BAB II KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

BAB II   
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
       Pembahasan kerangka pemikiran teoritis, dimaksudkan sebagai upaya untuk  menganalisis beberapa permasalahan yang dirumuskan dalam disertasi ini, oleh karena itu kerangka pemikiran teoritis merupakan kumpulan teori-teori yang dipilih, yaitu: teori negara hukum, teori desentralisasi, teori perundang-undangan dan teori hukum pembangunan.
       Teori negara hukum digunakan untuk mengetahui prinsip-prinsip dasar suatu negara yang mendeklarasikan dalam konstitusinya sebagai negara hukum, yang harus diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam tataran regulasi maupun dalam aplikasinya.
       Sementara teori desentralisasi dipakai untuk mengungkapkan bahwa dalam suatu negara kesatuan biasanya menggunakan asas desentralisasi, hal ini berkaitan erat dengan sifat dari suatu negara kesatuan dimana kekuasaan sebenarnya berada di pemerintah pusat, untuk mengefektifkan jalannya pemerintahan, karena luasnya wilayah ataupun dikarenakan perlunya pemberian kewenangan kepada daerah,  asas desentralisasi adalah suatu kebutuhan, dan desentralisasi juga mewujudkan otonomi daerah agar suatu daerah bisa melaksanakan pemerintahan sesuai dengan kemampuan daerah dan terhindar dari penyeragaman sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik.
40
 
       Teori perundang-undangan yang dipakai untuk menempatkan dasar-dasar normatif, yuridis dan sosiologis, serta koridor regulasi dalam suatu negara hukum, perundang-undangan adalahsumber kewenangan pemerintah untuk melakukan aktifitasnya dalam mewujudkan tujuan suatu negara, yaitu kesejahteraan, keadilan dan kebahagiaan bersama.
       Teori hukum pembangunan dipilih dalam penelitian ini, karena berkaitan erat dengan sistem perencanaan pembangunan pasca reformasi yang mengeluarkan sedemikian banyaknya perundang-undangan bidang perencanaan dan penganggaran. Kaitan hukum dengan pembangunan memang tidak bisa dipisahkan, karena pada dasarnya perencanaan pembangunan adalah implementasi dari sejumlah aturan. Kaitan hukum dan pembangunan di Indonesia bukan hal yang baru, bahkan teori hukum pembangunan yang dirumuskan oleh begawan hukum Mochtar Kusumaatmadja, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Roscu Pound sampai saat ini masih relevan.
       Keempat teori terpilih tadi akan dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini, yang membahas pengaturan hukum perencanaan dan pembangunan daerah, kaitannya dengan dokumen perencanaan pembangunan daerah lima tahunan provinsi, adapun uraian teori tersebut, disajikan sebagai berikut:

2.1.Teori Negara Hukum
Di zaman yang modern ini, tidak ada negara yang tidak mengaku bahwa negaranya tersebut adalah negara hukum (rechstaat), meskipun sistem ketatanegaraannya, sistem politiknya, dan sistem pemerintahannya dinegara tersebut sebenarnya masih sangat amburadul dan jauh dari sifat dan hakikat negara hukum[1].
Negara dan hukum tidak bisa dipisahkan, sebagaimana penegasan  dari Hans Kelsen bahwa ada “Keidentikan Negara dan Hukum”,[2] selanjutnya Kelsen menyebutkan “Sebagai organisasi politik, negara merupakan tatanan hukum, namun tidak semua tatanan hukum merupakan negara”.[3] Dan Indonesia sebuah tatanan hukum dan politik dengan tegas  menyebutkan dalam konstitusinya “Negara Indonesia adalah negara hukum”.[4]Pengertian negara hukum telah banyak didiskusikan para ahli hukum baik dari sarjana-sarjana dari luar maupun pakar hukum Indonesia, dalam kepustakaan Indonesia dikenal beberapa tokoh utama yang menulis pengertian negara hukum antara lain:
1.  Mr. Muhammad Yamin, mendefinisikan negara hukum sebagai suatu negara yang menjalankan pemerintahan yang tidak menurut kemauan orang-orang yang memegang kekuasaan, melainkan menurut aturan tertulis yang dibuat oleh badan-badan perwakilan rakyat yang terbentuk secara sah, sesuai dengan asas  The laws and not menshall govern.[5]
2.  Soediman Kartohadiprodjo, negara hukum sebagai negara dimana nasib dan kemerdekaan orang-orang di dalamnya dijamin sebaik-baiknya oleh hukum;[6]
3.  Wirjono Prodjodikoro, yang memberikan pengertian negara hukum, yakni para penguasa atau pemerintahan sebagai penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas kenegaraan terikat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku;[7]
4.  Joeniarto, negara hukum sebagai negara dimana tindakan penguasa harus dibatasi oleh hukum yang berlaku;[8]
Di zaman modern, teorinegara hukum sangat berkembang terutama  di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant,[9] Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, yang mewarisi tradisi Inggris, teorinegara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law[10]. Menurut Julius Stahl, negara hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’.[11]
Gagasan, cita, atau ide negara hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’,[12] juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”.[13]Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.[14]
Secara teoritis negara hukumrechsstaatmuncul di Eropa kontinental dilatarbelakangi oleh kekuasaan absolut para raja di benua Eropa, negara hukum yang demokratis merupakan antithesis dari konsep negara kerajaan yang memiliki kekuasaan yang absolute.[15] jadi lahirnya konsep negara hukumrechsstaat  sebagai reakasi untuk mengganti rezim absolut tersebut, maka coraknya sangat liberal. Sehingga ada keinginan untuk membuat negara hanya sebagai penjaga malam (nachwakersstaat), tugas pemerintah dibatasi hanya pada mempertahankan ketertiban umum dan kemakmuran (de popenhere orde en veliigheid). Menurut  Preidrich Julius Stahl. Konsep negara hukumrecshtsstaat ditandai adanya empat unsur pokok, yaitu:
1.  perlindungan hak asasi manusia
2.  pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamian hak-hak itu
3.  pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan
4.  peradilan administrasi dalam perselisihan.[16]
Dalam perkembangannya negara hukum, unsur-unsur yang dikemukakan oleh F.J. Stahl tersebut kemudian mengalami penyempurnaan yang secara umum dapat dilihat sebagaimana kreteria negara hukum berikut ini:
1.  Sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
2.  Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
3.  Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
4.  Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
5.  Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijkecontrole) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif;
6.  Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;
7.  Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran negara[17].
Demikian juga Sri Sumantri menyebutkan ada empat unsur negara hukum: 1) Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan, 2) adanya jaminan hak asasi manusia (warga negara), 3) adanya pembagian kekuasaan dalam negara, 4) adanya pengawasan dari badan peradilan (rechterlijke controle).[18]
Sedangkan Paul Scholten, menyebutkan tiga ciri utama negara hukum yaitu: 1) diakuinya hak asasi manusia, 2) Adanya pemisahan kekuasaan, dan 3) adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang.[19]
Istilah The rule of law pertama kali dikemukakan oleh Albert V. Dicey pada tahun 1885 di dalam bukunya yang berjudul Introduction to the study law constitution.Menyebutkan:
1.  supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law)
2.  kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before of the law)
3.  terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang, (undang-undang dasar dan keputusan pengadilan)[20]
          Istilah nomokrasi merupakan konsep yang memadukan antara negara hukum dengan hukum Islam, berarti nomokrasi Islam adalah kekuasaan didasarkan kepada hukum Islam yang berasal dari wahyu Allah, karena Tuhan itu abstrak maka hukum-Nya la yang kongkrit.[21] Perlu diketahui bahwa dalam nomokrasi Islam tidak sama dengan pengertian negara Theokrasi  yang mana raja atau penguasa sebagai tetesan dewa, karena dalam Islam tidak membenarkan sesuatu makhluk mempunyai kesamaan dengan Tuhan, Tuhan adalah kausa prima (sebab utama).
          Nomokrasi Islam juga sebagai konsep negara Islam, yang terdapat dalam Kitab suci umat Islam yaitu Al-Qur’an. Prinsip-prinsip nomokrasi dapat dikemukakan sebagai berikut:[22]
1.            Prinsip kekuasaan sebagai amanah (QS. 4:58)[23]
2.            Prinsip musyawarah (QS. 42:38,[24] QS. 3:159)[25]
3.            Prinsip keadilan (QS. 4:135,[26] QS. 5:8)[27]
4.            Prinsip persamaan (QS. 49:13)[28]
5.            Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (QS. 17:33)[29]
6.            Prinsip peradilan bebas (QS. 4:58)[30]
7.            Prinsip perdamaian (QS. 2:190)[31]
8.            Prinsip kesejahteraan (QS. 34:15)[32]
9.            Prinsip ketaatan rakyat (QS. 4:59)[33]
Dewasa ini Islam telah dikaji secara ilmiah sesuai dengan standar ilmu pengetahuan di berbagai perguruan tinggi,[34] hal tersebut merupakan suatu kebangkitan kembali umat Islam yang dulunya memang pernah mengalami kejayaan, seperti pada era pemerintahan Rasulullah di Kota Madina.[35] Pada masa ini telah lahir konstitusi tertulis pertama yang diakui sampai sekarang,[36] dan merupakan kajian khusus di bidang konstitusi. Kajian-kajian seperti itu pada gilirannya berpengaruh terhadap pemberlakuan hukum Islam sebagai hukum positif atau setidak-tidaknya menjadikan sebagai bahan untuk merumuskan dan mengkonstruksikan politik hukum perundang-undangan.
Di Indonesia, memasuki era otonomi daerah, dimana daerah-daerah berkesempatan menggali dan menerapkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat, maka tidak sedikit daerah-daerah menerapkan hukum Islam dalam bentuk hukum positif seperti Peraturan Daerah.[37] Lebih khusus lagi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam secara keseluruhannya telah memberlakukan hukum Islam (Syari’ah) yang disebut Kanon.
Di sampingteorinegara hukum nomokrasi dikenal juga istilah negara hukumLegal Sosiality/Sosialist Legality. Negara hukumLegal sosiality/Sosialist Legality, yaitu negara hukum yang didasarkan pada paham sosialis, dimana hukum hanya dijadikanalat untuk mencapai tujuan sosialisme. Oleh karena itu hukum lebih diarahkan kepada kepentingan untuk melaksanakan kebijaksanaan ekonomi dan sosial. Menurut Bagir Manan pandangan ini menganggap  hukum adalah instrumen (alat) kebijaksanaan dalam bidang ekonomi dan sosial (instrument of economicand socila policy).[38]
Kemudian Indonesia yang juga mempunyai sistem hukum sendiri dikenal pula istilahnegara hukum Pancasila Konsep negara hukum Pancasila telah ditegaskan sejak awal Indonesia merdeka, hal ini dapat dilihat dari penjelasan UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), kemudian memasuki era reformasi yang ditandai dengan amandemen UUD 1945 konsep negara hukum dicantumkan dalam Pasal1 ayat (3) UUD 1945.
Adapun ciri pokok dari negara hukum Pancasila dapat dilihat dari sila-sila Pancasila tersebut, misalnya sila pertama mengandung arti bahwa negara hukum Pancasila memberikan jaminan kepada warganya untuk memeluk agama dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya (freedom of relegion). Kebebasan beragama ini harus diterjemahkan dalam arti positif, artinya tidak ada tempat bagi paham anti Tuhan (atheisme). Menurut Jakob Sumardjo Pancasila ini berfilosofi harmoni, bukan dominasi. Pancasila menciptakan kerukunan nasional dan kerukunan dunia (perdamaian abadi). Harmoni artinya menyelaraskan perbedaan-perbedaan yang bertentangan sifat-sifatnya menuju masyarakat rukun dan damai, dan produktif dalam Ketuhaan Yang Maha Esa. Pancasila adalah Mancapat kalima pancer, empat kiblat (kuaternitas) yang memusatkan (sentripital) dan menyebar (sentrifigal) kesatu pusat. Ketuhanan Yang Maha Esa, kualitas trasedental di tengah manusia Indonesia, karena itu Pancasila dimulai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, menandakan kehadiran Yang Esa pada manusia yang beragama. Dimana ada Esa disitu ada harmoni.[39]
Perkembangan selanjutnya, negara  hukum tidak lagi mempersoalkan dari mana sumber istilahnya, Friedman mengemukakan, bahwa rechtstaat identik dengan the rule of law, yang intinya adalah pembatasan kekuasaan negara.[40]
Memasuki era reformasi terutama reformasi dibidang hukum, Pancasila tetap harus dijadikan sebagai paradigma reformasi hukum. Seperti dikatakan oleh Kaelan bahwa dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang merupakan sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata negara disebut ”Staatsfondamentalnorm” Dalam negara Indonesia ”Staatsfondamentalnorm” tersebut intinya tidak lain adalah Pancasila. Maka Pancasila adalah cita-cita hukum, kerangka berfikir, sumber nilai serta sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif Indonesia...”[41]         Maknasistem konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, cita negara hukum itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam Pasal-Pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Kiranya, cita negara hukum yang mengandung ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.[42]
Menurut A. Hamid S. Attamimi yang mengutip pendapat Hans Nawiasky dalam bukunya Algemeine Rechrslehre als System der rechtckichen Grundbegriffe yang terbit tahun 1940. Staatsfondamentalnorm” adalah norma tertinggi pada setiap sistem norma dalam masyarakat yang teratur, termasuk di dalamnnya negara, bahwa norma tertinggi dalam negara, pada dasarnya tidak berubah-ubah...[43]
Pada kesempatan lain Attamimi mengatakan bahwa negara hukum (rechtsstaat) secara sederahan adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.[44]
Sedangkan Padmo Wahyono memberikan pengertian negara hukum dengan menjelaskan terlebih dahulu pengertian negara dan pengertian hukum dan mengaitkan makna keduanya, dengan demikian negara hukum Indonesia secara materil ialah: suatu organisasi bangsa Indonesia yang atas rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur bangsa untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas berdasarkan suatu ketertiban menuju suatu kesejahteraan.[45]
Oleh karena itu jika ada perubahan tentang sistem hukum maka nilai fundamentalnya harus tetap dipertahankan, karena ia menjadi sumber inspirasi dari segala aktifitas bernegara dan berbangsa. Dan pengertian negara hukum Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
Untuk memudahkan memahami Perbedaan kelima konsep negara hukum tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2:
Konsep, Ciri-ciri dan Unsur Utama Negara HukumMenurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;

Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;

Negara Hukum di Indonesia diataur dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: ”Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan sitem demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat yang diberlakukan berdasarkan UUD.
Menurut Omar Senoadji (1980 : 18) negara hukum Indonesia mempunnyai ciri khas Indonesia, karena Pancasila harus dianggap sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
  Ciri khas yang dimaksudkan adalah sebagai pembeda dengan sistem-sistem di negara lain (Islam/nomokrasi, rechtstaat,the rule of law atau socialis legality). Secara terperinci dapat dibedakan konsep negara hukum Pancasila dengan konsep negara hukum lainnya, yaitu:
1. ada hubungan yang erat antara agama dan negara;


NO
KONSEP
CIRI-CIRI
UNSUR-UNSUR UTAMA
1
Nomokrasi (Negara Hukum Islam)
Bersumber dari Al-Quran sunah dan rakyu, nomokrasi bukan teokrasi – persaudaran  dan humanisme teleosentrik – kebebasan dalam arti positip
Sembilan prinsip:
2
Rechtstaat
Bersumber dari rasio manusia – liberalistik – individualistik – humanisme yang antroposentrik (lebih dipusatkan kepada manusia). Pemisahan antara negara dan agama secara mutlak, ateisme dimungkinkan
Menurut Stahl:

Menurut Scheltern:
2
Rule of Law
Bersumber dari rasio manusia – liberalistik/individualistik – antropsentrik (lebih dipusatkan kepada manusia) – pemisahan antara agama dan negara secara rigid(Mutlak) – freedom of relegion dalam arti positif dan negatif – ateisme dimungkinkan
Menurut AV. Decey:
Tidak memerlukan Peradilan Administrasi Ngeara, karena peradilan umum dianggap berlaku untuk semua orang baik warga biasa maupun pejabat pemerintah, kalau rechtstaat menekankan pada peradilan administrasi, maka The rule of law menekankan pada equality before the law.
4
Sosialis legality
Bersumber dari rasio manusia – komunis – ateis – totaliter – kebebasan beragama yang semu – dan kebebasan propaganda anti agama.
5
Negara Hukum Pancasila
Hubungan yang erat antara agama dan negara – bertumpu kepada Ketuhanan Yang Maha Esa  - kebebsan beragama dalam arti positif – ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang – asas kekeluargaan dan keukunan.
NO
KONSEP
CIRI-CIRI
UNSUR-UNSUR UTAMA
1
Nomokrasi (Negara Hukum Islam)
Bersumber dari Al-Quran sunah dan rakyu, nomokrasi bukan teokrasi – persaudaran  dan humanisme teleosentrik – kebebasan dalam arti positip
Sembilan prinsip:
2
Rechtstaat
Bersumber dari rasio manusia – liberalistik – individualistik – humanisme yang antroposentrik (lebih dipusatkan kepada manusia). Pemisahan antara negara dan agama secara mutlak, ateisme dimungkinkan
Menurut Stahl:

Menurut Scheltern:
4
Sosialis legality
Bersumber dari rasio manusia – komunis – ateis – totaliter – kebebasan beragama yang semu – dan kebebasan propaganda anti agama.
5
Negara Hukum Pancasila
Hubungan yang erat antara agama dan negara – bertumpu kepada Ketuhanan Yang Maha Esa  - kebebsan beragama dalam arti positif – ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang – asas kekeluargaan dan keukunan.
NO
KONSEP
CIRI-CIRI
UNSUR UTAMA
1
Nomokrasi (Negara hukum Islam)Nomokrasi (Negara Hukum Islam)
Bersumber pada Al-Qur’an Sunah dan ra’yu, bukan teokrasi. Persaudaraan, humanisme telesentrik, kebebasan dalam arti positifBersumber dari Al-Quran sunah dan rakyu, nomokrasi bukan teokrasi – persaudaran  dan humanisme teleosentrik – kebebasan dalam arti positip
Sembilan Prinsip:
1.            Kekuasaan sebagai amanah
2.            Musyawarah
3.            Keadilan
4.            Persamaan
5.            Perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia
2
Rechts Staat
Bersumber dari rasio manusia, liberalistik, individualistik, humanisme yang antroposentrik (lebih dipusatkan kepada manusia) pemisahan antara negara dan agama secara mutlak, ateisme dimungkinkan.
Menurut Stahal:
1. Pengakuan atau perlindungan HAM
1.    Trias Politika
2.    Peradilan Administrasi
Menurut Scholten:
1.      Kepastian Hukum
2.      Persamaan
3.      Demokrasi
4.      Pemerintah yang melayani kepentingan umum
3
The Rule of Law
Bersumber dari rasio manusia, liberalistik, individualistik, antrosentrik (lebih dipusatkan kepada manusia) pemisahan antara agama dan negara secara mutlak, freedom of religion dalam arti positif dan negatif, atheisme dimungkinkan.
Menurut AV. Decey:
1.Supermasi hukum
2.Equality before of Law
3.individual rights.
4.tidak memerlukan peradilan administrasi, karena peradilan umum berlaku untuk semua orang. Sesuai dengan prinsip Equality before of the Law.
4
Social Legality
Bersumber dari rasio manusia, Komunisme, ateisme, totaliter, kebebasan beragama yang semu, dan kebebasan propaganda anti agama.
1.    Perwujudan sosialisme
2.    Hukum adalah alat di bawah sosialisme
3.    penegakan pada sosialisme ketimbang hak-hak perseorangan
5
Negara hukum Pancasila
Hubungan yang erat antara negara dan agama, bertumpu pada KTYME, kebebasan beragama dalam arti positif, ateisme tidak dibenarkan,, komunisme dilarang, asas kekeluargaan dan kerukunan.
1.Berdasarkan Pancasila.
2.Demokrasi perwakilan oleh MPR (sebelum Amandemen UUD 1945, pen).
3.Sistem Konstitusi
4.Peradilan yang bebas serta adanya Peradilan administrasi.







Sumber: Tahir Azhari 2005.
Bersumber dari Al-Quran sunah dan rakyu, nomokrasi bukan teokrasi – persaudaran  dan humanisme teleosentrik – kebebasan dalam arti positip

          Berkenaan dengan Konsep negara hukum di atas, maka dapat dilihat ciri-ciri negara hukum sebagai berikut:
1.  sistem pemerintahan negara didasarkan atas kedaulatan rakyat.
2.  pemerintah dalam melaksanakan tugas wajib berdasarkan hukum atau peraturan.
3.  adanya jaminan terhadap hak asasi manusia
4.  adanya pengawasan dari badan-badan peradilan yang benar-benar independen.
5.  adanya pembagian kekuasaan dalam negara
6.  adanya peran nyata dari masyarakat untuk mengawasi pemerintahan
7.  adanya sistem ekonomi yang menjamin untuk kesejahteraan warga masyarakat.
8.  Pemerintah terutama aparat keamanan bersifat melayani dan mengayomi dan jika terjadi tuntutan masyarakat atas persamaan dalam hukum, dan disampaikan melalui saluran demokrasi seperti demo, orasi dan sebagainya aparat keamaman tidak bersifat represif.[46]

Sedangkan yang menjadi syarat suatu negara dikaitkan sebagai negara hukum paling tidak memenuhi beberapa ketentuan seperti yang dimuat oleh International Commission of Jurist,[47] sebagai berikut:
1.            Adanya proteksi konstitusional
2.            adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak
3.    adanya pemilihan umum yang bebas
4.    adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat
5.    adanya tugas oposisi
6.            adanya pendidikan civic.

          Adapun prinsip negara hukum meliputi:
1.    Asas legalitas.
2.    Perlindungan hak asasi manusia
3.    Pemerintah terikat kepada hukum
4.    Hukum dapat ditegakkan ketika hukum itu dilanggar.
5.    Pengawasan oleh hakim yang merdeka

Disamping prinsip seperti di atas sesuai perkembangannya, prinsip negara hukum juga berkembang sehingga menimbulkan tambahan prinsip baru seperti dikatakan oleh Jimly Ashiddqie[48], sebagai berikut:
1.    Supremasi Hukum (Supremecy of law)
2.    Persamaan dalam hukum (Equallity before of law)
3.    Asas legalitas (Due Proces of law)
4.    Pembatasan Kekuasaan
5.    Organ-organ penunjang yang independen
6.    Peradilan yang bebas dan tidak memihak
7.    Peradilan Tata Usaha
8.    Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court)
9.    Perlindungan Hak Asasi Manusia
10. Bersifat demokrtis (Democratiche Rechtsstaat)
11. Berfungsi sebagai sarana Mewujudkan Tujuan Negara (Welfare Rechtsstaat)
12. Transparansi dan kontrol sosial.

Konsep Negara hukum menurut John Locke  yang kemudian diteruskan oleh Montesquieu dalam bukunya l’esprit des lois (The Spirit of the law) dalam suatu negara ada tiga organ pemerintahan yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Ajaran ini pada perkembangan selanjutnya mengalami penyempurnaan/modifikasi terutama melalui ajaran pembagian kekuasaan (distribution of power) dan ajaran checks and balances yang menekankan pentingnya saling mengawasi dan mengendalikan antarberbagai lembaga negara.   Akan tetapi kekuasaan negara itu harus dibagi dan dipisah masih relevan sampai saat ini.
Unsur-unsur negara hukum yang diuraikan di atas, merupakan unsur dari konstitusi modern, sebagaimana disebutkan oleh CF. Strong, bahwa sebagai dokumen dasar, konstitusi merupakan asas-asas dasar yang mengandung tiga materi pokok, yaitu: 1) Kekuasaan pemerintah, 2) Hak-hak yang diperintah, dan 3). Hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.[49] Sedangkan Naoki Kaboyashi sebagaimana dikutip oleh Adnan Buyung Nasution menyatakan, konstitusi atau undang-undang dasar memiliki tujuan merumuskan cara-cara untuk membatasi dan mengendalikan kekuasaan politik untuk menjamin hak-hak asasi rakyat.[50]
Menurut Sri Soemantri, hakikat suatu konstitusi adalah mengatur pembatasan kekuasaan dalam negara, pembatasan itu mencakup dua hal. Pertama, pembatasan isi kekuasaan, yakni pembatasan yang berkenaan dengan tugas, wewenang, serta berbagai macam hak yang diberikan kepada masing-masing lembaga. Kedua, pembatasan masa/waktu kekuasaan, yakni berkenaan dengan periode dan masa yang diberikan pada pemangku jabatan tertentu.[51] Pada bagian lain Sri Soemantri mengatakan, pada umumnya, materi konstitusi atau undang-undang dasar mencakup tiga hal yang fundamental, yaitu: pertama, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia dan warganya. Kedua, ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental. Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.[52]
 Pembagian dan pembatasan tugas ini oleh Montesquieu dibagi menjadi tiga kekuasaan, yaitu:
1.               Legislatif, pemegang kekusaan pembentuk undang-undang;
2.               Yudikatif, pemegang kekuasaan di bidang kehakiman;
3.               Eksekutif, pemegang kekuasaan dibidang pemerintahan.[53]
      Setiap negara yang menganut sistem demokrasi dalam pemerintahannya dipastikan juga negara tersebut adalah negara hukum, karena antara hukum dan demokrasi tidak dapat dipisahkan, konsep negara hukum mempunyai akar historis dalam perjuangan menegakkan demokrasi bahkan negara hukum kerap dijadikan satu istilah yaitu ”konsep negara hukum yang demokratis”, konsep negara hukum seperti itu berlaku sampai sekarang. Oleh karena itu sampai saat ini sistem demokrasi telah menadi pilihan setiap negara di dunia, yang pada intinya dalam demokrasi rakyatlah yang berkuasa walaupun pengertian rakyat berkuasa ini masih menjadi perdebatan, terutama dalam tataran aktualisasinya.
Sampai saat ini tidak ada pengertian yang lengkap tentang demokrasi sebagaimana pendapat Harlod Laski  sebagai berikut:
Not definition of democracy can adequately comprise the history which the concept  connotes, to some it is a from, of government, to others a way of sosial life, Men have found its essence in the charter of the electorate; the relation between government and the people, the absence of wide economic differences between citizens, the refusal to recognize privileges built on birth or wealth, race or creed”.[54]

(Tidak ada definisi demokrasi yang memadai untuk dijadikan sebagai konsep, dalam sejarah. Demokrasi adalah suatu bentuk  pemerintahan, sekaligus sebagai pandangan hidup sosial. Esensinya dapat ditemukan dalam karakter pemilih, hubungan pemerintah dengan rakyat, tidak adanya perbedaaan warga negara di dalam bidang ekonomi, menolak pengakuan terhadap hak-hak istimewa karena kelahiran, atau karena kekayaan, karena ras, suku atau kepercayaan).
        
Namun demikian secara umum pengertian demokrasi diartikan sebagai usaha yang selalu melibatkan masyarakat dalam setiap aktifitas atau proses pembangunan, dengan demokrasi dalam kaitannya dengan  mekanisme perencanaan pembangunan daerah menunjukkan adanya peran serta masyarakat secara aktif (Public participation).
Sejarah perkembangan demokrasi sebenarnya telah dimulai pada zaman Yunani kuno yaitu pada tahun 461 SM sampai 322 SM, yaitu praktik demokrasi yang dilaksanakan pada masyarakat kota di Athena (city-state) atau ”Polis” kota kecil yang berpenduduk kurang lebih 50.000 orang, sehingga pada kota ini demokrasi dapat dilaksankan secara langsung dan masih sangat sederhana sekali. Praktik demokrasi langsung pada saat itu seperti di ungkapkan oleh Corry:[55]
”The ancient democracies were direct democracies. Each citizen participated directly in making laws, and could expect to  come to public office from time to time by lot or relation”

(Demokrasi pada waktu yang lampau adalah demokrasi langsung. Setiap warga Negara berpartisipasi secara langsung dalam membuat Undang-undang dan mengharapkan dimasa datang menjadi kebutuhan masyarakat dari waktu ke waktu dalam hubungan satu sama lain).

Paham demokrasi yang hampir dianut oleh setiap negara modern sekarang telah dimulai zaman Yunani Kuno, danjuga diterapkan dalam dunia Islam seperi diungkapkan oleh Zainal Abidin Ahmad:
“Bahwa demokrasi yang sejati sudah mencapai puncak kesempurnaannya, telah pernah diajarkan oleh Islam pada  14 abad yang lampau, dimulai dengan prinsip musyawarah dengan didampingi oleh perintah pemilihan, sehingga semenjak lahirnya demokrasi dalam Islam sudah menjatuhkan pilihannya kepada demokrasi perwakilan. Sudah sejak semula, hak untuk memilih, atau untuk dipilih diberikan secara bebas, rahasia dan umum, yang meliputi pria dan wanita, segala lapisan rakyat. Kemudian dilengkapkannya segala dasar-dasar dari hak-hak yang harus dimiliki oleh rakyat dari suatu Negara demokrasi sejati”.[56]

Jika demokrasi itu diartikan sebagai peran masyarakat dalam pengambilan keputusan politik, maka bangsa Indonesia telah lama mempraktikan demokrasi itu, seperti pada pemerintahan Marga di Sumatera Selatan. Pemilihan Kepala Marga dilakukan pemilihan secara langsung, menurut Bagir Manan Pemerintahan Marga adalah contoh demokrasi sejati bangsa Indonesia.
              Proses demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dalam setiap pengambilan keputusan (decisionmakingprocess) yang merupakan ciri pemerintahan modern sekarang yang disebut ”goodgovernance”. Dimana ciri dari prinsif ”goodgovernance” yaitu:[57]
1.     Participation; setiap orang atau setiap warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun memalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing. Partisipasi yang luas ini perlu dibangun dalam suatu tatanan kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2.     Rule of Law; Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan haruslah berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh (impartially), terutama aturan-aturan hukum tentang hak asasi manusia.
3.     Transparancy; Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi, berbagai proses, kelembagaan, dan informasi harus dapat diakses secara bebas oleh mereka yang membutuhkannya dan informasinya harus dapat disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi.
4.     Responsivenness; Setiap institusi dan prosesnya harus diupayakan untuk melayani beberapa pihak yang berkepentingan (Stakeholders).
5.     Consensus Orientation; Pemerintahan yang baik (goog governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang baik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
6.     Equality; Pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki dan perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.
7.     EffectivennesandEfficiency; Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia.
8.     Accuntability; Para pengambil keputusan (decision makers) dalam organisasi sektor publik (Pemerintah), swasta, dan masyarakat madani, memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik (Stakeholders), pertanggungjawaban tersebut berbeda-beda, bergantung apakah jenis keputusan organisasi itu bersifat internal atau bersifat eksternal.
9.     StrategicVision; Para pimpinan dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan baik (good governance) dan pembangunan manusia (human development), bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut. Mereka juga memahami aspek-aspek historis, kulturasi, dan kompleksitas sosial yang mendasari perspektif mereka.
10.   Interrelated; bahwa keseluruhan ciri good governance tersebut di atas adalah saling  memperkuat dan saling terkait (mutually reinforcing) dan tidak bisa berdiri sendiri, misalnya informasi semakin mudah diakses berarti transparansi semakin baik, tingkat partisipasi akan semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan semakin efektif. Partisipasi yang semakin luas akan berkontribusi kepada dua hal, yaitu terhadap pertukaran informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan, dan untuk memperkuat keabsahan atau legitimasi atas berbagai keputusan yang ditetapkan. Tingkat legitimasi keputusan yang kuat pada gilirannya akan mendorong efektifitas pelaksanaannya, dan sekaligus mendorong peningkatan partisipasi dalam pelaksanaannya. Dan kelembagaan yang responsif haruslah transparan dan berfungsi sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku agar keberfungsiannya itu dapat dinilai keberadaannya.

Kemudian disebutkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Penyelenggaraan Pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri dari atas;
1.    asas kepastian hukum;
2.    asas tertib penyelenggaraan negara;
3.    asas kepentingan umum;
4.    asas keterbukaan
5.    asas proforsionalitas;
6.    asas profesionalitas;
7.    asas akuntabilitas;
8.    asas efisiensi; dan
9.    asas efektifitas.

Di samping asas-asas tersebut secara umum penyelenggaraan pemerintahan juga harus dilaksanakan secara transparan maupun pelibatan partisipasi publik sebagai ”The buzzwords of the moment”.  Adanya asas transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka akan terbuka luas bagi masyarakat untuk memberikan sumbang saran dan masukan dalam rangka penyusunan perencanaan pembangunan.
Penyelenggaraan negara dalam sistem demokrasi menghendaki partisipasi rakyat dengan makna seluruh aktifitas negara  yang tertumpu pada penalaran administratif, legal konstitusional, kebijakan (birokratik) dan politik kemasyarakatan karena dalam penyelenggaraan negara menginternalisir makna transparansi. Prinsip demokrasi di Indonesia merupakan amanat perundang-undangan yang merupakan hasil interaksi kolektif semua elemen dari administratif, konstitusionalisme, politik maupun kebijakan.yaitu ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:
1.  Perwalian politik, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara ditentukan oleh badan perwakilan yang dipilih.
2.  Pertanggungjawaban politik
3.  Pembagian kewenangan kepada orang-orang
4.  Pemerintah harus dapat dikontrol
5.  Kejujuran dan keterbukaan pemerintah
6.  Rakyat diberikan kewenangan untuk mengajukan keberatan[58]

Prinsip-prinsip demokrasi yang dikemukakan oleh Jimly tersebut, merupakan implementasi dari demokrasi Indonesia dewasa ini, dimana proses demokrasi telah berjalan terutama dalam hal perencanaan pembangunan daerah, hanya saja sebagian masih bersifat parsial, misalnya dalam kriteria kejujuran dan keterbukaan pemerintah yang masih selalu menjadi perdebatan dan tuntutan dari masyarakat.[59]
1.           Teori Desentralisasi dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Di dalampraktik kehidupan bernegara, sentralisasi dan desentralisasi adalah sebuah continuum. Tidak ada sebuah negara yang secara penuh hanya menggunakan azas sentralisasi saja dalam penyelenggaraan pemerintahannya.Sebaliknya juga tidak mungkin penyelenggaraan pemerintahan hanya didasarkan pada azas desentralisasi saja[60].
Beberapa kewenangan klasik memang lazimnya hanya dilakukan secara sentralisasi seperti kewenangan luar negeri, kewenangan pertahanan dan kewenangan peradilan. Meskipun dalam praktiknya juga terdapat azas dekonsentrasi yang merupakan penghalusan dari azas sentralisasi.
Keluarnya UU No.  22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana disebutkan dalam penjelasannya sebagai berikut:
Berkaitan dengan asas desentralisasi memberikan prinsip-prinsip otonomi sebagai berikut: 1) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah, 2) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab, 3) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah Kota, sedangkan daerah provinsi merupakan otonomi terbatas, 4) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah, 5) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak ada lagi daerah administrasi. Demikian pula dengan kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industry, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan parawisata, dan semacamnya berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonom, 6) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi Badan Legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan, maupun fungsi anggaran atau penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, 7) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah, 8) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiyayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.[61]

UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kedua undang-undang ini menunjukkan kesungguhan pemerintah pusat tentang desentralisasi, namunmasih banyak hal yang tidak jelas cakupan dan implikasinya dari pelaksanaannya.[62]  yang selanjutnya diubah oleh UU. No. 32 dan UU. No. 33 Tahun 2004, telah mengantarkan Indonesia memasuki proses pemerintahan desentralisasi setelah lebih dari 30 tahun berada di bawah rezim Orde Baru yang serba sentralistis.[63]
            Desentralisasi mengandung makna bahwa wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan dilakukan juga oleh satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam satuan teritorial maupun fungsional. Satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan dibiarkan mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan.[64]       
            United Nations[65]  memberikan batasan tentang desentralisasi sebagai berikut: Decentralization refers to the transfer of authority away from the nation capital whether by deconcentration to local (i.e. delegation) to field offices or by devolution to local authorities or local bodies.
            Batasan ini hanya menjelaskan proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah. Proses itu melalui dua cara yaitu dengan delegasi kepada pejabat-pejabatnya di daerah (deconcentration) atau dengan devolution kepada badan-badan otonom daerah. Akan tetapi, tidak dijelaskan isi dan keluasan kewenangan serta konsekuensi penyerahan kewenangan itu bagi badan-badan otonom daerah.
            Handbook of Public Administration yang diterbitkan oleh PBB[66] menyebutkan bentuk-bentuk desentralisasi sebagai berikut:The two principal forms of decentralization of governmental powers and fungtions are deconcentration to area offices off administration and devolution to state and local authorities.
Area offices of administration adalah suatu perangkat wilayah yang berada di luar kantor pusat. Kepada pejabatnya oleh departemen pusat dilimpahkan wewenang dan tanggung jawab bidang tertentu yang bertindak sebagai perwakilan departemen pusat untuk melaksanakan fungsi bidang tertentu yang bersifat adminitratif tanpa menerima penyerahan penuh kekuasaan (final authority). Pertanggungjawaban akhir tetap berada pada departemen pusat (the arrangement is administrative in natur and implies no transfer of final authority from the ministry, whose responsibility countries).[67]
 Ada tiga azas dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia yakni desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Menurut UU No.  32 Tahun 2004 tentang Pemda, desentralisasi dimaknai sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi didefinisikan sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sementara tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada Kabupaten/Kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
            Desentralisasi dapat di bagi dua pengertian yakni: desentralisasi teritorial (territorialedecentralisatie) yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonom), yang melahirkan badan-badan berdasarkan wilayah (gebiedscorporaties), sedangkan desentralisasi fungsional (functionaledecentralisatie) adalah pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu, yang muncul dalam bentuk badan-badan dengan tujuan tertentu (doelcorporaties).[68]
            Sedangan Irwan Soejito, membagi bentuk desentralisasi kedalam tiga macam, yaitu desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsionl termasuk desentraliasi menurut dinas/kepentingan dan desentralisasi administratif atau lazim disebut dekonsentrasi.[69]Sedangkan Amrah Muslimin, yang tidak memasukan dekonsentrasi sebagai desentralisasi, dekonsentrasi menurut Muslimin merupakan salah satu aspek kedaerahan tetapi bukan desentralisasi.[70]
            Menurut Mochtar Kusumaatmadja, desentarlisasi ketatanegaraan dapat dibagi dalam dua macam:
2.    Desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonom);
3.    Desentralisasi fungsional (functionaledecentarisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus suatu atau beberapa kepentingan tertentu. Di dalam desentraisasi semacam ini dikehendaki agar kepentingan-kepentingan tertentu tadi diselenggrakan oleh golongan-golongan yang bersangkutan sendiri.[71]
           Dilihat dari beberapa pengertian di atas bahwa desentralisasi merupakan pengotonomian, yakni proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Kaitan desentralisasi dan otonomi daerah seperti itu terlukis dalam pernyataan Gerald S. Maryanov. Menurut pakar ini, desentalisasi dan otonomi daerah merupakan dua sisi dari mata uang. [72]
            Kasus otonomi daerah dan desentralisasi pada prinsipnya terbatas pada administrasi, yakni norma-norma khusus yang dibuat oleh organ-organ administrasi. Tetapi desentralisasi dapat diperluas ke pembuatan undang-undang mengenai pembuatan norma-norma umum. Hal ini biasanya berhubungan dengan bidang validitas teritorial dari norma-norma tersebut yang relatif lebih besar. Ini adalah tipe desentralisasi oleh provinsi-provinsi yang otonom.[73]
            Jika gubernur dipilih oleh warga negara atau melalui badan legislatif provinsi, maka derajat desentralisasi danderajat otonominya lebih besar dibandingkan dengan gubernur diangkat oleh kepala negara.[74]
            Desentralisasi sebagai salah satu sendi negara yang demokratis (democrayisherechtsstaat), desentralisasi merupakan pilihan yang tepat dalam ragka menjawab berbagai persoalan yang dihadapi negara dan bangsa sekarang dan masa datang.[75]
            Kenyataannya, desentralisasi merupakan antitesa dari sentralisasi penyelenggaraan pemerintahan. Antara dua kutub itu dalam perkembangannya tidak jarang diletakkan pada kutub yang saling berlawanan.[76] Padahal di dalam negara kesatuan di samping keliru untuk mempertentangkan keduanya juga antara keduanya tidak bisa ditiadakan sama sekali. Artinya, kedua konsep, sistem, bahkan teori dimaksud saling melengkapi dan membutuhkan dalam kerangka yang ideal sebagai sendi negara demokratis.[77] Pentingnya desentralisasi pada esensinya agar persoalan yang kompleks dengan dilatar belakangi oleh berbagai faktor heteregonitas dan kekhususan daerah yang melingkupinya seperti: budaya, agama. Adat istiadat, dan luas wilayah dan jika ditangani semuanya oleh pemerintah pusat atau pemerintah atasan merupakan hal yang tidak mungkin dengan keterbatasan dan kekuarangan hampir semua aspek. Namun, sebaiknya tidak realistis jika semuanya didesentralisasikan kepada daerah dengan alasan cerminan dari prinsip demokrasi. Oleh karena itu, pengendalian dan pengawasan pusat sebagai cerminan dari sentralisasi tetap dipandang mutlak sepanjang tidak melemahkan bahkan memandulkan prinsip demokrasi itu sendiri.[78]
            Menurut The Liang Gie, ada beberapa pertimbangan tentang perlunya memberikan otonomi kepada daerah dalam rangka desentralisasi menurut sudut pandang yang berbeda:
Pertama, ditinjau dari segi politik sebagai permainan kekuasaan, pemberian otonomi daerah dipandang perlu untuk daerah untuk mencegah bertumpuknya kekuasaan di satu tangan yang akhirnya dapat menimbulkan pemerintahan tirani. Kedua, dari segi demokrasi, pemberian otonomi kepada daerah dipandang perlu, dengan maksud diikutsertakan rakyat dalam kegiatan pemerintahan dan sekaligus mendidik rakyat mempergunakan hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pemeritahan. Ketiga, dari segi teknis organisatoris pemerintahan, pemberian otonomi kepada daerah dipandang sebagai cara untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih doelmatig untuk diurus oleh pemerintahan setempat diserahkan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tempat berada di tangan pusat tetap diurus oleh pemerintahan pusat. Dengan demikian, soal desentralisasi dan otonomi daerah adalah soal teknis pemerintahan yang ditujukan untuk mencapai hasil sebaik-baiknya. Keempat, dari segi manajemen sebagai salah satu unsur administrasi, suatu pelimpahan wewenang dan kewajiban memberikan pertanggungjawaban dari penunaian suatu tugas merupakan hal yang wajar. Dalam beberapa hal, pemberian otonomi kepada daerah dipandang dapat mendorong pengambilan keputusan yang lebih cepat dan luwes. Ia dapat memberikan dukungan lebih konstruktif dalam proses pengambilan keputusan[79].

            Di dalam UUD 1945 dimana negara menganut sistem negara kesatuan dan sekaligus menganut prinsip desentralisasi, hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen), maupun Pasal 18 ayat (1), (2), (5) dan (7), prinsip dimaksud telah diatur diberbagai undang-undang pemerintahan daerah mulai dari UU No. 1 Tahun 1945 sampai dengan sekarang ini UU No. 32 Tahun 2004tentang Pemda yang telah dua kali diamandemen.
            Latar belakang rumusan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) dapat dilihat dari catatan M. Amir (Anggota PPKI) notulen sidang pada waktu itu menyatakan: .....supaya pemerintah kita (Republik Indonesia) disusun dengan sedimikian rupa” sehingga diadakan deconsentratie (dekonsentrasi) sebesar-besarnya; pulau-pulau supaya diberi ”Pemerintahan” agar rakyat berhak mengurus ”rumah tangganya sendiri dengan seluas-luasnya” perkataan deconsentratie. Selain itu Ratulangi (anggota PPKI) menyarankan antara lain ”perkataan deconsentratie (dekonsentrasi) dandesentralisatie (desentralisasi), artinya supaya seluas-luasnya untuk mengurus keperluannya, menurut pikirannya sendiri, menurut kehendaknya sendiri, tentu dengan memakai persetujuan, bahwa daerah-daerah itu adalah dari Indonesia dan satu negara.[80]
            Ketentuan Pasal 18 (sebelum amandemen), menurut Solly Lubis, Pasal tersebut menentukan tentang ”Pembagian Wilayah” Negara Kesatuan Republik Indonesia, selanjutnya dinyatakan bahwa dari isi dan jiwa Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta Penjelasnnya maka jelaslah bahwa pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.[81]
            Amandemen Pasal 18 ayat (1) mengandung paradigma yang lebih jelas dari pada ketentuan Pasal 18 (sebelum Amandemen) sekalipun rumusan Pasal 18 ayat (1) pada dasarnya sama dengan Pasal 18 (sebelum amandemen), paradigma dimaksud mengenai prinsip pembagian wilayah negara Republik Indonesia menjadi otonom yang melandasi prinsip pembagian urusan kepada daerah otonom, yaitumelalui tahapan dan tingkatan daerah Provinsi dan kemudian Daerah Kabupaten/Kota. Perkembangan selanjutnya Pasal 18 ayat (1) diterjemahkan lain oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 tersebut menyebutkan: Wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, Daerah Kota yang bersifat otonom, kemudian Pasal 4 ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan: Daerah-daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu daerah provinsi, daerah kabupaten dan Daerah kota, masing-masing berdisri sendiri dan provinsi tidak mempunyai hubungan hierarki terhadap Kabupaten/Kota dan mempunyai hubungan kesetaraan satu sama lain”
            Berkenaan dengan hal tersebut setelah amandemen UUD 1945 ditambahkan Pasal baru yaitu Pasl 18 A ayat (1) dan ayat (2), yang mengatur hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota, atau antara Provinsi, Kabupaten dan Kota diatur dengan UU, dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah {Pasal 18 ayat (1)}. ”hubungan Keuangan, Pelayanan Umum, Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-undang {Pasal 18 Ayat (2)}. Ketentuan Pasal ini terutama berkaitan dengan haikat hubungan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah otonom dalam negara Republik Indonesia;
            Kekeliruan dalam menapsirkan Pasal 18 oleh UU No. 22 Tahun 1999 telah dikoreksi dengan mencantumkan Pasal 18 A ayat (1) dan (2) UUD 1945 sehingga yang semula pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota tidak mempunyai hubungan hierarki, sehingga mempunyai hubungan hierarki.
            Desentralisasi saat ini telah menjadi azas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktur sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan[82].
            Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan model efisiensi struktural/structural efficiency model) dan kedua peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan model partisipasi/participatorymodel). Setiap negara lazimnya memiliki titik berat yang berbeda dalam tujuan-tujuan desentralisasinya tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah pertumbuhan (direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi.
Dalam konteks Indonesia, desentralisasi telah menjadi konsensus pendiri bangsa. Pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen dan ditambahkan menjadi Pasal 18, 18A dan 18B memberikan dasar dalam penyelenggaraan desentralisasi[83].
           
4.            Teori Perundang-undangan dalam Perspektif Pembentukan RPJM Daerah

Hamid S Attamimi memberikan pengertian perundang-undangan dengan mengawilanya dengan sebuah pertanyaan. Apakah yang dimaksud dengan Teori Perundang-undangan? Pertanyaan tersebut ia jawab sebagai berikut:
"Teori Perundang-undangan" bukanlah berati pendapat tentang cara melakukan sesuatu, seperti dikatakan orang: teorinya mudah tetapi praktiknya sukar. Bukan pula berarti pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai sesuatu peristiwa, misalnya teori tentang terjadinya bumi, teori tentang evolusi asal usul manusia, dan sebagainya.' Kata "won" di sini ialah sekumpulan pemahaman-pemahaman, titik-tilik tolak, dan azas-azas yang saling berkaitan, yang memungkinkan kita memahami lebih baik terhadap sesuatu yang kita coba untuk mendalaminya? Secara umum dan abstrak kata "teori" dapat juga diartikan sistem dari rata hubungan yang logik dan definitorik di antara pemahaman-pemahaman. Atau lebih kongkrit, "teori" ialah sistem pernyataan-pernyataan, pendapat-pendapat, dan pemahaman-pemahaman yang logik dan saling berkaitan mengenai suatu bidang kenyataan, yang dirumuskan demikian rupa sehingga memungkinkan penarikan hipotesa-hipotesa yang dapat diuji padanya[84].
Undang-undang (gezets) adalah dasar dan batas bagi kegiatan pemerintahan, yang menjamin tuntutan-tuntutan negara berdasarkan atas hukum, yang menghendaki dapat diperkirakannya akibat dari suatu aturan hukum, dan adanya kepastian dalam hukum.[85] salah satu tiang utama dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara adalah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, harmonis, dan mudah diterapkan dalam masyarakat....[86]
Perundang-undangan yang baik harus mempunyai landasan dalam pembentukannya, menurut Bagir Manan landasan dalam penyusunan undang-undang, yaitu: pertama, landasan yuridis (juridische gelding); kedua, landasan sosiologis (sosiologische gelding); dan ketiga, landasan filosofis.[87] Berkaitan dengan landasan pembentukan undang-undang, dengan melihat dari sisi teknis pembentukan undang-undang, landasan pembentukan undang-undang haruslah tergambar dalam ”konsiderans” suatu undang-undang. Dalam konsideran suatu undang-undang harus memuat norma hukum yang baik, yang menjadi landasan keberlakuan bagi undang-undang tersebut yaitu:
Pertama, landasan filosofis. Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan kemasyarakat bernegara hendak diarahkan. Kedua, landasan sosiologis. Bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Ketiga, landasan politis. Bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 seagai sumber kebijakan pokok atau umber politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan. Keempat, landasan yuridis, dalam perumusan setiap undang-undang, landasan yuridis ini haruslah ditempatkan pada bagian konsideran ’Mengingat”. Kelima, landasan administratif. Dasar ini bersifat ”faktual” (seuai kebutuhan), dalam pengertian tidak semua undang-undang mencantumkan landasan ini. Dalam teknis pembentukan undang-undang, biasanya landasan dimasukkan dalam konsideran ”Memperhatikan”. Landasan ini berisi pencantuman rujuka dalam hal adanya perintah untuk mengatur secara administratif.[88]

Demikian juga dengan Jazim Hamidi, peraturan perundang-undangan yang baik, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.  Landasan Filosofis (Filosofische grondslag)
Suatu rumusan peraturan perundang-undangan harus mendapatkan pembenaran (rechtvaardging) yang dapat diterima jika dikaji secara filosofis. Pembenaran itu harus sesuai dengan cita-cita kebenaran (idee der waarheid), dan cita-cita keadilan (idee der gerechttigheid), dan cita-cita kesusilaan (Idee der zeddelijkheid).[89]
2.  Landasan Sosiologis (socologische grondslag)
Suatu peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat, oleh karena itu, hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (living law) di masyarakat.[90]
3.  Landasan Yuridis (rechtsgrond)
Suatu peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan hukum atau dasar hukum atau legalitas yang terdapat dalam ketentuan lain yang lebih tinggi. Landasan yuridis dapat dibedakan menjadi dua sebagai berikut:
1.      Landasan yuridis yang beraspek formal berupa kekuatan yang memberikan wewenang (bevoegdheid) kepada suatu lembaga untuk membentuknya, dan (ii) landasan yuridis yang beraspek material berupa ketentuan tentang masalah atau persoalan yang harus diatur.[91]
1.  Landasan Politis, Ekologis, Medis, Ekonomis, dan lain-lain menyesuaikan dengan jenis atau obyek yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Terdapat suatu pertimbangan lainnya yang perlu dipertimbangkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan, yaitu pada dasarnya sebuah peraturan perundang-undangan itu dibuat harus didukung dengan data riset yang akurat (sering disebut pembuatan peraturan perundang-undangan yang berbasis riset).[92]

Adapun asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik adalah asas hukum yang memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi peraturan, ke dalam bentuk dan susunan yang sesuai, tepat dalam penggunaan metodenya, serta mengikuti proses dan prosedur pembentukan yang telah ditentukan[93].
Selanjutnya Jazim menyatakan bahwa  ”Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan mudah diterapkan di tengah masyarakat merupakan salah satu pilar utama bagi penyelenggaraan suatu negara”.[94]
Menurut Jimly Asshiddiqie di dalam dunia hukum, dikenal adanya tiga bentuk penuangan norma hukum, yaitu (i) keputusan yang bersifat mengatur (regeling) menghasilkan produk peraturan (regels), (ii) Keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan sesuatu secara administratif menghasilkan keputusan administrasi negara (Beschikking), dan (iii) keputusan yang bersifat menghakimi sebagai hasil dari proses peradilan (adjucdication) menghasilkan putusan (vonis).[95]
Aturan hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan pada hakekatnya merupakan perwujudan keinginan-keinginan politik yang saling berinteraksi dan bersaing.[96] Pembentukan aturan hukum akan dilihat sebagai adu kekuatan.[97] Pernyataan tersebut adalah benar jika aturan hukum yang dimaksudkan adalah hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorangpun dapat membatah bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.
Secara umum, atauran hukum yang baru harus didahulukan daripada aturan hukum yang lama (Lex posterior derogat legi priori).[98] Sedangkan  yang dimaksud peraturan perundang-undangan atau wet in materiele zin mengandung tiga unsur, Yaitu:
1.            Norma hukum (rechtsnorm);
2.            Berlaku keluar (naar buiten werken); dan
3.            Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin)[99]
Menurut Maria Farida ketiga unsur norma tersebut dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:
1.    Norma Hukum, Sifat norma hukum dalam perundang-undangan dapat berupa:
1.            perintah (gebod);
2.            Larangan (verbod);
3.            Pengizinan (toestemming), dan
4.            Pembebasan (vrijstelling).
2.    Norma berlaku ke luar: di dalam perundang-undangan terdapat tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka yang tidak termasuk dalam oranisasi pemerintahan. Norma hanya ditujukan kepada rakyat dan pemerintah. Norma yang mengatur hubungan antar bagian-bagian organisasi pemerintahan dianggap bukan norma yang sebenarnya, dan hanya dianggap norma organisasi. Oleh karena itu, norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu disebut ”berlaku keluar”.
3.    Norma bersifat umum: dalam hal ini terdapat pembedaan antara norma umum (algemeen) dan yang individual (individueel), hal ini dilihat dari adressat (alamat) yang dituju, yaitu ditujukan kepada ”setiap orang” atau kepada ”orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak (abstract) dan yang kongkrit (concreet) jika dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur pristiwa-pristiwa yang tidak tertentu atau mengatur pristiwa-peristiwa yang tertentu.[100]

              Peraturan Daerah adalah salah satu produk perundang-undangan hal ini dulunya diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.  Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan jenis dan hierarki peraturan perudang-undangan[101] adalah sebagai berikut:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan DaerahKabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangansesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud padaayat (1).

Pasal 8

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

 Perda termasuk peraturan perundang-undangan yang secara hierarki berada di bawah Keputusan Presiden, namun dalam kajian hukum administarsi mempunyai sumber yang sama yaitu pengatribusian atau pendelegasian dari Undang-Undang. A. Hamid S. Attamimi memberikan pengertian tentang perundang-undangan, yaitu:
Peraturan perundang-undangan (weteleijkeregels) secara harpiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusian ataupun delegasian undang-undang.[102]
Berdasarkan kajian perspektif ilmu hukum perundang-undangan,  Peraturan Daerah termasuk komponen hukum publik[103] untuk itu pesan moral yang disampaikan oleh Jeremy Bentham perlu diperhatikan, yaitu: ”Kebaikan publik hendaknya menjadi tujuan legislator; manfaat umum menjadi landasannya”,[104]  artinya karena produk hukum ini masuk rana hukum publik yang lebih spesifik lagi masuk kedalam hukum administrasi negara terutama dalam hal kebijakan publik,  dan Peraturan perundangan-undangan pembentukan dokumen  RPJM Daerah   Provinsi  merupakan salah satu produk hukum publik yang mengatur hubungan pemerintah dengan warga negara, harus memperhatikan asas-asas yang baik dalam masyarakat.
Pembentukan Peraturan dokumen RPJM Daerah Provinsi yang bertumpu pada penalaran administratif dan harus mempunyai dasar hukum sesuai dengan  asas legalitas. Asas legalitas dalam hukum administrasi negara[105] dimaksudkan agar pemerintah tunduk kepada undang-undang (dat het bestuur aan de wet is onderworpen)[106]. Atau dengan kata lain negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggara kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.[107]
Jadi penyelenggara negara (pemerintah) dalam setiap tindakannya harus berdasarkan hukum hal ini sesuai dengan prinsif negara hukum, dalam pengertian lain  negara juga harus berdasarkan sistem konstitusi serta undang-undang (wetmatig bestuur).
Akan tetapi wetmatig bestuur ini dianggap terlalu formal dan lamban karena hanya tertumpu pada asas legalitas atau undang-undang. Menurut Padmo Wahyono, maka perlu diganti dengan prinsif ”rechtmatigbestuur” yang bersifat umum, luas dan luwes, yakni tidak hanya terbatas pada peraturan tertulis saja, tetapi meliputi juga peraturan tidak tertulis.[108] khusus RPJM DaerahProvinsi sebagaimana diamanatkan oleh UU No.32 Tahun 2004tentang Pemda, bahwa RPJM Daerah  Provinsi harus dimuat dalamPeraturan Daerah,[109]hal ini berguna untuk memperkuat kedudukannya sebagai pedoman bagi Pemerintah Daerah agar tidak berubah-ubah dalam melaksanakan program pembangunan dan sebagai landasan bagi Pemerintah Daerah untuk membuat keputusan. Sebab  setiap keputusan  pemerintah harus didasarkan kepada suatu landasan hukum yang kuat.[110]
Oleh karena itu pengaturan hukum tentang RPJM Daerah  Provinsi jelas harus memadukanantara keputusan pemerintah (negara) dan kepentingan kemasyarakatan (warga negara). Keberadaan hukum menjadi sesuatu yang sangat substansial secara teoritik dalam pembentukan peraturan yang partisipatif. Melalui sarana perangkat hukum, RPJM Daerah  Provinsi diharapkan  memiliki dan menjamin terbangunnya suatu kondisi yang berketertiban, dan berkeadilan.[111]
              Untuk mewujudkan Perda RPJM Daerah yang partisipatif yang berketertiban, berkepastian dan berkeadilan, maka asas-asas pembentukan peraturan perundangan yang baik harus memperhatikan rambu-rambu sebagai berikut:[112]
1.    Asas tujuan yang jelas (het begenselen van de duldelijke doelstelling)
2.    Asas kebutuhan adanya pengaturan yang bersifat umum (the noodzzakelijkkeidsbeginsel)
3.    Asas institusi dan substansi yang tepat (het begenselen van het juiste orgaan en substantie)
4.    Asas dapat diimplementasikan (het beginsel van de uitvoerbaarheid)
5.    Asas diumumkan dan mudah dikenali (het beginsel van de publicatie en kenbaarheid)
6.    Asas perumusan yang singkat dan padat (irredudency principle)
7.    Asas penggunaan istilah yang mudah dimengerti dan sistematis (het beginsel van de didelijke termenologie en didelijke systematiek).
8.    Asas konsensus dan konsistensi (het beginsel van de consensus en consistentie)
9.    Asas yang tidak saling bertentangan (noncontracdition /noncontroversy principle)
10. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel)
11. Asas tidak berlaku surut  (nonretroactive legislation principle), serta
12. Asas menjangkau masa depan (prediktabilitas atau rule prospective principle).

Sedangkan A. Hamid S. Attamimi[113] mengistilahkan dengan asas-asas pembentukan perundang-undangan yang patut, memuat hal-hal sebagai berikut:
1.    Cita Hukum Indonesia;[114]
2.    Asas Negara Berdasar Atas hukum dan Asas Pemerintahan Berdasarkan Sistem Konstitusi.
3.    Asas-asas lainnya.

Adapun asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut, akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh:
1.            Cita Hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (Idee), yang berlaku sebagai ”bintang pemadu”.
2.            Norma Fundamental Negara yang juga tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagi norma);
(1) Asas-asas Negara berdasarkan hukum yang menempatkan Undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamakan hukum (der primat des Rechts);
1.       Asas-asas Pemerintahan Berdasarkan Sistem konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintah[115].

Sedangkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang seperti di atas di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimuat dalam Pasal 5 dan Pasal 6.
Pasal 5
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undanganharus dilakukan berdasarkan pada asas PembentukanPeraturan Perundang-undangan yang baik, yangmeliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.

Pasal 6 menyebutkan:

(1)Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harusmencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum danpemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksudpada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentudapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukumPeraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

Berdasarkan asas-asas pembentukan perundang-undangan di atas diharapkan Perda RPJM Daerah Provinsi memenuhi kualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan yang baik.

2.        Teori Hukum Pembangunan
Pada dasarnya, dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia, maka salah satu teori hukum yang banyak mengundang atensi dari para pakar dan masyarakat adalah mengenai Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja.[116]Ada beberapa argumentasi krusial mengapa Teori Hukum Pembangunantersebut banyak mengundang banyak atensi, yang apabila dijabarkan aspek tersebut secara global adalah sebagai berikut:
Pertama, Teori Hukum Pembangunansampai saat ini adalah teori hukum yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik Kedua, secara dimensional maka Teori Hukum Pembangunan memakai kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur), culture (kultur) dan substance (substansi) sebagaimana dikatakan oleh Lawrence W. Friedman. Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.[117]

Menurut Markus Lukman, Teori fungsi hukum sebagai sarana pembangunan atau sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang dicetuskan oleh Mochtar Kusumaatmadja, memliki jangkauan yang lebih luas daripada konsepsi Roscoe Pound tentang “law as atool of social engineering” yaitu lebih menonjolkan perundang-undangan daripada yurusprudensi dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia atau sebagai sarana “rekayasa kemasyarakatan menju era industrialisasi dan modernisasi hukum” , serta menolak aplikasi mekanistis dari konsepsi “law as a tool social engeenering”.[118]
Mochtar secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangun masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah sebagai berikut:
1. bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu;
2. bahwa hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia
    ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaruan itu.
Untuk itu diperlukan sarana berupa peraturan hukum tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi), dan hukum yang berbentuk tidak tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[119]Di samping itu “Pembangunan dipandang sebagai jembatan yang mampu merelisasikan negara hukum....”[120]
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hukum seharusnya dijadikan pedoman dalam pembangunan yang berarti: (1) hukum sebagai asas pembangunan yang dapat diartikan  bahwa setiap gerak pembangunan harus dituangkan dalam hukum, baik dalam hal landasan kegiatannya maupun dalam penegakan pilar pembangunannya, maka dengan demikian, hukumpun harus diartikan sebagai penjamin terpeliharanya hasil-hasil pembangunan yang baik; (2) adanya satu kesatuan hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan kemanusiaan, peradaban dan kejayaan bangsa dan Negara.
Hukum nasional adalah hukum yang mengabdi kepada kepentingan nasional, dimana hukum tersebut bersumber dari tiga pilar hukum yang berlaku di Indonesia yakni, hukum adat, hukum Islam dan hukum barat.[121]
 Ini tidak berarti menafikan adanya pluralitas hukum yang dibentuk dan diberlakukan melalui hukum adat dan atau hukum agama yang seharusnya justru menjadi fundamen bagi bangunan hukum nasional.[122] Yang dimaksud sebagai Hukum Nasional adalah hukum yang dibentuk dan diberlakukan untuk kepentingan landasan pembangunan dan pemberdayaan bangsa dalam mencapai tujuan kesejahteraan dan keadilan seluruh rakyat[123].
Menurut Sjachran Basa substansi hukum sebagai sarana pembangunan mempunyai lima fungsi, yaitu:
1.  Derektif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan masyarakat;
2.  Integrative, sebagai Pembina kesatuan bangsa;
3.  Stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk di dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan menjaga keselarasan kesesuaian dan keseimbangan bernegara dan bermasyarakat;
4.  Perpektif, sebagai penyempurna, baik terhadap sikap tindak administrasi Negara maupun terhadap sikap warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bermasyarakat.
5.  Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap warga apabila terjadi pertentangan dalam hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.[124]

Sejalan dengan ke-lima fungsi hukum yang merupakan tolak ukur untuk menilai dampak positif dan negatif terhadap fungsi hukum dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat, maka hukum harus juga memperhatikan kaidah-kaidah di tengah masyarakat, hal itu sesuai dengan pendapat Mochtar Kusumaatmadja yaitu:
Fokus perhatian dalam menggunakan hukum sebagai alat untuk mengadakan perubahan-perubahan kemasyarakatan adalah  bahwa kita harus sangat berhati-hati agar tidak timbul kerugian pada masyarakat. Tindakan demikian tidak semata-mata merupakan tindakan yudikatif atau peradilan (yudikatif) yang secara formal yuridis harus tepat karena eratnya hukum dengan segi-segi sosial, antropologi dan kebudayaan daripada persoalan.[125]

  Keterkaitan hukum dengan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa kehidupan hukum merupakan bagian dari proses sosial yang lebih besar[126]. Selanjutnya Rahardjo berpendapat “pekerjaan hukum serta hasil-hasilnya tidak hanya merupakan urusan hukum, melainkan merupakan bagian dari proses kemasyarakatan yang lebih besar.”[127]Demikian juga dengan Kodiran yang mengatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan banyak menjiwai prinsip-prinsip hukum yang hidup dalam masyarakat.[128]
Terkait dengan sub sistem hukum, maka teori Talcott Parson sebagaimana dikutif oleh Satjipto Rahardjo yang menyatakan:
Dalam teorinya, Parson menyebutkan tentang ada empat subsistem: budaya, sosial, politik, dan ekonomi yang senantiasa melingkari kehidupan kemasyarakatan. Dilihat dari arus energi, subsistem ekonomi menempati kedudukan paling kuat, diikuti subsistem politik, baru kemudian subsistem sosial (di mana hukum ada di dalamnya), dan diakhiri oleh subsistem budaya. Di sisi lain, dilihat dari arus informasi (tata nilai), subsistem budaya justru yang paling kaya, diikuti oleh subsistem sosial, subsistem politik, dan berakhir pada subsistem ekonomi.[129]

Teori hukum pembangunan tidak bisa dilepaskan dengan kemajuan perhelatan pembangunan di abad ke-21 ini, dimana sebagian besar negara-negara Asia dan Afrika satu persatu melepaskan diri dari belenggu penjajah, dan pada saat yang bersamaan perhatian pemerintahan yang baru akan pembangunan menjadi fokus utama. Disamping itu perkembangan hukum modernpun menampakkan kemampanan dan keduanya saling berkaitan, adapun ciri-ciri hukum modern kaitanya dengan pembangunan secara universal seperti di gambarkan oleh Marc Galanter, sebagai berikut:
Pertama, aturan-aturan dalam hukum modern itu bersifat seragam. Maksudnya, ketika diterapkan, bentuk penerapannya tidak banyak bervariasi. Penerapannya tidak lagi mengenal diskriminasi berdasarkan suku, agama, kelas, kasta, jenis kelamin, dan lain-lain. Paling-paling perbedaannya karena teritorial saja. Jadi, hukum lebih bersifat teritorial daripada personal.
Kedua, hukum modern bersifat transaksional. Artinya, hak dan kewajiban para pihak dalam suatu hubungan hukum sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan tawarmenawar antar-mereka. Di sini tidak lagi dikenal bahwa laki-laki harus diberi hak lebih besar daripada wanita, atau yang lebih tua mendapat lebih daripada yang muda.
Ketiga, hukum modern bersifat universalistik. Putusan atas perkara-perkara yang serupa, biasanya adalah sama. Jadi, tidak ada yang unik. Putusannya berulang dan dapat diramalkan.
Keempat, sistem hukum itu bersifat hierarkis. Di situ ada jenjang-jenjangnya. Tingkat yang lebih rendah akan diawasi oleh tingkat yang lebih tinggi. Misalnya, putusan pengadilan negeri akan dikoreksi lagi pada Pengadilan Tinggi, dan seterusnya putusan Pengadilan Tinggi oleh Mahkamah Agung.
Kelima, sistemnya diorganisasikan secara birokratis. Untuk mencapai adanya keseragaman dalam putusan (universalistik) itu, tentu diperlukan catatan-catatan yangdisusun dan diarsip secara baik. Sistem hukum dengan demikian menjadi makinimpersonal (mekanis).
Keenam, sistem hukum modern itu adalah rasional. Maksudnya, sistem tersebutdapat dipelajari dan dimengerti oleh semua orang. Padahal, dulu hanya orang-orangtertentu yang diyakini dapat menafsirkan maksud suatu norma hukum. Teknik-teknikteologikal dan formalistik dalam mengartikan norma hukum itu telah digantikan olehteknik-teknik fungsional.
Ketujuh, sistem itu dijalankan oleh para profesional. Sistem peradilan, misalnya,tidak lagi bersifat ad hoc. Semuanya dilakukan oleh mereka yang bekerja purnawaktu(full-timer). Mereka juga adalah lulusan pendidikan formal dengan kualifikasi tertentu.
Kedelapan, sistemnya menjadi lebih teknis dan kompleks. Maksudnya adalahbahwa sistem hukum modern itu tidak bisa begitu saja dimasuki oleh orang-orangkebanyakan. Perlu ada tenaga-tenaga ahli, yakni orang-orang yang tahu seluk beluksistem ini. Mereka adalah para ahli hukum. Merekalah yang menjembatani antaraperadilan dengan pribadi-pribadi yang berperkara. Peran para “general agents” sudahdigantikan oleh “lawyers”.
Kesembilan, sistem hukum modern itu dapat diubah atau diganti. Di sini tidakada sesuatu yang sakral. Perundang-undangan telah menggantikan peran hukum adatyang lamban itu.
Ciri-ciri kesepuluh dan kesebelas berkaitan dengan hukum dan politik. Cirikesepuluh adalah bahwa sistem tersebut bersifat politis. Hukum terikat demikian dalamkepada negara, sehingga negara menikmati suatu monopoli atas perkara-perkara dalamkewenangannya. Peradilan-peradilan lain, seperti peradilan agama atau dagang, hanyadapat beroperasi sepanjang diawasi oleh negara. dapat beroperasi sepanjang diawasi oleh negara.
Sementara itu, ciri kesebelas adalah bahwa tugas menemukan hukum danmenerapkan hukum dibedakan menurut fungsi-fungsinya. Jadi, ada pemisahan antaralegislatif, yudikatif, dan eksekutif.
Dari semua karakteristik itu, Galanter menyimpulkan tiga penekanan darimodel hukum modern itu, yaitu: (1) kesatuan, (2) keseragaman, dan (3) universalitas.[130]
Pada kajian disertasi ini, keterkaitan  hukum pembangunan dengan kekuasaan di era modern ini, justru menenempati fokus perhatian yang utama, karena hukum disatu sisi mengatur kehidupan bagi siapa saja, akan tetapi hukum harus ditegakkan dengan sesuatu kekuatan, apalagi jika hukum tersebut diinterprestasikan dengan keberlakuan suatu undang-undang.
Di samping itu dalam tataran teori hukum pembangunan, sebenarnya berkaitan erat dengan sistem pembangunan hukum itu sendiri, dalam pembangunan hukum di Indonesia mengalami fase-fase yang mempunyai karakter tersendiri. Di Era Orde Baru, tidak bisa dipungkiri bahwa hukum dijadikan alat pembangunan, hal ini terasa sekali di era orde baru tersebut, karakter hukum yang sangat otoriter, oleh karena itu aspek instumen hukum lebih dominan dari aspek eksperesinya, sebagaimana dinyatakan oleh Machfud MD, sebagai berikut:
Dengan kebijakan bahwa pembangunan akan dititikberatkan pada pembangunan ekonomi yang beorientasi pada pertumbuhan, maka bidang hukum tidak dapat dipandang sebagai sentral tetapi lebih bersifat instrumental atau alat yang harus memfasilitasi atau mendukung program pembangunan. Keadaan ini menyebabkan terjadinya peletakan porsi hukum sebagai alat justifikasi yang jika dilihat dari produknya menampakkan watak yang konservatif dan dalam pelaksanaannya banya diintervensi oleh kebijakan-kebijakan yang tidak selalu sejalan dengan kehendak aturan hukum yang resmi berlaku.[131]

Pendapat di atas sesuai kenyataan dalam praktik pembangunan hukum di negara-negara baru lebih dipandang sebaga usaha-usaha yang bersifat teknis sekedar menunjang pertumbuhan ekonomi.[132] Bahkan sering dikatakan pembangunan hukum banyak dinegara baru lebih berorientasi pada usaha untuk melayani kebutuhan pasar. Hal ini mengakibatkan program pembangunan hukum semakin jauh dari hakekat dan tujuan dari pembangunan hukum itu  sendiri.[133]
Hal tersebut disadari betul adanya kekeliruan dalam sistem pembangunan hukum di Indonesia, terutama di era sebelum reformasi, maka memasuki era reformasi MPR menetapkan GBHN Tahun 1999,[134] khusus bidang hukum beberapa butir monitoring dan evaluasi oleh MPR itu sebagai berikut:
3.    Di bidang hukum, terjadi perkembangan yang Kontroversial, di satu pihak produk materi hukum, pembinaan hukum, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan, namun di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan professional dari aparat hukum, kesadaran hukum, sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum terwujud.
4.    Tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai dengan tuntutan reformasi sepeti korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) serta kejahatan ekonomi keuangan belum mengikuti langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan hukum.
5.    Terjadinya campur tangan dalam menerapkan hukum dan mafia dalam proses peradilan, serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum.
6.    Kondisi hukum yang demikian mengakibatkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia masih memprihatinkan yang terlihat berbagai pelanggaran hak asasi manusia, antara lain dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi dan kesewenang-wenangan.
7.    Pembangunan dibidang pertahanan dan keamanan, telah menunjukkan kemajuan, meskipun masih mengandung kelemahan.
8.    Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur TNI dan POLRI melemah, antara lain karena digunakan sebagai alat kekausaan rasa aman dan ketentraman masyarakat berkurang, terjadi kerusuhan missal dan berbagai pelanggaran hukum dan HAM

Nukilan Ketetapan MPR RI awal reformasi tersebut, menunjukkan bahwa penegakan hukum selama lima dasawarasa kemerdekaan Indonesia, hukum tidak dijadikan prioritas dalam pembangunan.



[2] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif,  Penerjemah: Raisul Muttaqien, judul asli, Pure Theory of Law, (Bandung: Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa), 2007, hlm. 316.
[3]Ibid.
[4] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal ini di masukkan setelah amandemen ke-3.
[5] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I (Jakarta: Siguntang, 1952), hlm. 74.
[6] Soediman Kartohadiprodjo, Negara Republik Indonesia Negara Hukum, Pidato diucapkan pada penerimaan Pengangkatan Guru Besar Universiteit Indonesia pada tanggal 17 Januari 1953 (Jakarta: Yayasan Pembangunan, 1953), hlm. 13
[7] Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara Di Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1973), hlm. 10
[8] Joeniarto, Negara Hukum, (Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, 1981), hlm. 8
[9] Emanuel Kant, Memaparkan Prinsip-Prinsip Negara Hukum (formil). dalam: Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 7
[10]The Rule of Law (ROL) sudah memulai perjalannya  sejak sebelum Masehi. Ariestoteles, Plato, di masa Yunani sudah berkutat dengan masalah ROL. Plato mendesak agar pemerintah diikat oleh hukum “where the law is subject to some other authority and has none of its own, the collapse of the state,…is not far off; but if law is the master of the government and the government is its slave, then the situation is full of promise and men enjoy all the blessings that the gods shower on a state.”  (Lihat: Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum, Malang: Banyumedia Publishing, hlm. 62) Lihat Juga: A.V. Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Penerjemah, Nurhadi, Judul asli “Introduction to the Study of the Law of the Constitution”, (Bandung: Nusamedia, 2007), hlm. 255
[11] Jimly Ashiddqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, Trial::Http://www.docudesk.com, diakses 12 Desember 2011, pukul 13.35 Wib. Lihat juga: A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, (London, McMilian Education Ltd,Teth Edition), 1959.
[12] Konsep “rechtsstaat” lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner sebaliknya konsep ”the rule of law” berkembang secara evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria rechtsstaat dan kriteria the rule of law. Konsep rechtsstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “modern Roman Law” sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut “common law”. Karakteristik “civil law” adalah “administratif” sedangkan karakteristik “common law” adalah “judicial”. (Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum, dan Konstitusi, Yogyakarta, Liberty, 1999, http://www. kesimpulan. com/2009/05/ teori-negara-hukum. html. Diakses 12 Desember 2011. 
[13] Selanjutnya, dengan makin luasnya desakan kebutuhan perlindungan warga negara atas hukum. Maka Internastional Commisison of Jurist dalam konfrensi di Bangkok pada tahun 1965, memberikan rumusan tentang ciri-ciri pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of law adalah sebagai berikut: 1.Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; 2.Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak; 3.Pemilihan umum yang bebas; 4.Kebebasan menyatakan pendapat; 5.Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; dan 6.Pendidikan kewarganegaraan.
[14] Dahlan Tahib, KedaulatanOp. Cit.
[15] Samson, HD. Inleiding Staatkunde, Commisie Statkunde Leiden, (Leiden, Tjeenk Willink, 1991), hlm. 23. Pemikiran Negara hukum dilatarbelakangi oleh suatu kondisi, dimana hak dan kebebasan rakyat tidak terlindungi sebagai akibat kekuasaan raja yang bersifat absolute. Lihat: Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi: Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 14.
[16] SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,  1997), hlm. 9.
[17] Dahlan Thaib, Kedaulatan…Op.Cit
[18] Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 10.
[19] M. Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 9.
[20] Moh. Machfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 28 Philipus M. Hadjon, Op. Cit, hlm, 80.
[21] Hazairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hlm. 4.
[22] M. Tahir Azhary, Op.Cit. 63.
[23] Al-Quran, S. An-Nissa, ayat 58 artinya: “Seusungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya…” Al. Qur’nulkarim, Departemen Agama RI, 2004. hlm. 87
[24] Al-Qur’an, S. Asy-Syura’, ayat 38 artinya: “ …Sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan Musyawarah antara mereka…” Ibid, hlm. 487
[25] Al-Qur’an, S. Ali Imran, ayat 159 artinya: “…Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…”Ibid, hlm. 71
[26] Al-Quran, S. An-Nissa, ayat 135 artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walau terhadap dirimu sendiri, bapak dan kaum kerabatmu…”Ibid, hlm. 100
[27] Al-Qur’an, S. Al-Mai’dah,  ayat 8 artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil…”Ibid, hlm. 108
[28] Al-Qur’an, S. Al-Hujurat, ayat 13 artinya: “…Kami telah menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sungguh yang paling mulia diantara kamu  di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertakwa…”Ibid, hlm. 517
[29] Al-Qur’an, S. Al-Isra’, ayat 33 artinya: “Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar…”Ibid,  hlm. 285
[30] Al-Quran, S. An-Nissa, ayat 58 artinya: “…dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil…”Ibid, hlm.87
[31] Al-Qur’an, S. Al-Baqarah, ayat 190 artinya: “dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas…”Ibid, hlm. 29
[32] Al-Qur’an, S. Saba, ayat 15 artinya: “Sungguh, bagi kaum saba’ ada tanda (kebesaran tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan). Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugrahkan) Tuhanmu dan berssyukurlah kepada-Nya…”Ibid, hlm. 430.
[33] Al-Quran, S. An-Nissa, ayat 59 artinya: “Wahai orang-orang  yang beriman taatilah!  Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan), di antara kamu…”Ibid, hlm. 87.
[34] Peneliti terakhir yang penulis temukan seperti ditulis oleh Alwi Shihab, Membedah Islam di Barat: Menepis Tundingan Meluruskan Kesalahpahaman, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002). Terutama pada halaman 113 s.d 140.
[35] Di Indonesia dikenal dengan  istilah masyarakat Madani, sebagai pandanan kata CivilCoceity, masyarakat madani dipopulerkan oleh Nurcholis Madjid, Kata madani merujuk pada kata Madinah, dimana pada masa Rasulullah Saw. Pernah membangun masyarakat dalam peradaban yang tinggi. (M. Hasan Anshori,  Partisipasi Civil Cociety dalam Perencanaan Pembangunan Daerah: Study Atas Partisipasi Civil Cociety dalam Proses Pembahasan dan Penyusunan Renstra 2002-2005 Dati II Gersik Jawa Timur, Tesis pada Fisip UI Jakarta, Tahun 2003, hlm. 42)
[36] Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005) , hlm. 31.
[37] Perda Syari’ah muncul sebagai adanya kebijakan otonomi daerah saat ini, tentu daerah-daerah dapat membuat peraturan daerah sebagai aktualisasi hukum yang hidup dalam masyarakat, khususnya hukum Islam. (Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa, dalam Dadan Muttaqin et, al. (eds), Peradilan Agama & Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. 7-13
[38] Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill co, 1992), hlm. 7.
[39] Jakob Sumardjo, “Pancasila dan Mancapat Kalima Pancer”, Harian Kompas, 1 Januari 2006.
[40] Friedman, Legal Theory, (London: Stern & Sou Limited, 1960), p, 416.
[41] Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2004), hlm. 244
[42] Jimly Asshiddiqie, GagasanNegara Hukum Indonesia “Makalah” http://www.docudesk.com diakses 21 Nopember 2011
[43] A. Hamid S. Attamimi, ”Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia” Dalam Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi, (Jakarta: BP-7 Pusat), hlm. 74.
[44] A. Hamid S. Attamimi, Ibid.
[45] Padmo Wahyono, Pancasila Sebagai Ideologi dalam Kehidupan Bernegara, dalam Oetojo Oesman dan Alfian, ed, Op. Cit, hlm. 132
[46] Contoh-contoh kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan pada saat ini (sewaktu disertasi ini ditulis) pada kasus Mesuji (Sumatera selatan dan Lampung dan Kasus Safe (Bima, NTB) menurut hemat penulis mencerminkan bahwa nilai-nilai neagara hukum belum sepenuhnya dipahami secara komprehensip.Lihat: Imam Mahdi, Hukum Tata Negara Indonesia, (Yogyakarta: Teras, Cetakan 1, 2011), hlm. 268. “Hukum yang berlaku di Indonesia sarat dengan kepentingan politik, kesetaraan dalam hukum (equality before the law) sebagaimana dianut di Negara-negara demokrasi belum terjadi di Indonesia, “Pengesahan Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Air, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang izin penambangan di kawasan hutan lindung ditenggarai merupakan “pesanan” kelompok politik tertentu. Kekuatan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Asian Development Bank, IMF dan sebagainya turut mempengaruhi pengesahan undang-undang tersebut, agenda mereka jelas melakukan prevatisasi besar-besaran” hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945)
[47] Sri Soemanteri, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Tahun 1989), hlm 12
[48] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004), hlm.124.
[49] C.F. Strong, Modern Political Constitutions, (London: Sedgwick & Jackson, 1973),p. 11.
[50] Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Grafito, cet. Pertama 1995), hlm. 415.
[51] Sri Soemantri, dalam Dossy Iskandar Prasetyo, Ide Normatif Mahkamah Konstitusi Dalam Konteks Cita Hukum dan Negara Hukum “Disertasi”, Program Doktor Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang, 2006,  hlm. 177.
[52] Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, Cet. IV, 1087), hlm. 51.
[53] Montesquieu, The Spirit Of Law, ed. David Walace Corrithes, (London: University Of California, Cet. 5, 1977): dan Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Aksara Baru, 1986) hlm. 5.
[54] Harold Laski, Encyolopedia of Sosial Sciences, (New York Vol. V, in the art, democracy”, 1957), p. 76
[55] J.A. Corry, Democracy Government and Politic, (Toronto: University Press, 1957), hlm. 72
[56] Zainal Abidin Ahmad, Konsep Politik dan Ideologi Islam, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1977), hlm. 11
[57] UNDP, dalam dokumen Kebijakannya yang berjudul “Governance for Sustainable Human Development”, Januari 1997.
[58] Jimly Ashiddiqie, Negara Hukum….Op. Cit.
[59]  Misalnya Pemerintah masih memandang bahwa APBN masih dianggap sebagai suatu dokumen yang rahasia, masyarakat hanya bisa mengakses APBN ketika produk anggaran tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah dan DPR RI."Tentang keterbukaan informasi kalau kita kaitkan dengan RAPBN atau APBN memang terjadi pendangkalan, pengaburan keterbukaan informasi, sebaigaman dikatakan oleh Arif Nur Alam Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), dalam konferensi pers terkait Open Government Partnership, Minggu, 15 April 2012. Kompas.com, diakses 16 April 2012.
[60] Eko Parasodjo, Desentralisasi, Dampak Perubahan Yang Diperlukan, http: //www.forplid.net /modul/134-desentralisasi-dampak-perubahan-yang-diperlukan-.html, diakses Desember 2011.
[61](Lihat: Penjelasan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Lihat pula: S.H. Sarunjang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm. 11) 
[62] Lihat: Bhenyamin Hossein, Akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari Efisiensi ke Demokrasi?, (Pidato Pengukuhan pada Upacara Penerimaan Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia di kampus Universitas Indonesia, Depok, 16 Oktober 1993)
[63] Yadi M. Erlangga, Desentralisasi Vs Good Governance, Trial;;Http:www.docudesk.com diakses tanggal 12 Desember 2011 pukul 11.30. Wib
[64] Philipus M. Hadjon, ed al, Pengatar ..Op. Cit, hlm.112.
[65] United Nations,  Technical Asistant Programe, Decentralization for National and Local Development, (New York: Departement of Economic and Social Affair, Division for Public Administration. 1962), p. 3
[66] United Nations, A Handbook of Public Administratief: Current Concept and Practice with Special Reference to Developing Countries, (New York: Departement Of Economics and Social Affair 1961), p. 64.
[67]Ibid
[68] Riduan HR,  Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2003) hlm.16.
[69] Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 29.
[70] Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 5.
[71] RDH. Koesoemahatmadja, Pengantar Kearah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1979), hlm. 14-15.
[72] Bhenyamin Hoessein, dkk, Op.Cit, hlm. 17.
[73] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerjemah, Raisul Muttaqien, Judul asli “General Theory of Law and State”  (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 447.
[74]Ibid.
[75] Juanda, Op. Cit, hlm.113.
[76] Sodjuangon Situmorang, Model Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota, Disertasi, Pascasarjana UI, Jakarta 2002, hlm. 21.
[77]Ibid.
[78] Juanda, Op.cit, hlm. 114.
[79] The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara RI, Jilid I, Edisi Kedua, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 35-39.
[80] Amir, Notulen Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945, Dalam H.M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960), hlm. 410.
[81] M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, (Bandung: Mandar Maju, 1992), hlm. 210.
[82] Eko Parasodjo, Op. Cit.
[83]Ibid
[84] Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 331.
[85] Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Peundang-undangan yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, (Jakarat: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 25
[86] Maria Farida Indriati S, (2) Ilmu Perundang-undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hlm. 1
[87] Bagir Manan, Dasar-dasar….Op. Cit, hlm. 13-20.
[88]Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 34.
[89] Jazim Hamidi dan Budiman NDP Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dalam Sorotan, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2005), hlm. 7
[90]Ibid
[91]Ibid, hlm. 8
[92]Ibid, hlm. 24.
[93] A. Hamid S Attamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan: Hukum Tata Pengaturan, (Jakarta: Fakultas Hukum UI, 1990) hlm. 27.
[94] Jazim Hamidi, Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah: Menggagas Peraturan Daerah Yang Responsif dan Berkesinambungan, (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2011), hlm. 6.
[95]Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, Cetakan kedua., hlm. 209
[96] M. Mahfud MD, PolitikOp. Cit. hlm. 2.
[97] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), hlm. 50.
[98] Ketentuan tersebut merupakan bagian dari asas perundang-undangan, di samping asas dimaksud ada beberapa asas lain seperti: 1) Undang-undang tidak berlaku surut, 2) Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, 3) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, jika pembuatnya sama, 4) Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang terdahulu, 5) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat, 6) Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu melalui pembaharuan dan/atau pelestarian. (Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press. 2003),  hlm. 59).
[99] A. Hamid S. Attamimi, Peranan...Op.Cit.  hlm. 314
[100] Maria Farida Indrati S, (1) ...Op. Cit, hlm. 35-36. Norma hukum adalah aturan. Pola, atau standar yang perlu diikuti (Lihat: Hans kelsen, dalam A. Hamid Attamimi, Pancasila...Op. Cit, hlm. 302), Norma hukum atau kaidah hukum lazim diartikan sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu seyogianya berprilaku, bersikap di dalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi. Atau dalam arti sempit kaidah hukum adalah nilai yang terdapat dalam peraturan konkret. Lihat: Sudikno Mertokusumo,Mengenal...Op. Cit,  hlm. 11.
[101] Hierarki peraturan perundang-undangan yang berjenjang sebagaimana dianut dalam perundang-undangan Indonesia diilhami oleh pemikiran Hans Kelsen, yang membagi tingkatan-tingkatan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: A. The Constitution: The constitution represents the highest level of the positive law, taking “constitution” in the substantive sense of the word; and the essential function of the constitution consist in governing the organ and the process of general la creation, that is, of legislatiaon, B. General norms created in the legislative process: The next level of the hierarchical structure, one step removed from the constitution, is that of general norms created in the legislative process, C. Administrative Regulations: Administration manifests itself as individualization and concretization of statutes, namely, as administrative regulation. Lihat: Hans Kelsen, The Pure Theory of Law, translated by Max Knight, London: University of California Press Berkeley, 1970), p, 221-229, Lihat juga: Hans Kelsen, General Theory of Law and State, taranslated by Anders Wedberg, (New York: Rusell & Rusell, 1973), p, 124-131,  Lihat juga: Hans Kelsen, Intruduction to The Problems Of Legal Theory, translated by Bonnie Litscewski Paulson and Stanly L. Paulson. (Oxford, Clarendon Press, 1996), p, 63-68
[102] A. Hamid S. Attamimi, “Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan” Pidato Dies Natalis PTIK ke-46, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta 17 Juni 1992, hlm. 3. Menurut Maria Farida S, Kelompok norma hukum yang dibawah Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (staatsgrundgezetz) adalah formel Gesetz atau secara harfiah diterjemahkan dengan Undang-undanga (“formal”). Berbeda dengan kelompok norma di atasnya, yaitu norma Dasar Negara dan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara, maka norma-norma dalam suatu undang-undang sudah merupakan norma hukum yang lebih kongkrit dan terinci, serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma hukum dalam undang-undang ini tidak saja norma hukum yang bersifat tunggal, tetapi norma-norma hukum itu dapat merupakan norma hukum yang berpasangan, sehingga terdapat norma hukum sekunder di samping norma hukum primernya, dengan demikian dalam suatu undang-undang sudah dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa.
Di Indonesia istilah FormellGesetz atau formelewetten ini seyogyanya diterjemahkan dengan “Undang-undang” saja tanpa menambah kata “formal” di belakangnya...Perundang-undangan lainnya dibentuk oleh lembaga-lembaga lain di samping Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Selain itu peraturan perundang-undangan di Indonesia memiliki nama jenis tersendiri sesuai dengan jenis peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia hanya dikenal satu nama jenis Undang-undang, yaitu suatu keputusan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dengan persetujuan bersama Presiden, dan disahkan oleh Presiden. Selain itu tidak ada Undang-undang yang dibentuk oleh lembaga lainnya baik pusat maupun di daerah, sehingga di Indonesia tidak ada istilah undang-undang pusat ataupun undang-undang lokal. (Lihat: Maria Farida Indrati S, (1) Op. Cit, hlm. 51-54), Lihat Juga: L.J. van Apeldorn, Pengatar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm, 80-110.
[103] Menurut Ulpianus, hukum publik adalah hukum yang berkenaan dengan kesejahteraan negara (Publicum ius est, quad ad statum rei...), Ridwan HR, Op. Cit,  hlm. 51
[104] Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan, Judul asli ”The Theory of Legislation” Penerjemah Nurhadi, (Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, Cetakan 1, 2006),  hlm. 25.
[105] Asas legalitas sangat terkenal dalam hukum pidana degan ungkapan “Nullum delictum sine praevialege poenali” (tidak ada hukuman tanpa undang-undang)
[106] HD Stout, De Betekenissen van de wet, (W.E.J Tjeenk Willink, Zwolle, 1994), hlm. 28.
[107] Mochtar Kusumaatmadja, “Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang”. Makalah, Jakarta, 1995, hlm. 1 dan 2.
[108] Padmo Wahyono, “Konsep Yuridis Negara hukum Indonesia” Makalah September 1988, hlm 2 dan 3.
[109] Berdasarkan ketentuan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Ssistem Perencanaan Pembangunan Nasional, RPJM Daerah ditetapkan berdasarkan Peraturan Kepala Daerah, berdasarkan penelitian terdahulu Pembuatan Dokumen RPJM Daerah selalu ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Jadi daerah berpedoman kepada UU No. 32 Tahun 2004.
[110] Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara), (Surabaya: Airlangga University Press, Edisi kedua, 2005). hlm. 145.
[111]O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Beberapa Bab dari Filsafat Hukum, (Jakarta: BPK Gunung Mulya, 1975), hlm. 83-84.
[112] Suparto Wijoyo, Refleksi Mata Rantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 2005), hlm. 206.
[113] Maria Farida Indrati S.,(2) Op.Cit, hlm. 228-230.
[114] Cita hukum atau rechtside, merupakan konstruksi fikir (ide) yang mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan. Lihat: Soepomo dalam Satya Arinanto, bahan kuliah Transparansi Politik Hukum, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum UI, 2007.
[115] Maria Farida Indriati S. (2). Op.Cit
[116] Lihat Juga: Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Binacipta, 1976), hlm. 9.
[117]Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., L.L.M. Sebuah Kajian Deskriftif Analitis, Makalah, Lepas, http://www.scrib.com  diakses 13 Maret 2011,
[118] Markus Lukman, OP.Cit, hlm. 60-61
[119] Komisi Hukum Nasionl , Laporan Penelitian Program Legislasi, 2003
[120]Susi Dwi Harijanti, Perspektif Negara Hukum yang Berkeadilan: dalam Negara Hukum Yang Berkeadilan (Kumpulan Pemikiran dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH., M. CL.) Bandung: Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2011, hlm. xiv
[121] H.M. Hidjazie Kartawidjaja, Hukum Nasional, Kuliah Hukum Nasional (Azas-azas Hukum Nasiona, Hukum Nasional I dan Hukum Nasional II) pada Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Tahun 1984-1986
[122] Khusus eksistensi hukum Islam dalam kaitannya dengan pelaksanaan agenda reformasi hukum nasional yang sekarang tengah berlangsung. Jangan sampai, misal, karena kesibukan kita memikirkan keseluruhan sistem hukum nasional yang perlu direformasi, menyebabkan kita lalai memperhitungkan faktor sistem hukum Islam yang sangat penting arinya dalam keseluruhan pengertian sistem hukum nasional yang sedang mengalami proses transpormasi menuju masa depan yang diharapkan akan menjadikan hukum sebagai suatu sistem yang ‘supreme’ dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Jimly Asshiddqie, Menuju….Op. Cit, hlm. 716
[123]Winahyu Erwiningsih, Peranan Hukum dalam Pertanggung-jawaban Perbuatan Pemerintahan (bestuurshandeling) Suatu Kajian dalam Kebijakan Pembangunan Hukum,jurisprudence, vol. 1, no. 2, september 2004 : 137-157
[124] Sjachran Basa, Tiga Tulisan Tentang Hukum, (Bandung: Armico, 1985), hlm. 12
[125] Mochtar Kusumaatmadja, dalam Otje Salam dan Eddy Damian, ed., Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, (Bandung: PT. Alumni, 2002), hlm. 15.
[126] Satjipto Rahardjo, dalam Artidjo Alkostar, Ed, Op.Cit, hlm. 171.
[127] Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1977), hlm. 143
[128] Kodiran, dalam Artidjo Alkostar, Ed, Ibid, , hlm. 90.
[129] Talcott Parson, The Social System, (New York: The Free Press, 1951) dalam Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan…Op Cit,
[130] Marc Galanter, The Modernization Of Law, dalam Modernization, The Dynamics of Grouth, (Voice of America Forum Lectures, tt), hlm. 167-179. Dalam Komisi Hukum Nasional Op. Cit. Lihat Juga Satjipto Rahardjo, Ilmu…Op. Cit  hlm. 213-214. Ciri hukum modern sebagi berikut: 1) mempunyai bentuk tertulis, 2) Hukum itu berlaku untuk seluruh wilayah negara. Apabila kita memperhatikan sejarah, maka kadaannya tidak selalu demikian. Pada masa-masa yang lalu, dalam suatu wilayah negara bisa berlaku berbagai macam hukum dengan otoritas yang bersaing. Seperti dikatakan oleh Marc Galanter, maka hukum modern sekarang ini terdiri dari peraturan-peraturan yang bersifat uniform serta diterapkan tanpa mengenal variasi. Peraturan-peraturan tersebut lebih bersifat teritorial daripada “pribadi’, artinya peraturan yang sama itu diterapkan terhadap anggota-anggota masyarakat dari semua suku, agama, kelas, daerah dan kelamin. Apabila disitu diakui adanya perbedaan-perbedaan, maka ia bukan sesuatu yang disebabkan oleh kualitas yang intrinsic, seperti antara bangsawan dan budak atau antara kaum Barhman dan kelas-kelas yang lebih rendah di India, melainkan yang disebabkan oleh fungsi, kondisi dan hasil-hasil karya yang didapat oleh seseorang dalam kehidupan keduniaan, 3) Hukum merupakan instrument yang dipakai secara sadar mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.
[131] Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media Offset, 1999),hlm. 213
[132] Pembangunan hukum, bagi banyak Negara berkembanga telah menjadi kebutuhan penting. Di Negara-negara berkembang yang baru saja terlepas dari masa colonial ini, pembangunan hukum dilaksanakan untuk mendukung penataan kehidupan bernegara dan masyarakat, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, maupun sosial. Oleh karena itu pembangunan hukum sering mengesankan adanya peranan ganada. (Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Nasroen Jasabari, Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1980), hlm 1.
[133] Mubiyarto, Reformasi Sistem Ekonomi Dari kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan, (Yogyakarta: Aditya Media, 1999), hlm. 94. 
[134] Lihat: Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesa Tahun 1999, Sekretraiat jenderal MPR RI, 1999.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat "NAGE DEDAUP" Bg.-19

DAFTAR PUSTAKA

SAMBUTAN DEKAN ACARA YUDISIUM FAK. SYARI’AH IAIN BENGKULU