BAB II KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Pembahasan kerangka pemikiran teoritis,
dimaksudkan sebagai upaya untuk
menganalisis beberapa permasalahan yang dirumuskan dalam disertasi ini,
oleh karena itu kerangka pemikiran teoritis merupakan kumpulan teori-teori yang
dipilih, yaitu: teori negara hukum, teori desentralisasi, teori
perundang-undangan dan teori hukum pembangunan.
Teori negara hukum digunakan untuk
mengetahui prinsip-prinsip dasar suatu negara yang mendeklarasikan dalam
konstitusinya sebagai negara hukum, yang harus diimplementasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam tataran regulasi maupun dalam
aplikasinya.
Sementara teori desentralisasi dipakai
untuk mengungkapkan bahwa dalam suatu negara kesatuan biasanya menggunakan asas
desentralisasi, hal ini berkaitan erat dengan sifat dari suatu negara kesatuan
dimana kekuasaan sebenarnya berada di pemerintah pusat, untuk mengefektifkan
jalannya pemerintahan, karena luasnya wilayah ataupun dikarenakan perlunya
pemberian kewenangan kepada daerah, asas
desentralisasi adalah suatu kebutuhan, dan desentralisasi juga mewujudkan
otonomi daerah agar suatu daerah bisa melaksanakan pemerintahan sesuai dengan
kemampuan daerah dan terhindar dari penyeragaman sistem pemerintahan yang
bersifat sentralistik.
|
Teori hukum pembangunan dipilih dalam
penelitian ini, karena berkaitan erat dengan sistem perencanaan pembangunan
pasca reformasi yang mengeluarkan sedemikian banyaknya perundang-undangan
bidang perencanaan dan penganggaran. Kaitan hukum dengan pembangunan memang
tidak bisa dipisahkan, karena pada dasarnya perencanaan pembangunan adalah
implementasi dari sejumlah aturan. Kaitan hukum dan pembangunan di Indonesia
bukan hal yang baru, bahkan teori hukum pembangunan yang dirumuskan oleh
begawan hukum Mochtar Kusumaatmadja, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran
Roscu Pound sampai saat ini masih relevan.
Keempat teori terpilih tadi akan
dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini, yang membahas pengaturan hukum
perencanaan dan pembangunan daerah, kaitannya dengan dokumen perencanaan
pembangunan daerah lima tahunan provinsi, adapun uraian teori tersebut,
disajikan sebagai berikut:
2.1.Teori
Negara Hukum
Di
zaman
yang modern ini, tidak ada negara yang tidak mengaku bahwa negaranya tersebut
adalah negara hukum (rechstaat),
meskipun sistem ketatanegaraannya, sistem politiknya, dan sistem
pemerintahannya dinegara tersebut sebenarnya masih sangat amburadul dan jauh dari
sifat dan hakikat negara hukum[1].
Negara dan hukum tidak bisa
dipisahkan, sebagaimana penegasan dari
Hans Kelsen bahwa ada “Keidentikan Negara dan Hukum”,[2] selanjutnya
Kelsen menyebutkan “Sebagai organisasi politik, negara merupakan tatanan hukum,
namun tidak semua tatanan hukum merupakan negara”.[3] Dan Indonesia
sebuah tatanan hukum dan politik dengan tegas
menyebutkan dalam konstitusinya “Negara
Indonesia adalah negara hukum”.[4]Pengertian
negara hukum telah banyak didiskusikan para ahli hukum baik dari
sarjana-sarjana dari luar maupun pakar hukum Indonesia, dalam kepustakaan
Indonesia dikenal beberapa tokoh utama yang menulis pengertian negara hukum
antara lain:
1. Mr. Muhammad Yamin, mendefinisikan
negara hukum sebagai suatu negara yang menjalankan pemerintahan yang tidak
menurut kemauan orang-orang yang memegang kekuasaan, melainkan menurut aturan
tertulis yang dibuat oleh badan-badan perwakilan rakyat yang terbentuk secara
sah, sesuai dengan asas “The laws and not menshall govern.[5]
2. Soediman Kartohadiprodjo, negara
hukum sebagai negara dimana nasib dan kemerdekaan orang-orang di dalamnya
dijamin sebaik-baiknya oleh hukum;[6]
3. Wirjono Prodjodikoro, yang memberikan
pengertian negara hukum, yakni para penguasa atau pemerintahan sebagai
penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas kenegaraan terikat pada
peraturan-peraturan hukum yang berlaku;[7]
4. Joeniarto, negara hukum sebagai
negara dimana tindakan penguasa harus dibatasi oleh hukum yang berlaku;[8]
Di zaman modern, teorinegara hukum
sangat berkembang terutama di Eropa
Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant,[9] Paul Laband,
Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’.
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, yang mewarisi tradisi Inggris, teorinegara
hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of
Law”[10].
Menurut Julius Stahl, negara hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’.[11]
Gagasan, cita, atau ide negara hukum,
selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’,[12]
juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’
dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’
dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti
norma, sedangkan ‘cratos’ adalah
kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan
kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan
erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan
tertinggi. Dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu
dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika
Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”.[13]Yang
sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang.
Dalam buku Plato berjudul “Nomoi”
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide
nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani
Kuno.[14]
Secara teoritis negara hukumrechsstaatmuncul di Eropa kontinental
dilatarbelakangi oleh kekuasaan absolut para raja di benua Eropa, negara hukum
yang demokratis merupakan antithesis dari konsep negara kerajaan yang memiliki
kekuasaan yang absolute.[15]
jadi lahirnya konsep negara hukumrechsstaat sebagai reakasi untuk mengganti rezim absolut
tersebut, maka coraknya sangat liberal. Sehingga ada keinginan untuk
membuat negara hanya sebagai penjaga malam (nachwakersstaat),
tugas pemerintah dibatasi hanya pada mempertahankan ketertiban umum dan
kemakmuran (de popenhere orde en
veliigheid). Menurut Preidrich
Julius Stahl. Konsep negara hukumrecshtsstaat
ditandai adanya empat unsur pokok, yaitu:
1.
perlindungan hak asasi manusia
2.
pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamian hak-hak itu
3.
pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan
4. peradilan
administrasi dalam perselisihan.[16]
Dalam
perkembangannya negara hukum, unsur-unsur yang dikemukakan oleh F.J. Stahl
tersebut kemudian mengalami penyempurnaan yang secara umum dapat dilihat sebagaimana
kreteria negara hukum berikut ini:
1. Sistem pemerintahan negara yang
didasarkan atas kedaulatan rakyat;
2. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan
tugas dan kewajiban harus berdasar atas hukum atau peraturan
perundang-undangan;
3. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia (warga negara);
4. Adanya pembagian kekuasaan dalam
negara;
5. Adanya pengawasan dari badan-badan
peradilan (rechterlijkecontrole) yang
bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak
dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif;
6. Adanya peran yang nyata dari
anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi
perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;
7. Adanya sistem perekonomian yang dapat
menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran
negara[17].
Demikian
juga Sri Sumantri menyebutkan ada empat unsur negara hukum: 1) Pemerintah dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum atau peraturan
perundang-undangan, 2) adanya jaminan hak asasi manusia (warga negara), 3)
adanya pembagian kekuasaan dalam negara, 4) adanya pengawasan dari badan
peradilan (rechterlijke controle).[18]
Sedangkan
Paul Scholten, menyebutkan tiga ciri utama negara hukum yaitu: 1) diakuinya hak
asasi manusia, 2) Adanya pemisahan kekuasaan, dan 3) adanya pemerintahan yang
berdasarkan undang-undang.[19]
Istilah The rule of law pertama kali dikemukakan oleh Albert V. Dicey pada
tahun 1885 di dalam bukunya yang berjudul Introduction
to the study law constitution.Menyebutkan:
1. supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law)
2. kedudukan yang sama dalam menghadapi
hukum (equality before of the law)
3.
terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang,
(undang-undang dasar dan keputusan pengadilan)[20]
Istilah nomokrasi merupakan konsep
yang memadukan antara negara hukum dengan hukum Islam, berarti nomokrasi Islam
adalah kekuasaan didasarkan kepada hukum Islam yang berasal dari wahyu Allah,
karena Tuhan itu abstrak maka hukum-Nya la yang kongkrit.[21]
Perlu diketahui bahwa dalam nomokrasi Islam tidak sama dengan pengertian negara
Theokrasi yang mana raja atau penguasa sebagai tetesan
dewa, karena dalam Islam tidak membenarkan sesuatu makhluk mempunyai kesamaan
dengan Tuhan, Tuhan adalah kausa prima (sebab utama).
Nomokrasi
Islam juga sebagai konsep negara Islam, yang terdapat dalam Kitab suci umat
Islam yaitu Al-Qur’an. Prinsip-prinsip nomokrasi dapat dikemukakan sebagai
berikut:[22]
Dewasa ini Islam telah dikaji secara ilmiah sesuai dengan
standar ilmu pengetahuan di berbagai perguruan tinggi,[34] hal
tersebut merupakan suatu kebangkitan kembali umat Islam yang dulunya memang
pernah mengalami kejayaan, seperti pada era pemerintahan Rasulullah di Kota
Madina.[35]
Pada masa ini telah lahir konstitusi tertulis pertama yang diakui sampai
sekarang,[36]
dan merupakan kajian khusus di bidang konstitusi. Kajian-kajian seperti itu pada
gilirannya berpengaruh terhadap pemberlakuan hukum Islam sebagai hukum positif
atau setidak-tidaknya menjadikan sebagai bahan untuk merumuskan dan
mengkonstruksikan politik hukum perundang-undangan.
Di Indonesia, memasuki era otonomi daerah, dimana daerah-daerah
berkesempatan menggali dan menerapkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam
masyarakat, maka tidak sedikit daerah-daerah menerapkan hukum Islam dalam
bentuk hukum positif seperti Peraturan Daerah.[37]
Lebih khusus lagi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam secara keseluruhannya
telah memberlakukan hukum Islam (Syari’ah) yang disebut Kanon.
Di
sampingteorinegara
hukum nomokrasi dikenal juga istilah negara hukumLegal Sosiality/Sosialist
Legality. Negara
hukumLegal sosiality/Sosialist Legality, yaitu
negara hukum yang didasarkan pada paham sosialis, dimana hukum hanya
dijadikanalat untuk mencapai tujuan sosialisme. Oleh karena itu
hukum lebih diarahkan kepada kepentingan untuk melaksanakan kebijaksanaan
ekonomi dan sosial. Menurut Bagir Manan pandangan ini menganggap hukum adalah instrumen (alat) kebijaksanaan
dalam bidang ekonomi dan sosial (instrument
of economicand socila policy).[38]
Kemudian Indonesia yang juga mempunyai sistem hukum
sendiri dikenal pula istilahnegara hukum Pancasila Konsep negara hukum
Pancasila telah ditegaskan sejak awal Indonesia merdeka, hal ini dapat dilihat
dari penjelasan UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Indonesia ialah negara yang
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)
dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), kemudian memasuki era reformasi yang ditandai dengan
amandemen UUD 1945 konsep negara hukum dicantumkan dalam Pasal1 ayat (3) UUD
1945.
Adapun ciri pokok dari negara hukum Pancasila dapat
dilihat dari sila-sila Pancasila tersebut, misalnya sila pertama mengandung
arti bahwa negara hukum Pancasila memberikan jaminan kepada warganya untuk
memeluk agama dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya (freedom of relegion). Kebebasan beragama
ini harus diterjemahkan dalam arti positif, artinya tidak ada tempat bagi paham
anti Tuhan (atheisme). Menurut Jakob
Sumardjo Pancasila ini berfilosofi harmoni, bukan dominasi. Pancasila
menciptakan kerukunan nasional dan kerukunan dunia (perdamaian abadi). Harmoni
artinya menyelaraskan perbedaan-perbedaan yang bertentangan sifat-sifatnya
menuju masyarakat rukun dan damai, dan produktif dalam Ketuhaan Yang Maha Esa.
Pancasila adalah Mancapat kalima pancer,
empat kiblat (kuaternitas) yang
memusatkan (sentripital) dan menyebar
(sentrifigal) kesatu pusat. Ketuhanan
Yang Maha Esa, kualitas trasedental di tengah manusia Indonesia, karena itu
Pancasila dimulai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, menandakan kehadiran Yang Esa
pada manusia yang beragama. Dimana ada Esa disitu ada harmoni.[39]
Perkembangan selanjutnya, negara hukum tidak lagi mempersoalkan dari mana
sumber istilahnya, Friedman mengemukakan, bahwa rechtstaat identik dengan the
rule of law, yang intinya adalah pembatasan kekuasaan negara.[40]
Memasuki era reformasi terutama reformasi dibidang hukum,
Pancasila tetap harus dijadikan sebagai paradigma reformasi hukum. Seperti
dikatakan oleh Kaelan bahwa dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau
pokok kaidah yang merupakan sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata
negara disebut ”Staatsfondamentalnorm”
Dalam negara Indonesia ”Staatsfondamentalnorm”
tersebut intinya tidak lain adalah Pancasila. Maka Pancasila adalah cita-cita
hukum, kerangka berfikir, sumber nilai serta sumber arah penyusunan dan
perubahan hukum positif Indonesia...”[41] Maknasistem konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia, cita negara hukum itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam
Pasal-Pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide negara hukum itu tidak dirumuskan
secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut
ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi RIS
Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam
UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum
dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001
terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini
kembali dicantumkan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara
Indonesia adalah negara hukum”. Kiranya, cita negara hukum yang mengandung ciri
seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.[42]
Menurut A.
Hamid S. Attamimi yang mengutip pendapat Hans Nawiasky dalam bukunya Algemeine Rechrslehre als System der
rechtckichen Grundbegriffe yang terbit tahun 1940. Staatsfondamentalnorm” adalah norma tertinggi pada setiap sistem
norma dalam masyarakat yang teratur, termasuk di dalamnnya negara, bahwa norma
tertinggi dalam negara, pada dasarnya tidak berubah-ubah...[43]
Pada kesempatan lain Attamimi mengatakan bahwa negara
hukum (rechtsstaat) secara sederahan
adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan dan
penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah
kekuasaan hukum.[44]
Sedangkan Padmo Wahyono memberikan pengertian negara
hukum dengan menjelaskan terlebih dahulu pengertian negara dan pengertian hukum
dan mengaitkan makna keduanya, dengan demikian negara hukum Indonesia secara
materil ialah: suatu organisasi bangsa Indonesia yang atas rahmat Allah Yang
Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur bangsa untuk berkehidupan
kebangsaan yang bebas berdasarkan suatu ketertiban menuju suatu kesejahteraan.[45]
Oleh karena itu jika ada perubahan tentang sistem hukum
maka nilai fundamentalnya harus tetap dipertahankan, karena ia menjadi sumber
inspirasi dari segala aktifitas bernegara dan berbangsa. Dan pengertian negara
hukum Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
Untuk memudahkan memahami Perbedaan kelima konsep negara hukum
tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2:
Konsep,
Ciri-ciri dan Unsur Utama Negara Hukum
NO
|
KONSEP
|
CIRI-CIRI
|
UNSUR
UTAMA
|
|||
1
|
Nomokrasi
(Negara hukum Islam)
|
Bersumber pada Al-Qur’an Sunah dan
ra’yu, bukan teokrasi. Persaudaraan, humanisme telesentrik, kebebasan dalam
arti positif
|
Sembilan
Prinsip:
1.
Kekuasaan sebagai amanah
2.
Musyawarah
3.
Keadilan
4.
Persamaan
5.
Perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak asasi
manusia
|
|||
2
|
Rechts Staat
|
Bersumber
dari rasio manusia, liberalistik, individualistik, humanisme yang
antroposentrik (lebih dipusatkan kepada manusia) pemisahan antara negara dan
agama secara mutlak, ateisme dimungkinkan.
|
Menurut Stahal:
1. Pengakuan atau perlindungan HAM
1.
Trias
Politika
2.
Peradilan
Administrasi
Menurut
Scholten:
1.
Kepastian
Hukum
2.
Persamaan
3.
Demokrasi
4. Pemerintah
yang melayani kepentingan umum
|
|||
3
|
The Rule of Law
|
Bersumber
dari rasio manusia, liberalistik, individualistik, antrosentrik (lebih dipusatkan
kepada manusia) pemisahan antara agama dan negara secara mutlak, freedom of
religion dalam arti positif dan negatif, atheisme dimungkinkan.
|
Menurut
AV. Decey:
1.Supermasi
hukum
2.Equality
before of Law
3.individual
rights.
4.tidak
memerlukan peradilan administrasi, karena peradilan umum berlaku untuk semua
orang. Sesuai dengan prinsip Equality before of the Law.
|
|||
4
|
Social
Legality
|
Bersumber
dari rasio manusia, Komunisme, ateisme, totaliter, kebebasan beragama yang
semu, dan kebebasan propaganda anti agama.
|
1. Perwujudan
sosialisme
2. Hukum
adalah alat di bawah sosialisme
3. penegakan
pada sosialisme ketimbang hak-hak perseorangan
|
|||
5
|
Negara
hukum Pancasila
|
Hubungan
yang erat antara negara dan agama, bertumpu pada KTYME, kebebasan beragama
dalam arti positif, ateisme tidak dibenarkan,, komunisme dilarang, asas
kekeluargaan dan kerukunan.
|
1.Berdasarkan
Pancasila.
2.Demokrasi
perwakilan oleh MPR (sebelum Amandemen UUD 1945, pen).
3.Sistem
Konstitusi
4.Peradilan
yang bebas serta adanya Peradilan administrasi.
|
|||
Sumber: Tahir
Azhari 2005.
Berkenaan
dengan Konsep negara hukum di atas, maka dapat dilihat ciri-ciri negara hukum
sebagai berikut:
1.
sistem pemerintahan negara didasarkan atas kedaulatan
rakyat.
2.
pemerintah dalam melaksanakan tugas wajib berdasarkan
hukum atau peraturan.
3.
adanya jaminan terhadap hak asasi manusia
4.
adanya pengawasan dari badan-badan peradilan yang
benar-benar independen.
5.
adanya pembagian kekuasaan dalam negara
6.
adanya peran nyata dari masyarakat untuk mengawasi
pemerintahan
7.
adanya sistem ekonomi yang menjamin untuk kesejahteraan
warga masyarakat.
8.
Pemerintah terutama aparat keamanan bersifat melayani dan
mengayomi dan jika terjadi tuntutan masyarakat atas persamaan dalam hukum, dan
disampaikan melalui saluran demokrasi seperti demo, orasi dan sebagainya aparat
keamaman tidak bersifat represif.[46]
Sedangkan yang menjadi syarat suatu negara dikaitkan sebagai negara hukum
paling tidak memenuhi beberapa ketentuan seperti yang dimuat oleh International Commission of Jurist,[47]
sebagai berikut:
1.
Adanya proteksi konstitusional
2.
adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak
3.
adanya pemilihan umum yang bebas
4.
adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat
5.
adanya tugas oposisi
6.
adanya pendidikan civic.
Adapun
prinsip negara hukum meliputi:
1.
Asas legalitas.
2.
Perlindungan hak asasi manusia
3.
Pemerintah terikat kepada hukum
4.
Hukum dapat ditegakkan ketika hukum itu dilanggar.
5.
Pengawasan oleh hakim yang merdeka
Disamping prinsip seperti di atas sesuai perkembangannya, prinsip negara
hukum juga berkembang sehingga menimbulkan tambahan prinsip baru seperti
dikatakan oleh Jimly Ashiddqie[48],
sebagai berikut:
1. Supremasi Hukum (Supremecy of law)
2. Persamaan dalam hukum (Equallity before of law)
3. Asas legalitas (Due Proces of law)
4. Pembatasan Kekuasaan
5. Organ-organ penunjang yang independen
6. Peradilan
yang bebas dan tidak memihak
7. Peradilan
Tata Usaha
8. Mahkamah
Konstitusi (Constitutional Court)
9. Perlindungan
Hak Asasi Manusia
10. Bersifat
demokrtis (Democratiche Rechtsstaat)
11. Berfungsi
sebagai sarana Mewujudkan Tujuan Negara (Welfare
Rechtsstaat)
12. Transparansi
dan kontrol sosial.
Konsep Negara hukum menurut John Locke
yang kemudian diteruskan oleh Montesquieu dalam bukunya l’esprit des lois (The Spirit of the law) dalam suatu negara ada tiga organ
pemerintahan yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Ajaran ini pada perkembangan selanjutnya mengalami penyempurnaan/modifikasi
terutama melalui ajaran pembagian kekuasaan (distribution of power) dan ajaran checks and balances yang menekankan pentingnya saling mengawasi dan
mengendalikan antarberbagai lembaga negara.
Akan tetapi kekuasaan negara itu harus dibagi dan dipisah masih relevan
sampai saat ini.
Unsur-unsur negara hukum yang diuraikan di atas, merupakan unsur dari
konstitusi modern, sebagaimana disebutkan oleh CF. Strong, bahwa sebagai
dokumen dasar, konstitusi merupakan asas-asas dasar yang mengandung tiga materi
pokok, yaitu: 1) Kekuasaan pemerintah, 2) Hak-hak yang diperintah, dan 3).
Hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.[49]
Sedangkan Naoki Kaboyashi sebagaimana dikutip oleh Adnan Buyung Nasution menyatakan,
konstitusi atau undang-undang dasar memiliki tujuan merumuskan cara-cara untuk
membatasi dan mengendalikan kekuasaan politik untuk menjamin hak-hak asasi
rakyat.[50]
Menurut Sri Soemantri, hakikat suatu konstitusi adalah mengatur pembatasan
kekuasaan dalam negara, pembatasan itu mencakup dua hal. Pertama, pembatasan isi kekuasaan, yakni pembatasan yang berkenaan
dengan tugas, wewenang, serta berbagai macam hak yang diberikan kepada
masing-masing lembaga. Kedua,
pembatasan masa/waktu kekuasaan, yakni berkenaan dengan periode dan masa yang
diberikan pada pemangku jabatan tertentu.[51]
Pada bagian lain Sri Soemantri mengatakan, pada umumnya, materi konstitusi atau
undang-undang dasar mencakup tiga hal yang fundamental, yaitu: pertama, adanya
jaminan terhadap hak asasi manusia dan warganya. Kedua, ditetapkannya
ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental. Ketiga, adanya pembagian
dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.[52]
Pembagian dan pembatasan tugas ini oleh
Montesquieu dibagi menjadi tiga kekuasaan, yaitu:
1.
Legislatif, pemegang kekusaan pembentuk undang-undang;
2.
Yudikatif, pemegang kekuasaan di bidang kehakiman;
3.
Eksekutif, pemegang kekuasaan dibidang pemerintahan.[53]
Setiap
negara yang menganut sistem demokrasi dalam pemerintahannya dipastikan juga
negara tersebut adalah negara hukum, karena antara hukum dan demokrasi tidak
dapat dipisahkan, konsep negara hukum mempunyai akar historis dalam perjuangan
menegakkan demokrasi bahkan negara hukum kerap dijadikan satu istilah yaitu ”konsep
negara hukum yang demokratis”, konsep negara hukum seperti itu berlaku sampai
sekarang. Oleh karena itu sampai saat ini sistem demokrasi telah menadi pilihan
setiap negara di dunia, yang pada intinya dalam demokrasi rakyatlah yang
berkuasa walaupun pengertian rakyat berkuasa ini masih menjadi perdebatan,
terutama dalam tataran aktualisasinya.
Sampai saat ini tidak ada pengertian yang lengkap tentang demokrasi sebagaimana
pendapat Harlod Laski sebagai berikut:
”Not definition of democracy can adequately
comprise the history which the concept
connotes, to some it is a from, of government, to others a way of sosial
life, Men have found its essence in the charter of the electorate; the relation
between government and the people, the absence of wide economic differences
between citizens, the refusal to recognize privileges built on birth or wealth,
race or creed”.[54]
(Tidak
ada definisi demokrasi yang memadai untuk dijadikan sebagai konsep, dalam
sejarah. Demokrasi adalah suatu bentuk
pemerintahan, sekaligus sebagai pandangan hidup sosial. Esensinya dapat
ditemukan dalam karakter pemilih, hubungan pemerintah dengan rakyat, tidak
adanya perbedaaan warga negara di dalam bidang ekonomi, menolak pengakuan
terhadap hak-hak istimewa karena kelahiran, atau karena kekayaan, karena ras,
suku atau kepercayaan).
Namun
demikian secara umum pengertian demokrasi diartikan sebagai usaha yang selalu
melibatkan masyarakat dalam setiap aktifitas atau proses pembangunan, dengan demokrasi dalam kaitannya
dengan mekanisme perencanaan pembangunan
daerah menunjukkan adanya peran serta masyarakat secara aktif (Public participation).
Sejarah
perkembangan demokrasi sebenarnya telah dimulai pada zaman Yunani kuno yaitu
pada tahun 461 SM sampai 322 SM, yaitu praktik demokrasi yang dilaksanakan pada
masyarakat kota di Athena (city-state)
atau ”Polis” kota kecil yang
berpenduduk kurang lebih 50.000 orang, sehingga pada kota ini demokrasi dapat
dilaksankan secara langsung dan masih sangat sederhana sekali. Praktik
demokrasi langsung pada saat itu seperti di ungkapkan oleh Corry:[55]
”The ancient
democracies were direct democracies. Each citizen participated directly in
making laws, and could expect to come to
public office from time to time by lot or relation”
(Demokrasi pada waktu yang lampau adalah demokrasi langsung. Setiap
warga Negara berpartisipasi secara langsung dalam membuat Undang-undang dan
mengharapkan dimasa datang menjadi kebutuhan masyarakat dari waktu ke waktu
dalam hubungan satu sama lain).
Paham
demokrasi yang hampir dianut oleh setiap negara modern sekarang telah dimulai zaman
Yunani Kuno, danjuga diterapkan dalam dunia Islam seperi diungkapkan oleh
Zainal Abidin Ahmad:
“Bahwa
demokrasi yang sejati sudah mencapai puncak kesempurnaannya, telah pernah
diajarkan oleh Islam pada 14 abad yang
lampau, dimulai dengan prinsip musyawarah dengan didampingi oleh perintah
pemilihan, sehingga semenjak lahirnya demokrasi dalam Islam sudah menjatuhkan
pilihannya kepada demokrasi perwakilan. Sudah sejak semula, hak untuk memilih,
atau untuk dipilih diberikan secara bebas, rahasia dan umum, yang meliputi pria
dan wanita, segala lapisan rakyat. Kemudian dilengkapkannya segala dasar-dasar
dari hak-hak yang harus dimiliki oleh rakyat dari suatu Negara demokrasi
sejati”.[56]
Jika
demokrasi itu diartikan sebagai peran masyarakat dalam pengambilan keputusan
politik, maka bangsa Indonesia telah lama mempraktikan demokrasi itu, seperti
pada pemerintahan Marga di Sumatera Selatan. Pemilihan Kepala Marga dilakukan
pemilihan secara langsung, menurut Bagir Manan Pemerintahan Marga adalah contoh
demokrasi sejati bangsa Indonesia.
Proses demokrasi dan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan dalam setiap pengambilan keputusan (decisionmakingprocess) yang merupakan ciri pemerintahan modern
sekarang yang disebut ”goodgovernance”.
Dimana ciri dari prinsif ”goodgovernance”
yaitu:[57]
1.
Participation; setiap
orang atau setiap warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan harus
memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara
langsung maupun memalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan
aspirasinya masing-masing. Partisipasi yang luas ini perlu dibangun dalam suatu
tatanan kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan untuk
berpartisipasi secara konstruktif.
2.
Rule of
Law; Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan haruslah
berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh (impartially), terutama aturan-aturan hukum tentang hak asasi
manusia.
3.
Transparancy;
Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi, berbagai
proses, kelembagaan, dan informasi harus dapat diakses secara bebas oleh mereka
yang membutuhkannya dan informasinya harus dapat disediakan secara memadai dan
mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan
evaluasi.
4.
Responsivenness; Setiap
institusi dan prosesnya harus diupayakan untuk melayani beberapa pihak yang
berkepentingan (Stakeholders).
5.
Consensus
Orientation; Pemerintahan yang baik (goog governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi
berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan
yang baik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga
dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan
ditetapkan pemerintah.
6.
Equality;
Pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama baik terhadap
laki-laki dan perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara
kualitas hidupnya.
7.
EffectivennesandEfficiency; Setiap
proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang
benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya
berbagai sumber-sumber yang tersedia.
8.
Accuntability; Para
pengambil keputusan (decision makers)
dalam organisasi sektor publik (Pemerintah), swasta, dan masyarakat madani,
memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas)
kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik (Stakeholders), pertanggungjawaban
tersebut berbeda-beda, bergantung apakah jenis keputusan organisasi itu
bersifat internal atau bersifat eksternal.
9.
StrategicVision; Para
pimpinan dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang
penyelenggaraan pemerintahan baik (good
governance) dan pembangunan manusia (human
development), bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan
tersebut. Mereka juga memahami aspek-aspek historis, kulturasi, dan
kompleksitas sosial yang mendasari perspektif mereka.
10.
Interrelated; bahwa
keseluruhan ciri good governance
tersebut di atas adalah saling
memperkuat dan saling terkait (mutually
reinforcing) dan tidak bisa berdiri sendiri, misalnya informasi semakin
mudah diakses berarti transparansi semakin baik, tingkat partisipasi akan
semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan semakin efektif.
Partisipasi yang semakin luas akan berkontribusi kepada dua hal, yaitu terhadap
pertukaran informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan, dan untuk
memperkuat keabsahan atau legitimasi atas berbagai keputusan yang ditetapkan.
Tingkat legitimasi keputusan yang kuat pada gilirannya akan mendorong
efektifitas pelaksanaannya, dan sekaligus mendorong peningkatan partisipasi
dalam pelaksanaannya. Dan kelembagaan yang responsif haruslah transparan dan
berfungsi sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku agar
keberfungsiannya itu dapat dinilai keberadaannya.
Kemudian
disebutkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diatur
dalam Pasal 20 ayat (1) Penyelenggaraan Pemerintahan berpedoman pada Asas Umum
Penyelenggaraan Negara yang terdiri dari atas;
1.
asas kepastian hukum;
2.
asas tertib penyelenggaraan negara;
3.
asas kepentingan umum;
4.
asas keterbukaan
5.
asas proforsionalitas;
6.
asas profesionalitas;
7.
asas akuntabilitas;
8.
asas efisiensi; dan
9.
asas efektifitas.
Di samping
asas-asas tersebut secara umum penyelenggaraan pemerintahan juga harus
dilaksanakan secara transparan maupun pelibatan partisipasi publik sebagai ”The buzzwords of the moment”. Adanya asas transparansi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, maka akan terbuka luas bagi masyarakat untuk
memberikan sumbang saran dan masukan dalam rangka penyusunan perencanaan
pembangunan.
Penyelenggaraan
negara dalam sistem demokrasi menghendaki partisipasi rakyat dengan makna
seluruh aktifitas negara yang tertumpu
pada penalaran administratif, legal konstitusional, kebijakan (birokratik) dan
politik kemasyarakatan karena dalam penyelenggaraan negara menginternalisir makna
transparansi. Prinsip demokrasi di Indonesia merupakan amanat
perundang-undangan yang merupakan hasil interaksi kolektif semua elemen dari
administratif, konstitusionalisme, politik maupun kebijakan.yaitu ditandai
dengan hal-hal sebagai berikut:
1.
Perwalian politik, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara
ditentukan oleh badan perwakilan yang dipilih.
2.
Pertanggungjawaban politik
3.
Pembagian kewenangan kepada orang-orang
4.
Pemerintah harus dapat dikontrol
5.
Kejujuran dan keterbukaan pemerintah
Prinsip-prinsip
demokrasi yang dikemukakan oleh Jimly tersebut, merupakan implementasi dari
demokrasi Indonesia dewasa ini, dimana proses demokrasi telah berjalan terutama
dalam hal perencanaan pembangunan daerah, hanya saja sebagian masih bersifat
parsial, misalnya dalam kriteria kejujuran dan keterbukaan pemerintah yang
masih selalu menjadi perdebatan dan tuntutan dari masyarakat.[59]
1.
Teori
Desentralisasi dalam Perencanaan Pembangunan Daerah
Di dalampraktik kehidupan bernegara, sentralisasi dan
desentralisasi adalah sebuah continuum.
Tidak ada sebuah negara yang secara penuh hanya menggunakan azas sentralisasi
saja dalam penyelenggaraan pemerintahannya.Sebaliknya juga tidak mungkin
penyelenggaraan pemerintahan hanya didasarkan pada azas desentralisasi saja[60].
Beberapa
kewenangan klasik memang lazimnya hanya dilakukan secara sentralisasi seperti
kewenangan luar negeri, kewenangan pertahanan dan kewenangan peradilan.
Meskipun dalam praktiknya juga terdapat azas dekonsentrasi yang merupakan
penghalusan dari azas sentralisasi.
Keluarnya UU No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana disebutkan dalam
penjelasannya sebagai berikut:
Berkaitan
dengan asas desentralisasi memberikan prinsip-prinsip otonomi sebagai berikut:
1) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah, 2)
Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung
jawab, 3) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
Kabupaten dan daerah Kota, sedangkan daerah provinsi merupakan otonomi
terbatas, 4) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta
antar Daerah, 5) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan
kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota
tidak ada lagi daerah administrasi. Demikian pula dengan kawasan khusus yang
dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan
pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industry, kawasan perkebunan, kawasan
pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan parawisata,
dan semacamnya berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonom, 6) Pelaksanaan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi Badan Legislatif
daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan, maupun fungsi
anggaran atau penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, 7) Pelaksanaan asas
dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai
wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang
dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah, 8) Pelaksanaan asas tugas
pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga
dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiyayaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.[61]
UU No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kedua undang-undang
ini menunjukkan kesungguhan pemerintah pusat tentang desentralisasi, namunmasih
banyak hal yang tidak jelas cakupan dan implikasinya dari pelaksanaannya.[62] yang selanjutnya diubah oleh UU. No. 32 dan
UU. No. 33 Tahun 2004, telah mengantarkan Indonesia memasuki proses
pemerintahan desentralisasi setelah lebih dari 30 tahun berada di bawah rezim
Orde Baru yang serba sentralistis.[63]
Desentralisasi mengandung
makna bahwa wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak
semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan dilakukan juga oleh
satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam satuan teritorial
maupun fungsional. Satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan
dibiarkan mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan.[64]
United Nations[65]
memberikan batasan tentang desentralisasi sebagai berikut: Decentralization refers to the
transfer of authority away from the nation capital whether by deconcentration
to local (i.e. delegation) to field offices or by devolution to local
authorities or local bodies.
Batasan ini hanya menjelaskan proses
kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah. Proses itu melalui dua cara
yaitu dengan delegasi kepada pejabat-pejabatnya di daerah (deconcentration)
atau dengan devolution kepada badan-badan otonom daerah. Akan tetapi,
tidak dijelaskan isi dan keluasan kewenangan serta konsekuensi penyerahan
kewenangan itu bagi badan-badan otonom daerah.
Handbook
of Public Administration yang diterbitkan oleh PBB[66] menyebutkan
bentuk-bentuk desentralisasi sebagai berikut:The two principal forms of decentralization of
governmental powers and fungtions are deconcentration to area offices off
administration and devolution to state and local authorities.
Area offices of administration adalah suatu perangkat wilayah yang
berada di luar kantor pusat. Kepada pejabatnya oleh departemen pusat
dilimpahkan wewenang dan tanggung jawab bidang tertentu yang bertindak sebagai
perwakilan departemen pusat untuk melaksanakan fungsi bidang tertentu yang
bersifat adminitratif tanpa menerima penyerahan penuh kekuasaan (final
authority). Pertanggungjawaban akhir tetap berada pada departemen pusat (the
arrangement is administrative in natur and implies no transfer of final
authority from the ministry, whose responsibility countries).[67]
Ada tiga azas dalam sistem pemerintahan daerah
di Indonesia yakni desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Menurut
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda,
desentralisasi dimaknai sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi didefinisikan sebagai
pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil
pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sementara
tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa
dari pemerintah provinsi kepada Kabupaten/Kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Desentralisasi
dapat di bagi dua pengertian yakni: desentralisasi teritorial (territorialedecentralisatie) yaitu
pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah
masing-masing (otonom), yang melahirkan badan-badan berdasarkan wilayah (gebiedscorporaties), sedangkan
desentralisasi fungsional (functionaledecentralisatie)
adalah pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa
kepentingan tertentu, yang muncul dalam bentuk badan-badan dengan tujuan
tertentu (doelcorporaties).[68]
Sedangan
Irwan Soejito, membagi bentuk desentralisasi kedalam tiga macam, yaitu
desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsionl termasuk desentraliasi
menurut dinas/kepentingan dan desentralisasi administratif atau lazim disebut
dekonsentrasi.[69]Sedangkan
Amrah Muslimin, yang tidak memasukan dekonsentrasi sebagai desentralisasi,
dekonsentrasi menurut Muslimin merupakan salah satu aspek kedaerahan tetapi
bukan desentralisasi.[70]
Menurut
Mochtar Kusumaatmadja, desentarlisasi ketatanegaraan dapat dibagi dalam dua
macam:
2.
Desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonom);
3.
Desentralisasi fungsional (functionaledecentarisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk
mengatur dan mengurus suatu atau beberapa kepentingan tertentu. Di dalam
desentraisasi semacam ini dikehendaki agar kepentingan-kepentingan tertentu
tadi diselenggrakan oleh golongan-golongan yang bersangkutan sendiri.[71]
Dilihat
dari beberapa pengertian di atas bahwa desentralisasi merupakan pengotonomian,
yakni proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu.
Kaitan desentralisasi dan otonomi daerah seperti itu terlukis dalam pernyataan
Gerald S. Maryanov. Menurut pakar ini, desentalisasi dan otonomi daerah
merupakan dua sisi dari mata uang. [72]
Kasus
otonomi daerah dan desentralisasi pada prinsipnya terbatas pada administrasi,
yakni norma-norma khusus yang dibuat oleh organ-organ administrasi. Tetapi
desentralisasi dapat diperluas ke pembuatan undang-undang mengenai pembuatan
norma-norma umum. Hal ini biasanya berhubungan dengan bidang validitas
teritorial dari norma-norma tersebut yang relatif lebih besar. Ini adalah tipe
desentralisasi oleh provinsi-provinsi yang otonom.[73]
Jika
gubernur dipilih oleh warga negara atau melalui badan legislatif provinsi, maka
derajat desentralisasi danderajat otonominya lebih besar dibandingkan dengan
gubernur diangkat oleh kepala negara.[74]
Desentralisasi
sebagai salah satu sendi negara yang demokratis (democrayisherechtsstaat), desentralisasi merupakan pilihan yang tepat
dalam ragka menjawab berbagai persoalan yang dihadapi negara dan bangsa
sekarang dan masa datang.[75]
Kenyataannya,
desentralisasi merupakan antitesa dari sentralisasi penyelenggaraan
pemerintahan. Antara dua kutub itu dalam perkembangannya tidak jarang
diletakkan pada kutub yang saling berlawanan.[76] Padahal
di dalam negara kesatuan di samping keliru untuk mempertentangkan keduanya juga
antara keduanya tidak bisa ditiadakan sama sekali. Artinya, kedua konsep,
sistem, bahkan teori dimaksud saling melengkapi dan membutuhkan dalam kerangka
yang ideal sebagai sendi negara demokratis.[77]
Pentingnya desentralisasi pada esensinya agar persoalan yang kompleks dengan
dilatar belakangi oleh berbagai faktor heteregonitas dan kekhususan daerah yang
melingkupinya seperti: budaya, agama. Adat istiadat, dan luas wilayah dan jika
ditangani semuanya oleh pemerintah pusat atau pemerintah atasan merupakan hal
yang tidak mungkin dengan keterbatasan dan kekuarangan hampir semua aspek.
Namun, sebaiknya tidak realistis jika semuanya didesentralisasikan kepada
daerah dengan alasan cerminan dari prinsip demokrasi. Oleh karena itu,
pengendalian dan pengawasan pusat sebagai cerminan dari sentralisasi tetap
dipandang mutlak sepanjang tidak melemahkan bahkan memandulkan prinsip demokrasi
itu sendiri.[78]
Menurut
The Liang Gie, ada beberapa
pertimbangan tentang perlunya memberikan otonomi kepada daerah dalam rangka
desentralisasi menurut sudut pandang yang berbeda:
Pertama, ditinjau dari segi politik sebagai
permainan kekuasaan, pemberian otonomi daerah dipandang perlu untuk daerah
untuk mencegah bertumpuknya kekuasaan di satu tangan yang akhirnya dapat
menimbulkan pemerintahan tirani. Kedua, dari segi demokrasi,
pemberian otonomi kepada daerah dipandang perlu, dengan maksud diikutsertakan
rakyat dalam kegiatan pemerintahan dan sekaligus mendidik rakyat mempergunakan
hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pemeritahan. Ketiga, dari segi
teknis organisatoris pemerintahan, pemberian otonomi kepada daerah dipandang
sebagai cara untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap
lebih doelmatig untuk diurus oleh pemerintahan setempat diserahkan
kepada daerah. Hal-hal yang lebih tempat berada di tangan pusat tetap diurus
oleh pemerintahan pusat. Dengan demikian, soal desentralisasi dan otonomi
daerah adalah soal teknis pemerintahan yang ditujukan untuk mencapai hasil
sebaik-baiknya. Keempat, dari segi manajemen sebagai salah satu unsur
administrasi, suatu pelimpahan wewenang dan kewajiban memberikan
pertanggungjawaban dari penunaian suatu tugas merupakan hal yang wajar. Dalam beberapa
hal, pemberian otonomi kepada daerah dipandang dapat mendorong pengambilan
keputusan yang lebih cepat dan luwes. Ia dapat memberikan dukungan lebih
konstruktif dalam proses pengambilan keputusan[79].
Di dalam
UUD 1945 dimana negara menganut sistem negara kesatuan dan sekaligus menganut
prinsip desentralisasi, hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 18 UUD
1945 (sebelum amandemen), maupun Pasal 18 ayat (1), (2), (5) dan (7), prinsip
dimaksud telah diatur diberbagai undang-undang pemerintahan daerah mulai dari
UU No. 1 Tahun 1945 sampai dengan sekarang ini UU No. 32 Tahun 2004tentang
Pemda yang telah dua kali diamandemen.
Latar
belakang rumusan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) dapat dilihat dari
catatan M. Amir (Anggota PPKI) notulen sidang pada waktu itu menyatakan:
.....supaya pemerintah kita (Republik Indonesia) disusun dengan sedimikian
rupa” sehingga diadakan deconsentratie
(dekonsentrasi) sebesar-besarnya; pulau-pulau supaya diberi ”Pemerintahan” agar
rakyat berhak mengurus ”rumah tangganya sendiri dengan seluas-luasnya”
perkataan deconsentratie. Selain itu
Ratulangi (anggota PPKI) menyarankan antara lain ”perkataan deconsentratie (dekonsentrasi) dandesentralisatie (desentralisasi),
artinya supaya seluas-luasnya untuk mengurus keperluannya, menurut pikirannya
sendiri, menurut kehendaknya sendiri, tentu dengan memakai persetujuan, bahwa
daerah-daerah itu adalah dari Indonesia dan satu negara.[80]
Ketentuan
Pasal 18 (sebelum amandemen), menurut Solly Lubis, Pasal tersebut menentukan
tentang ”Pembagian Wilayah” Negara Kesatuan Republik Indonesia, selanjutnya
dinyatakan bahwa dari isi dan jiwa Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta
Penjelasnnya maka jelaslah bahwa pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan
desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.[81]
Amandemen
Pasal 18 ayat (1) mengandung paradigma yang lebih jelas dari pada ketentuan
Pasal 18 (sebelum Amandemen) sekalipun rumusan Pasal 18 ayat (1) pada dasarnya
sama dengan Pasal 18 (sebelum amandemen), paradigma dimaksud mengenai prinsip
pembagian wilayah negara Republik Indonesia menjadi otonom yang melandasi
prinsip pembagian urusan kepada daerah otonom, yaitumelalui tahapan dan
tingkatan daerah Provinsi dan kemudian Daerah Kabupaten/Kota. Perkembangan
selanjutnya Pasal 18 ayat (1) diterjemahkan lain oleh UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, dimana Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999
tersebut menyebutkan: Wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam Daerah
Provinsi, Daerah Kabupaten, Daerah Kota yang bersifat otonom, kemudian Pasal 4
ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan: Daerah-daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yaitu daerah provinsi, daerah kabupaten dan Daerah kota,
masing-masing berdisri sendiri dan provinsi tidak mempunyai hubungan hierarki
terhadap Kabupaten/Kota dan mempunyai hubungan kesetaraan satu sama lain”
Berkenaan
dengan hal tersebut setelah amandemen UUD 1945 ditambahkan Pasal baru yaitu
Pasl 18 A ayat (1) dan ayat (2), yang mengatur hubungan kewenangan antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota, atau antara
Provinsi, Kabupaten dan Kota diatur dengan UU, dengan memperhatikan kekhususan
dan keragaman daerah {Pasal 18 ayat (1)}. ”hubungan Keuangan, Pelayanan Umum,
Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat
dan Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
Undang-undang {Pasal 18 Ayat (2)}. Ketentuan Pasal ini terutama berkaitan
dengan haikat hubungan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah otonom
dalam negara Republik Indonesia;
Kekeliruan
dalam menapsirkan Pasal 18 oleh UU No. 22 Tahun 1999 telah dikoreksi dengan
mencantumkan Pasal 18 A ayat (1) dan (2) UUD 1945 sehingga yang semula
pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota tidak mempunyai hubungan hierarki,
sehingga mempunyai hubungan hierarki.
Desentralisasi saat ini telah menjadi
azas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima secara universal dengan
berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal ini sesuai dengan fakta
bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara
sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan
masyarakat, kemajemukan struktur sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan
demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan[82].
Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan[82].
Secara umum tujuan tersebut dapat
diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan
pendekatan model efisiensi struktural/structural
efficiency model) dan kedua peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan model partisipasi/participatorymodel). Setiap negara
lazimnya memiliki titik berat yang berbeda dalam tujuan-tujuan
desentralisasinya tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah
pertumbuhan (direction of growth)
yang akan dicapai melalui desentralisasi.
Dalam konteks Indonesia, desentralisasi telah menjadi konsensus pendiri bangsa. Pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen dan ditambahkan menjadi Pasal 18, 18A dan 18B memberikan dasar dalam penyelenggaraan desentralisasi[83].
Dalam konteks Indonesia, desentralisasi telah menjadi konsensus pendiri bangsa. Pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen dan ditambahkan menjadi Pasal 18, 18A dan 18B memberikan dasar dalam penyelenggaraan desentralisasi[83].
4.
Teori
Perundang-undangan dalam Perspektif Pembentukan RPJM Daerah
Hamid S Attamimi memberikan
pengertian perundang-undangan dengan mengawilanya dengan sebuah pertanyaan. Apakah yang
dimaksud dengan Teori Perundang-undangan? Pertanyaan tersebut ia jawab sebagai
berikut:
"Teori
Perundang-undangan" bukanlah berati pendapat tentang cara melakukan
sesuatu, seperti dikatakan orang: teorinya mudah tetapi praktiknya sukar. Bukan
pula berarti pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai sesuatu
peristiwa, misalnya teori tentang terjadinya bumi, teori tentang evolusi asal usul
manusia, dan sebagainya.' Kata "won" di sini ialah sekumpulan
pemahaman-pemahaman, titik-tilik tolak, dan azas-azas yang saling berkaitan,
yang memungkinkan kita memahami lebih baik terhadap sesuatu yang kita coba
untuk mendalaminya? Secara umum dan abstrak kata "teori" dapat juga
diartikan sistem dari rata hubungan yang logik dan definitorik di antara
pemahaman-pemahaman. Atau lebih kongkrit, "teori" ialah sistem
pernyataan-pernyataan, pendapat-pendapat, dan pemahaman-pemahaman yang logik
dan saling berkaitan mengenai suatu bidang kenyataan, yang dirumuskan demikian
rupa sehingga memungkinkan penarikan hipotesa-hipotesa yang dapat diuji padanya[84].
Undang-undang (gezets) adalah dasar dan batas bagi
kegiatan pemerintahan, yang menjamin tuntutan-tuntutan negara berdasarkan atas
hukum, yang menghendaki dapat diperkirakannya akibat dari suatu aturan hukum,
dan adanya kepastian dalam hukum.[85] salah
satu tiang utama dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara adalah
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, harmonis, dan mudah
diterapkan dalam masyarakat....[86]
Perundang-undangan
yang baik harus mempunyai landasan dalam pembentukannya, menurut Bagir Manan
landasan dalam penyusunan undang-undang, yaitu: pertama, landasan yuridis (juridische
gelding); kedua, landasan
sosiologis (sosiologische gelding);
dan ketiga, landasan filosofis.[87]
Berkaitan dengan landasan pembentukan undang-undang, dengan melihat dari sisi
teknis pembentukan undang-undang, landasan pembentukan undang-undang haruslah
tergambar dalam ”konsiderans” suatu undang-undang. Dalam konsideran suatu
undang-undang harus memuat norma hukum yang baik, yang menjadi landasan
keberlakuan bagi undang-undang tersebut yaitu:
Pertama,
landasan filosofis. Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang
diidealkan (ideal norms) oleh suatu
masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan kemasyarakat bernegara hendak
diarahkan. Kedua, landasan
sosiologis. Bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang
haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum
yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Ketiga, landasan politis. Bahwa dalam konsideran harus pula
tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma
dasar yang terkandung dalam UUD 1945 seagai sumber kebijakan pokok atau umber
politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan.
Keempat, landasan yuridis, dalam perumusan setiap undang-undang, landasan
yuridis ini haruslah ditempatkan pada bagian konsideran ’Mengingat”. Kelima, landasan administratif. Dasar
ini bersifat ”faktual” (seuai kebutuhan), dalam pengertian tidak semua
undang-undang mencantumkan landasan ini. Dalam teknis pembentukan
undang-undang, biasanya landasan dimasukkan dalam konsideran ”Memperhatikan”.
Landasan ini berisi pencantuman rujuka dalam hal adanya perintah untuk mengatur
secara administratif.[88]
Demikian juga
dengan Jazim Hamidi, peraturan perundang-undangan yang baik, harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
1. Landasan
Filosofis (Filosofische grondslag)
Suatu rumusan peraturan perundang-undangan harus
mendapatkan pembenaran (rechtvaardging)
yang dapat diterima jika dikaji secara filosofis. Pembenaran itu harus sesuai
dengan cita-cita kebenaran (idee der
waarheid), dan cita-cita keadilan (idee
der gerechttigheid), dan cita-cita kesusilaan (Idee der zeddelijkheid).[89]
2. Landasan
Sosiologis (socologische grondslag)
Suatu peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan
keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat, oleh karena itu, hukum yang
dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (living law) di masyarakat.[90]
3. Landasan
Yuridis (rechtsgrond)
Suatu peraturan perundang-undangan harus mempunyai
landasan hukum atau dasar hukum atau legalitas yang terdapat dalam ketentuan
lain yang lebih tinggi. Landasan yuridis dapat dibedakan menjadi dua sebagai
berikut:
1.
Landasan yuridis yang beraspek formal berupa kekuatan
yang memberikan wewenang (bevoegdheid)
kepada suatu lembaga untuk membentuknya, dan (ii) landasan yuridis yang
beraspek material berupa ketentuan tentang masalah atau persoalan yang harus
diatur.[91]
1. Landasan
Politis, Ekologis, Medis, Ekonomis, dan lain-lain menyesuaikan dengan jenis
atau obyek yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Terdapat suatu
pertimbangan lainnya yang perlu dipertimbangkan oleh pembuat peraturan
perundang-undangan, yaitu pada dasarnya sebuah peraturan perundang-undangan itu
dibuat harus didukung dengan data riset yang akurat (sering disebut pembuatan
peraturan perundang-undangan yang berbasis riset).[92]
Adapun asas-asas
pembentukan perundang-undangan yang baik adalah asas hukum yang memberikan
pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi peraturan, ke dalam bentuk dan susunan
yang sesuai, tepat dalam penggunaan metodenya, serta mengikuti proses dan
prosedur pembentukan yang telah ditentukan[93].
Selanjutnya Jazim menyatakan bahwa ”Pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik dan mudah diterapkan di tengah masyarakat merupakan salah satu pilar
utama bagi penyelenggaraan suatu negara”.[94]
Menurut Jimly Asshiddiqie di dalam dunia hukum, dikenal
adanya tiga bentuk penuangan norma hukum, yaitu (i) keputusan yang bersifat
mengatur (regeling) menghasilkan
produk peraturan (regels), (ii)
Keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan sesuatu secara
administratif menghasilkan keputusan administrasi negara (Beschikking), dan (iii) keputusan yang bersifat menghakimi sebagai
hasil dari proses peradilan (adjucdication)
menghasilkan putusan (vonis).[95]
Aturan hukum
yang berbentuk peraturan perundang-undangan pada hakekatnya merupakan
perwujudan keinginan-keinginan politik yang saling berinteraksi dan bersaing.[96]
Pembentukan aturan hukum akan dilihat sebagai adu kekuatan.[97]
Pernyataan tersebut adalah benar jika aturan hukum yang dimaksudkan adalah
hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai
undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorangpun dapat
membatah bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi,
formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing
baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik
yang terbesar.
Secara umum,
atauran hukum yang baru harus didahulukan daripada aturan hukum yang lama (Lex posterior derogat legi priori).[98]
Sedangkan yang dimaksud peraturan
perundang-undangan atau wet in materiele
zin mengandung tiga unsur, Yaitu:
1.
Norma hukum (rechtsnorm);
2.
Berlaku keluar (naar
buiten werken); dan
Menurut Maria
Farida ketiga unsur norma tersebut dapat diuraikan lebih lanjut sebagai
berikut:
1.
Norma Hukum, Sifat norma hukum dalam perundang-undangan
dapat berupa:
1.
perintah (gebod);
2.
Larangan (verbod);
3.
Pengizinan (toestemming),
dan
4.
Pembebasan (vrijstelling).
2.
Norma berlaku ke luar: di dalam perundang-undangan
terdapat tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka yang
tidak termasuk dalam oranisasi pemerintahan. Norma hanya ditujukan kepada
rakyat dan pemerintah. Norma yang mengatur hubungan antar bagian-bagian
organisasi pemerintahan dianggap bukan norma yang sebenarnya, dan hanya
dianggap norma organisasi. Oleh karena itu, norma hukum dalam peraturan
perundang-undangan selalu disebut ”berlaku keluar”.
3.
Norma bersifat umum: dalam hal ini terdapat pembedaan
antara norma umum (algemeen) dan yang
individual (individueel), hal ini
dilihat dari adressat (alamat) yang
dituju, yaitu ditujukan kepada ”setiap orang” atau kepada ”orang tertentu”,
serta antara norma yang abstrak (abstract)
dan yang kongkrit (concreet) jika
dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur pristiwa-pristiwa yang tidak
tertentu atau mengatur pristiwa-peristiwa yang tertentu.[100]
Peraturan Daerah adalah salah satu
produk perundang-undangan hal ini dulunya diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011
menyebutkan jenis dan hierarki peraturan perudang-undangan[101] adalah
sebagai berikut:
(1) Jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan DaerahKabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum
Peraturan Perundang-undangansesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud
padaayat (1).
Pasal 8
(1) Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa
atau yang setingkat.
(2) Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Perda termasuk peraturan perundang-undangan
yang secara hierarki berada di bawah Keputusan Presiden, namun dalam kajian
hukum administarsi mempunyai sumber yang sama yaitu pengatribusian atau
pendelegasian dari Undang-Undang. A. Hamid S. Attamimi memberikan pengertian
tentang perundang-undangan, yaitu:
Peraturan
perundang-undangan (weteleijkeregels)
secara harpiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-undang,
baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah
yang merupakan atribusian ataupun delegasian undang-undang.[102]
Berdasarkan
kajian perspektif ilmu hukum perundang-undangan, Peraturan Daerah termasuk komponen hukum
publik[103] untuk
itu pesan moral yang disampaikan oleh Jeremy Bentham perlu diperhatikan, yaitu:
”Kebaikan publik hendaknya menjadi tujuan legislator; manfaat umum menjadi
landasannya”,[104] artinya karena produk hukum ini masuk rana
hukum publik yang lebih spesifik lagi masuk kedalam hukum administrasi negara
terutama dalam hal kebijakan publik, dan
Peraturan perundangan-undangan pembentukan dokumen RPJM Daerah
Provinsi merupakan salah satu
produk hukum publik yang mengatur hubungan pemerintah dengan warga negara,
harus memperhatikan asas-asas yang baik dalam masyarakat.
Pembentukan
Peraturan dokumen RPJM Daerah Provinsi yang bertumpu pada penalaran
administratif dan harus mempunyai dasar hukum sesuai dengan asas legalitas. Asas legalitas dalam hukum
administrasi negara[105]
dimaksudkan agar pemerintah tunduk kepada undang-undang (dat het bestuur aan de wet is onderworpen)[106]. Atau dengan kata lain negara yang menempatkan hukum
sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggara kekuasaan tersebut dalam
segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.[107]
Jadi
penyelenggara negara (pemerintah) dalam setiap tindakannya harus berdasarkan
hukum hal ini sesuai dengan prinsif negara hukum, dalam pengertian lain negara juga harus berdasarkan sistem
konstitusi serta undang-undang (wetmatig
bestuur).
Akan tetapi wetmatig bestuur ini dianggap terlalu
formal dan lamban karena hanya tertumpu pada asas legalitas atau undang-undang.
Menurut Padmo Wahyono, maka perlu diganti dengan prinsif ”rechtmatigbestuur” yang bersifat umum, luas dan luwes, yakni tidak
hanya terbatas pada peraturan tertulis saja, tetapi meliputi juga peraturan
tidak tertulis.[108] khusus
RPJM DaerahProvinsi sebagaimana diamanatkan oleh UU No.32 Tahun 2004tentang
Pemda, bahwa RPJM Daerah Provinsi harus
dimuat dalamPeraturan Daerah,[109]hal ini
berguna untuk memperkuat kedudukannya sebagai pedoman bagi Pemerintah Daerah
agar tidak berubah-ubah dalam melaksanakan program pembangunan dan sebagai
landasan bagi Pemerintah Daerah untuk membuat keputusan. Sebab setiap keputusan pemerintah harus didasarkan kepada suatu
landasan hukum yang kuat.[110]
Oleh karena itu
pengaturan hukum tentang RPJM Daerah
Provinsi jelas harus memadukanantara keputusan pemerintah (negara) dan kepentingan
kemasyarakatan (warga negara). Keberadaan hukum menjadi sesuatu yang sangat
substansial secara teoritik dalam pembentukan peraturan yang partisipatif.
Melalui sarana perangkat hukum, RPJM Daerah
Provinsi diharapkan memiliki dan
menjamin terbangunnya suatu kondisi yang berketertiban, dan berkeadilan.[111]
Untuk mewujudkan Perda RPJM Daerah
yang partisipatif yang berketertiban, berkepastian dan berkeadilan, maka
asas-asas pembentukan peraturan perundangan yang baik harus memperhatikan
rambu-rambu sebagai berikut:[112]
1. Asas
tujuan yang jelas (het begenselen van de
duldelijke doelstelling)
2. Asas
kebutuhan adanya pengaturan yang bersifat umum (the noodzzakelijkkeidsbeginsel)
3. Asas
institusi dan substansi yang tepat (het
begenselen van het juiste orgaan en substantie)
4.
Asas dapat diimplementasikan (het beginsel van de uitvoerbaarheid)
5. Asas
diumumkan dan mudah dikenali (het
beginsel van de publicatie en kenbaarheid)
6.
Asas
perumusan yang singkat dan padat (irredudency
principle)
7. Asas
penggunaan istilah yang mudah dimengerti dan sistematis (het beginsel van de didelijke termenologie en didelijke systematiek).
8. Asas
konsensus dan konsistensi (het beginsel
van de consensus en consistentie)
9. Asas
yang tidak saling bertentangan (noncontracdition
/noncontroversy principle)
10.
Asas kepastian hukum (het
rechtszekerheidsbeginsel)
11.
Asas tidak berlaku surut
(nonretroactive legislation
principle), serta
12. Asas
menjangkau masa depan (prediktabilitas atau rule prospective principle).
Sedangkan A.
Hamid S. Attamimi[113]
mengistilahkan dengan asas-asas pembentukan perundang-undangan yang patut,
memuat hal-hal sebagai berikut:
2.
Asas Negara Berdasar Atas hukum dan Asas Pemerintahan
Berdasarkan Sistem Konstitusi.
3.
Asas-asas lainnya.
Adapun asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut, akan mengikuti
pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh:
1.
Cita Hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila
(Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (Idee), yang berlaku sebagai ”bintang pemadu”.
2.
Norma Fundamental Negara yang juga tidak lain melainkan
Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagi norma);
(1) Asas-asas Negara berdasarkan hukum yang menempatkan Undang-undang
sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamakan hukum (der primat des Rechts);
1.
Asas-asas Pemerintahan Berdasarkan Sistem konstitusi yang
menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan pemerintah[115].
Sedangkan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang seperti di atas di dalam UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimuat dalam Pasal
5 dan Pasal 6.
Pasal 5
Dalam membentuk Peraturan
Perundang-undanganharus dilakukan berdasarkan pada asas PembentukanPeraturan Perundang-undangan
yang baik, yangmeliputi:
a.
kejelasan tujuan;
b.
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d.
dapat dilaksanakan;
e.
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.
kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Pasal 6
menyebutkan:
(1)Materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harusmencerminkan asas:
a.
pengayoman;
b.
kemanusiaan;
c.
kebangsaan;
d.
kekeluargaan;
e.
kenusantaraan;
f.
bhinneka tunggal ika;
g.
keadilan;
h.
kesamaan kedudukan dalam hukum danpemerintahan;
i.
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain mencerminkan asas
sebagaimana dimaksudpada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentudapat
berisi asas lain sesuai dengan bidang hukumPeraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan.
Berdasarkan
asas-asas pembentukan perundang-undangan di atas diharapkan Perda RPJM Daerah
Provinsi memenuhi kualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan yang baik.
2.
Teori
Hukum Pembangunan
Pada dasarnya, dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia,
maka salah satu teori hukum yang banyak mengundang atensi dari para pakar dan
masyarakat adalah mengenai Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja.[116]Ada beberapa argumentasi krusial mengapa
Teori Hukum Pembangunantersebut
banyak mengundang banyak atensi, yang apabila dijabarkan aspek tersebut secara
global adalah sebagai berikut:
Pertama, Teori Hukum Pembangunansampai saat ini adalah teori hukum yang eksis
di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan
kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut
lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia maka hakikatnya
jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi
masyarakat Indonesia yang pluralistik Kedua, secara dimensional maka Teori Hukum
Pembangunan memakai kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat
serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan
maka terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori
Hukum Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure
(struktur), culture (kultur) dan substance (substansi)
sebagaimana dikatakan oleh Lawrence W.
Friedman. Ketiga, pada
dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai
“sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social engeneering) dan
hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai
negara yang sedang berkembang.[117]
Menurut Markus Lukman, Teori fungsi
hukum sebagai sarana pembangunan atau sebagai sarana pembaharuan masyarakat
yang dicetuskan oleh Mochtar Kusumaatmadja, memliki jangkauan yang lebih luas
daripada konsepsi Roscoe Pound tentang “law
as atool of social engineering” yaitu lebih menonjolkan perundang-undangan
daripada yurusprudensi dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia atau sebagai
sarana “rekayasa kemasyarakatan menju era industrialisasi dan modernisasi
hukum” , serta menolak aplikasi mekanistis dari konsepsi “law as a tool social engeenering”.[118]
Mochtar
secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai alat (tool) menjadi
hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangun masyarakat.
Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah sebagai berikut:
1.
bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan memang
diinginkan, bahkan mutlak perlu;
2.
bahwa hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia
ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan
dan pembaruan itu.
Untuk
itu diperlukan sarana berupa peraturan hukum tertulis (baik perundang-undangan
maupun yurisprudensi), dan hukum yang berbentuk tidak tertulis itu harus sesuai
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[119]Di
samping itu “Pembangunan dipandang sebagai jembatan yang mampu merelisasikan
negara hukum....”[120]
Berdasarkan uraian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa hukum seharusnya dijadikan pedoman dalam pembangunan yang
berarti: (1) hukum sebagai asas pembangunan yang dapat diartikan bahwa setiap gerak pembangunan harus
dituangkan dalam hukum, baik dalam hal landasan kegiatannya maupun dalam
penegakan pilar pembangunannya, maka dengan demikian, hukumpun harus diartikan
sebagai penjamin terpeliharanya hasil-hasil pembangunan yang baik; (2) adanya
satu kesatuan hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan kemanusiaan,
peradaban dan kejayaan bangsa dan Negara.
Hukum nasional adalah hukum yang
mengabdi kepada kepentingan nasional, dimana hukum tersebut bersumber dari tiga
pilar hukum yang berlaku di Indonesia yakni, hukum adat, hukum Islam dan hukum
barat.[121]
Ini tidak berarti menafikan adanya pluralitas
hukum yang dibentuk dan diberlakukan melalui hukum adat dan atau hukum agama
yang seharusnya justru menjadi fundamen bagi bangunan hukum nasional.[122] Yang dimaksud sebagai Hukum Nasional
adalah hukum yang dibentuk dan diberlakukan untuk kepentingan landasan
pembangunan dan pemberdayaan bangsa dalam mencapai tujuan kesejahteraan dan
keadilan seluruh rakyat[123].
Menurut Sjachran Basa substansi hukum
sebagai sarana pembangunan mempunyai lima fungsi, yaitu:
1. Derektif, sebagai pengarah dalam
membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan
kehidupan masyarakat;
2. Integrative, sebagai Pembina kesatuan
bangsa;
3. Stabilitatif, sebagai pemelihara
(termasuk di dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan menjaga keselarasan
kesesuaian dan keseimbangan bernegara dan bermasyarakat;
4. Perpektif, sebagai penyempurna, baik
terhadap sikap tindak administrasi Negara maupun terhadap sikap warga apabila
terjadi pertentangan dalam kehidupan bermasyarakat.
5. Korektif, sebagai pengoreksi atas
sikap warga apabila terjadi pertentangan dalam hak dan kewajiban untuk
mendapatkan keadilan.[124]
Sejalan dengan ke-lima fungsi hukum
yang merupakan tolak ukur untuk menilai dampak positif dan negatif terhadap
fungsi hukum dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat, maka hukum harus juga
memperhatikan kaidah-kaidah di tengah masyarakat, hal itu sesuai dengan
pendapat Mochtar Kusumaatmadja yaitu:
Fokus
perhatian dalam menggunakan hukum sebagai alat untuk mengadakan
perubahan-perubahan kemasyarakatan adalah
bahwa kita harus sangat berhati-hati agar tidak timbul kerugian pada
masyarakat. Tindakan demikian tidak semata-mata merupakan tindakan yudikatif
atau peradilan (yudikatif) yang secara formal yuridis harus tepat karena
eratnya hukum dengan segi-segi sosial,
antropologi dan kebudayaan daripada persoalan.[125]
Keterkaitan
hukum dengan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat, Satjipto Rahardjo
mengatakan bahwa kehidupan hukum merupakan bagian dari proses sosial yang lebih
besar[126]. Selanjutnya Rahardjo berpendapat
“pekerjaan hukum serta hasil-hasilnya tidak hanya merupakan urusan hukum,
melainkan merupakan bagian dari proses kemasyarakatan yang lebih besar.”[127]Demikian
juga dengan Kodiran yang mengatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan banyak
menjiwai prinsip-prinsip hukum yang hidup dalam masyarakat.[128]
Terkait dengan sub sistem hukum, maka
teori Talcott Parson sebagaimana dikutif oleh Satjipto Rahardjo yang
menyatakan:
Dalam teorinya, Parson menyebutkan
tentang ada empat subsistem: budaya, sosial, politik, dan ekonomi yang
senantiasa melingkari kehidupan kemasyarakatan. Dilihat dari arus energi,
subsistem ekonomi menempati kedudukan paling kuat, diikuti subsistem politik,
baru kemudian subsistem sosial (di mana hukum ada di dalamnya), dan diakhiri
oleh subsistem budaya. Di sisi lain, dilihat dari arus informasi (tata nilai),
subsistem budaya justru yang paling kaya, diikuti oleh subsistem sosial,
subsistem politik, dan berakhir pada subsistem ekonomi.[129]
Teori hukum pembangunan tidak bisa
dilepaskan dengan kemajuan perhelatan pembangunan di abad ke-21 ini, dimana
sebagian besar negara-negara Asia dan Afrika satu persatu melepaskan diri dari
belenggu penjajah, dan pada saat yang bersamaan perhatian pemerintahan yang
baru akan pembangunan menjadi fokus utama. Disamping itu perkembangan hukum
modernpun menampakkan kemampanan dan keduanya saling berkaitan, adapun
ciri-ciri hukum modern kaitanya dengan pembangunan secara universal seperti di
gambarkan oleh Marc Galanter, sebagai berikut:
Pertama, aturan-aturan dalam hukum modern
itu bersifat seragam. Maksudnya, ketika diterapkan, bentuk penerapannya tidak
banyak bervariasi. Penerapannya tidak lagi mengenal diskriminasi berdasarkan
suku, agama, kelas, kasta, jenis kelamin, dan lain-lain. Paling-paling
perbedaannya karena teritorial saja. Jadi, hukum lebih bersifat teritorial
daripada personal.
Kedua, hukum modern bersifat
transaksional. Artinya, hak dan kewajiban para pihak dalam suatu hubungan hukum
sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan tawarmenawar antar-mereka. Di sini tidak
lagi dikenal bahwa laki-laki harus diberi hak lebih besar daripada wanita, atau
yang lebih tua mendapat lebih daripada yang muda.
Ketiga, hukum modern bersifat
universalistik. Putusan atas perkara-perkara yang serupa, biasanya adalah sama.
Jadi, tidak ada yang unik. Putusannya berulang dan dapat diramalkan.
Keempat, sistem hukum itu bersifat
hierarkis. Di situ ada jenjang-jenjangnya. Tingkat yang lebih rendah akan
diawasi oleh tingkat yang lebih tinggi. Misalnya, putusan pengadilan negeri
akan dikoreksi lagi pada Pengadilan Tinggi, dan seterusnya putusan Pengadilan
Tinggi oleh Mahkamah Agung.
Kelima, sistemnya diorganisasikan secara
birokratis. Untuk mencapai adanya keseragaman dalam putusan (universalistik)
itu, tentu diperlukan catatan-catatan yangdisusun dan diarsip secara baik.
Sistem hukum dengan demikian menjadi makinimpersonal (mekanis).
Keenam, sistem hukum modern itu adalah
rasional. Maksudnya, sistem tersebutdapat dipelajari dan dimengerti oleh semua
orang. Padahal, dulu hanya orang-orangtertentu yang diyakini dapat menafsirkan
maksud suatu norma hukum. Teknik-teknikteologikal dan formalistik dalam
mengartikan norma hukum itu telah digantikan olehteknik-teknik fungsional.
Ketujuh, sistem itu dijalankan oleh para
profesional. Sistem peradilan, misalnya,tidak lagi bersifat ad hoc. Semuanya
dilakukan oleh mereka yang bekerja purnawaktu(full-timer). Mereka juga adalah
lulusan pendidikan formal dengan kualifikasi tertentu.
Kedelapan, sistemnya menjadi lebih teknis dan
kompleks. Maksudnya adalahbahwa sistem hukum modern itu tidak bisa begitu saja
dimasuki oleh orang-orangkebanyakan. Perlu ada tenaga-tenaga ahli, yakni
orang-orang yang tahu seluk beluksistem ini. Mereka adalah para ahli hukum.
Merekalah yang menjembatani antaraperadilan dengan pribadi-pribadi yang
berperkara. Peran para “general agents”
sudahdigantikan oleh “lawyers”.
Kesembilan, sistem hukum modern itu dapat
diubah atau diganti. Di sini tidakada sesuatu yang sakral. Perundang-undangan
telah menggantikan peran hukum adatyang lamban itu.
Ciri-ciri kesepuluh dan kesebelas
berkaitan dengan hukum dan politik. Cirikesepuluh
adalah bahwa sistem tersebut bersifat politis. Hukum terikat demikian
dalamkepada negara, sehingga negara menikmati suatu monopoli atas
perkara-perkara dalamkewenangannya. Peradilan-peradilan lain, seperti peradilan
agama atau dagang, hanyadapat beroperasi sepanjang diawasi oleh negara. dapat
beroperasi sepanjang diawasi oleh negara.
Sementara itu, ciri kesebelas adalah
bahwa tugas menemukan hukum danmenerapkan hukum dibedakan menurut
fungsi-fungsinya. Jadi, ada pemisahan antaralegislatif, yudikatif, dan
eksekutif.
Dari semua karakteristik itu,
Galanter menyimpulkan tiga penekanan darimodel hukum modern itu, yaitu: (1)
kesatuan, (2) keseragaman, dan (3) universalitas.[130]
Pada kajian disertasi ini,
keterkaitan hukum pembangunan dengan
kekuasaan di era modern ini, justru menenempati fokus perhatian yang utama,
karena hukum disatu sisi mengatur kehidupan bagi siapa saja, akan tetapi hukum
harus ditegakkan dengan sesuatu kekuatan, apalagi jika hukum tersebut
diinterprestasikan dengan keberlakuan suatu undang-undang.
Di samping itu dalam tataran teori
hukum pembangunan, sebenarnya berkaitan erat dengan sistem pembangunan hukum
itu sendiri, dalam pembangunan hukum di Indonesia mengalami fase-fase yang
mempunyai karakter tersendiri. Di Era Orde Baru, tidak bisa dipungkiri bahwa
hukum dijadikan alat pembangunan, hal ini terasa sekali di era orde baru
tersebut, karakter hukum yang sangat otoriter, oleh karena itu aspek instumen
hukum lebih dominan dari aspek eksperesinya, sebagaimana dinyatakan oleh Machfud
MD, sebagai berikut:
Dengan
kebijakan bahwa pembangunan akan dititikberatkan pada pembangunan ekonomi yang
beorientasi pada pertumbuhan, maka bidang hukum tidak dapat dipandang sebagai
sentral tetapi lebih bersifat instrumental atau alat yang harus memfasilitasi
atau mendukung program pembangunan. Keadaan ini menyebabkan terjadinya
peletakan porsi hukum sebagai alat justifikasi yang jika dilihat dari produknya
menampakkan watak yang konservatif dan dalam pelaksanaannya banya diintervensi
oleh kebijakan-kebijakan yang tidak selalu sejalan dengan kehendak aturan hukum
yang resmi berlaku.[131]
Pendapat di atas sesuai kenyataan
dalam praktik pembangunan hukum di negara-negara baru lebih dipandang sebaga
usaha-usaha yang bersifat teknis sekedar menunjang pertumbuhan ekonomi.[132] Bahkan sering dikatakan pembangunan
hukum banyak dinegara baru lebih berorientasi pada usaha untuk melayani
kebutuhan pasar. Hal ini mengakibatkan program pembangunan hukum semakin jauh
dari hakekat dan tujuan dari pembangunan hukum itu sendiri.[133]
Hal tersebut disadari betul adanya
kekeliruan dalam sistem pembangunan hukum di Indonesia, terutama di era sebelum
reformasi, maka memasuki era reformasi MPR menetapkan GBHN Tahun 1999,[134] khusus bidang hukum beberapa butir
monitoring dan evaluasi oleh MPR itu sebagai berikut:
3. Di bidang hukum, terjadi perkembangan
yang Kontroversial, di satu pihak produk materi hukum, pembinaan hukum, sarana
dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan, namun di pihak lain tidak
diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan professional dari aparat
hukum, kesadaran hukum, sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum terwujud.
4. Tekad untuk memberantas segala bentuk
penyelewengan sesuai dengan tuntutan reformasi sepeti korupsi, kolusi,
nepotisme (KKN) serta kejahatan ekonomi keuangan belum mengikuti
langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum
dalam menerapkan hukum.
5. Terjadinya campur tangan dalam
menerapkan hukum dan mafia dalam proses peradilan, serta tumpang tindih dan
kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum.
6. Kondisi hukum yang demikian
mengakibatkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) di
Indonesia masih memprihatinkan yang terlihat berbagai pelanggaran hak asasi
manusia, antara lain dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi dan
kesewenang-wenangan.
7. Pembangunan dibidang pertahanan dan
keamanan, telah menunjukkan kemajuan, meskipun masih mengandung kelemahan.
8. Kepercayaan masyarakat terhadap
aparatur TNI dan POLRI melemah, antara lain karena digunakan sebagai alat
kekausaan rasa aman dan ketentraman masyarakat berkurang, terjadi kerusuhan
missal dan berbagai pelanggaran hukum dan HAM
Nukilan Ketetapan MPR RI awal
reformasi tersebut, menunjukkan bahwa penegakan hukum selama lima dasawarasa
kemerdekaan Indonesia, hukum tidak dijadikan prioritas dalam pembangunan.
[1] Munir Fuady, Negara Hukum.http: //www. gramediaonline. Com /moreinfo. cfm?
Product_ID= 701075 & CFID = 17480697&CFTOKEN=78550396 diakses 24 Desember 2011.
[2] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Penerjemah: Raisul Muttaqien, judul asli,
Pure Theory of Law, (Bandung: Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa), 2007,
hlm. 316.
[4] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal ini di masukkan setelah amandemen
ke-3.
[5] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I (Jakarta:
Siguntang, 1952), hlm. 74.
[6] Soediman Kartohadiprodjo, Negara Republik Indonesia Negara Hukum,
Pidato diucapkan pada penerimaan Pengangkatan Guru Besar Universiteit Indonesia
pada tanggal 17 Januari 1953 (Jakarta: Yayasan Pembangunan, 1953), hlm. 13
[7] Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara Di Indonesia,
(Jakarta: Dian Rakyat, 1973), hlm. 10
[8] Joeniarto, Negara Hukum, (Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada,
1981), hlm. 8
[9] Emanuel Kant, Memaparkan Prinsip-Prinsip Negara Hukum (formil). dalam: Padmo
Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan
Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 7
[10]The
Rule of Law (ROL)
sudah memulai perjalannya sejak sebelum
Masehi. Ariestoteles, Plato, di masa Yunani sudah berkutat dengan masalah ROL.
Plato mendesak agar pemerintah diikat oleh hukum “where the law is subject to some other authority and has none of its
own, the collapse of the state,…is not far off; but if law is the master of the
government and the government is its slave, then the situation is full of
promise and men enjoy all the blessings that the gods shower on a state.” (Lihat: Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum,
Malang: Banyumedia Publishing, hlm. 62) Lihat Juga: A.V. Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Penerjemah,
Nurhadi, Judul asli “Introduction to the Study of the Law of the Constitution”,
(Bandung: Nusamedia, 2007), hlm. 255
[11] Jimly Ashiddqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia,
Trial::Http://www.docudesk.com, diakses 12 Desember 2011, pukul 13.35 Wib.
Lihat juga: A.V. Dicey, Introduction to
the Study of the Law of the Constitution, (London, McMilian Education
Ltd,Teth Edition), 1959.
[12]
Konsep “rechtsstaat” lahir dari suatu
perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner sebaliknya
konsep ”the rule of law” berkembang
secara evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria rechtsstaat dan
kriteria the rule of law. Konsep
rechtsstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “modern Roman Law” sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut “common law”. Karakteristik “civil law” adalah “administratif”
sedangkan karakteristik “common law”
adalah “judicial”. (Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum, dan Konstitusi, Yogyakarta, Liberty, 1999, http://www. kesimpulan. com/2009/05/
teori-negara-hukum. html. Diakses 12 Desember 2011.
[13] Selanjutnya, dengan makin luasnya
desakan kebutuhan perlindungan warga negara atas hukum. Maka Internastional
Commisison of Jurist dalam konfrensi di Bangkok pada tahun 1965, memberikan
rumusan tentang ciri-ciri pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of law
adalah sebagai berikut: 1.Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin
hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk
memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; 2.Badan Kehakiman yang bebas
dan tidak memihak; 3.Pemilihan umum yang bebas; 4.Kebebasan menyatakan
pendapat; 5.Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; dan 6.Pendidikan
kewarganegaraan.
[14] Dahlan Tahib, Kedaulatan…Op. Cit.
[15] Samson, HD. Inleiding Staatkunde, Commisie
Statkunde Leiden, (Leiden, Tjeenk Willink, 1991), hlm. 23. Pemikiran Negara
hukum dilatarbelakangi oleh suatu kondisi, dimana hak dan kebebasan rakyat
tidak terlindungi sebagai akibat kekuasaan raja yang bersifat absolute. Lihat:
Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi:
Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2004), hlm. 14.
[16] SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,
(Yogyakarta: Liberty, 1997), hlm. 9.
[17] Dahlan Thaib, Kedaulatan…Op.Cit
[18] Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 10.
[19] M. Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang
Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode
Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 9.
[20] Moh. Machfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum, (Jakarta:
LP3ES, 1998), hlm. 28 Philipus M. Hadjon, Op. Cit, hlm, 80.
[21] Hazairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
(Jakarta: Rajawali Press, 1997), hlm. 4.
[22] M. Tahir Azhary, Op.Cit. 63.
[23] Al-Quran, S. An-Nissa, ayat 58
artinya: “Seusungguhnya Allah menyuruhmu
menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya…” Al.
Qur’nulkarim, Departemen Agama RI, 2004. hlm. 87
[24] Al-Qur’an, S. Asy-Syura’, ayat 38
artinya: “ …Sedangkan urusan mereka
(diputuskan) dengan Musyawarah antara mereka…” Ibid, hlm. 487
[25] Al-Qur’an, S. Ali Imran, ayat 159
artinya: “…Karena itu maafkanlah mereka
dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu…”Ibid, hlm. 71
[26] Al-Quran, S. An-Nissa, ayat 135
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman!
Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walau terhadap
dirimu sendiri, bapak dan kaum kerabatmu…”Ibid, hlm. 100
[27] Al-Qur’an, S. Al-Mai’dah, ayat 8 artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan
karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil…”Ibid, hlm.
108
[28] Al-Qur’an, S. Al-Hujurat, ayat 13 artinya:
“…Kami telah menjadikan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sungguh yang paling mulia diantara
kamu di sisi Allah ialah orang-orang
yang paling bertakwa…”Ibid, hlm. 517
[29] Al-Qur’an, S. Al-Isra’, ayat 33
artinya: “Dan janganlah kamu membunuh
orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang
benar…”Ibid, hlm. 285
[30] Al-Quran, S. An-Nissa, ayat 58
artinya: “…dan apabila kamu menetapkan
hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil…”Ibid,
hlm.87
[31] Al-Qur’an, S. Al-Baqarah, ayat 190
artinya: “dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas…”Ibid, hlm.
29
[32] Al-Qur’an, S. Saba, ayat 15 artinya: “Sungguh, bagi kaum saba’ ada tanda
(kebesaran tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah
kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan). Makanlah olehmu dari
rezeki yang (dianugrahkan) Tuhanmu dan berssyukurlah kepada-Nya…”Ibid, hlm.
430.
[33] Al-Quran, S. An-Nissa, ayat 59
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman taatilah! Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil
Amri (pemegang kekuasaan), di antara kamu…”Ibid, hlm. 87.
[34] Peneliti terakhir yang penulis
temukan seperti ditulis oleh Alwi Shihab, Membedah
Islam di Barat: Menepis Tundingan Meluruskan Kesalahpahaman, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2002). Terutama pada halaman 113 s.d 140.
[35] Di Indonesia dikenal dengan istilah masyarakat Madani, sebagai pandanan
kata CivilCoceity, masyarakat madani
dipopulerkan oleh Nurcholis Madjid, Kata madani merujuk pada kata Madinah,
dimana pada masa Rasulullah Saw. Pernah membangun masyarakat dalam peradaban
yang tinggi. (M. Hasan Anshori, Partisipasi Civil Cociety dalam Perencanaan
Pembangunan Daerah: Study Atas Partisipasi Civil Cociety dalam Proses
Pembahasan dan Penyusunan Renstra 2002-2005 Dati II Gersik Jawa Timur,
Tesis pada Fisip UI Jakarta, Tahun 2003, hlm. 42)
[36] Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan
Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005) , hlm. 31.
[37] Perda Syari’ah muncul sebagai adanya
kebijakan otonomi daerah saat ini, tentu daerah-daerah dapat membuat peraturan
daerah sebagai aktualisasi hukum yang hidup dalam masyarakat, khususnya hukum
Islam. (Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa, dalam
Dadan Muttaqin et, al. (eds), Peradilan
Agama & Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta:
UII Press, 1999), hlm. 7-13
[38] Bagir
Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan
Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill co, 1992), hlm. 7.
[39] Jakob
Sumardjo, “Pancasila dan Mancapat Kalima
Pancer”, Harian Kompas, 1 Januari 2006.
[40] Friedman, Legal Theory, (London: Stern & Sou Limited, 1960), p, 416.
[41] Kaelan,
Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:
Paradigma, 2004), hlm. 244
[42] Jimly Asshiddiqie, GagasanNegara Hukum Indonesia “Makalah” http://www.docudesk.com diakses 21 Nopember
2011
[43] A.
Hamid S. Attamimi, ”Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa
Indonesia” Dalam Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila
Sebagai Ideologi, (Jakarta: BP-7 Pusat), hlm. 74.
[44] A. Hamid S. Attamimi, Ibid.
[45] Padmo Wahyono, Pancasila Sebagai
Ideologi dalam Kehidupan Bernegara, dalam Oetojo Oesman
dan Alfian, ed, Op. Cit, hlm. 132
[46] Contoh-contoh kekerasan yang
dilakukan oleh aparat keamanan pada saat ini (sewaktu disertasi ini ditulis)
pada kasus Mesuji (Sumatera selatan dan Lampung dan Kasus Safe (Bima, NTB)
menurut hemat penulis mencerminkan bahwa nilai-nilai neagara hukum belum
sepenuhnya dipahami secara komprehensip.Lihat: Imam Mahdi, Hukum Tata Negara Indonesia, (Yogyakarta: Teras, Cetakan 1, 2011),
hlm. 268. “Hukum yang berlaku di Indonesia sarat dengan kepentingan politik,
kesetaraan dalam hukum (equality before
the law) sebagaimana dianut di Negara-negara demokrasi belum terjadi di
Indonesia, “Pengesahan Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Air, dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang izin penambangan di kawasan
hutan lindung ditenggarai merupakan “pesanan” kelompok politik tertentu.
Kekuatan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Asian Development Bank, IMF dan sebagainya turut mempengaruhi
pengesahan undang-undang tersebut, agenda mereka jelas melakukan prevatisasi
besar-besaran” hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945)
[47] Sri
Soemanteri, Tentang Lembaga-lembaga
Negara Menurut UUD 1945, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Tahun 1989), hlm 12
[48] Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme,
(Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004), hlm.124.
[49] C.F. Strong, Modern Political Constitutions, (London: Sedgwick & Jackson,
1973),p. 11.
[50] Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di
Indonesia: Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta:
Grafito, cet. Pertama 1995), hlm. 415.
[51] Sri Soemantri, dalam Dossy Iskandar
Prasetyo, Ide Normatif Mahkamah
Konstitusi Dalam Konteks Cita Hukum dan Negara Hukum “Disertasi”, Program Doktor Ilmu Hukum Pasca
Sarjana Universitas Brawijaya Malang, 2006,
hlm. 177.
[52] Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, Cet.
IV, 1087), hlm. 51.
[53] Montesquieu, The Spirit Of Law, ed. David Walace Corrithes, (London: University
Of California, Cet. 5, 1977): dan Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Aksara Baru, 1986) hlm.
5.
[54] Harold Laski, Encyolopedia of Sosial Sciences, (New York Vol. V, in the art,
democracy”, 1957), p. 76
[55] J.A. Corry, Democracy Government and Politic, (Toronto: University Press,
1957), hlm. 72
[56] Zainal
Abidin Ahmad, Konsep Politik dan Ideologi
Islam, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1977), hlm. 11
[57] UNDP, dalam dokumen Kebijakannya
yang berjudul “Governance for Sustainable
Human Development”, Januari 1997.
[58] Jimly Ashiddiqie, Negara Hukum….Op. Cit.
[59] Misalnya Pemerintah masih memandang bahwa APBN masih dianggap sebagai suatu dokumen
yang rahasia, masyarakat hanya bisa mengakses APBN ketika produk anggaran
tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah dan DPR RI."Tentang keterbukaan
informasi kalau kita kaitkan dengan RAPBN atau APBN memang terjadi
pendangkalan, pengaburan keterbukaan informasi, sebaigaman dikatakan oleh Arif
Nur Alam Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), dalam konferensi
pers terkait Open Government Partnership, Minggu, 15 April 2012. Kompas.com,
diakses 16 April 2012.
[60] Eko Parasodjo, Desentralisasi,
Dampak Perubahan Yang Diperlukan,
http: //www.forplid.net
/modul/134-desentralisasi-dampak-perubahan-yang-diperlukan-.html, diakses
Desember 2011.
[61](Lihat: Penjelasan UU No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, Lihat pula: S.H. Sarunjang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm. 11)
[62] Lihat: Bhenyamin Hossein, Akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari
Efisiensi ke Demokrasi?, (Pidato Pengukuhan pada Upacara Penerimaan Jabatan
Sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia di kampus Universitas Indonesia, Depok, 16 Oktober 1993)
[63] Yadi M. Erlangga, Desentralisasi Vs Good Governance, Trial;;Http:www.docudesk.com
diakses tanggal 12 Desember 2011 pukul 11.30. Wib
[64] Philipus M. Hadjon, ed al, Pengatar ..Op. Cit, hlm.112.
[65] United Nations, Technical Asistant Programe, Decentralization
for National and Local Development, (New York: Departement of Economic and
Social Affair, Division for Public Administration. 1962), p. 3
[66] United Nations, A Handbook of
Public Administratief: Current Concept and Practice with Special Reference to
Developing Countries, (New York: Departement Of Economics and Social
Affair 1961), p. 64.
[67]Ibid
[69] Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1990), hlm. 29.
[70] Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 5.
[71] RDH. Koesoemahatmadja, Pengantar Kearah Sistem Pemerintahan Daerah
di Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1979), hlm. 14-15.
[72] Bhenyamin Hoessein, dkk, Op.Cit, hlm. 17.
[73] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerjemah, Raisul Muttaqien,
Judul asli “General Theory of Law and State”
(Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 447.
[75] Juanda, Op. Cit, hlm.113.
[76] Sodjuangon Situmorang, Model Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota, Disertasi, Pascasarjana UI,
Jakarta 2002, hlm. 21.
[78] Juanda, Op.cit, hlm. 114.
[79] The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara RI, Jilid I, Edisi Kedua,
(Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 35-39.
[80] Amir, Notulen Sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945, Dalam H.M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
Jilid I, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960), hlm. 410.
[81] M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, (Bandung: Mandar Maju, 1992), hlm. 210.
[82] Eko Parasodjo, Op. Cit.
[83]Ibid
[84] Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 331.
[85] Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Peundang-undangan yang Baik: Gagasan
Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, (Jakarat: PT. RajaGrafindo
Persada, 2010), hlm. 25
[86] Maria Farida Indriati S, (2) Ilmu Perundang-undangan: Proses dan Teknik
Pembentukannya, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hlm. 1
[87] Bagir Manan, Dasar-dasar….Op. Cit, hlm. 13-20.
[88]Jimly
Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara, Jilid II, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 34.
[89] Jazim Hamidi dan Budiman NDP Sinaga,
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Dalam Sorotan, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2005), hlm. 7
[90]Ibid
[93] A. Hamid S Attamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan
dan Peraturan Kebijakan: Hukum Tata Pengaturan, (Jakarta: Fakultas Hukum
UI, 1990) hlm. 27.
[94] Jazim Hamidi, Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah: Menggagas Peraturan Daerah
Yang Responsif dan Berkesinambungan, (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya,
2011), hlm. 6.
[95]Jimly
Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi,
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, Cetakan kedua.,
hlm. 209
[96] M. Mahfud MD, Politik…Op. Cit. hlm. 2.
[97] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa,
1980), hlm. 50.
[98] Ketentuan tersebut merupakan bagian
dari asas perundang-undangan, di samping asas dimaksud ada beberapa asas lain
seperti: 1) Undang-undang tidak berlaku surut, 2) Undang-undang yang dibuat
penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, 3)
Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat
umum, jika pembuatnya sama, 4) Undang-undang yang berlaku belakangan,
membatalkan undang-undang terdahulu, 5) Undang-undang tidak dapat diganggu
gugat, 6) Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai
kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu melalui
pembaharuan dan/atau pelestarian. (Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum
dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan:
Pustaka Bangsa Press. 2003), hlm. 59).
[100] Maria
Farida Indrati S, (1) ...Op. Cit, hlm.
35-36. Norma hukum adalah aturan. Pola, atau standar yang perlu diikuti (Lihat:
Hans kelsen, dalam A. Hamid Attamimi, Pancasila...Op.
Cit, hlm. 302), Norma hukum atau kaidah hukum lazim diartikan sebagai
peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu seyogianya berprilaku,
bersikap di dalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain
terlindungi. Atau dalam arti sempit kaidah hukum adalah nilai yang terdapat
dalam peraturan konkret. Lihat: Sudikno Mertokusumo,Mengenal...Op. Cit, hlm. 11.
[101] Hierarki peraturan perundang-undangan
yang berjenjang sebagaimana dianut dalam perundang-undangan Indonesia diilhami
oleh pemikiran Hans Kelsen, yang membagi tingkatan-tingkatan peraturan
perundang-undangan sebagai berikut: A.
The Constitution: The constitution represents the highest level of the positive
law, taking “constitution” in the substantive sense of the word; and the
essential function of the constitution consist in governing the organ and the
process of general la creation, that is, of legislatiaon, B. General norms created
in the legislative process: The next level of the hierarchical structure, one
step removed from the constitution, is that of general norms created in the
legislative process, C. Administrative Regulations: Administration manifests
itself as individualization and concretization of statutes, namely, as
administrative regulation. Lihat: Hans Kelsen, The Pure Theory of Law, translated by Max Knight, London:
University of California Press Berkeley, 1970), p, 221-229, Lihat juga: Hans
Kelsen, General Theory of Law and State,
taranslated by Anders Wedberg, (New York: Rusell & Rusell, 1973), p,
124-131, Lihat juga: Hans Kelsen, Intruduction to The Problems Of Legal Theory,
translated by Bonnie Litscewski Paulson and Stanly L. Paulson. (Oxford,
Clarendon Press, 1996), p, 63-68
[102] A.
Hamid S. Attamimi, “Perbedaan antara
peraturan perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan” Pidato Dies Natalis
PTIK ke-46, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta 17 Juni 1992, hlm. 3.
Menurut Maria Farida S, Kelompok norma hukum yang dibawah Aturan Dasar
Negara/Aturan Pokok Negara (staatsgrundgezetz)
adalah formel Gesetz atau secara
harfiah diterjemahkan dengan Undang-undanga (“formal”). Berbeda dengan kelompok
norma di atasnya, yaitu norma Dasar Negara dan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok
Negara, maka norma-norma dalam suatu undang-undang sudah merupakan norma hukum
yang lebih kongkrit dan terinci, serta sudah dapat langsung berlaku di dalam
masyarakat. Norma-norma hukum dalam undang-undang ini tidak saja norma hukum
yang bersifat tunggal, tetapi norma-norma hukum itu dapat merupakan norma hukum
yang berpasangan, sehingga terdapat norma hukum sekunder di samping norma hukum
primernya, dengan demikian dalam suatu undang-undang sudah dapat dicantumkan
norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa.
Di Indonesia istilah FormellGesetz
atau formelewetten ini seyogyanya
diterjemahkan dengan “Undang-undang” saja tanpa menambah kata “formal” di
belakangnya...Perundang-undangan lainnya dibentuk oleh lembaga-lembaga lain di
samping Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Selain itu peraturan
perundang-undangan di Indonesia memiliki nama jenis tersendiri sesuai dengan
jenis peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam sistem
perundang-undangan di Indonesia hanya dikenal satu nama jenis Undang-undang,
yaitu suatu keputusan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dengan
persetujuan bersama Presiden, dan disahkan oleh Presiden. Selain itu tidak ada
Undang-undang yang dibentuk oleh lembaga lainnya baik pusat maupun di daerah,
sehingga di Indonesia tidak ada istilah undang-undang pusat ataupun
undang-undang lokal. (Lihat: Maria Farida Indrati S, (1) Op. Cit, hlm. 51-54), Lihat Juga: L.J. van Apeldorn, Pengatar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2001), hlm, 80-110.
[103] Menurut
Ulpianus, hukum publik adalah hukum yang berkenaan dengan kesejahteraan negara
(Publicum ius est, quad ad statum rei...),
Ridwan HR, Op. Cit, hlm. 51
[104] Jeremy
Bentham, Teori Perundang-Undangan,
Judul asli ”The Theory of Legislation”
Penerjemah Nurhadi, (Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, Cetakan
1, 2006), hlm. 25.
[105] Asas
legalitas sangat terkenal dalam hukum pidana degan ungkapan “Nullum delictum sine praevialege poenali”
(tidak ada hukuman tanpa undang-undang)
[106] HD
Stout, De Betekenissen van de wet,
(W.E.J Tjeenk Willink, Zwolle, 1994), hlm. 28.
[107] Mochtar
Kusumaatmadja, “Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional di Masa Kini
dan Masa yang Akan Datang”. Makalah,
Jakarta, 1995, hlm. 1 dan 2.
[108] Padmo
Wahyono, “Konsep Yuridis Negara hukum
Indonesia” Makalah September 1988, hlm 2 dan 3.
[109]
Berdasarkan ketentuan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Ssistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, RPJM Daerah ditetapkan berdasarkan Peraturan Kepala
Daerah, berdasarkan penelitian terdahulu Pembuatan Dokumen RPJM Daerah selalu
ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Jadi daerah berpedoman kepada UU No. 32
Tahun 2004.
[110] Suparto
Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara
Peradilan Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara), (Surabaya: Airlangga University
Press, Edisi kedua, 2005). hlm. 145.
[111]O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan,
Beberapa Bab dari Filsafat Hukum, (Jakarta: BPK Gunung Mulya, 1975), hlm.
83-84.
[112] Suparto
Wijoyo, Refleksi Mata Rantai Pengaturan
Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu di Indonesia, (Surabaya:
Airlangga University Press, 2005), hlm. 206.
[113] Maria
Farida Indrati S.,(2) Op.Cit, hlm.
228-230.
[114] Cita hukum atau rechtside, merupakan konstruksi fikir (ide) yang mengarahkan hukum
kepada cita-cita yang diinginkan. Lihat: Soepomo dalam Satya Arinanto, bahan
kuliah Transparansi Politik Hukum, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum UI,
2007.
[115] Maria Farida Indriati S. (2). Op.Cit
[116] Lihat Juga: Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional, (Bandung: Binacipta, 1976), hlm. 9.
[117]Lilik
Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Prof.
Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., L.L.M.
Sebuah Kajian Deskriftif Analitis, Makalah, Lepas, http://www.scrib.com diakses 13 Maret 2011,
[118] Markus Lukman, OP.Cit, hlm. 60-61
[119] Komisi Hukum Nasionl , Laporan
Penelitian Program Legislasi, 2003
[120]Susi Dwi
Harijanti, Perspektif Negara Hukum yang
Berkeadilan: dalam Negara Hukum Yang Berkeadilan (Kumpulan Pemikiran dalam
Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH., M. CL.) Bandung: Pusat Studi
Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2011, hlm. xiv
[121] H.M. Hidjazie Kartawidjaja, Hukum Nasional, Kuliah Hukum Nasional
(Azas-azas Hukum Nasiona, Hukum Nasional I dan Hukum Nasional II) pada Fakultas
Hukum Universitas Bengkulu Tahun 1984-1986
[122] Khusus eksistensi hukum Islam dalam
kaitannya dengan pelaksanaan agenda reformasi hukum nasional yang sekarang
tengah berlangsung. Jangan sampai, misal, karena kesibukan kita memikirkan
keseluruhan sistem hukum nasional yang perlu direformasi, menyebabkan kita
lalai memperhitungkan faktor sistem hukum Islam yang sangat penting arinya
dalam keseluruhan pengertian sistem hukum nasional yang sedang mengalami proses
transpormasi menuju masa depan yang diharapkan akan menjadikan hukum sebagai
suatu sistem yang ‘supreme’ dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(Jimly Asshiddqie, Menuju….Op. Cit,
hlm. 716
[123]Winahyu Erwiningsih, Peranan Hukum dalam
Pertanggung-jawaban Perbuatan Pemerintahan (bestuurshandeling) Suatu Kajian dalam Kebijakan Pembangunan
Hukum,jurisprudence, vol. 1, no. 2, september 2004 : 137-157
[124] Sjachran Basa, Tiga Tulisan Tentang Hukum, (Bandung: Armico, 1985), hlm. 12
[125] Mochtar Kusumaatmadja, dalam Otje
Salam dan Eddy Damian, ed., Konsep-konsep
Hukum dalam Pembangunan, (Bandung: PT. Alumni, 2002), hlm. 15.
[126] Satjipto Rahardjo, dalam Artidjo
Alkostar, Ed, Op.Cit, hlm. 171.
[127] Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan
Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1977), hlm.
143
[128] Kodiran, dalam Artidjo Alkostar, Ed,
Ibid, , hlm. 90.
[129] Talcott Parson, The Social System, (New York: The Free Press, 1951) dalam Satjipto
Rahardjo, Pemanfaatan…Op Cit,
[130] Marc Galanter, The Modernization Of Law, dalam Modernization, The Dynamics of Grouth,
(Voice of America Forum Lectures, tt), hlm. 167-179. Dalam Komisi Hukum
Nasional Op. Cit. Lihat Juga Satjipto
Rahardjo, Ilmu…Op. Cit hlm. 213-214. Ciri hukum modern sebagi
berikut: 1) mempunyai bentuk tertulis, 2) Hukum itu berlaku untuk seluruh
wilayah negara. Apabila kita memperhatikan sejarah, maka kadaannya tidak selalu
demikian. Pada masa-masa yang lalu, dalam suatu wilayah negara bisa berlaku
berbagai macam hukum dengan otoritas yang bersaing. Seperti dikatakan oleh Marc
Galanter, maka hukum modern sekarang ini terdiri dari peraturan-peraturan yang
bersifat uniform serta diterapkan tanpa mengenal variasi. Peraturan-peraturan
tersebut lebih bersifat teritorial daripada “pribadi’, artinya peraturan yang
sama itu diterapkan terhadap anggota-anggota masyarakat dari semua suku, agama,
kelas, daerah dan kelamin. Apabila disitu diakui adanya perbedaan-perbedaan,
maka ia bukan sesuatu yang disebabkan oleh kualitas yang intrinsic, seperti
antara bangsawan dan budak atau antara kaum Barhman dan kelas-kelas yang lebih
rendah di India, melainkan yang disebabkan oleh fungsi, kondisi dan hasil-hasil
karya yang didapat oleh seseorang dalam kehidupan keduniaan, 3) Hukum merupakan
instrument yang dipakai secara sadar mewujudkan keputusan-keputusan politik
masyarakatnya.
[131] Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media Offset,
1999),hlm. 213
[132] Pembangunan hukum, bagi banyak
Negara berkembanga telah menjadi kebutuhan penting. Di Negara-negara berkembang
yang baru saja terlepas dari masa colonial ini, pembangunan hukum dilaksanakan
untuk mendukung penataan kehidupan bernegara dan masyarakat, baik dalam
kehidupan politik, ekonomi, maupun sosial. Oleh karena itu pembangunan hukum
sering mengesankan adanya peranan ganada. (Abdul Hakim Garuda Nusantara dan
Nasroen Jasabari, Beberapa Pemikiran
Pembangunan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1980), hlm 1.
[133] Mubiyarto, Reformasi Sistem Ekonomi Dari kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan,
(Yogyakarta: Aditya Media, 1999), hlm. 94.
[134] Lihat: Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesa Tahun 1999, Sekretraiat
jenderal MPR RI, 1999.
Komentar
Posting Komentar