/Kegiatan Tahuanan Daerah.[29]

Perencanaan normatif tersebut mengindikasikan adanya korelasi positif yang kohesif antara konsep perencanaan dengan kebijaksanaan dan dengan norma-norma hukum, Kondisi ini tercermin dari definisi Kickert yang dikutif oleh Ateng Syafruddin, bahwa: ”...Perencanaan adalah suatu bentuk kebijaksanaan yang memiliki aspek-aspek mengendalikan hari depan dan mempererat saling keterkaitan”.[30] Di samping itu perencanaan pembangunan daerah menghendaki partisipasi masyarakat yang sesungguhnya, bukan sekedar memenuhi tuntutan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan penelitian Khairul Muluk terdapat 4 (empat) anak tangga partisipasi masyarakat, yakni: cipic hype (penipuan warga), cynical consultation (Konsultasi sinis), foor information (informasi yang buruk), dan customer care (pemeliharaan pelanggan).[31] Selanjutnya Muluk mengatakan:
Penipuan warga sering kali dilakukan dengan mendistorsi informasi, menutupi apa yang sebenarnya terjadi, dan selalu terjadi komunikasi satu arah. Anak tangga kedua yakni konsultasi sinis sering kali dilakukan dengan melakukan partisipasi sekedar sebagai permainan. Pemerintah Daerah sering kali meminta warga untuk berpartisipasi, namun partisipasi yang diselenggarakan berfungsi sekedar sebagai formalitas karena Pemerintah Daerah tidak sepenuhnya menghendaki keterlibatan warga dalam aktivitas pemerintahan yang berarti. Partisipasi dijalankan hanya pada hal-hal yang sepele.
Pada anak tangga ketiga, partisipasi warga terhambat oleh kualitas informasi yang buruk yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Kualitas informasi yang buruk ini dapat saja disengaja untuk menghambat partisipasi, namun dapat pula tidak disengaja. Kualitas informasi yang buruk ditanda dengan adanya informasi yang terlalu padat dan tidak dapat diakses oleh warga.....”[32]

Sehubungan dengan RPJM Daerah   Provinsi adalah dokumen perencanaan yang dituangkan dalam Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah sebagai produk perundang-undangan menjadi sangat penting untuk di kaji secara ilmiah baik pada tataran materi maupun pada tataran teknisnya.
Kemudian dalam tataran teknis pembuatan Peraturan Daerahtelah diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, inklud di dalamnya pengaturan tentang Perda RPJM DaerahProvinsi.
Pembentukan Peraturan Daerah menurut Pasal 136 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, menyebutkan:
1.    Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan DPRD
2.    Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi derah   Provinsi, kabupten/kota dan tugas pembantuan
3.    Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah
4.    Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
5.    Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah.

Kemudian UU No. 32 Tahun 2004, secara teknis mengatur tata cara pembutan Perda, sebagaiman disebutkan pada Pasal 140, sebagai berikut:
1.    Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur atau Bupati/Walikota
2.    Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang sama maka dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda  yang disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
3.    Tata cara untuk mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota diatur dengan Peraturan Presiden.


Berkaitan dengan Pasal 136 dan 140 UU No. 32 Tahun 2004, patut juga dikemukakan ketentuan Pasal 26, Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 40 UU No. 10 Tahun 2004, sebagaimana telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 seperti diatur dalam Pasal 60, 61 dan 62 sebagai berikut:
Pasal60:
1.            Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata caramempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsisebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalamPeraturan DPRD Provinsi.

Pasal 61:
1.            Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disiapkan oleh DPRD Provinsi disampaikan dengan surat pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur.

(2) Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkanoleh Gubernur disampaikan dengan surat pengantarGubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi.

Pasal 62:
Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

Berdasarkan ketentuan Pasal-pasal tersebut di atas bahwa rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari pihak DPRD (legislatif) maupun dari Kepala Daerah (eksekutif), yang sama-sama mempunyai hak inisiatif. Seharusnya DPRD lebih banyak mengajukan rancangan Peraturan Daerah dibandingkan dengan Kepala Daerah
(eksekutif), karena sesuai dengan kewenangan dan fungsi yang ada padanya yaitu fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.[33]
Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian Juanda menunjukkan bahwa rancangan Peraturan Daerah lebih banyak diajukan oleh eksekutif, hal tersebut disebabkan oleh: ”... latar belakang pengetahuan dan disiplin ilmu yang beragam, tidak adanya pelatihan khusus yang terpadu tentang teknis perancangan Peraturan Daerah[34]. 
Untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis serta penguatan otonomi daerah diwajibkan adanya partisipasi masyarakat pada setiap proses pengambilan keputusan, jelas masyarakat mengharapkan keterlibatan wakilnya (DPRD) untuk menentukan arah kebijakan perencanaan terutama dalam pembentukan Perda RPJM Daerah Provinsi yang akan menjadi pedoman untuk lima tahun pemerintahan.
Adanya penomena yuridis normatif  dan sosiologis yuridis  di atas memerlukan suatu kajian ilmiah yang khusus menelaah Peraturan Daerah mengenai RPJM Daerah   Provinsi yang mengungkapkan aspek argumentasi, filosofis di balik norma hukum yang ada, dan itulah sebuah kajian yang perlu dibahas untuk sebuah disertasi.
1.           Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan  sebagai berikut:
1.               Mengapa terjadi  ketidakharmonisan dan ketentuan-ketentuan apa saja dalam   pengaturan  perencanaan pembangunan   dan penganggaran di daerah yang tidak harmonis dan bagaimana implikasinya ?
1.2.2. Bagaimana mengharmoniskan peraturan perundang-undangan bidang
perencanaan pembangunan dan penganggaran di daerah ?
2.           Tujuan Penelitian 
Penelitian untuk penulisan disertasi ini secara komprehensip mempunyai 2 (dua) tujuan dasar yaitu tujuan umum dan tujuan khusus, sebagai berikut:
       1.3.1. Tujuan Umum
       Tujuan umum dimaksudkan sebagai upaya keilmuan untuk menemukan dan memberikan jawaban mengenai kedudukan pengharmonisasian  peraturan peundang-undangan penyusunan perencanaan pembangunan dan pengangaran di daerah. Oleh karena itu tujuan penulisannya diharapkan menjadi sumbangan yang kongkrit dan bersifat ilmiah baik pada tataran teoritis maupun paraktis. Berarti penelitian ini sangat berguna dalam rangka pengembangan hukum pemerintahan (administratifsrecht) maupun hukum ketatanegaraan (staatsrecht) terutama di bidang perencanaan pembangunan daerah sebagai bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional.
 1.3.2. Tujuan khusus
       Adapun tujuan khusus yang diinginkan dalam penelitian dan penulisan disertasi ini menggambarkan pemahaman kritikal konstruktif melalui analisis terhadap sub masalah penelitian yang terdiri atas aktivitas keilmuan (scientific-mind), yaitu:
1.            Menganalisis pengaturan perencanaan pembangunan daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom di Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Analisis ini tentu saja berpedoman pada pengaturan hukum pemerintahan daerah dan asas-asas otonomi daerah yang diatur dalam perundang-undangan. Analisis juga dilakukan dengan semangat keilmuan dengan mengkaji secara sungguh-sungguh tugas dan fungsi stakeholders pemerintahan
2.             daerah dibidang perencanaan pembangunan daerah, sehingga terwujud suatu sistem perencanaan pembangunan yang partisipatif, demokratis dan berkelanjutan.
3.            Memaparkan mekanisme penyusunan perencanaan pembangunan daerah dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah di era reformasi. Kajian ini akan dibahas secara menyeluruh hubungan eksekutif dan DPRD yang mempunyai tujuan yang sama namun secara fungsional dan kelembagaan sangat berbeda.
4.            Menjelaskan upaya-upaya pengharmonisan pengaturan perencanaan pembangunan  daerah dan penganggaran untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang, hasil kerja besar tersebut akan terlihat keberpihakan kepada masyarakat. Walaupun demikan hasil sebuah rencana akan menuju kepada tingkatan yang lebih baik bagi masyarakat, terutama masa lima tahun kepemimpinan Kepala Daerah dan masa bakti anggota DPR/DPRD,  jadi fokus utamanya yang akan di kaji berkenaan dengan pengaturan hukum pembentukan dokumen perencanaan berupa RPJM Daerah Provinsi.[35]

3.           Manfaat Penelitian 

Penelitian ini, mempunyai dua  manfaat  besar yang akan dihasilkan yakni dari manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu:
1.4.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian untuk sebuah disertasi ditujukan untuk pengembangan hukum pada umumnya dan khususnya hukum pemerintahan daerah yang berhubungan dengan perencanaan pembangunan daerah. Manfaat teoritis ini juga diwacanakan kepada studi komprehensip untuk membangun daerah dalam tataran NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), oleh karena itu secara holistik akan dapat dijadikan acuan bagi seluruh daerah.
1.4.2.Manfaat Praktis
Secara spesifik merupakan bahan masukan  bagi praktisi perencanaan pembangunan daerah terutama bagi stakeholdersseperti Pemerintah Daerah dan  DPRD   Provinsi  dalam membuat aturan hukum bidang perencanaan pembangunan. Selain itu Penelitian ini diharapkan juga sebagai konstribusi bagi perancang kebijakan dibidang perencanaan pembangunan daerah.   Di samping itu manfaat praktis dapat ditujukan sebagai kajian hukum praktis, seperti yang dikemukakan oleh DHM. Meuwissen bahwa kegiatan hukum praktis meliputi: pembentukan hukum, penemuan hukum dan bantuan hukum.[36] Adapun temuan-temuan dalam penelitian Disertasi ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan penyusunan perencanaan daerah dalam pembentukan perundang-undangan atau kebijakan-kebijakan  yang didasari pada semangat otonomi daerah dengan mengedepankan partisipasi masyarakat dalam seluruh kegiatan pembangunan daerah.

4.      Orsinalitas Penelitian dan Kajian Terdahulu
         Peneliti belum menemukan kajian spesifik mengenai harmonisasi pengaturan hukum perencanaan pembangunan daerah terutama kajian khusus mengenai pembentukan RPJM Daerah. Namun ada beberapa penelitian pada level disertasi yang kajiannya berkaitan dengan penelitian yang akan saya lakukan, antara lain: Pertama, penelitian Soekarwo yang sekarang ini telah dibukukan dengan judul ”Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah  Berdasarkan Prinsip-Prinsip Good Financial Governance[37] Penelitian ini membahas pengelolaan keuangan daerah yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, hasil penelitiannya antara lain menyebutkan: (a) Ada kecenderungan perebutan kewenangan antartingkatan pemerintahan untuk memperoleh sumber-sumber keuangan yang berasal dari kewenangan tersebut, (b) meningkatnya jenis pungutan yang tidak jelas korelasinya dengan pelayanan yang diberikan daerah, sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy), (c) Kurangnya kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Walaupun telah ditetapkan perturan yang mengatur tentang kedudukan keuangan dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagian besar daerah tidak mengikuti aturan pembiayaan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan di bidang keuangan daerah termasuk dalam menyusun anggaran di APBD, (d) Sebagian besar dana daerah terserap untuk pembiayaan eksekutif dan legislatif daerah, sehingga dana tersisa untuk kegiatan pelayanan masyarakat sedikit sekali, (e) Dasar alokasi dana dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang mencerminkan kebijaksanaan daerah disusun kurang transparan dan kurang melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga sering menimbulkan protes masyarakat berkenaan dengan pendayagunaan dana publik, (f) Dana Alokasi Khusus (DAK) dipergunakan untuk kegiatan reboisasi, sedangkan banyak hal yang sangat memerlukan pembiayayaan melalui DAK untuk membantu daerah dalam program-program khusus seperti kemiskinan, program peningkatan kapasitas daerah (capacity-building) dan lain-lain yang dinilai tidak tepat dalam proses pembangunan kapasitas daerah, (g) Manajemen dan pemenfaatan aset daerah masih relatif rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan, dan (h) Belum mantapnya format mekanisme pinjaman daerah yang berasal dari dana luar negeri. Kedua, Disertasi Akmal Boedianto, yang berjudul: ”Pembentukan Peraturan Daerah Tentang APBD yang Partisipatif dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah”. Adapun tujuan penelitian disertasi tersebut, sebagaimana dimuat dalam tujuan khusus, menyebutkan: (a) Menganalisis pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah dibidang pengelolaan keuangan daerah dalam kerangka  otonomi daerah di Indonesia..., (b) Memaparkan mekanisme pembentukan Peraturan Daerah tentang APBD dalam kontek penyelenggaraan pemerintahan daerah..., (c) Menjelaskan mekanisme penyelesaian konflik antara Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) sesuai dengan semangat penyelenggaraan otonomi daerah. Kedua disertasi tersebut fokus kajiannya pada pengelolaan keuangan daerah, jadi bidang kajiannya berbeda dengan rencana penelitian yang akan saya lakukan, walaupun pada bagian-bagian tertentu mungkin akan bersinggungan seperti pada saat peneliti membahas persolan demokrasi dan pembentukan Peraturan Daerah dibidang RPJM Daerah yang partisifatif, namun hakekat penelitian secara keseluruhan berbeda.
         Seperti telah disebutkan di atas bahwa, penelitian yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan, sejak keluarnya UU No.25 Tahun 2004  tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum diketemukan penelitian yang membahas harmonisasi perundang-undangan baik vertikal maupun horizontal. Dalam berbagai kepustakaan yang penulis telusuri ada beberapa disertasi yang berkaitan dengan Perencanaan Pembangunan, salah satunya Penelitian saudara Markus Lukman yang berjudul: “Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya Terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional”. (Suatu Studi Pada pembangunan Lima Tahun III, IV, dan V di Provinsi Kalimantan Barat).[38] Penelitian ini dilakukan untuk penulisan disertasi Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Padjadjaran Tahun 1997.
         Fokus penelitian disertasi tersebut mengakaji beberapa peraturan kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pada era Orde Baru, dimana dokumen perencanaan di dasarkan kepada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai produk MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang kemudian dijabarkan dalam bentuk Undang-undang dan peraturan kebijaksanaan oleh Pemerintah.
         Hasil penelitian diketemukan 1.260 peraturan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah dari berbagai tingkatan sesuai dengan produk hukum yang menjadi kewenangannya, meliputi: Instruksi Presiden, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Instruksi menteri, Surat Keputusan Bersama Menteri, Surat Edaran Menteri, Surat-surat Resmi Menteri, Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur Kepala Daerah, dan petunjuk Oprasional tentang Pelaksanaan Proyek Pembangunan Daerah.
         Jadi penelitian ini juga berbeda dengan rencana yang akan dilakukan oleh peneliti, karena asas yang dipakai berbeda dan sifat penelitian juga berbeda, walaupun objek penelitian ada kesamaan yaitu perencanaan pembangunan daerah.
         Khusus Penelitian yang berkaitan dengan sinkronisasi, peneliti temukan pada penelitian Fifik Wiryani dan kawan-kawan dari Universitas Brawijaya, yaitu: ”Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam”. Kajian Tentang Pengaturan Hak-hak Masyarakat Adat Atas Sumber Daya Alam. (Regulation Synchronization Legislation in area management of natural resource).  Adapun hasil penelitian sebagai berikut:
         Penelitian ini menganilisis sinkronisasi vertikal dan horizontal dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam serta implikasinya. Penelitian inidilakukan dengan pendekatan doktriner/normatif dengan melakukan analisis isi dilanjutkan analisis sinkronisasi vertikal dan horizontal. Bahan hukum primernya berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat.
         Hasil penelitian diketahui bahwa taraf sinkronisasi asas hukum tidak selalu sejalan antara prinsip dasar dalam konstitusi dengan peraturan perundangan sebagai aturan pelaksana. Secara yuridis-filosofis, implementasi Hak menguasai negara dalam peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam telah sinkron secara vertikal maupun horizontal, Tetapi dalam uraian pada Pasal-Pasalnya, makna dari negara direduksi menjadi pemerintah, Presiden atau Menteri, sehingga mempunyai implikasi terjadinya relasi superiory-inferiory antara pemerintah dengan rakyat, yang kemudian menciptakan paradigma pembangunan hukum yang didominasi pemerintah, dan menciptakan hukum yang hanya berbasis pada pemerintah saja (state law) yang mengabaikan dan menggusur hukum rakyat. Akibatnya kemudian pengakuan hak masyarakat adat atas sumber daya alam dalam produk hukum terjadi ambiguitas pengaturan, inkonsistensi pengaturan, juga overlepping[39].
         Pada tingkatan penelitian untuk Tesis ada beberapa penelitian, yaitu: Pertama, tesis penulis sendiri yang berjudul: Pengaturan Hukum Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah dan Implementasinya dalam Penyusunan Dokumen Perencanaan di Provinsi Bengkulu. Tesis ini merupakan tugas akhir perkuliahan pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Tahun 2007.[40]
         Fokus penelitian tesis tersebut adalah mengumpulkan beberapa peraturan perundang-undangan di bidang perencanan pembangunan daerah, yang digunakan untuk menyusun dokumen perencanaan pembangunan daerah khususnya RPJM Daerah Provinsi Bengkulu. Tesis ini termasuk penelitian lapangan (empiris) dan hasil penelitian yang disimpulkan, bahwa setelah adanya perubahan paradigma otonomi daerah terjadi penguatan yang luar biasa sehingga menimbulkan ekses terhadap perencanaan pembangunan daerah dan seolah-olah daerah ingin membangun daerahnya sesuai keinginan sendiri tanpa memperhatikan koridor dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
         Jadi penelitian tesis tersebut berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan dalam disertasi ini, karena fokus utama dalam penelitian disertasi ini berkaitan dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem perencanaan daerah baik vertikal maupun horizontal dan sifat penelitian adalah normatif (kajian pustaka). Namun demikian dapat juga dikatakan sebagai kelanjutan dari penelitian terdahulu yang peneliti lakukan sendiri.
         Kedua, Tesis saudara Habibi Adhawiyah yang berjudul: Kedudukan Keuangan Daerah dalam Sistem Keuangan Negara Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Studi Kasus di Kabupaten Langkat). Penelitian Tesis ini dibuat sebagai tugas akhir pada program pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2007.[41]
         Fokus penelitian tesis tersebut terbatas pada sistem Pengelolaan keuangan daerah sampai pada terwujudnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Kabupaten Langkat. Jadi sifat penelitiannya adalah empiris. memang pada BAB III dari tesis tersebut juga ada kaitannya dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, dimana dalam tesis tersebut  membahas sinkronisasi horizontal antara UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dengan beberapa UU yang mengatur tentang sistem perencanaan pembangunan. Namun demikian peneliti berkeyakinan bahwa antara penelitian yang dilakukan oleh saudara Habibi Adhawiyah dengan penelitian yang akan peneliti lakukan mempunyai perbedaan, baik dari sifat penelitian maupun fokus utama penelitian.
5.           Desain Penelitian
                        Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam empat tataran teori. Pada tataran grand theory ditampilkan teori negara hukumdalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan teori desentralisasi. Teori tersebut menyajikan suatu model dimana negara mengakui bahwa hukum dijadikan sebagai landasan utama pada setiap aktifitas berbangsa dan bernegara termasuk dalam upaya mewujudkan tujuan bernegara. Pada midle theory ditampilkan tata cara pembentukan perundang-undangan dibidang perencanaan pembangunan, dengan kerangka orientasi yuridis normatif sesuai dengan norma-norma pembentukan perundang-undangan di Indonesia, disamping itu akan menampilkan suatu gairah politik hukum di era reformasi dalam hal mengkaji latar belakang serta pertikaian-pertikaian elit-elit yang berkompenten dalam membuat suatu produk perundang-undangan.
                        Sedangkan pada tataran appliedtheory, dipilih teori hukum perencanaan pembangunan daerah yang partisipatif, teori ini penting agar produk hukum tentang perencanaan pembangunan daerah mendapat respon positif dari masyarakat, karena pada akhirnya masyarakatlah yang paling diutamakan untuk menikmati hasil pembangunan tersebut.
                        Desain penelitian ini keseluruhannya digunakan untuk menjawab dua permasalahan yang telah ditetapkan. Alur pikir dalam beberapa ragaan dalam disertasi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Ada empat konsep dasar yang menjadi pilar bangunan penelitian ini Pertama, konsep pembentukan peraturan perundang-undangan perencanaan pembangunan daerah dalam gambar 3 dari disertasi ini  diambil melalui beberapa pendekatan untuk materi bahan hukum perencanaan pembangun daerah yang partisipatif.  Dimulai dari pendekatan undang-undang kemudian berturur-turut melalui pendekatan kasus, pendekatan sejarah pendekatan komperatif dan pendekatan konsepsional, pendekatan-pendekatan ini merupakan pilar utama penelitian. Kedua,  konsep kedudukan masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah tetap akan mengunakan pendekatan-pendekatan seperti digunakan untuk melakukan pendekatan pada konsep pertama. Ketiga, konsep penyelenggaraan pemerintahan daerah, konsep ini merupakan analisis kebijakan secara keseluruhan, oleh karena itu penalaran dengan tiga tolak ukur yaitu: Positivitas hukum, Koherensii hukum dan Keadilan.Keempat,  konsep pembangunan partisipatif, konsep ini sebagai konsep pamungkas dimaksudkan agar dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan daerah, masyarakat berfungsi sebagai stakeholders sekaligus sebagai subjek pembangunan. Oleh karena itu adagium pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan  untuk rakyat dapat menjadi kenyataan.
2.       Antara konsep pertama dan kedua ini terdapat perbedaan yang berangkat dari karakteristik masing-masing, pembentukan perundang-undangan adalah rana formal lembaga legislatif yang kental akan nuansa politik. Sedangkan konsep kedua menghendaki adanya produk perundang-undangan yang responsif, demokratis dan berkeadilan. Akan tetapi walaupun karakternya berbeda diharapkan bisa menjawab permasalahan pertama dalam penelitian ini.
3.      Untuk menjawab permasalahan kedua, sebagai  upaya besar dari penelitian ini, keempat konsep tersebut dapat digunakan dengan dukungan teori-teori yang telah disebutkan. Sudut pandang yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan kedua dengan cara mengilustrasikan kembali latar belakang lahirnya undang-undang tentang perencanaan, penelitian ini akan melibatakan banyak stakeholders perencanaan pembangunan daerah sehingga terbentuknya dokumen perencanaan pembangunan daerah (RPJM Daerah).
4.      Sebagaimana direncanakan dalam sistematika penulisan, penelitian ini akan mengunakan beberapa teori (Abstrak) yang akan dikonkritkan melalui kajian dalam bab pembahasan (bab IV dan bab V). Bab ini akan mengolah bahan hukum melalui pendekatan-pendekatan yang telah disebutkan di atas. Sebagai penelitian bercorak normatif akan banyak menampilkan teori-teori sebagai piasau analisis terhadap bahan hukum, akan tetapi data-data (empiris) tetap akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bab ini. Untuk menjawab permasalahan disertasi ini secara komprehensip, alur pikir  dapat diilustrasikan kembali seperti pada gamabar 3.
        Kolaborasi antara kepentingan politik dan semangat menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan berada pada diskursus grandtheory, kemudian diaplikasikan dalam sistem hukum Indonesia untuk menjawab permasalahan yang telah ditentukan.
5.  Penelitian ini akan mengkaji juga teori hukum pembangunan, teori ini telah berkembang di Indonesia atas jasa Mochtar Kusumaatmadja, dalam kajian penelitian ini teori hukum pembangunan dijadikan appledtheory, karena memang dirancang oleh tokohnya sebagai kebutuhan dalam suatu negara yang giat-giatnya membangun dan konsep ini diadopsi dalam GBHN tahun 1973 dan GBHN berikutnya.[42] Namun demikian teori ini juga mempunyai kedekatan dengan grandtheory dan midletheory dalam penelitian ini.
        Desain penelitian ini akan lebih terlihat arahnya dengan  menggambarkan hubungan konsep hukum yang diambil dengan tipe kajian, metode penelitian dan orientasi penelitian itu sendiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel dibawah ini.

Tabel 1:
Hubungan Konsep Hukum, Tipe Kajian, Metode Penelitian dan Orientasinya.[43]
Konsep Hukum
Tipe Penelitian
Metode Penelitian
Orientasinya
Konsep Pembentukan Peraturan perundang-undangan Perencanaan Pembangunan Daerah
Positivisme hukum, hierarki perundang-undangan
Doktrinal, berdasarkan logika deduksi untuk membangun hukum positif
Positivisme
Konsep Hukum  dalam Perencanaan Pembangunan Daerah
mengkaji hukum sebagai  gejala sosial (law is it in society)
Sosial/nondoktrinal, pendekatan struktural/makro dan kualitatif
Struktural
Konsep Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Positivisme dan Antropologi hukum
Doktrinal, dengan pendekatan intruksional/mikro dan kualitatif
Intraksional
Konsep Pembangunan Partisifatif
mengkaji hukum sebagai  gejala sosial (law is it in society) dan Sociological yurisprudence
Pendekatan hak dan kewajiban berbasis karakteristik dan kenyataan sosial.
Intraksional
Sumber: Soetandyo Wignyosoebroto dan diolah kembali
6.           Metode Penelitian
1.7.1. Tipe Penelitian
            Meneliti pada hakekatnya berarti mencari, yang dicari dalam penelitian hukum adalah kaedah, norm atau dassollen. Pengertian kaedah disini meliputi asas hukum, kaedah hukum dalam arti nilai (norm), peraturan hukum kongkrit dan sistem hukum.[44]
          Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, digunakan metode penelitian hukum normatif (Normatif legal reserch).  Penelitian ini disebut juga penelitian hukum doktrinal.[45]    Penelitian hukum normatif dilakukan untuk mengidentifikasikan konsep dan asas-asas hukum yang digunakan untuk mengatur perencanaan pembangunan daerah sebagaimana diatur dalam UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan UUNo. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Pemda, dimana juga mengatur tentang perencanaan Pembangunan Daerah, undang-undang tersebut merupakan kerangka dasar sistem perencanaan pembangunan yang berlaku sekarang ini. Dalam hubungan itu, digunakan logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif digunakan untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan logika deduktif digunakan untuk menarik kesimpulan dari hal yang berifat umum menjadi kasus yang bersifat individual.[46]
          Kaitannya dengan penelitian normatif ini digunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (Conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (Comparative approach).
(1) Pendekatan perundang-undangan (statute approach).Digunakan berkenaan dengan peraturan hukum yang mengatur tentang sistem perencanaan yang secara nasional yang diterapkan kepada daerah-daerah yang mempunyai karakteristik berbeda-beda.
(2) Pendekatan konseptual (Conceptual approach). Berkenaan dengan konsep-konsep yuridis yang mengatur tentang sistem perencanaan pembangunan daerah, agar berdaya guna dan berhasil guna yang dilakukan oleh aparatur pemerintah di bidang perencanaan serta peran aktif masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah.
(3) Pendekatan Perbandingan (Comprative approach). Perbandingan hukum dalam penelitian ini berfungsi sebagai ilmu bantu bagi dogmatik hukum, dalam arti ia mempertimbangkan pengaturan-pengaturan dan perumusan-perumusan serta penyelesaian-penyelesaian  tertentu dari tatanan hukum lain dan menilai keadekuatan mereka untuk hukum sendiri.[47]
          Pendekatan perbandingan dalam penelitian ini menggunakan komparasi mikro[48] dalam rangka membandingkan isi aturan hukum daerah-daerah lain dibatasi pada penyusunan dokumen perencanaan yang diatur dalam Peundang-undangan untuk membentuk dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM Daerah   Provinsi).  Bahan hukum berupa Peraturan perundang-undangan  dari 2 (dua) daerah menjadi bahan kajian perbandingan untuk mempedomani ketentuan perundang-undangan tentang sitem perancanaan daerah dan peraturan-peraturan lainnya yang berlaku secara nasional.
          Pengaturan sistem perencanaan pembangunan  daerah yang didokumenkan berupa RPJM Daerah   Provinsi  dibuat berdasarkan doktrin hukum yang sama dengan apa yang digunakan oleh beberapa daerah yang telah melaksanakan perencanaannya.
          Kemudian untuk mengkaji ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan dilakukan berbagai cara yaitu: Asas hierarki perundang-undangan digunakan untuk vertikal, sedangkan untuk horizontal digunakan asas lex posteriori derogate lex priori dan asas lex specialis derogate lex generalis. Akibat nyata dari conflict of norm tersebut menimbulkan interpretasi hukum dalam perencanaan pembangunan daerah sesuai dengan kepentingan daerah masing-masing. Selanjutnya akan mengakibatkan berbagai ekses yang berakibat kepada norma-norma perencanaan itu sendiri sebagaimana dikehendaki oleh UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No. 32 Tahun 2004  tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua UU Pemda.
1.7.2. Sumber dan Jenis Bahan Hukum
Mengikuti pendapat Bahder Johan Nasution bahwa ilmu hukum Normatif adalah ilmu hukum yang bersifat Sui generis, maksudnya ia tidak dapat dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain, fokus kajiannya adalah hukum positif.[49] Dengan demikian bahan hukum penelitian normatif untuk disertasi ini adalah hal-hal yang merupakan material/bahan hukum positif berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perencanaan pembangunan daerah.
          Menurut RG. Logan, Moris L. Cohen dan Kent C. Olsen mengenai ”legal material” (Bahan Hukum Pen.) bahan hukum primer penelitian ini meliputi aturan-aturan hukum yang dikatagorikan dalam: (1) peraturan perundang-undangan pemerintah (pusat dan daerah) terutama yang berkaitan dengan penyusunan perencanaan pembangunan daerah, dan (2) ”judicialdecision[50] khususnya yang menyangkut putusan hukum atas kasus Peraturan Daerah yang berkaitan dengan perencanaan seperti Peraturan Daerah tentang APBD dan kebijakan keuangan lainnya yang diadakan judicial reviw atauexsecutive review, bahan hukum tersebut dijadikan sebagai bahan hukum primer sebagai bahan dasar utama bagi pelaksanaan penelitian hukum termasuk yang menyangkut pembentukanperaturan hukum tentang perencanaan pembangunan seperti Perda RPJM Daerah Provinsi.
Di samping bahan hukum primer berupa hukum positif termasuk putusan pengadilan, penelitian ini juga mengunakan bahan hukum skunder. Menurut Peter Mahmud, bahan hukum skunder berupa buku-buku hukum termasuk Skripsi, Tesis dan Disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum. Di samping itu juga kamus-kamus hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.[51] Termasuk juga sebagai bahan hukum skunder berupa majalah-majalah hukum dan non hukum seperti jurnal perencanaan yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan lain-lain, bahan hukum skunder ini dijadikan sebagai bahan penunjang penelitian disertasi ini.
1.7.3.   Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Prosedur yang dilakukan untuk mengolah bahan hukum dilakukan sesuai dengan standar ilmiah penulisan sebuah karya ilmiah yang berwujud  disertasi, yang pada umumnya dilakukan melalui prosedur identifikasi dan inventarisasi kemudian dilakukan klasifikasi sesuai dengan permasalahan yang akan ditelaah.
Proses identifikasi, inventarisasi dan klasifikasi terhadap dokumen yang dihasilkan dari studi pustaka yang bertujuan untuk mencari bahan hukum dengan mengkaji dokumen hukum, berupa literatur-literatur hukum, jurnal hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perencanaan pembangunan daerah pasca reformasi.
Bahan hukum dari penelitian kepustakaan dikalsifikasikan pada tiga bentuk, yaitu:
1.  Bahan hukum primer terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945 dan  berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem perencanaan pembangunan daerah.
2.  Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang mengandung dan memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum ini meliputi buku-buku yang mebahas menganai perencanaan pembangunan daerah, penganggaran, serta pembentukan dokumen perencanaan; hasil-hasil penelitian, serta berbagai makalah-makalah seminar, artikel, jurnal ilmiah, koran dan internet yang terkait dengan masalah yang diteliti.
3.  Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap hukum primer dan skunder berupa ensklopedi dan kamus.
1.7.4.  Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
          Penelitian ini diarahkan untuk mengkaji doktrin dan asas-asas hukum yang menjadi dasar sistem perencanaan pembangunan daerah mulai dari tataran dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum,[52] berdasarkan karakternya. Dogmatik hukum dan teori hukum menggunakan metode normatif, Filsafat hukum tidak mempunyai metode karena tidak terjangkau oleh ilmu, tetapi digunakan untuk refleksi. Pada tataran ini (filsafat hukum) akan dianalisis dari aspek hukum administrasi negara, dimana fungsi hukum disini intinya adalah untuk melayani kepentingan masyarakat baik material maupun spritual. Oleh karena itu ciri khas dari hukum administrasi negara tidak sekali jadi, artinya tidak hanya ditentukan oleh pembuat undang-undang, karena undang-undang sifatnya umum dan abstrak, sedangkan norma hukum administrasi bersifat individual dan kongkrit.[53]
          Fungsi dogmatik hukum digunakan untuk deskripsi, sistematisasi, dan harmonisasi terhadap aturan sistem perencanaan pembangunan daerah dalam hukum positif. Selanjutnya, penelitian difokuskan pada UU No.25 Tahun 2004tentang sistem Pembangunan Nasional dan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Bahan-bahan hukum yang sama dari berbagai daerah berupa Peraturan Daerah yang menjadi obyek pembanding, untuk menemukan persamaan dan perbedaan dalam pengaturan hukumnya.
          Teori hukum berfungsi untuk menganalisis pengaturan dan implimentasi doktrin serta asas-asas hukum universal yang dimaksudkan untuk menciptakan sistem perencanaan pembangunan daerah, serta implemenentasi makna pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat yang bersumber dari UUD 1945. Oleh karena itu sistem perencanaan pembangunan daerah mengatur permasalahan kesejahteraan rakyat. Selain menggunakan teori dan konsep-konsep hukum, juga digunakan teori-teori pembangunan partisipatif sebagai alat bantu guna mempertajam analisis dalam penelitian ini. Pada tataran teori hukum juga merupakan  ilmu eksplanasi hukum yang memilki karakter interdisipliner, dalam hal ini menggunakan hasil disiplin ilmu lain untuk eksplanasi hukum.[54]
          Pada tataran filsafat hukum dengan bantuan analisis terhadap bahan hukum yang ada, refleksi kefilsafatan dilakukan untuk menjawab pertanyaan apakah yang menjadi dasar pembenaran bagi penggunaan asas-asas hukum yang diteliti dalam hubungan dengan cita hukum (Rechtsidee) yang diamanatkan dalam Pancasila yang secara formal tercantum dalam pembukaan serta dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 18 dan Pasal33 UUD 1945. [55]
          Menurut Peter Mahmud hal ini dapat dilakukan  melalui pendekatan-pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historicak approach), pendekatan komperatif (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach).[56]
          Di samping penalaran melalui pendekatan hukum di atas, penalaran ini juga dilakukan dengan menggunakan tiga tolak  ukur penting sebagaimana yang dikemukakan oleh Ph. Viser’t Hooft dalam bukunya Filosofie van de Rechtswetenschap seperti diterangkan oleh Jazim Hamidi,[57] yaitu untuk mewujudkan, hal-hal sebagai berikut:
1.   Positivitas: hukum harus memiliki otoritas, sehingga dalam hal ini harus dianalisis mengenai eksistensi dan kompetensi peraturan perundang-undangan mengenai sistem perencanaan pembangunan.
2.   Koherensi: hukum sebagai tatanan yang logis maka analisis diarahakan pada harmonisasi dan harmonisasi perangkat hukum tentang perencanaan pembangaunan daerah.
3.   Keadilan: hukum diterima sebagai pengaturan hubungan tentang perencanaan pembangunan daerah yang intinya keadilan distributif.
          Kemudian bahan hukum juga ditelaah melaui empat karakteristik yaitu sudut sistem ilmiahnya, sistem normatifnya, sistem pendekatannya dan sistem interpretasinya.[58] Untuk mengetahui lebih jelas pengolahan dan analisis  bahan hukum dapat dilihat gambar di bawah ini:
Gambar 1:
Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Bidang Perencanaan
Pembangunan Daerah
 






         












 









Sumber: Akmal Boedianto dan diolah kembali dari berbagai sumber

1.8. Sistematika Penulisan
               Penulisan penelitian ilmiah (disertasi) ini dibagi dalam enam bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab sesuai pembahasan dari materi yang diteliti. Bab I sebagai pendahuluan, memuat latar belakang masalah, dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, orsinalitas penelitian, kerangka pemikiran teoritis, kerangka konsep penelitian, metodologi, dan sistematika penulisan. Bab ini sangat penting, karena berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan arah penyusunan bab-bab berikutnya, sehingga menjadikan penelitian ini sebagai satu kesatuan yang utuh.
Bab II menguraikan kajian landasan teoritis analisis harmonisasi pengaturan hukum sistem perencanaan pembangunan, dalam bab ini akan diuraikan secara mendasar yang hal-hal yang berkaitan langsung dengan tema sentaral penelitian, seperti landasan teori negara hukum dalam penyusunan perencanaan pembangunan yang partisipatif dan kebutuhan hukum dalam perencanaan pembangunan  daerah. Teori desentralisasi yang berkaitan langsung dengan prinsip-prinsip otonomi seluas-luasnya dalam koridor sistem perencanaan pembangunan kaitannya dengan NKRI. Teori perundang-undangan dalam perspektif pembentukan RPJM Daerah, hal ini berkaitan erat dengan prinsip-prinsip pembentukan perundang-undangan yang baik. Dan teori terakhir yang dipilih adalah teori hukum pembangunan, yang menjadi ikon dalam perencanaan Pembangunan di negara yang memproklamirkan sebagai negara hukum.
Bab III, berisi kajian tema kerangka konsep, yang terdiri dari konsep harmoniasi pembentukan perundang-undangan dibidang perencanaan pembangunan daerah, konsep ini akan membedah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan landasan hukum pembangunan daerah yang tidak harmonis. Konsep kedudukan masyarakat dalam perencanaan pembangunan, kemudian disusul dengan konsep penyelenggaraan pemerintahan daerah. Konsep-konsep ini disusun secara hierarkis dan terstruktur yang akan dijadikan pedoman untuk membedah desain besar kerangka penelitian. Bab ini sangat penting karena akan menentukan arah penelitian dan penulisan disertasi dan dapat juga dikatakan sebagai pondasi untuk membangun sebuah penelitian disertasi. Oleh karena itu jika terjadi kesalahan dalam penyusunan kerangka dalam baba ini, maka hasil penilitian akan sia-sia.
Bab IV merupakan hasil penelitian, yang akan membahas adanya ketidakharmonisanbeberapa ketentuan perundang-undangan yang mengatur bidang perencanaan dan pembangunan daerah. Pada bab ini diawali dengan menguraikan sistem perencanaan pembangunan yang pernah diterapkan di Indonesia, terutama di era orde baru. Di era orde baru dikenal dengan era GBHN yang merupakan dokumen perencanaan normatif yang di tetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan harus dilaksanakan oleh Mandatarisnya yaitu Presiden. Terlepas dari kegagalan pelaksanaan pembangunan pada era ini, tetap saja sangat menarik untuk dikaji sebagai perbandingan dalam mengupas ketidakharmonisan sistem perencanaan di era reformasi sekarang ini. Khusus kajian di era orde baru juga dibahas sistem pemerintahan daerah atau penyelenggaraan pemerintahan di era orde baru namun porsi terbesar dalam kajian bab ini GBHN itu sendiri.Bab ini juga mengupas sistem perencanaan di era reformasi, dan disinilah inti kajian yang berkaitan dengan ketidakharmonisan pengaturan perundang-undangan. Secara normatif beberapa ketentuan perundang-undangan langsung dibahas dengan mengetengahkan beberapa persoalan akibat dari ketidakharmonisan tersebut. Secara berurutan dibahas, antara lain: bentuk dokumen perencanaan dan proses pembahasannya, sistem penganggaran, dan sampai kepada problematika penuangan partisipasi masyarakat dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah.
    Bab V, bab ini merupakan gagasan-gagasan peneliti, berdasarkan temuan-temuan yang dibahas pada bab IV alternatif solusi dikemukakan, tentu saja kajiannya diawali dengan perlunya pengharmonisasian beberapa ketentuan perundang-undangan yang mengatur bidang perencanaan pembangunan daerah dan penganggarannya. Alternatif lain ditawarkan antara lain: pengoptimalisasian peran serta masyarakat dalam sistem perencanaan pembangunan, hal ini perlu mendapat porsi pembahasan secara khusus, karena disinyalir selama ini partisipasi masyarakat hanya digunakan sebagai tuntutan memenuhi ketentuan perundang-undangan tidak sampai pada substansi yang sebenarnya tentang partisipasi masyarakat. Selanjutnya bab ini ditutup dengan pembahasan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (GoodGovernance) serta perlunya mengoptimalkan lembaga Prolegnas dan Prolegda dalam menyiapkan produk perundang-undangan agar sedikit mungkin terhindar dari ketidakharmonisanperaturan perundang-undangan. Kemudian pengawasan produk hukum daerah, karena hal ini diamanatkan oleh perundang-undangan serta ditutup dengan pembahasan evaluasi pelaksanaan RPJM Darah.
    Bab VI, merupakan bab penutup yang berisikan simpulan dan saran-saran. Simpulan diambil berdasarkan temuan-temuan dari pembahasan bab-bab terdahulu. Kemudian saran merupakan analisa kritis yang berupa rekomendasi untuk perbaikan sistem perencanaan pembangunan daerah kedepan.










[1] Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Sistem Hukum, Malang: Penerbit A3 (Asah, Asih Asuh),  2010, hlm. 8-9
[2]Websters New Twentieth Century Dictionary Unabridged Second Edition – Jean L.
McKechnie 1983 hal 828
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, www. kamusbahasaindonesia.org, diunduh
22 Oktober 2011
[4] Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU No. 10 Tahun 2004 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 53. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389.
[5]Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU No. 12 Tahun 2011 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 82. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6234.
[6]Pada tataran akademik sinkronisasi dimaksudkan sebagai penyerentakan, keserentakan atau penyesuaian, dalam literatur padanannya adalah kata coherensi, consistensi, comstabilitas. Franqois Riqaux mendefinisikan: ”Coherence is a state of peace of the mind, of logical mind which is disturted when two competing concept or rules of two different meaning of the same concept are conffecting”. (koherensi adalah keadaan ketenangan fikiran dari suatu fikiran dari suatu fikiran yang logis, yang diganggu ketika dua konsep atau dua aturan atau dua makna dari konsep yang sama berbenturan (bertentangan).  Sinkronisasi berasal dari kata sinkron yang berarti terjadi atau berlaku pada waktu yang sama,  Kata Sinkronisasi diperuntukkan pula untuk menunjukkan adanya proses perencanaan dan pembuatan hukum yang bermaslah, seperti disampaikan oleh ketua BPHN: “Dikalangan masyarakat pencinta hukum pada umumnya banyak keluhan tentang tidak sinkronnya berbagai undang-undang baik secara vertikal (bermasalah dengan UUD) maupun secara horizontal (tumpang tindih, bahkan saling bertententangan dengan undang-undangan lain).
[7] Butir keempat kesimpulan pertemuan para ahli hukum yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Januari 1995.
[8] Moh. Hasan Wargakusumah dkk. Perumusan Harmonisasi Hukum Tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia RI, (Jakarta 1996)
[9] Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. UU No. 25 Tahun 2004 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421.
[10] Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Keuangan Negara. UU No. 17 Tahun 2003 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 47 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4486.
[11] Lihat: Ketentuan Pasal 17 ayat (1).
[12] Lihat: Ketentuan Pasal 150 sampai dengan Pasal 154.
[13] Perubahan pertama UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu UU No. 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548). UU No. 12 Tahun 2008  tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844)  
[14]Republik Indonesia, Undang-UndangTentangPerimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, UU No. 33 Tahun 2004Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438.
[15]Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang Nasional,  UU No. 17 Tahun 2007Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438.
[16]. Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Sistem Hukum: Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, (Malang, Penerbit A3; Asah Asih Asuh, 2011), hlm. 9.
[17] Ibnu Tricahyo, Tinjauan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Makalah, disampaikan dalam acara diskusi publik, Tinjauan Kebijakan Perencanaan Pembangunan Daerah, 29 Desember 2004, dengan berbagai perobahan dari hasil temuan peneliti.
[18] Ibid
[19] Maria Farida Indrati S., (1), Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Tahun 2007), hlm. 232-234
[20] Muchsan dan Fadilla Putra, Hukum dan Kebijakan Publik, (Malang: Avirooes, 2002), hlm. 37.
[21] Imam Mahdi, Pengaturan Hukum Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah dan Implementasinya dalam Penyusunan Dokumen Perencanaan di Provinsi Bengkulu. Tesis Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, 2007,  hlm. 94.
[22] Lihat: Ketentuan Pasal 16, 18, 19, dan Pasal 20 UU No. 17 Tahun 2003 yang redaksinya sama dengan Pasal 70, 71, 72 dan 73 UU No. 33 Tahun 2004.
[23] Satjipto Rahardjo, Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis, Jurnal Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Volume I No. 2 Tahun II/1998, hlm. 3.
[24] Pengertian Pasal 18 Ayat (1) tersebut terutama kata ”dibagi” harus diartikan bersifat vertikal dan hierakis, jika tidak maka akan timbul pengertian lain seolah-oleh terjadi hubungan yang horizontal seperti dituangkan dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kata dibagi diartikan ”horizontal”.
[25] M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 83.
[26]Ibid, hlm. 55-56.
[27] Corallie Bryant dan Louise G. White, Manajemen Pembangunan untuk Daerah Berkembang. (Jakarta: LP3ES, Cetakan kedua, 1989), hlm. 307.
[28] Sjachran Basa, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Orasi Ilmiah, Diucapkan pada Dies Natalis XXIX Universitas Padjadjaran, Bandung, 24 September 1986, hlm. 13-14.
[29] Ateng Syafruddin, Perencanaan Administrasi Pembangunan, (Bandung: Mandar Maju, 1993), hlm. 10.
[30]Ibid, hlm. 7.
[31] M.R. Khairul Muluk, Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah, (Malang: Banyu Media dan Lembaga Penerbitan FIA Unibraw. 2007), hlm. 67
[32]Ibid, hlm. 67-68
[33] Pasal 61 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR , DPD dan DPRD.
[34] Hasil penelitian terdahulu  untuk tiga   Provinsi dari tahun 1999-2003 menunjukkan prosentase prakarsa DPRD terhadap produk Peraturan Daerah masing-masing sebagai berikut: DPRD   Provinsi DKI Jakarta 17,39%,   Provinsi Jawa Barat 0% (tidak ada prakarsa DPRD), dan   Provinsi Bengkulu 0% (tidak ada prakarsa DPRD).  Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah: Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, (Bandung, Penerbit PT. Alumni, 2004), hlm. 235.
[35]  RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan Program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan Program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. (Pasal 5 ayat (2) UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional, kemudian dalam penjelasan umum undang-undang tersebut menyebutkan: Pendekatan politik memandang bahwa pemilihan Presiden/Kepala Daerah adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon Presiden/Kepala Daerah Oleh karena itu rencana pembangunan adalah penjabaran dari agenda pembangunan yang ditawarkan Presiden/Kepala Daerah pada saat kampanye ke dalam rencana pembangunan jangka menengah.
[36] B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Fundasi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Disertasi, Bandung: Universitas Padjadjaran 1996, hlm 46.
[37] Soekarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah  Berdasarkan Prinsip-Prinsip Good Financial Governance, (Surabaya: Airlangga University Press 2005), hlm. 11
[38] Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah Serta Dampaknya Terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Naional. (Suatu Studi Pada Pembangunan Lima Tahun III, IV, dan V di Provinsi Kalimantan Barat), Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 1997.
[39] Fifik Wiryani, I Nyoman Nurjaya dan Warkum Soemitro, Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam. (Kajian Tentang Pengaturan Hak-hak Masyarakat Adat Atas Sumber Daya Alam), Laporan Penelitian, Program Pascasarjana Fakiltas Hukum Universitas Barawijaya, Malang,
[40] Imam Mahdi, Pengaturan...Op. Cit.
[41] Habibi Adhawiyah, Kedudukan Keuangan Daerah dalam Sistem Keuangan Negara Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Studi Kasus di Kabupaten Langkat). ”Tesis” Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2007.
[42]  Lihat: Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, dalam Otje Salman dan Eddy Damian, ed , (Bandung: PT. Alumni, cet. Ke-1, 2002), hlm. V.
[43] Tabel ini diadopsi dari pendapat Soetandyo Wignyosoebroto dengan berbagai penyesuaian dengan rencana penelitian disertasi ini, dalam makalahnya “Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya” yang dibacakan pada Penataran Metodologi Penelitian Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, 4-5 Februari 1994, hlm. 3
[44]Sudikno Martokusumo, Penemuan Hukum; Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2001), hlm. 29.
[45] Dalam kepustakaan Ilmu Hukum kontemporer dikenal sekurang-kurangnya ada lima macam penelitian hukum,  yaitu: normatif-nomologik, normatif-positif, normatif-behaveoral, empirik-monologik dan simbolik interaksional. (lihat Soetandyo Wignyosoebroto, Menyiapkan Usulan Disertasi yang Memenuhi Syarat, makalah tanpa tahun dan lihat juga Soetandyo Wignyosoebroto, Penelitian Hukum: Sebuah Tipologi, Jurnal Masyarakat Indonesia, Tahun 1 No. 2, 1974 hlm. 89-94.
[46] Analisis deduktif dan induktif digunakan untuk setiap pemecahan isu hukum. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenda Media Group, 2005),  hlm. 47
[47] DHM. Meuwissen (diterjemahkan oleh B. Arief Sidhata) dalam: Pro Justitia Tahun XII Nomor 4 Oktober 1994, hlm. 33.
[48] B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 127.
[49] Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Mandar Maju, Tahun 2008), hlm. 80.
[50] Akmal Boedianto, Pembentukan Peraturan Daerah tentang APBD Yang Partisipatif Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. ”Disertasi” Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. hlm 60, yang mengutip pendapat: RG. Logan, Impormation Sources in Law, Butterwort Guide to InternationalSources, (butterworth & CO. Publisher Ltd, 1986).
[51] Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hlm. 155.
[52]  Untuk menganalisa asas-asas hukum perencanaan akan digunakan teori J.J.H. Brugging, Refleksi Tentang Hukum, penerjemah B. Arief Sidharta, Bandung:  PT. Citra Aditya, 1996, hlm. 119-136. Lihat Juga: Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm. 60-65.
[53] Philipus M. Hadjon, et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia: Intruduction to the Indonesian Administrative Law, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), 1994, hlm. 125
[54] Lebih jauh tentang karakter interdisipliner Teori Hukum, lihat: Jan Gijssels en Mark van Hocke, Wat is Rechtstheorie, ? (Tjeenk Willunk, Zwolle, 1982), hlm, 128-129. telah diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Apakah Hukum itu ?, Bandung: FH. Unpar, 2001.
[55]  Untuk membahas tentang Cita Hukum (Rechtsidee) akan digunakan teori Hans Nawiasky yang bersumber dari Han Kelsen dalam bukunya, Allgemeine Staatlehre, als system derrecht lichen Grundbegriffe, Benziger & Co, Eiensieddeln, (Zurich, Koln, 1940). yang telah dibahas oleh Soepomo, Notonegoro dan A. Hamid S. Attamimi, dan berbagai sumber.
[56] Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit.hlm. 93.
[57] Jazim Hamidi, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, 2005, hlm. 37.
[58] Bahder Johan Nasution, Metode…Op Cit, hlm. 89.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU